82
bahkan merupakan langkah paling strategis untuk meraih hamoraon dan hasangapon di kalangan generasi muda Simaninggir. Pada tahun 1990-an kaum muda yang mendapat
pendidikan SMP dan SMA di Simaninggir sudah merasa malu tinggal di kampung halamannya jika tetap menjadi petani apalagi hanya membantu orang tua setiap harinya ke
sawah.
67
Bagi penduduk Desa Simaninggir, interaksi dengan dunia luar sudah berlangsung sejak masa kemerdekaan, hal ini lebih fokus dalam hal perekonomian di antara daerah-daerah
di sekitar Simaninggir yakni daerah Sipagabu dan Pasar Pusuk 1 sebagai tempat berlangsungnya pasar. Pasar Pusuk 1 memiliki akses jalan raya yang dapat dilalui untuk
transportasi yang lebih memadai untuk melakukan kontak dengan Kecamatan Parlilitan dan Pendidikan yang mereka tempuh menjadi salah satu faktor penentu untuk
meninggalkan kampung halamannya. Mereka meninggalkan Desa Simaninggir dengan satu tekad dapat berhasil ‘menjadi anak’ di daerah perantauan. Mereka mencari sumber
pendapatan yang lebih baik. Pendidikan menyebabkan wibawa sosial meningkat dan sekaligus ‘membuka jalan’ meninggalkan kampung halaman mereka yaitu Desa Simaninggir.
Singkatnya, pendidikan bukan menahan orang tinggal di desanya, tetapi mempercepat mereka meninggalkan kampung halamannya.
Migrasi seperti ini yang berkaitan dengan dunia pendidikan telah dimulai sejak tahun 1950-an dan mencapai puncak pada tahun 1970-
an.
4.2.3 Faktor Ekonomi
67
Ibid.,Martua Mahulae dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 25 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
83
Dolok Sanggul serta untuk keluar dari Kecamatan Parlilitan, harus melewati Pusuk 1 sebagai desa yang menghubungkan dengan wilayah lainnya. Dengan demikian masyarakat Pasar
Pusuk 1 telah melakukan perniagaan dengan daerah yang lebih maju seperti Dolok Sanggul dan Balige.
Dari Dolok Sanggul, Balige dan Sidikalang lah masyarakat atau para tengkulak mengetahui barang komoditi apa saja yang ada di daerah Simaninggir yang laris
diperdagangkan oleh mereka ke wilayah lain bahkan sampai ke Pematang Siantar dan Medan. Berawal dari para tengkulak, para penduduk Simaninggir tahu bahwa hasil kerajinan
mereka seperti hirang keranjang yang terbuat dari rotan dan juga bambu, anduri atau tempayan yang juga terbuat dari bambu, sarung golok, tali polang yang terbuat dari riman
yang digunakan sebagai tali untuk memanjat pohon aren, dan juga tumba atau alat ukur yang satu tumba sama dengan satu liter terbuat dari satu ruas bambu yang ukurannya sekarang
adalah satu liter yang sangat laku di pasaran Balige dan Siantar.
68
Penduduk Simaninggir menjual hasil kerajinan ini kepada para tengkulak yang menunggu di Pasar Pusuk 1 untuk kembali mereka pasarkan ke Balige, Dolok Sanggul,
Siantar dan lainnya. Mereka membawa hasil kerajinan ini dengan memasukkan semuanya ke dalam hirang yang cukup besar dan menjunjung di atas kepalanya mulai dari rumah sampai
ke pasar. Untuk menjual hasil ternak mereka, para tukang potong hewan rela datang ke kampung mereka dan memotong langsung ternaknya seperti daging babi dan kerbau
kemudian baru membawanya dengan hirang turun ke pasar pusuk. Hal ini mereka lakukan untuk membiayai kehidupan anak dan sekolah mereka. Kontak dengan para tengkulak,
68
Wawancara dengan Magdalena Simanullang dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
84
membuat mereka mengetahui banyak informasi tentang apa saja yang laku diperdagangkan di pasaran.
Selain kerajinan tangan mereka, juga terdapat hasil pertanian seperti kopi dan hasil hutan seperti haminjon atau kemenyan yang mereka dapat perdagangkan kepada para
tengkulak. Kemenyan merupakan komoditi hutan yang paling mahal yang mereka perdagangkan. Untuk bisa mendapatkan haminjon atau kemenyan dari hutan, penduduk yang
dominannya laki-laki dewasalah yang pergi ke hutan selama satu sampai dua minggu untuk mengambil getah dari kemenyan dan menjaganya agar tidak dicuri orang lain. Mereka
mendirikan gubuk kecil di hutan, dan membawa perbekalan seperti beras dan ikan asin untuk persediaan hidup mereka selama di hutan. Setelah hasil getah haminjonnya sudah habis
mereka ambil, barulah pulang ke rumah pada hari jumat, karena hari sabtu akan mereka jual ke pasar. Lama-kelamaan penduduk Simaninggir merasa terlalu bergantung pada kehidupan
Pasar Pusuk 1, karena kalau tidak menjual hasil bumi dan kerajinan tangannya, mereka tidak akan bisa memiliki uang untuk membeli kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak-
anaknya.
69
Kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat Pasar Pusuk 1 dalam berinteraksi dengan para pedagang dan tengkulak dari daerah lain saat terjadi pasar pada Hari Sabtu, juga
merupakan faktor pendorong bagi penduduk Simaninggir untuk pindah dan membeli rumah di Desa Pusuk 1, agar anak mereka juga dapat tinggal di rumahnya yang ada di Pasar Pusuk 1
untuk lebih mudah ke sekolah SMP yang saat itu adalah SMP SATAHI PUSUK. Memang di satu pihak, hal ini menguras pendapatan penduduk, tetapi di pihak lain pendidikan dipandang
sebagai salah satu cara yang strategis untuk memerangi kemiskinan mereka.
69
Ibid.,Magdalena Simanullang dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
85
Dalam memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya menjadi lebih mudah karena kondisi ekonomi mereka semakin membaik dari hasil perdagangan hasil bumi dan kerajinan
mereka. Semakin terdorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersier yang dapat menggambarkan keberhasilan perekonomian mereka dalam membentuk stratifikasi sosial.
Hal ini dilakukan oleh setiap keluarga, mengingat daerah Simaninggir sudah tidak dapat lagi menahan mereka untuk tetap tinggal, karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Seperti pentingnya pendidikan, akses jalan ke luar daerah, sarana transportasi untuk bisa bepergian ke luar daerah, alat penerangan rumah seperti listrik, dan pola konsumsi.
Seperti mereka harus membeli kebutuhan dapur rumah tangga yang tidak dapat mereka penuhi dari hasil ladang, seperti garam, ikan asin dan jenis lain dari laut, sayuran,
beberapa pakaian, dan juga rokok bagi para pria dewasa yang semuanya itu tidak mereka dapatkan jika tetap harus tinggal menetap di Simaninggir. Mereka hanya bisa
mendapatkannya di Pasar Pusuk 1, dimana para pedagang banyak tinggal menetap disana. Sehingga semakin membuat mereka bersemangat mengumpulkan uang agar bisa membeli
tanah di Desa Pusuk 1 dan sekitarnya yang dapat mempermudah mereka untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup tanpa harus memikirkan perjalanan panjang menuruni bukit
yang terjal dan curam selama berjam-jam. Kebutuhan tersier seperti fasilitas penerangan listrik sampai pada tahun 2000-an tidak terdapat di Desa Simaninggir, Mereka dapat
menikmati listrik saat mereka membeli rumah di Desa Pusuk 1.
70
Dorongan untuk meninggalkan kampung halaman karena alasan ekonomi tentu akan lebih kuat saat mereka menemukan lahan-lahan baru. Walaupun harus meninggalkan
kampung halamannya, bahkan harus membiarkan tanahnya terlantar, semangat untuk
70
Wawancara dengan Nurma Simbolon dan Restina Nainggolan, Pusuk I, 23 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
86
mengejar pangkat dan kekayaan di daerah lain setelah memperoleh pendidikan dilatarbelakangi oleh isolasi geografis Simaninggir yang secara fisik tidak memberikan
harapan. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa faktor pendidikan seperti dijelaskan di atas, tidak dapat dipisahkan dari faktor ekonomi untuk menerangkan mengapa perpindahan itu
terjadi. Bagi sebagian besar penduduk Simaninggir yang pindah dari kampung halamannya,
memilih alasan ekonomi karena keadaan Simaninggir yang tidak menggembirakan. Demikian juga dengan alasan mencari pekerjaan di luar sektor pertanian, menggambarkan
perubahan lapangan kerja tetapi tetap merupakan bagian dari faktor ekonomi. Sehingga dari sudut pandang ekonomi, tampaknya intensitas perpindahan selalu berkaitan dan ditentukan
oleh sarana kelangsungan hidup subsisten yang ada dan juga tingkat kebutuhan itu sendiri yang selalu dinamis dan berkembang.
Kondisi ini jugalah yang turut mendorong penduduk Simaninggir untuk meninggalkan kampung halamannya menuju daerah yang memiliki daya tarik seperti Kota
Medan, Kisaran, Asahan, Pekanbaru dan Pulau Jawa dengan tujuan agar hidup mereka bisa lebih maju dan sejahtera. Perpindahan tersebut sebagai proses modernisasi tetap menjadi
kekuatan yang sejalan dengan hak asasi manusia, yaitu sebagai suatu hak dari setiap individu untuk menjadi maju, sejahtera dan berkeadilan.
71
71
Sugiono Sutomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
87
4.2.4. Sarana Kesehatan