Tradisi penyelesaian waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MOH. KHOIRUDDIN

NIM. 106044101421

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN”, telah diujikan dalam munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu tanggal 08 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 08 Desember 2010

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH, M.A, MM NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN 1. Ketua

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (……….)

NIP. 195003061976031001 2. Sekretaris

Kamarusdiana, S.Ag, MH (……….)

NIP. 197407252001121003 3. Pembimbing Skripsi 1

Prof.Dr.Hj.Zaitunah Subhan,MA (………) NIP . 195010101967122001

4. Pembimbing Skripsi II

Drs. Abu Tamrin, SH. M. Hum (……….)

NIP. 196509081995031001 5. Penguji I

Dr. JM. Muslimin, M.A., P.Hd (……….)

NIP. 150295489 6. Penguji II

Dr. K. H. A. Djuwaini Syukri, Lcs. MA (………...) NIP. 195507061992031001


(3)

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, November 2010


(4)

TRADISI PENYELESAIAN WARIS

DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MOH. KHOIRUDDIN

NIM: 106044101421

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Hj.Zaitunah Subhan,MA Drs. Abu Thamrin,SH.M.Hum

NIP : 195010101967122001 NIP : 196509081995031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H / 2010 M


(5)

i

Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian dari akademis di konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Tradisi Penyelesaian Waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis.

Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.


(6)

ii

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH. Ketua program studi dan sekretaris program studi Ahwal Al-Syakhisiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Dan Bapak Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum. Selaku dosen pembimbing terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang bermanfaat sekali buat penulis.

4. Segenap bapak dan ibu dosen program studi ahwal al-syakhsiyyah, khususnya pada konsentrasi Peradilan Agama (PA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung.

5. Segenap jajaran karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum dan Universitas berikut jajaran karyawan perpustakaan Fakultas dan Universitas. 6. Rasa Ta’zhim dan terima kasih yang sangat mendalam kepada ayahanda dan

ibunda tercinta yang telah memberikan banyak motivasi dan biaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan Tinggi atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih sayangnya yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam menyelesaikan studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.


(7)

iii

8. Sahabat-sahabat perjuangan di kelas PA B angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan Hukum yang tercinta dan atas persahabatan yang selama ini dibangun tak akan tergantikan kapan dan dimanapun itu tetap akan dikenang tak akan terlupakan oleh penulis.

Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa mendatang penulis menerima saran dan kritik yang konstruktif dari para pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita amin.

Demikian sepatah kata dari penulis, semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semuanya. Fastabiqul khoirot.

Jakarta, November 2010


(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………. iv

Bab I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembahasan dan Perumusan Masalah... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D.Metode Penelitian ... 9

E.Tinjuan Studi Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

Bab II KONSEP KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM ... 17

A.Pengertian Tentang Waris ... 17

B.Rukun dan Syarat Waris ... 19

C.Dasar-dasar Hukum Waris dalam Islam ... 22

D.Sebab-sebab Menerima Warisan dan Penghalang Menerima Warisan ... 25

E.Orang-orang Yang Berhak Menerima Warisan dan Bagian Masing-masing... 29

F. Asas-asas Kewarisan Islam ... 41

Bab III POTRET MASYARAKAT DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ... 49

A. Letak dan Kondisi Geografis ... 49


(9)

v

4. Keagamaan ... 54

Bab VI TRADISI PENYELESAIAN WARIS DI DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN... 56

A. Sebab Menyelesaikan Waris Menurut Hukum Adat ... 56

B. Implementasi Pembagian Waris Menurut Hukum Adat ... 58

1. Sistem Pembagian Harta Waris ... 59

2. Ahli Waris Yang Berhak Menerima Harta Waris ... 62

3. Alasan-alasan Tetap Memakai Hukum Adat………... 66

C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Waris Menurut Hukum Adat ... 68

D. Analisis Penulis ... 82

Bab V Penutup ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran-saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Setiap kehidupan dari suatu persekutuan hukum, baik dalam bentuk besar seperti Negara, atau dalam bentuk yang lebih kecil seperti suku, mempunyai identitas diri yang memberikan suatu corak yang berbeda dengan Negara atau dengan suku yang lain. Identitas itu timbul karena adanya unsur yang menjelma dan mencerminkan suatu kepribadian dan jiwa dari Negara (bangsa) atau suku itu sendiri. Corak yang demikian itu dikenal dengan istilah adat.

Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki daerah-daerah dan suku-suku bangsa adalah berbeda, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaan. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhineka” (berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya) dan “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat keindonesianya).1

Keberadaan suatu suku atau suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh adat atau kebiasaan yang berlaku, namun juga ditentukan oleh sesuatu yang dapat mempengaruhi tindakan dari pada anggota suku tersebut, misalnya agama yang diakuinya itu sendiri.

1

Soerojo Wignyo Dipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995, h. 13


(11)

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat. Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua larangan dalam Islam mengandung banyak manfaat. Karena itu, umat Islam berkewajiban memegang teguh syariat Islam dan mengamalkanya dalam kehidupan sehari-hari.

Allah menjanjikan kemenangan kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada ajaran agamanya dengan baik. Selain itu, setiap orang juga meyakini keesaan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, mendalami ilmu agama dan mengamalkannya.

Seperti masyarakat Desa Tunggul misalnya Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan taat menjalankan syari’at agama. Hal itu dibuktikan dengan hidupnya kegiatan keagamaan serta banyak berdirinya tempat-tempat ibadah. Di desa di pesisir pantai utara Lamongan ini juga banyak lembaga pendidikan Islam dan organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis agama.

Namun, masyarakat dan tokoh Islam di desa ini punya hukum tersendiri dalam hal-hal tertentu berdasarkan adat masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Hukum berdasarkan


(12)

3

adat ini bahkan telah menjadi keyakinan mereka dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu soal hukum dan tata cara membagi harta warisan.

Umat Islam di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan ini lebih mengutamakan penerapan Hukum Adat dari pada Hukum Islam dalam pembagian harta warisan. Hal itu terjadi bukan karena pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam yang kurang, termasuk ilmu fara’idh, tapi karena keyakinan masyarakat bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Perlu diketahui, sebagian besar penduduk desa pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Bahkan, di daerah ini banyak berdiri pondok pesantren tua dan bersejarah perkembangan Islam di pantai utara Jawa Timur.

Dalam Hukum Waris Adat dikenal beberapa sistem, diantaranya: sistem keturunan, sistem pewarisan individual, sistem pewarisan kolektif, dan sistem pewarisan mayorat.2

Berdasarkan penelitian penulis, penyelesaian pembagian harta waris di desa ini menggunakan sistem individual, yakni setiap ahli waris mendapatkan harta warisan menurut bagian masing-masing. Menurut Hilman Hadi Kusuma, sistem pewarisan individual, adalah sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan itu diadakan pembagian. Masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati, atau dialihkan

2

Soerjono Soekanto dan Sulaiman B. Taneko, Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, h. 85


(13)

kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga atau orang lain.3 Sistem individual yang berlaku di Desa Tunggul tersebut sesuai dengan sistem kekerabatan parental, yakni sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi, yaitu bapak-ibu.

Tradisi pewarisan masyarakat Desa Tunggul dalam pembagian harta warisan tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama. Anak merupakan pewaris utama yang berhak mendapatkan seluruh harta waris orang tuanya. Oleh karena itu apabila anak mewarisi bersama ahli waris lain, ahli waris tersebut menjadi mahjub. Ada dua kemungkinan dalam pembagian harta waris, yaitu:

1. Dilakukan sesudah lama pewaris meninggal dunia, yakni anaknya sesudah mentas (mandiri).

2. Terkadang harta warisan dibagikan semasa pewaris masih hidup.

Kewarisan merupakan salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an sendiri, kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok, ketika seseorang ingin mengkaji sistem kekeluargaan atau keturunan dalam masyarakat pastilah ia harus mempelajari sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat itu, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang pakar hukum Islam, menurut Hazairin. “Hukum menentukan bentuk masyarakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba


(14)

5

mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Seiring perkembangan pemikiran umat Islam dan juga relisasinya tentang kewarisan yang telah diatur oleh Al-Qur’an ternyata amat beragam.4

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dan merupakan wahyu Allah yang sengaja diturunkan kepada manusia yang dibawa oleh utusannya agar dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 2: 1:

              ) . ةﺮﻘﺒﻟا : 1 (

Artinya: “Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.5

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia yang menyatakan beriman kepada ajaran Allah harus merasa terikat pada seluruh aturan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk itu, setiap manusia yang menyatakan beriman kepada kitab Allah berkewajiban mentaati dan melaksanakan perintahnya serta menjauhi larangannya.

Salah satu segi hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah tentang kewarisan sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nisa’ 4:7:

                           4

Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah. Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab (Jakarta: INIS, 1998) h. 17

5


(15)









) .

ءﺎﺴﻨﻟا

: 7 (

Artinya:”Bagi orang -laki laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat-kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan”.6

Disamping surat al-Nisa’ ayat 7 terdapat juga pada ayat 11, 12, dan 176. Dan terdapat pula dalam hadits Shahih Bukhari, yakni:

ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻋ ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ ﻲﻘﺑ ﺎﻤﻓ ﺎﮭﻠھﺄﺑ ﺾﺋاﺮﻔﻟا اﻮﻘﺤﻟا ﻢﻠﺳو

ﺮﻛذ ﻞﺟر ﻰﻟوﻵ ﻮﮭﻓ .

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “serahkanlah warisan-warisan itu kepada ahlinya, adapun sisanya bagi ahli waris laki-laki yang terdekat”.7

Hadits itu menjelaskan tentang sisa harta warisan setelah adanya pembagian yang diterima oleh furud al-muqaddarah.

Tata aturan membagi warisan antara pewaris merupakan manifestasi dari pengakuan adanya hak milik perorangan, baik terhadap harta bergerak maupun harta tidak bergerak, dan suatu manifestasi pula, bahwa harta milik seseorang setelah meninggal berpindah kepada ahli waris dan harus dibagi secara adil, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun besar.

Islam memang punya ketentuan dalam pembagian harta warisan. Namun, ajaran Islam tidak kaku. Artinya situasi, kondisi dan adat masyarakat juga bisa diakomodir. Terkait pembagian harta warisan, diantara masyarakat banyak yang menggunakan cara adat dari pada cara Islam. Salah satunya

6

Ibid, h. 116

7


(16)

7

terjadi di desa Tunggul. Cara adat diyakini masyarakat lebih menjamin rasa keadilan bagi sesama ahli waris dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk meneliti pelaksanaan “TRADISI PENYELESAIAN WARIS DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN”, yang nantinya dituangkan dalam bentuk skripsi.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih fokus dan terarah, maka penulis perlu memberikan pembatasan. Penelitian ini hanya terfokus pada Adat Kebiasaan Pembagian Harta Waris Di Desa Tunggul pada sepuluh tahun terakhir, yaitu 2000 - 2010. Yang dimaksud disini adalah tradisi, adat istiadat atau budaya di desa tersebut dalam hal menyelesaikan warisan berdasarkan Hukum Adat para pewarisnya.

2. Rumusan Masalah

Pembagian harta warisan salah satunya dijelaskan oleh Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 11 dan 12. Bahwa bagian laki-laki berbeda dengan perempuan. Ketentuannya, bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Namun, dalam kenyataanya berbeda yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, yang mana bagian laki-laki dan perempuan sama. Maka, penulis


(17)

merumuskan masalah dengan merincikan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

1. Apa saja faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan menyelesaikan pembagian warisan menurut Sistem Hukum Adat?

2. Bagaimana implementasi pembagian waris di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?

3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan ?

C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

A. Tujuan Penelitian

1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan menyelesaikan pembagian harta warisan menurut Sistem Hukum Adat.

3. Untuk mendiskripsikan implementasi pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.


(18)

9

4. Untuk menjelaskan pelaksanaan pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sesuai dengan Hukum Islam.

B. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membawa manfaat dan kegunaan sebagai berikut:

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang masalah penyelesaian pembagian harta waris menurut Sistem Hukum Adat.

2. Dapat mengetahui motivasi dan tujuan masyarakat tersebut dalam hal penyelesaian pembagian harta waris masyarakat yang ada di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karya-karya penelitian lapangan.

D.Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:


(19)

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.8

Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yakni jenis penelitian antropoligi hukum, yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dan terus menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah yang merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.9

Kemudian, studi kasus yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi (sosial) yang ada didalamnya. Studi kasus merupakan suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam informasi yang disampaikan tampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya. Metode studi kasus memberikan beberapa keuntungan. Keuntungan utama kita bisa melakukan penelitian lebih mendalam.10

Dengan menggali lebih mendalam seluruh kepribadian seseorang yakni dengan memperhatikan keadaannya sekarang, pengalamanya masa

8 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 20

9 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 1986). h. 27.

10 Bambang Sunggono, Methodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2009)cet. Ke-10, h. 36


(20)

11

lampau, latar belakang dan lingkungannya. Namun demikian juga studi kasus menampilkan beberapa kelemahan kepada kita. Studi yang mendalam berarti kajiannya kurang luas. Umumnya penemuan-penemuan kita sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang berlaku umum, karena hasil penemuannya hanya diperoleh dari keadaan tertentu saja.11

2. Sumber Data

Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan skripsi ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan.12 Seperti buku-buku, kitab-kitab serta sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

11 Conselo G, Sevilla, dkk, Metode Penelitian Hukum Penerjemah Alimudin Tuwu (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993), h. 74


(21)

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a. Metode observasi

Metode observasi bertujuan mendiskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat didalam kegiatan, waktu kegiatan, dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati pada peristiwa yang bersangkutan. Metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang berkaitan dengan pihak-pihak, waktu terjadinya, dan hal yang berhubungan dengan tradisi waris pada masyarakat tersebut.

b. Metode wawancara

Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara seseorang untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden.13 Maka dari itu, metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang tradisi dari waris, yakni wawancara dengan tokoh masyarakat yang ada di desa tersebut.

c. Metode dokumenter

13 Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, tahun 1997, h. 129


(22)

13

Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari dan menggunakan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan interview.

d. Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik menganalisa data, penulis menggunakan metode diskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara/interview, observasi, dan dokumenter.

Adapun teknik penulisan skripsi mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Tinjauan Review Studi Terdahulu

Adapun hasil review studi terdahulu, penelitian ini sekilas mempunyai kesamaan dengan skripsi:

Pertama. Arif Rahman, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama yang berjudul “Tradisi Pembagian Waris Di lingkungan Masyarakat Arab (Studi kasus di kampung Arab Tegal)” tahun 2008.

Pada skripsi tersebut dijelaskan bahwa pembagian harta waris yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Tegal adalah pembagian waris dengan sistem perdamaian yang mana bagian antara laki-laki dan perempuan sama,


(23)

yakni dengan memanggil semua anggota keluarga yang dipimpin oleh anak yang tertua, kemudian dibagikan dengan menggunakan cara Agama atau dengan Dirgama.

Penyelesaian dengan Agama sudah jelas diatur dalam surat An-Nisa’ sebagaimana disebutkan bagian ahli waris masing-masing, dengan memanggil ulama setempat yang paham dengan fara’id guna mendapatkan bagian yang pasti, sedangkan cara Dirgama yakni seluruh harta dibagikan secara ketentuan fara’id kemudian harta ditumpuk kembali dan kemudian dibagikan atas dasar kesepakatan bersama. Jadi dapat disimpulkan dalam skripsi ini masyarakat Arab membagikan warisannya dengan dua cara tersebut (Agama/Dirgama), tapi apabila dengan Dirgama, harta warisannya itu masih dengan pembagian fara’id, lalu ditumpuk, kemudian dibagikan dengan kesepakatan bersama.

Kedua. Siti Azizah, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama, yang berjudul “Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Pada Masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)”, Tahun 2009. Pada Skripsi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum waris Betawi, yang mana ada kelompok masyarakat Betawi melakukan pembagian secara rata antara laki-laki dan perempuan. Namun, ada juga yang melakukan sama dengan hukum Islam yang mana bagian laki-laki lebih besar.

Ketiga. Saudari Fatehah binti Zulkafli, fakultas Syariah dan Hukum jurusan Peradilan Agama, yang berjudul “Pembagian Harta Pusaka Menurut


(24)

15

Kewarisan Islam dan Kewarisan Adat Parpatih Di Daerah Rembau Propinsi Negeri Sembilan Malaysia”, Tahun 2008. Pada skripsi tersebut menjelaskan bahwa pembagian harta pusaka pada masyarakat Rembau yang menggunakan adat Parpatih, pembagian pusakanya yakni lebih mengikuti nasab ibu, semua harta jatuh kepada anak perempuan dalam keluarga tersebut.

Perbedaan skripsi di atas dengan skripsi yang akan penulis bahas dan teliti adalah adat pembagian waris pada masyarakat Desa Tunggul yang merupakan hukum adat, implementasi pembagian serta pandangan hukum Islam. Budaya yang ada di desa tersebut membagikan harta warisannya rata-rata kebanyakan lebih menggunakan sistem hukum adat dari pada hukum Islam, pembagiannya itu tidak menggunakan sistem yang ada di atas, langsung dibagikan, tidak ditumpuk, tidak dengan ketentuan fara’id, dan juga tidak mengikuti nasab ke ibu, jadi langsung menjadi hak milik yang menerima warisan tersebut setelah warisan itu dibagikan, dan pembagian laki-laki dan perempuan itu sama dalam hal kewarisan yang dipakai oleh desa tersebut, karena mencerminkan ada rasa perdamaian, tolong menolong, rasa keadilan diantara para ahli warisnya dan tidak terlalu lama prosesnya.

F. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis ingin membagi pembahasan dalam lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang terdiri atas uraian latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat


(25)

penelitian, metode penelitian, tinjuan review (studi) terdahulu, serta sistematika penulisan.

Bab II Berisi konsep kewarisan dalam hukum Islam. Kewarisan menurut hukum Islam meliputi pengertian waris, rukun dan syarat waris, dasar-dasar hukum waris Islam, sebab-sebab menerima warisan, dan bagian masing-masing dan asas-asas kewarisan Islam.

Bab III Potret masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Bab ini terdiri atas letak dan kondisi geografis dan demografis masyarakat yang terdiri atas penduduk, pendidikan, sosial ekonomi, dan keagamaan.

Bab IV Tradisi penyelesaian waris Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Bab ini terdiri atas sebab menyelesaikan waris menurut hukum adat, implementasi pembagian waris menurut hukum adat yang terdiri atas ahli waris yang berhak menerima harta waris dan sistem pembagian harta waris, tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian waris menurut sistem hukum adat, dan analisis penulis.

Bab V Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.


(26)

17 BAB II

KONSEP KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Kewarisan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian waris

Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal al-mirats. Kata “al-mirats” dalam bahasa arab merupakan bentuk masdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-waamiiraatsan.1 Seperti yang digunakan dalam kalimat “Si fulan mewarisi harta kerabatnya dan mewarisi harta ayahnya.2

Pengertian “Mirats” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum lain ( sesuatu yang bersifat umum), bisa bersifat harta atau ilmu keluhuran.3 Allah SWT, berfirman dalam QS. An-Naml (27):16

                                 ) ﻞﻤﻨﻟا / 27 : 16 (

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata : “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan

1 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer, ( Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1992) h. 2009

2 Syeh Muhammad Ali Al-Sabuni, Hukum Waris Menurut al-Quran dan Hadis, (Bandung, Trigendakarya, 1995) h. 39


(27)

kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar satu karunia yang nyata”.4

Sedangkan menurut istilah, waris adalah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun, atau hak-hak syar’iyah.5

Ilmu mawaris atau ilmu fara’id, menurut para fuqaha yaitu ilmu untuk mengetahui orang yang berhak mendapatkan pusaka, orang yang tidak berhak mendapatkan pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagianya.6

Secara umum hukum kewarisan Islam mengatur tentang peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Hukum kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikuti yang beragama Islam.7

Dengan demikian, hukum kewarisan Islam tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.

4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya, h. 595

5 M.Ali Ash sabuny, Hukum Waris Islam, (Surabaya-Indonesia: Al-Ikhlas). h.1

6 Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, (edt.) Fuad Hasbi ash-Shiddiqy, Hukum Waris Islam, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) h. 6


(28)

19

B. Rukun dan syarat-syarat waris

a. Rukun waris

Rukun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuataan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.8 Maka dari itu, terjadinya peristiwa hubungan saling waris mewarisi itu apabila terpenuhinya rukun-rukun kewarisan, adapun rukun kewarisan ada tiga:

1. Al-Mawaris atau pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.9 Hal ini secara umum dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ (4):7.

                                  ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 7 (

Artinya: “Ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Dan dalam QS. An-Nisa’ (4):33.

                    

8 Abdul Azizi Dahlan...(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), h. 1510


(29)

                ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 33 (

Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagianya. Sesunggunya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

2. Al-waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi atau menerima harta peninggalan.10 Yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.11

3. Al-Maurus atau a-mirats, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenajah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.12

b. Syarat-syarat waris

Syarat adalah suatu sifat yang keberadaanya sangat menentukan keberadaan hukum syar’i dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum syar’i itu sendiri dan keberadaanya itu tidak senantiasa menyebabkan adanya hukum.13 Oleh karena itu, apabila tidak ada

10 R. Otje Salman, dkk, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2006) cet, ke 2. h. 4

11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2004) h. 211

12 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia Tentang Waris, wasiat,Hibah, (Surabaya: Cempaka, 1997) h. 17-18

13 Abdul Azizi Dahlan...(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), h. 1691


(30)

21

syarat-syarat waris, maka tidak ada pembagian waris. Yang menjadi syarat-syarat waris adalah sebagai berikut:

1. Meninggalkan seorang pewaris baik secara hakiki maupun secara hukmi (dianggap telah meninggal).

2. Hidupnya orang-orang yang berhak mendapat warisan harus jelas disaat meninggalnya muwarris.

3. Mengetahui status ahli waris, kedudukan ahli waris berdasarkan hubungan dengan pewaris harus diketahui secara jelas sehingga memudahkan dalam menentukan pembagian warisan.14

Sebelum harta diadakan pembagian diantara ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalkan si mayit, yang terdiri atas:

1. Biaya penyelenggaraan jenazah

Yang termasuk didalam penyelenggaraan jenajah adalah biaya untuk memandikan, mengkafani, dan biaya penguburan jenajah.

2. Kewajiban membayar zakat


(31)

Kewajiban zakat haruslah ditunaikan, kalau harta tersebut sudah memenuhi syarat-syarat untuk dikeluarkan zakatnya berdasarkan zakat.

3. Melaksanakan wasiatnya dan melunasi hutang-hutangnya.

Wasiat yaitu pemberian hak kepada seseorang atau badan untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu yang pemberian hak tersebut ditangguhkan setelah pemilik hak telah meninggal dunia.15Dan itu diberikan kepada selain ahli waris, tanpa menunggu izin seseorang. Hal ini dilakukan setelah mengurus si mayyit dan hutang-hutangnya.

C. Dasar Hukum Kewarisan

Dasar hukum kewarisan Islam menurut jumhur ulama ada 3 (tiga) yaitu, al-Quran, al-Hadits, dan ijma’:16

1. Al-Qur’an

Sumber hukum pertama yaitu Al-Quran ada beberapa ayat yang memuat tentang hukum waris, diantaranya:

Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 7 dan 11:

15 Moh. Anwar, Faraid Hukum Waris Dalam Islam Dan Masalah-Masalahnya, (Surabaya; Al-Ikhlas Indonesia, 1981) h. 13-17

16 Ashari Abta dan Djuanidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidh Deskripsi Berdasar Hukum Islam Praktis dan Terapan (Yogyakarta: Pustaka Hikmah Perdana, 2005). H. 4


(32)

23                                   ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 7 (

Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian-bagian yang telah ditetapkan”.17

Dalam ayat di atas merupakan salah satu sumber hukum darihukum waris yang menjelaskan seorang anak pasti akan memperoleh hak dari harta peninggalan yang dijadikan Allah (sebagai hak yang telah ditetapkan) artinya hak yang pasti yang harus diserahkan kepada mereka dari kedua orang tuanya baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam ayat yang lainnya pun menjelaskan tentang bagian hak waris. Allah berfirman:

                                                                                                                                    ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua

17 Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Quran Yang Berkaiatan Dengan Hukum, (Jakarta: Hasanah, 2001). h. 52


(33)

pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anakperempuan itu seorang saja, maka ia mendapatkan separo harta, dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang ditinggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapatkan sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapatkan seperenam, (pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”.(QS:An-Nisa’ayat 11). 18

Selain ayat-ayat tersebut, juga ada hadis-hadis Rasulullah SAW. Yang mengatur tentang kewarisan, antara lain sebagai berikut:

لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ :

ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ

: ﺮﻔﻟا اﻮﻘﺤﻟا ا

ﻮﮭﻓ ﻰﻘﺑ ﺎﻤﻓ ﺎﮭﻠھﺎﺑ ﺾﺋ

ﺮﻛذ ﻞﺟر ﻰﻟوﻻ )

ر ىر ﺎﺨﺒﻟا هاو (

Artinya: “Dari ibnu Abbas ra. Ia berkata; telah bersabda Rasulullah SAW.: berikanlah bagian-bagian kepada ahli-ahlinya. Dan apapun yang masih tersisa harus diberikan kepada kerabat laki-laki dari pewaris (orang yang mewariskan)”.(HR. Al-Bukhari)

Ayat dan hadis tersebut merupakan sumber hukum yang harus dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan pembagian harta waris, sebab menyelesaikan pembagian harta waris menurut ketentuan syariat Islam adalah suatu bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan.

18 Ibid,. h. 53-54


(34)

25

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:

لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ

:

ﷲا بﺎﺘﻛ ﻰﻠﻋ ﺾﺋاﺮﻔﻟا ﻞھا ﻦﯿﺑ لﺎﻤﻟا ﻮﻤﺴﻗا ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر

.

“Bagikanlah harta waris diantara ahli waris menurut kitabullah”.19

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukum melaksanakan dan mengamalkan pembagian warisan yang sesuai dengan syariat Islam adalah wajib bagi setiap muslim.20

D. Sebab-sebab menerima warisan dan penghalang menerima warisan

Sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam al-Quran faktornya ada tiga, yaitu hubungan perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala’.21

a. Hubungan perkawinan

Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dalam surat an-Nisa ayat 12 di sebutkan:











... .... )

ءﺎﺴﻨﻟا

/ 4 : 12 (

19 Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, (Beirut, tt). h. 1234

20 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h. 15-16


(35)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu...”(QS:An-Nisa’ ayat 12).22

b. Hubungan nasab

Hubungan kerabat yang hakiki seperti kedua orang tua, paman dan seterusnya, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Anfaal ayat 75 di sebutkan:

….















....

)

لﺎﻔﻨﻟا / 8

:

75

(

“ Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagainya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)...”(QS:Al-Anfaal ayat 75).23

c. Hubungan memerdekakan budak (wala’)

Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang yang menjadi waris karena ia telah memerdekakan budaknya.24

Dari beberapa faktor tersebut seseorang dapat menerima warisan. Namun, ada juga hal-hal yang menyebabkan seseorang terhalang untuk menerima warisan yaitu sebagai berikut:

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak waris dan tidak pula mewariskan harta bagi ahli warisnya,

22 Depaq RI., Al-Quran... h. 117 23 Ibid., h. 274


(36)

27

dan tidak menghajab/menghalangi hak waris untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.25

2. Pembunuhan

Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan atau harta peninggalan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

ﻘﻟا ثﺮﯾ ﻻ ﺎﺌﯿﺷ ﻞﺗﺎ

) دواد ﻮﺑا هاور (

Artinya : “Tidak ada pusaka bagi si pembunuh”.(HR. Abu Daud)26

ثﺮﯾ ﻻ ﻞﺗﺎﻘﻟا ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ ةﺮﯾﺮھ ﻲﺑا ﻦﻋ )

ﮫﺠﻣ ﻦﺑا (

SAW. Dalam sabdanya: Artinya : “Seorang pembunuh tidak dapat menerima warisan”. (HR. Ibnu Majah)27

3. Perbedaan agama

Seorang muslim tidak boleh saling mewarisi dengan non muslim. Hal ini ditegaskan Rasulullah

ﻻ وﺮﻓﺎﻜﻟا ﻢﻠﺴﻤﻟا ثﺮﯾ ﻻ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نا ﺪﯾز ﻦﺑ ﺔﻣﺎﺳا ﻦﻋ ﻜﻟا ثﺮﯾ ﻢﻠﺴﻤﻟا ﺮﻓﺎ ).

ﻢﻠﺴﻣ هاور (

25 Abu Zakariya Al-Atsary, “Penuntun Ringkas Ilmu Mawaris/Faraidh”,(Pustaka Daar El-Salam, Bekasi, 2008). h. 47

26 Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al-Athar Syarah Muntaqal Akhbar, ( Kairo: Al-Akhirah) juz 6. h. 84

27 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Qazwani, Sunnah Ibnu Majjah, juz II, (Daarul Fikri,tt). h. 86


(37)

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”. (HR. Muslim)28

Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fiqh sebagai pengalaman dari keumuman hadits di atas. Bila seorang mati meninggalkan anak-anak laki-laki yang kafir dan pamannya muslim, niscaya harta peninggalan si mayit diberikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. Contoh lainya adalah bila seorang mati meninggalkan istri kitabiyyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan kepada anak laki-lakinya.29

Namun sebagian ulama ahli fiqh berpendapat bahwa orang islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah (ahli kitab) mati meninggalkan suami muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istrinya tapi tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas yaitu:

a. Berdasarkan hadist Nabi SAW, “Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang”.

28 Al-Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz III, (Beirut, tt). h. 1233

29 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum waris Islam. Penerjemah H. Addys Al-Dizar dan H. Fathurrahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004) h. 48


(38)

29

b. Dalam melihat hadis ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka juga beragumen dengan hadits “Islam itu tinggi dan ketinggiannya tidak dapat diungguli”. Dengan hadits ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir, sedangkan orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim.30

c. Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dengan memperoleh harta rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.31

E. Orang yang berhak menerima warisan dan bagian masing-masing

Orang-orang yang berhak mendapatkan atau menerima harta waris jika dipandang dari hak dan bagianya adalah sebagai berikut:

30 Ibid., h. 48


(39)

1) Dzawil furud, yakni ahli waris yang berhak mendapatkan bagian tertentu dari harta peninggalan.

a) Ahli waris yang mendapat ½

1. Seorang suami mendapatkan bagian ½ jika almarhumah istrinya tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki atau perempuan seorang atau lebih, baik dari suaminya terdahulu maupun dari dia sendiri sebagai suami terakhir. Firman Allah SWT:

                ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 12 (

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak ……”.(QS. An-Nisa’ :12).32

2. Anak perempuan tunggal

Allah berfirman: ...         ... . ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

“….. Jika anak perempuan hanya seorang saja, maka ia mendapatkan seperdua (½) harta warisan …..”.(QS. An-Nisa’ :11).33

3. Cucu perempuan, bila ia sendirian dan si mayit tidak meninggalkan anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki, diqiyaskan dengan kepada anak perempuan.

32 Depaq RI., Al-Quran... h. 117 33 Ibid., h. 116


(40)

31

4. Saudara perempuan tunggal yang sekandung dan saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada dengan ketentuan si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu, baik laki-laki/perempuan atau tidak ada ayah, kakek, atau saudara laki-laki kandung. Allah berfirman:

 …….         ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 176 (

“…. Dan baginya (orang yang meninggal) seorang saudara perempuan maka dia mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh saudaranya yang laki-laki ….”.(QS. An-Nisa’:176).34

b) Ahli waris yang mendapat ¼

1. Suami memperoleh bagian ¼ jika almarhum istrinya meninggalkan anak/cucu laki-laki maupun perempuan. Allah berfirman: ….                            ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 12 (

“…. Jika istri-istrimu ada mempunyai anak, maka untuk kamu seperempat dari harta peninggalan mereka sesudah dibayar wasiat yang diwasiatkan ataupun sesudah dibayar hutangnya ….”.(QS. An-Nisa’:12).35

34 Ibid., h. 153


(41)

2. Istri (seorang atau lebih) ia memperoleh bagian ¼, jika almarhum suaminya tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki seorang atau lebih maupun perempuan berapapun rendahnya ke bawah. Allah berfirman:

….                ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 12 (

“…. Dan untuk istri-istrimu seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak meninggalkan anak ….”.(QS. An-Nisa’ :12).36

c) Anak waris yang mendapatkan 1/8

Bagian seperdelapan (1/8) ini, hanya bagi seorang saja, atau beberapa orang istri apabila suami ( yang meninggal dunia) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Allah berfirman:

….           ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 12 (

“…. Maka jika kamu ada mempunyai anak, maka untuk istri-istrimu itu seperdelapan (1/8) dari harta ….”.(QS. An-Nisa’ :12).37

d) Ahli waris yang mendapatkan 2/3

1. Dua anak perempuan atau lebih memperoleh 2/3 dibagi sama rata apabila tidak ada anak laki-laki. Allah berfirman:

….                ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

36 Ibid., 37 Ibid.,


(42)

33

“…. Maka jika anak perempuan lebih dari dua orang, untuk mereka (2/3) dari waktu yang ditinggalkan oleh bapak mereka ….”.(QS. An-Nisa’:11).38

2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki mereka mendapatkan dua pertiga (2/3) apabila anak/cucu baiklaki-laki atau perempuan tidak ada (disamakan dengan anak perempuan).39

3. Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung dengan syarat si mati tidak meninggalkan anak atau cucu baiklaki-laki atau perempuan atau tidak ada ayah, kakek atau saudara laki-laki kandung. Allah berfirman:

 ….













...

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/ 4 : 176 (

“…. Jika ada dua orang saudara perempuan dari yang meninggal, maka untuk keduanya (2/3) bagian dari harta yang ditinggalkanya ….”.(QS. An-Nisa’: 176).40

4. Dua saudara perempuan atau lebih yang sebapak diqiyaskan dengan surat An-Nisa’ ayat 176.

e) Ahli waris yang mendapatkan 1/3

1. Ibu mendapat 1/3, bila si mayit tidak meninggalkan anak/cucu dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara

38 Ibid.,

39 Moh. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). h. 39 40 Depaq RI., Al-Quran... h. 117


(43)

baik saudara sekandung, seayah, atau seibu laki-laki atau perempuan. Allah berfirman:

….               ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

“…. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapatkan sepertiga ….”.(QS. An-Nisa’:11)41

2. Dua saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu. Allah berfirman:  ….               ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 12 (

“…. Jika saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka berserikat pada yang sepertiga (1/3) itu ….”.(QS. An-Nisa’: 12)42

f) Ahli waris yang mendapatkan 1/6

1. Ibu mendapat 1/6 apabila bersama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua saudara atau lebih, baik sekandung atau sebapak atau seibu saja. Firman Allah:

  ….                .... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

“…. Dan untuk kedua orang ibu bapaknya masing-masing mendapatkan (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan, jika ia mempunyai anak ….”.(QS. An-Nisa’:11)43

Selanjutnya Allah berfirman:

41 Ibid.,

42 Ibid., 43 Ibid.,


(44)

35   ….           ... ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 11 (

“…. Jika si mayit mempunyai saudara (laki-laki atau perempuan yang sekandung yang sebapak atau seibu), maka untuk ibu seperenam (1/6) bagian ….”.(QS. An-Nisa’:11)

2. Bapak mendapatkan (1/6) apabila mayit mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki. Sebagai dalilnya yaitu surat an-Nisa’ ayat 11.

Bapak selain mendapatkan bagian (1/6) juga mendapat asabah, jika waris bersama anak perempuan dengan syarat tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki. Seperti disebutkan dalam hadits di bawah ini:

ﻮﻘﺤﻟا ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نا ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ ﺑ ﺎﻤﻓ ﺎﮭﻠھﺎﺑ ﺾﺋاﺮﻔﻟا ﺮﻛذ ﻞﺟر ﻰﻟو ﻼﻓ ﻰﻘ

). ىرﺎﺨﺑ هاور (

“Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.(HR. Bukhari)44

3. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) mendapat 1/6 apabila tidak meninggalkan ibu, jika lebih dari satu orang maka 1/6 dibagi sama rata. Dasarnya:

ﺑ ﻦﻋ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نا ةﺪﯾﺮ اذا سﺪﺴﻟا ةﺪﺠﻠﻟ ﻞﻌﺟ

ﺎﮭﻧ ود ﻦﻜﺗ ﻢﻟ

ما ). دواد اﻮﺑا هاور (


(45)

“Dari Buraidah ra. Bahwa Rasulullah SAW. Menetapkan bagian untuk nenek seperenam, jika mayit tidak meninggalkan ibu”.(HR. Abu Dawud)45

4. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki mendapatkan bagian 1/6 bila bersama dengan seorang anak perempuan, tetapi apabila anak perempuan lebih dari seorang maka cucu perempuan tidak mendapatkan apa-apa.

Bagian cucu perempuan 1/6 adalah sebagai penyempurna bagian anak perempuan 2/3, sebagaimana kata Ibnu Mas’ud dalam hadits Rasulullah SAW:

ﺔﻠﻤﻜﺗ سﺪﺴﻟا ﻦﺑﻻا ﺔﻨﺑاو ﻒﺼﻨﻟا ﺔﻨﺑ ﻻ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻰﻀﻗ ﺖﺧﻼﻠﻓ ﻰﻘﺑ ﺎﻣو ﻦﯿﺜﻠﺜﻟا ).

ىرﺎﺨﺑ هاور (

“Nabi Muhammad SAW. Memutuskan untuk anak perempuan separoh, cucu perempuan pancar laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudari”.(HR. Bukhari)46

5. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu, sedang si mayit tidak meninggalkan ahli waris muzakkar (ayah atau kakek), maka ia mendapatkan bagian 1/6. Allah berfirman: ….                         

45 Abi Daud Sulaiman bin as Sajistani, Sunan Abi Daud II, h. 12


(46)

37



...

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/ 4 : 12 (

“…. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta ….”.(QS.An-Nisa’:12)47

6. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih) mendapat 1/6, bila bersama dengan saudari kandung. Ketentuan bagian ini sebagai taklimatus tsulutsain bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3, tetapi apabila saudara kandungnya ada dua atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian (berdasarkan ijma’ ulama)48

7. Kakek

- Kakek mendapatkan 1/6 apabila orang yang meninggal ada mempunyai far al waris mudzakar dan far al waris muannas (anak/cucu laki-laki atau perempuan) betapapun rendahnya serta tidak ada ayah.

- Kakek mendapat 1/6 ditambah sisa, jika mayit hanya meninggalkan far al muanas serta tidak ada ayah, dan

47 Depaq RI., Al-Quran... h. 117

48 Akhmad Mukarram, fiqh Mawaris II, (Surabaya: Biro Penerbitan Dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syariah, 1992). h. 24


(47)

- Apabila kakek tidak bersama far al muzdakar dan far al muanas serta ayah, maka ia menjadi asabah binafsih, dan bila ia bersana saudara kandung atau sebapak, baik laki-laki atau perempuan, maka ulama berbeda pendapat dan dibahas dalam bab muqasamah.49

g) Asabah artinya menghabisi harta. Menurut pengertian fara’id ialah orang yang boleh mengambil harta pusaka seluruhnya bila ia hanya sendirian saja dan yang boleh mengambil kelebihan atau sisa harta warisan, bila orang-orang yang mempunyai bagian telah mengambil bagianya.50Asabah dapat dibagi menjadi:

a) Asabah bin nafsi artinya asabahnya itu bukan karena ditarik oleh ahli waris lain, tetapi karena mereka sendiri. Mereka berjumlah 12 orang yaitu:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

3. Bapak

4. Kakak

49 Ibid., h. 18

50 Moh. Anwar, Faraidh Hukum Waris dalam Islam Dan Masalah-masalahnya, (Surabaya: Al-Ikhlas Indonesia, 1981). h. 74


(48)

39

5. Saudara laki-laki kandung

6. Saudara laki-laki sebapak

7. Anak saudara laki-laki kandung

8. Anak saudara laki-laki sebapak

9. Paman yang sekandung dengan bapak

10. Paman yang sebapak dengan bapak

11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak

12. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak51

b)Asabah bil ghair yaitu asabah ahli waris yang mendapat asabah karena ditarik oleh ahli waris asabah yang lain, misalnya anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik cucu laki-laki, saudara perempuan sekandung ditarik saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan seayah ditarik saudara laki-laki seayah dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuat.

c) Asabah ma’al ghair yaitu ahli waris yang mendapat asabah karena bersama-sama dengan ahli waris yang lain, misalnya:


(49)

saudara perempuan sebapak sebanding bersama seorang atau lebih anakperempuan atau cucu perempuan.52

h) Dzawil arham adalah orang-orang yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam al-Quran dan juga tidak termasuk dalam kelompok asabah (laki-laki yang dekat kepada si mayit dari pihak laki-laki yang tidak di selingi oleh pihak perempuan). Yang termasuk ahli waris dzawil arham adalah:

a. Anak-anak lelaki dari anakperempuan (banul banat)

b. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki (banaatul ikhwah)

c. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan (banul akhawat)

d. Anak-anak perempuan dari paman lelaki (banatul a’mam) e. Paman seibu yaitu saudara dari ayah yang seibu saja

(al-amm akhul abil um)

f. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seibu(banul ikhwah lil umm)

g. Bibi/saudara-saudara perempuan seayah (al-ammat)

h. Bibi saudara-saudara perempuan seibu (al-khalat)


(50)

41

i. Paman-paman saudara-saudara lelaki ibu (al-akhwal)53

Mereka dalam Al-Quran tidak memperoleh kesempatan disebut secara tegas dan jelas sehingga para sahabat Rasulullah SAW, sepakat meletakannya sebagai dzawil arham.

F. Asas-asas kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam merupakan sub sistem dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Adapun asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan as-sunnah yang terjelma dalam Kompilasi Hukum Islam. Asas-asas itu adalah:

a. Asas Ijbari yaitu peralihan harta seseorang yang meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya ( secara ijbari) menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Unsur ijbari ini dapat dilihat dari surat An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki maupun perempuan ada hak bagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Dari makna ayat ini, pasal 171 huruf a dan b kompilasi menetapkan hak ijbari dalam kewarisan islam sesuai


(51)

dengan prinsip bahwa peralihan harta warisan bersifat memaksa dalam arti sejak warisan terbuka untuk dibagikan kepada ahli waris yang berhak dan pembagian itu berpatokan pada ketentuan yang telah pasti.

b. Asas Bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak dan kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa ayat 7,11,12, dan 176.

c. Asas Individual adalah setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat oleh ahli waris lainya. Ketentuan asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan al-Quran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bagian masing-masing.

d. Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dasar hukum asas ini dapat dijumpai dalam surat an-Nisa’ ayat 7,11, dan 176.

e. Kewarisan semata akibat kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih


(52)

43

hidup.54 Dengan demikian, hukum Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu warisan akibat kematian.

Selain memiliki sistem kewarisan, Islam juga memiliki sistem hibah dan sistem wasiat.

Di dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok persoalanya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan.

Allah telah mensyariatkan hibah, karena hibah itu menjinakkan hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia. Hal ini disebutkan dalam hadis Nabi:

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳﺮﻟا لﻮﻘﯾ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ةﺮﯾﺮھ ﻰﺑا ﻦﻋ :

اﻮﺑﺎﺤﺗ اودﺎﮭﺗ .

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasullah saw, bersabda: “Saling memberi hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai”.55

Pelaksanaan hibah dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat hibah:

a. Rukun Hibah

Yang menjadi rukun hibah adalah:56

54 Suhrawardi K. Lubis, Komes Simanjuntak, Hukum Waris Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,1995) h. 36-38

55 Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, juz VII, Daarul Fikri, tt. h. 20

56 Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, (Surabaya: Cempaka, 1997). h. 129


(53)

1) Ijab dan qabul

2) Orang yang menghibahkan

3) Orang yang menerima hibah

4) pemberianya

b. syarat-syarat hibah

Untuk sahnya hibah, harus memenuhi beberapa syarat baik dari penghibah, orang yang menerima hibah, maupun pemberianya (barang yang dihibahkan). Syarat-syarat tersebut antara lain:

1) Penghibah memeliki apa yang dihibahkan

2) Penghibah harus dewasa dan berakalsehar

3) Penghibah itu tidak dipaksa atau dengan kehendak sendiri

4) Benar-benar ada waktu diberi hibah

5) Harta yang bernilai

6) Dapat memiliki zatnya

7) Penghibah dilaksanakan semasa hidup, demikian juga barang yang dihibahkan.57


(54)

45

Dalam pemberian hibah kepada anak-anaknya hendaknya orang tua berlaku adil dan merata. Sebgaimana petunjuk Rasulullah saw: “Jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali”.58

Sedangkan bentuk pemberian yang berlaku setelah pewaris meninggal disebut dengan wasiat.

Kata wasiat (wasiyah) diambil dari kata wasaitu Asy-Syaia, wusiihi, artinya ausathuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muusi (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu ia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.59

Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang lain yang berwasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal.

Wasiat itu disyariatkan melalui kitab, sunnah, ijma’. Di dalam Al-quran Allah berfirman:



























58 Umar Said, Hukum Islam Di Indonesia, Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, (Surabaya: Cempaka, 1997). h. 157


(55)







) ةﺮﻘﺒﻟا / 2 : 180 (

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-Baqarah. 180).60 Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat itu tidak fardhu ‘ain, baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Alasanya, pertama, andai kata wasiat diwajibkan niscaya Nabi saw, menjelaskanya. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia. Seperti halnya hibah, wasiat juga dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya:

a. Rukun wasiat 1) Ijab dan qabul

2) Pewasiat

3) Penerima wasiat

4) Benda yang diwasiatkan

60 Depaq RI., Al-Quran... h. 230


(56)

47

Wasiat itu tidak menjadi hak orang yang diberinya, kecuali setelah pemberianya meninggal dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana firman Allah SWT:

 ….













... )

ءﺎﺴﻨﻟا

/ 4 : 12 (

Artinya: “… Sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat, atau sesudah dibayar hutangnya …”.(QS. An-Nisa’ :12).61

b. Syarat-syarat wasiat

Yang menjadi syarat wasiat adalah;

1. Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu mempunyai kecakapan

2. Tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun

3. Usia dewasa

4. Merdeka

5. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat

6. Hanya dapat memiliki setelah pewasiat meninggal

7. Disyaratkan agar orang-orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang memberinya

8. Harta yang diwasiatkan harus bernilai dan tahan lama.62

61 Ibid., h. 44


(57)

Dengan adanya syarat-syarat di atas, maka wasiat dipandang batal atau tidak sah jika menghilangkan salah satu syarat tersebut. Sedangkan wasiat yang diperlukan adalah wasiat sepertiga harta dan tidak diperbolehkan wasiat yang melebihi sepertiga.

62 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14, (bandung: PT. Maarif, 1987). h. 242


(58)

49 BAB III

POTRET MASYARAKAT DESA TUNGGUL KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

A. Letak dan Kondisi Geografis

Desa Tunggul adalah merupakan salah satu dari 17 desa di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Desa ini terletak tepat di pesisir laut yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Harta kekayaan masyarakat desa ini kebanyakan berupa tanah dan binatang ternak. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat desa ini juga banyak yang gemar manabung di Bank.

Pada zaman Wali Songo, daerah ini dikenal dengan daerah basis penyebaran agama Islam. Hal itu bisa dilihat dari adanya makam Sunan Drajat di Desa Drajat atau hanya 3 kilo meter dari Desa Tunggul. Selain itu, tidak jauh dari Desa Tunggul ini, tepatnya di Desa Kranji, terdapat pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah yang merupakan pesantren terbesar dan tertua di Kabupaten Lamongan. Pesantren berdiri pada tahun 1898.

Di Kecamatan Paciran ini juga terdapat pondok pesantren Sunan Drajat yang juga merupakan pesantren besar. Santri dua pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah Lamongan saja, tapi juga berasal dari Jateng dan Jawa Barat, serta wilayah Indonesia lainnya.


(59)

Dengan demikian, penduduk Desa Tunggul sebenarnya adalah masyarakat santri. Sebagian besar penduduknya pernah mengenyam pendidikan pesantren. Bahkan, di desa ini banyak ulama dan tokoh agama yang lahir dari pesantren.

Desa Tunggul inilah tempat penelitian penulis. Desa ini mempunyai luas 325 Ha, termasuk di dalamnya wilayah yang digunakan untuk:

1. Pemukiman penduduk :37,28 Ha 2. Perkantoran :0,50 Ha

3. Sekolah/Madrasah : 2,80 Ha

4. Pelabuhan :4,50 Ha 5. Tanah kas desa : 4,53 Ha

6. Tanah makam :1,82 Ha

7. Tanah GG : 4,00 Ha

8. Masjid dan mushalla : 1,20 Ha 9. Sawah dan tegalan : 268,89 Ha

Batas Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan berbatasan disebelah utara Laut Jawa, sebelah selatan Desa Sendang Agung, sebelah barat Desa Paciran, sebelah timur Desa Kranji. Desa ini terdiri atas tiga dusun yaitu: Desa Sekrikil, Desa Genting, Desa Ngebrak. Dan Desa


(1)

Jawab: biasanya masyarakat desa Tunggul kebanyakan membaginya ketika masih hidup, karena keinginan orang tua sendiri dalam hidupnya merasakan hidup yang tenang, bahagia, tidak ada pertengkaran di antara ahli waris.

8. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul membagikan harta kekayaan ketika masih hidup?

Jawab: supaya tidak menimbulkan pertengkaran di dalam keluarga, maka dari itu orang tua membaginya ketika masih hidup dan waktu membaginya ketika anaknya sudah dewasa atau matang.

9. Apakah ada pengecualian bagian ahli waris yang telah merawat orang tua semasa hidup?

Jawab: biasanya anak yang telah merawat orang tuanya sampai wafat, bagian harta yang di pegang orang tuanya semasa hidup untuk pegangan orangtua sendiri diwariskan kepada anak yang telah merawatnya.

10. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama dengan Muhammadiyah dalam menyelesaikan pembagian waris?

Jawab: dalam hal ini baik dari golongan Nahdhatul Ulama dengan Muhammadiyah sama, tidak ada bedanya. Kedua golongan ini tetap menggunakan hukum waris adat dalam menyelesaikan pembagian warisan.

Tunggul, 25 Juli 2010 TTD


(2)

WAWANCARA Nama :Abdur Rahman, S.Pd

Umur : 28 thn

1. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul dalam menyelesaikan waris cendrung menggunakan hukum waris adat?

Jawab: Karena desa Tunggul masih menggunakan tradisional dan mayoritas masyarakatnya pekerjaannya adalah petani. Maka mereka menggunakan tradisi adat dalam kewarisan, sehingga nantinnya ahli waris akan mendapatkan bagian harta dari orang tuanya, mereka nantinya mendapatkan bagian sama rata walaupun dahulu mengenal istilah “sepikul segendong”, tapi dirasakan tidak adil sehingga tidak ada prinsip keadilan, karena dilapangan laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja mencari nafkah maka dari inilah menjadi suatu ukuran masyarakat desa Tunggul menggunakan asas sama rata.

2. Sepengetahuan bapak dari mana hukum waris adat berasal?

Jawab: Asal-usul adat ini sudah ada pada jaman dahulu, artinya masyarakat desa Tunggul sudah melaksanakan hukum adat ini yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu.

3. Kemudian, siapa saja yang berhak mendapatkan harta waris ?

Jawab: Otomatis anak-anaknya tanpa kecuali, walaupun nantinya tidak persis sama tapi nantinya sama, seperti contohnya orang tua yang mempunyai ladang/tanah di suatu tempat tidak mungkin semua mendapatkan bagian pada satu tempat itu, tapi nantinya mendapatkan tempat yang lain, yang ukuranya dan harganya sama dengan anak yang lain.

4. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian?

Jawab: Seperti saya katakana dari awal pada saat ini laki-laki dan perempuan sama-sama berkerja mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.

5. Bagaiman dengan anak angkat, apakah mendapatkan bagian dari orang tua angkat? Jawab: Kalau anak angkat tetap mendapatkan bagian tapi kebanyakan tidak sama mungkin anak angkat lebih sedikit dari pada anak kandung di sebabkan karena sama-sama membantu orang tua angkatnya, bisa juga dikatakan sebagai hadiah karena sudah membantu orang tua angkatnya.


(3)

dibagikan sebelum orang tua meninngal dunia, ini dikarenakan orang tua khawatir kalau ahli waris tidak bias berlaku adil.

7. Apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul membagikan harta kekayaan ketika masih hidup?

Jawab: untuk menghindari penguasaan sepihak, bias saja anak yang paling tua mintak harta lebih banyak, begitu juga sebaliknya, walaupun nantinya orang tua biasanya ikut pada anak yang paling tua dan mendapatkan bagian yang paling banyak, di sebabkan karena dialah yang mengurusi/merawat orang tuannya semasa hidup.

8. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama maupun muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian waris?

Jawab: Organisasi Islam yang ada di desa Tunggul baik dari golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian warisan kedua golongna ini sama yakni menggunakan hokum waris adat.

Tunggul, 27 Juli 2010 TTD


(4)

WAWANCARA Nama :Drs. M. Yasin

Umur :46 thn

1. Bagaiman pelaksanaan pembagian harta waris di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?

Jawab: Kebiasaan masyarakat desa Tunggul dalam pelaksanaan pembagian harta waris kebanyakan dilakukan dengan cara musyawarah, supaya mendapatkan hasil kesepakatan diantara para ahli waris.

2. Dalam masalah warisan, masyarakat desa tunggul cenderung memilih hukum adat atau hukum Islam dalam menyelesaikan warisan ?

Jawab: Masyarakat desa Tunggul dalam membagikan harta kekayaan orang tua yakni warisan kebanyakan 99 % penduduk desa Tunggul menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan warisan, dan 1 % yang melaksanakan hukum Islam, biasanya dilakukan oleh keluarga kiayi.

3. Apakah ada perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama dan Muhamadiyah dalam menyelesaikan pembagian warisan?

Jawab: Dalam organisasi Islam yang ada di desa Tunggul yakni baik dari Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah yang mana kedua golongan ini sama menyelesaikannya dalam hal kewarisan yakni menggunakan dengan hukum adat. 4. Biasannya kapan harta itu dibagikan kepada ahli warisnya?

Jawab: Kebanyakan masyarakat desa Tunggul khususnya orang tua dalam membagikan harta kekayaan untuk ahli warisnya ketika orang tua masih hidup dan jarang sekali harta tersebut dibagikan setelah pewaris meninggal dunia.

5. Siapa saja ahli waris yang berhak menerima harta warisan yang ada di desa Tunggul? Jawab: Yang berhak menerima harta waris di desa Tunggul adalah anak yang paling utama.

6. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara bagian seorang laki-laki maupun seoarang perempuan?

Jawab: Dalam hal ini, tidak ada perbedaan dalam bagian seorang laki-laki maupun seorang perempuan, mereka mendapatkan bagian yang sama.

7. Lalu, alasan apa yang menyebabkan masyarakat desa Tunggul masih tetap menggunakan hukum waris adat?


(5)

adat tersebut lebih mengayomi dan juga mencerminkan rasa persaudaraan, keakraban, dan keadilan serta tolong-menolong sesama ahli waris.

Tunggul. 28 September 2010 TTD


(6)

WAWANCARA Nama : Bpk Hasan Arif

Umur : 33 thn

1. Seperti kita ketahui, masyarakat Islam desa Tunggul memilih hukum adat sebagai penyelesaian warisan, apakah tidak bertentangan dengan hukum Islam?

Jawab: Hukum Islam merupakan hukum yang paling kaya raya dan mempunyai keistimewaan yang begitu banyak, hukum yang bisa mengayomi penganutnya/umatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi kebiasaan masyarakat desa Tunggul memakai hukum adat tidaklah bertentangan dengan hukum Islam seperti dalam kaedah fiqh: ﺔﻤﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا “ Adat kebiasaan ditetapkan sebagai hukum”.

2. Apakah ada dalil yang bisa menguatkan bahwa hukum Islam itu mudah, yang paling kaya raya, dan lain-lain?

Jawab: Sebenarnya banyak ayat al-Qur’an maupun hadits shahih yang menjelaskan tentang hukum Islam itu mudah, paling kaya raya, mengayomi umatnya, dan lain-lain. Seperti dalam al-Qur’an surat Alam Nasyrah ayat 5-6 dan masih banyak ayat lainya yang menjelaskan tentang itu.

3. Apakah ada persamaan atau perbedaan antara golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah dalam menyelesaikan kewarisan?

Jawab: Tidak ada perbedaan diantara golongan Nahdhatul Ulama maupun Muhamadiyah, mereka memakai hukum adat dalam menyelesaikan kewarisan.

Tunggul, 23 Agustus 2010 TTD