Tinjauan Hukum Atas hak Prerogatif Presiden Dalam Pemberian Grasi Terhadap terpidana Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada Program Strata-1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh :

RAMADHANI FATHIMA ZAHRA KUNCORO 3.16.09.012

Pembimbing : Arinita Sandria, S.H.,Mhum

NIP 4127.33.00.006

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

(4)

iv Surat Pernyataan

Kata Pengantar …………...……….………. i

Daftar Isi ………... iv Abstrak

Abstract BAB I

……… ……… PENDAHULUAN

vi vii

A. Latar Belakang ... B. Identifikasi Masalah ………... C. Maksud dan Tujuan... D. Kegunaan Penelitian ………... E. Kerangka Pemikiran ... F. Metode Penelitian ..………

1 8 8 8 9 17 BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK PREROGATIF PRESIDEN

DALAM PEMBERIAN GRASI

A. Ruang Lingkup Hukum Pidana ... 1. Pengertian Hukum Pidana... 2. Pengertian Pidana... 3. Pengertian Pemidanaan... B. Pemberian Grasi Terhadap Terpidana ...

20 20 23 25 33


(5)

v

PRESIDEN PADA KASUS TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Pemberian Grasi dalam Kasus Tindak Pidana di Indonesia

1. Permohonan Grasi yang Dikabulkan Presiden... 2. Permohonan Grasi yang Ditolak Presiden ... B. Faktor Pendorong Presiden dalam Mengabulkan atau Menolak

Grasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi...

53 53 55

68

BAB IV TINJAUAN HUKUM MENGENAI PELAKSANAAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DAN DAMPAK PEMBERIAN GRASI ATAS HAK PREROGATIF PRESIDEN DIKAITKAN DENGAN EFEK PENJERAAN TERHADAP TERPIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

A. Pelaksanaan Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi...

72

B. Dampak Pemberian Grasi Atas Hak Prerogatif Presiden Dikaitkan Dengan Efek Penjeraan Terhadap Terpidana Khususnya dan Masyarakat Umumnya...


(6)

B. Saran ... 81 Daftar Pustaka ... viii Lampiran


(7)

i Assalamualaikum wr.wb

Segala puji serta syukur Peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasul kita Muhammad S.A.W, bahwa Peneliti masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

“TINJAUAN HUKUM ATAS HAK PREROGATIF PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI”

Peneliti sangat menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi subtansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang insya Allah dengan jalan ini dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan Skripsi ini banyak mendapat bantuan dan dukungan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada Yth Ibu Odah Saodah, dan Bapak Kusno Hadi Kuncoro selaku orang tua Peneliti yang telah mendukung secara moril maupun materil, dan Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., MHum selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan


(8)

kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Skipsi ini, selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S. E. M. Si. selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S., A.K selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., MS. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan dan Penguji Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku Dosen Wali angkatan 2009 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

10. Yth. Ibu Muntadhiroh Alchujjah, S.H., LLM. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tavipah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;


(9)

12. Yth. Ibu Dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

13. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi., S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

14. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

15. Yth. Bapak Muray Selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Kompter Indonesia

Akhir kata penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T, karena atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Skipsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada :Andi Hidayat, Firdausi Mahaputra, Maychal Saut, Franky Butar-butar, Diki Maulana, Rimei Suminar, Charles, Daun Asprianto dan teman-teman yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan peneliti khususnya.

Bandung, Juli 2013


(10)

83

Abdul Gofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, 2009.

Abdul Syani, Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Fajar Agung, Jakarta, 1987.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum. Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. 1984. Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan hukum dalam rangka pembangunan

nasional, Binacipta, Bandung, 1972

---, Hukum Masyarakat dan pembinaan Hukum Nasional. Lemlit. Hukum dan Kriminologi FH-Unpad, Bandung, 1995.

---, Hukum Masyarakat VI Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. ---, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005. ---, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2008.

Otje Salman Soemadiningrat dan Anton, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung. 2007.

Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, 1978.

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.


(11)

Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Gramedia, Jakarta, 1964.

Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Van Bemmelen, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1987.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Situs-Situs

http://www.suarapembaruan.com

http://www.setkab.go.id/artikel,6086-.html, http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, http://Hukumonline.com


(12)

1 A. Latar Belakang

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat, hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).1

Masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam Bahasa Inggris disebut Society. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial dan mempunyai kesamaan budaya, wilayah serta identitas, selanjutnya disempurnakan dalam bahasa Indonesia menjadi masyarakat.2 Menurut Emile Durkheim masyarakat berbeda dengan individu, masyarakat berada di luar individu yang berada sebelum dan setelah kehadiran individu di dunia, masyarakat akan tetap ada walaupun individu-individu sudah tidak menjadi anggotanya masyarakat mempunyai kekuasaan mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia

1 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm 73.

2

Abdul Syani, Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Fajar Agung, Jakarta, 1987, hlm 1.


(13)

karena kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang.3

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat adalah perubahan norma-norma sosial, nilai-nilai sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial,lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, susunan kekuasaan dan wewenang. Menurut Selo Sumarjan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.4

Perubahan dalam norma sosial memiliki hubungan dengan perubahan sosial, apabila norma adalah suatu dasar dari keteraturan kehidupan sosial, maka perubahan sosial terjadi dalam struktur masyarakat sebagai akibat dari perubahan dalam norma-norma sosial, banyak hal-hal yang timbul dari akibat perubahan norma-norma sosial saat ini seperti kejahatan.

Kejahatan adalah suatu hasil interaksi dan adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, di mana kejahatan tidak hanya dirumuskan oleh undang-undang hukum pidana tetapi juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan. Menurut Van Bemmelen kejahatan adalah perbuatan yang merugikan, yang bersifat tidak susila dan menimbulkan banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat tersebut berhak untuk mencelanya dan menyatakan

3

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 115.

4

Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Gramedia, Jakarta, 1964, hlm 375.


(14)

penolakannya atas tindakan dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuannya.5

Kejahatan dibatasi sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sanksi pidana adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan dan diharapkan dengan sanksi pidana tersebut orang tidak melakukan tindak pidana kembali.

Ketentuan di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa terdapat dua jenis pidana, yaitu :

1. Pidana Pokok yaitu terdiri dari : a. Pidana Mati

Pidana mati diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali kepada masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kriminal yang serius. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui hukuman mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan. Penjatuhan pidana mati diberikan kepada pelaku kejahatan yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa terpidana tersebut dianggap berbahaya bagi masyarakat.

5

Van Bemmelen, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 215.


(15)

b. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

c. Pidana Kurungan

Pidana kurungan merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.

d. Pidana Denda

Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa.

2. Pidana Tambahan Terdiri dari :

a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Bersifat sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara selama seumur hidup.


(16)

b. Penyitaan Benda-Benda Tertentu

Pidana penyitaan merupakan suatu pidana kekayaan yang bersifat fakultatif, bukan merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. c. Pengumuman Putusan Hakim

Merupakan suatu publikasi dari putusan pemidanaan seseorang dari Pengadilan pidana, dalam pengumuman putusan hakim bebas untuk menentukan cara untuk mengumumkan putusan tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan mengenai pidana pokok dan tambahan, di mana pidana mati merupakan bagian dari pidana pokok, pidana mati merupakan pidana yang diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak dapat kembali kepada masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kriminal yang serius. Terpidana yang telah mendapatkan putusan pidana mati dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.

Grasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu gratia, Di Belgia disebut genade yang berarti anugerah atau pengampunan dari kepala negara dalam rangka meringankan atau membebaskan pidana terhukum. Grasi merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh Hakim, dengan kata lain Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim kepada seseorang. Grasi telah dikenal dan dipraktekkan oleh para Kaisar atau Raja pada masa monarki absolut (pada zaman Yunani dan Romawi serta abad pertengahan di Eropa dan Asia)


(17)

kaisar atau raja dianggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalam bidang peradilan.6

Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starverminderend), meringankan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden, sehingga grasi yang telah diberikan tidak dapat dibatalkan secara hukum begitu saja. Permohonan grasi diajukan oleh terpidana kepada Kepala Negara atau Presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara mempunyai hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, sehingga Kepala Negara tidak berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan kepadanya. Grasi bukan merupakan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak prerogatif seorang kepala negara.

Hak Prerogatif merupakan hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada Pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seorang maupun sekelompok orang yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. Kewenangan Presiden dalam memberikan grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif membahas mengenai hak negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana, sehingga Presiden dalam memberikan grasi harus berdasarkan pada teori pemidanaan.

Prerogatif secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu Praerogativa (dipilih sebagai yang lebih dahulu memberi suara), Praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), Praerograe (diminta sebelum meminta yang lain). Hak Prerogatif secara teoretis diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak


(18)

dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara lain, dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak prerogatif dimiliki oleh kepala negara baik Raja ataupun Presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi.7

Contoh kasus yang mendapat grasi dari Presiden yaitu kasus pemberian grasi kepada terpidana mati Fransisca Franola atau Ola yang telah melakukan penyelundupan 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain melalui Bandara Soekarno Hatta menuju London 12 januari 2000, Ola yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang memperoleh grasi sehingga vonis hukuman mati yang seharusnya dijalani Ola diringankan menjadi hukuman seumur hidup. Contoh permohonan grasi yang ditolak Presiden adalah kasus pembunuhan 11 (sebelas) orang yang dilakukan oleh terpidana Very Idham Heryansyah atau Ryan yang telah divonis mendapat hukuman mati pada tanggal 6 April 2009, karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap Heri santoso di Apartemen Margonda Residence Depok. Ryan juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap 10 (sepuluh) korban yang dikubur di rumah orang tuanya di Jombang, permohonan grasi yang diajukan oleh Ryan kepada Presiden ditolak.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut untuk memenuhi tugas akhir penulisan hukum dengan mengambil judul “TINJAUAN HUKUM ATAS HAK PREROGATIF PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI.”

7 Abdul Gofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan


(19)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian grasi terhadap terpidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi?

2. Bagaimanakah dampak pemberian grasi atas hak prerogatif Presiden dikaitkan dengan efek jera terhadap pelaku tindak pidana?

C. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pemberian grasi terhadap terpidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai dampak pemberian grasi atas hak prerogatif Presiden dikaitkan dengan efek jera terhadap terpidana khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoretis

Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan dan dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu hukum, pada umumnya dalam bidang Hukum Pidana.

2. Secara Praktis

Sebagai bahan masukan bagi para pihak yang berkepentingan langsung dengan hasil penelitian ini, serta sebagai sarana untuk menambah


(20)

wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca mengenai pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana.

E. Kerangka Pemikiran

Pancasila sila ke-5 (lima) menyatakan bahwa :

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Amanat dalam Pancasila sila ke-5 (lima) menjelaskan mengenai keadilan sosial yang ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni, luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansial yang mencakup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis, Ketuhanan, sosial dan budaya yang memiliki corak patrikular sehingga pancasila secara konsep dapat disebut sebagai suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh hal yang tertuang dalam sila-sila berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.8

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”.

8Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum, Refika Aditama,


(21)

Amanat dalam alinea keempat tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan Pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas Pemerintah saja, melainkan juga pelayanan hukum melalui pembangunan nasional. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan :

1. Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial

2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat

3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, yang berbunyi :

“Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan


(22)

Tujuan nasional negara Indonesia dirumuskan dengan pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sedangkan prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan PancasiIa.

Pengaturan grasi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang menjelaskan mengenai prosedur permohonan dan penyelesaian permohonan grasi, yang diajukan untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan grasi kepada Presiden.

Hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi juga lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan.9 Hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan berlakunya

9 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan hukum dalam rangka pembangunan nasional, Binacipta, Bandung, 1972, hlm 2.


(23)

kaidah hukum itu dalam kenyataan.10 Kata asas dan kaidah menggambarkan sebagai suatu gejala normatif sedangkan kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai suatu gejala sosial.

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum tidak boleh tertinggal dalam proses pembangunan, sebab pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum yaitu keadilan menurut Pancasila yaitu keadilan yang seimbang,adanya keseimbangan diantara kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan penguasa.11

Hukum dapat dibagi menjadi dua berdasarkan isinya, yaitu : 1. Hukum Privat

Peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, hukum privat mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari (kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, waris, kegiatan usaha, dan lain sebagainya.)12

2. Hukum Publik

Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga yang bersifat tanpa hak dan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum dengan ancaman hukuman yang didasarkan pada kepentingan publik, materi dan prosesnya pada otoritas publik. Hukum publik merupakan hukum

10 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat VI Pembinaan Hukum Nasional,

Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 15. 11 Ibid, hlm 110.


(24)

yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan warga negaranya.13 Hukum publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional, dan Hukum Pidana. Hukum Pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada yang melakukan pelanggaran dan kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau hukum yang mengatur kepentingan hubungan perseorangan dengan negara.14

Tujuan hukum pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu :15

1. Prefentif (Pencegahan), yaitu untuk menakut-nakuti atau mencegah setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik(perbuatan melanggar hukum).

2. Represif (Mendidik), yaitu mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan melanggar hukum menjadi lebih baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Tindak pidana menurut Simons merupakan suatu tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16 Sifat yang melawan hukum menurut Simons tersebut timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan suatu peraturan

13 Ibid, hlm 46.

14 Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm 10.

15 Ibid, hlm 15.

16 Simons, Dikutip dalam Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra


(25)

undangan, sehingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur yang lain.

Tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana, aturan atau larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat sehingga antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian mempunyai ketergantungan.17

Tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu :18 1. Pelanggaran

Pelanggaran adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundang-undangan, tetapi tidak meberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain.

2. Kejahatan

Kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat tersebut mempunyai hak untuk mencela dan menyatakan penolakannya atas kelakuan dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.

Penyebab utama dari kejahatan diberbagai negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan buta huruf (kebodohan) diantara golongan besar penduduk. Kejahatan dibatasi sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai

17 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm 59. 18Ibid, hlm 64.


(26)

kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sanksi pidana adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan dan diharapkan dengan sanksi pidana tersebut orang tidak melakukan tindak pidana kembali.

Penjatuhan sanksi pidana yang paling berat adalah pidana mati, pidana mati diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak dapat kembali kepada masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kriminal yang serius. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui hukuman mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan.

Terpidana yang telah mendapatkan putusan pidana mati dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa :

“(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan

Rakyat.”

Pengaturan grasi diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, menyebutkan bahwa :

“(1) Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada

terpidana yang diberikan oleh Presiden.

(2) Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”


(27)

Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat mengajukan grasi kepada Presiden.19

Putusan pengadilan yang tetap adalah :

1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang tentang hukum acara pidana

2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang hukum acara pidana, atau 3. Putusan kasasi.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, menyebutkan bahwa :

“(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden

(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun (3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat diajukan 1 (satu) kali.”

Pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana hukuman mati merupakan penegakkan hak asasi manusia, yang harus dilakukan secara tepat untuk tercapainya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

19 Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap,


(28)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu metode penelitian yang digunakan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa :

a. Data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan antara lain:

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau

pendapat para ahli hukum terkemuka.

c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang didapat dari artikel-artikel, surat kabar dan internet.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif, yaitu hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma.20 Pada penulisan hukum ini, penelitian mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang. Selain itu, peneliti melakukan penafsiran hukum sosiologis yaitu penafsiran yang dilakukan menghadapi kenyataan

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2002, hlm


(29)

bahwa kehendak pembuatan undang-undang ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada undang-undang yang berlaku dewasa ini.

F. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan hak prerogatif Presiden berupa pemberian grasi.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang berupa data primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan permasalahan yang Peneliti teliti.

H. Metode Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-ketentuan yang satu telah bertentangan dengan ketentuan lainya serta menggali hukum yang tidak tertulis.


(30)

I. Lokasi penelitian

Lokasi Penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu :

a. Perpustakaan :

1)

Universitas Komputer lndonesia Jl.Dipati Ukur Nomor 112 Bandung, Jawa Barat.

2)

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur Nomor 35, Bandung, Jawa Barat.

b.

Website :

1) www.hukum-online.com

2) www.mahkamahagung.gov.id

3) www.kompas.com

4) id.wikipedia.org

5) www.lawskripsi.com


(31)

20

DALAM PEMBERIAN GRASI

A. Ruang Lingkup Hukum Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana

Pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli Hukum pidana diantaranya sebagai berikut :

a. W.L.G. Lemaire

Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Hukum pidana merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.15

b. Simons

Menurut Simons hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif (strafrecht in objectieve zin) dan hukum pidana dalam arti subjektif (strafrecht in subjectieve zin). hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau disebut

15 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,


(32)

sebagai hukum positif. Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai :16

1) Keseluruhan larangan dan perintah yang diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati

2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan

3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif dapat diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut :

1) Dalam arti luas:

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

2) Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang


(33)

telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

c. W.F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.17

d. Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada, hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada, tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).18

Hukum Pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada

17 Van Hattum, Dikutip Dalam Lamintang, Op.Cit., hlm 2. 18 Van Kan, Dikutip Dalam Lamintang, Ibid, hlm 6.


(34)

pelanggarnya diancam dengan pidana. Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri. Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.19

Hukum Pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar terciptanya dan terpeliharanya ketertiban umum, fungsi hukum pidana secara khusus yang merupakan sebagai bagian hukum publik, yaitu :20

1) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan-perbuatan yang menyerang kepentingan hukum tersebut

2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan dalam berbagai kepentingan hukum

3) Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

2. Pengertian Pidana

Pidana secara etimologis berasal dari bahasa Belanda yaitu Straf, merupakan suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja diberikan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Van Hammel, pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari

19 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia

Grafika, Jakarta, 2002, hlm 204.


(35)

ketertiban hukum umum bagi seseorang yang melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.21

Menurut Andi Hamzah istilah hukuman dengan pidana berbeda, hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam hukum perdata, administratif, dan pidana. Istilah pidana yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.22

Menurut Satochid Kartanegara, hukuman (pidana) bersifat siksaan atau penderitaan yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan tersebut dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap orang yang melakukan kesalahan tersebut. Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran kepentingan hukum yang pasti dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah sebagai berikut :23

a. Jiwa manusia (leven)

b. Keutuhan tubuh manusia (lyf) c. Kehormatan seseorang (eer) d. Kesusilaan (zede)

e. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid) f. Harta benda/kekayaan (vermogen).

21 Van Hamel, Dikutip dalam Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico,

Bandung, 1984, hlm 34.

22 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 27. 23 Satochid, Dikutip dalam Andi Hamzah, Ibid, hlm 275.


(36)

Unsur-unsur Pidana menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, adalah :24

a. Pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa dan penderitaan lainnya yang tidak menyenangkan

b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

c. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

3. Pengertian Pemidanaan

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, apabila diabaikan maka seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut akan mendapatkan ancaman pidana. Unsur tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.25

1. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah unsur yang melekat pada terpidana atau yang berhubungan dengan diri terpidana, terdiri dari :

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

b. Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan (Poging) seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi :

24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 2005, hlm 1.

25 Hoge Raad, Dikutip dalam Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,


(37)

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan

semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”

c. Macam-macam maksud (oogmerk) yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain

d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

e. Perasaan takut terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi :

“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui

orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan

306 dikurangi separuh.”

2. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah unsur yang mempunyai hubungan dengan keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan dari terpidana itu harus dilakukan terdiri dari26 :

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.

b. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan.

26 Ibid, hlm 194.


(38)

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan, pemidanaan bukan merupakan upaya sebagai balas dendam, melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan. Ada 3 (tiga) bentuk tujuan pemidanaan :27

a. Pemidanaan Memberikan Efek Penjeraan dan Penangkalan (Deterrence).

Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial, pada hakikatnya berkepentingan untuk menjauhkan diri dari sakit dan penderitaan, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si terpidana maupun warga masyarakat.28

Pengaruh itu dapat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakut-nakuti orang, menurut Philip Bean, bahwa maksud di balik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain untuk kelak tidak melakukan kejahatan.29

27 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003, hlm 56.

28 Wesley Cragg, Dikutip dalam Karl O. Christiansen, Op.cit., hlm 33. 29 Philip Bean, Dikutip dalam Karl O. Christiansen, Op.cit., hlm 34.


(39)

b. Pemidanaan Sebagai Rehabilitasi.

pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial dalam masyarakat. Kejahatan dibaca sebagai ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, konseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya, dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan bahwa efek preventif dalam proses rehabilitasi ini terutama terpusat pada terpidana.30

c. Pemidanaan Sebagai Pendidikan Moral.

Tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat, proses pemidanaan terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.31

Teori Pemidanaan dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :32 a. Teori Absolut atau Pembalasan (Retributive)

Pidana dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est), dasar dari teori absolut adalah pembalasan yang merupakan dasar pembenar dan penjatuhan penderitaan kepada pelaku

30 Muladi dan Barda Nawawi, Ibid., hlm 36. 31Ibid, hlm 37.

32


(40)

karena dianggap telah membuat penderitaan dan kerugian terhadap orang lain.

Teori absolut mencari dasar pemidanaan dengan memandang masa lampau (melihat apa yang telah dilakukan oleh pelaku), menurut teori ini pemidanaan diberikan karena dianggap pelaku pantas menerimanya demi kesalahannya sehingga pemidanaan menjadi retribusi yang adil dari kerugian yang telah diakibatkan, memandang hal tersebut maka teori absolut ini dibenarkan secara moral. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu ditujukan pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan) dan ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

b. Teori Relatif (Tujuan)

Teori tujuan didasari bahwa pidana merupakan alat untuk menegakkan tata tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk takut melakukan kejahatan yang diancam dengan ancaman pidana yang bertujuan agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana. Terdapat 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan dalam teori relatif, yaitu :

1) Tujuan Preventif (Melindungi)

Pemidanaan mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari suatu masyarakat.


(41)

2) Tujuan Detterence (Menakuti)

Tujuan yang bersifat individual yaitu dimaksudkan agar pelaku jera untuk melakukan kejahatan kembali, tujuan yang bersifat publik yaitu agar masyarakat lain takut melakukan kejahatan.

3) Tujuan Reformatif (Perubahan)

Tujuan untuk merubah pola pikir masyarakat yang awalnya tidak takut menjadi takut untuk melakukan kejahatan.

Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan, dalam teori relatif ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.

c. Teori Integratif (Gabungan)

Mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat, teori gabungan yang mengutamakan pembalasan tidak boleh melampaui dari apa yang perlu dan cukup untuknya dan dapat dipertahankan dalam tata tertib masyarakat. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori integratif menganggap pemidanaan sebagai


(42)

unsur penjeraan dibenarkan tetapi tidak mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat si pelaku dapat berbuat baik dikemudian hari.

Jenis-jenis pemidanaan menurut Ketentuan di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa :

a) Pidana Pokok yaitu terdiri dari : 1) Pidana Mati

Pidana mati diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali kepada masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kriminal yang serius. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui hukuman mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan. Penjatuhan pidana mati diberikan kepada pelaku kejahatan yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa terpidana tersebut dianggap berbahaya bagi masyarakat.

2) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga


(43)

pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi terpidana yang telah melanggar peraturan tersebut.

3) Pidana Kurungan

Pidana kurungan merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.

4) Pidana Denda

Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. b) Pidana Tambahan Terdiri dari :

1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Bersifat sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara selama seumur hidup.

2) Penyitaan Benda-Benda Tertentu

Pidana penyitaan merupakan suatu pidana kekayaan yang bersifat fakultatif, bukan merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan.


(44)

3) Pengumuman Putusan Hakim

Merupakan suatu publikasi dari putusan pemidanaan seseorang dari Pengadilan pidana, dalam pengumuman putusan hakim bebas untuk menentukan cara untuk mengumumkan putusan tersebut.

B. Pemberian Grasi Terhadap Terpidana

Ketentuan dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan mengenai pidana pokok dan tambahan, di mana pidana mati merupakan bagian dari pidana pokok. Pidana mati merupakan pidana yang diberikan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak dapat kembali kepada masyarakat karena kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kualifikasi kriminal yang serius, terpidana yang telah mendapatkan putusan pidana mati dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.

Grasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu gratia, Di Belgia disebut genade yang berarti anugerah atau pengampunan dari kepala negara dalam rangka meringankan atau membebaskan pidana terhukum. Grasi merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh Hakim, dengan kata lain Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim kepada seseorang. Grasi telah dikenal dan dipraktekkan oleh para Kaisar atau Raja pada masa monarki absolut (pada zaman Yunani dan Romawi serta abad pertengahan di Eropa dan Asia) kaisar atau raja dianggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk


(45)

di dalam bidang peradilan.33 Grasi merupakan suatu pernyataan dari Kepala Negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana menurut hukum pidana.

Penggunaan dari kata pengampunan dapat menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah dengan adanya pengampunan dari Kepala Negara tersebut, seluruh kesalahan dari orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi diampuni, ataupun seluruh akibat hukum dari tindak pidananya menjadi ditiadakan, untuk menghilangkan kesalahpahaman tersebut pengampunan tidak hanya diartikan sebagai suatu yang sama sekali menghilangkan akibat hukum dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa pengampunan oleh Kepala Negara tidak selalu berkenaan dengan ditiadakannya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap saja, melainkan dapat berkenaan dengan :

1. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana, misalnya perubahan dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau menjadi pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun

2. Pengurangan dari lamanya pidana penjara, pidana kurungan, pidana kurungan sebagai pengganti denda atau karena tidak dapat menyerahkan sesuatu benda yang telah dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara, seperti yang telah diputuskan oleh Hakim

33 Van Hattum, Dikutip dalam Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico,


(46)

3. Pengurangan dari besarnya uang denda seperti yang telah diputuskan oleh Hakim bagi seorang terpidana.

Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starverminderend), meringankan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden, sehingga grasi yang telah diberikan tidak dapat dibatalkan secara hukum begitu saja.

Grasi menurut Van Hamel adalah suatu pernyataan dari kekuasaan tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun untuk sebagian.34 Hazewinkel- Suringa mengartikan pemberian grasi sebagai peniadaan dari seluruh pidana atau pengurangan dari suatu pidana (pengurangan mengenai waktu, pengurangan mengenai jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut (perubahan dari pidana penjara menjadi pidana denda).35 Ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal 4 (empat) macam bentuk grasi,yaitu : 1. Grasi (dalam arti sempit)

Peniadaan dari pidana yang telah dijatuhkan oleh Hakim, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Amnesti

Suatu pernyataan secara umum tentang ditiadakannya seluruh akibat hukum menurut hukum pidana dari suatu tindak pidana atau dari suatu jenis tindak pidana tertentu. Amnesti diberikan bagi semua orang yang mungkin terlibat di dalam tindak pidana tersebut, baik yang telah dijatuhi pidana maupun yang belum dijatuhi pidana oleh hakim, baik yang sudah

34 Van Hamel Dikutip dalam Lamintang, Ibid, hlm. 262 35 Hazewingkel Dikutip dalam Lamintang, Ibid, hlm 263


(47)

dituntut maupun yang belum dituntut oleh penuntut umum, baik yang sedang dalam proses penyidikan maupun yang belum dilakukan penyidikan oleh penyidik.

3. Abolisi

Peniadaan dari hak untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana atau penghentian dari penuntutan menurut hukum pidana yang telah dilakukan, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum, karena perkara berkaitan dengan kepentingan negara yang tidak dapat dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

4. Rehabilitasi

Pengembalian kewenangan hukum dari seseorang yang telah hilang, berdasarkan suatu putusan hakim ataupun berdasarkan suatu putusan hakim yang sifatnya khusus. Pengembalian kewenangan hukum yang telah hilang berdasarkan suatu putusan hakim yang sifatnya khusus secara formal merupakan suatu kekhususan dari grasi dalam arti yang sebenarnya.

Grasi menghapuskan hukuman yang telah diberikan untuk seluruhnya atau sebagian (remissie), atau untuk merubah hukuman menjadi suatu hukuman yang kurang beratnya dan berlainan sifatnya (commutatie). Remisi (remissie) adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan.


(48)

Narapidana adalah setiap individu yang telah melakukan pelanggaran hukum yang berlaku kemudian diajukan ke pengadilan dijatuhi vonis pidana penjara dan kurungan oleh hakim, sedangkan yang dimaksud anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan hakim menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Jenis-jenis remisi, yaitu :36

1. Remisi umum, adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan setiap hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat dalam Peraturan Perundang-undangan. Besaran remisi umum :

a. Tahun pertama (telah menjalani 6-12 Bulan) mendapat potongan 1(satu) bulan

b. Tahun pertama (telah menjalani lebih dari 1 (satu) tahun) mendapat 2 (dua) bulan

c. Tahun kedua mendapat 3 (tiga) bulan d. Tahun keitga mendapat 4 (empat) bulan e. Tahun keempat mendapat 5 (lima) bulan f. Tahun kelima mendapat 5 (lima) bulan

g. Tahun keenam dan seterusnya mendapat 6 (enam) bulan.

2. Remisi Khusus, adalah masa pidana yang diberikan setiap hari besar keagamaan (Idhul Fitri, Natal, Nyepi, Waisak) kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan. Besaran remisi khusus :


(49)

a. Tahun pertama (telah menjalani 6-12 Bulan) mendapat 15 (lima belas) hari

b. Tahun pertama (telah menjalani lebih dari 1 (satu) tahun) mendapat 1 (satu) bulan

c. Tahun kedua mendapat 1 (satu) bulan d. Tahun ketiga mendapat 1 (satu) bulan

e. Tahun keempat mendapat 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari f. Tahun kelima mendapat 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari g. Tahun keenam dan seterusnya mendapat 2 (dua) bulan.

3. Remisi Dasawarsa, adalah yang diberikan pada setiap dasawarsa hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, besar remisi dasawarsa adalah satu perdua belas (1/12) dari masa pidana dan sebesar-besarnya 3 (tiga) bulan.

Remisi merupakan hak yang harus dipenuhi bagi setiap narapidana, tidak ada pembedaan perlakuan bagi narapidana sebagaimana asas yang dianut dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan yaitu persamaan perlakuan dan pelayanan.

Grasi dan remisi mempunyai persamaan menurut pengertiannya yaitu pengurangan masa menjalani pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Pemerintah, akan tetapi grasi dan remisi berbeda berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan bahwa, grasi akan diberikan apabila terpidana atau keluarga mengajukan permohonan kepada Presiden, sedangkan remisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pelaksananya, diberikan tanpa adanya


(50)

permohonan yang diajukan oleh terpidana, remisi diberikan apabila terpidana berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Grasi merupakan sebuah upaya yang dapat diajukan oleh terpidana untuk mendapatkan perubahan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana, dan Presiden sebagai Kepala Negara mempunyai hak untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi, sedangkan remisi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap narapidana dan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak remisi tersebut, negara tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk mencabut hak remisi tersebut kecuali jika terpidana melakukan pelanggaran selama menjalani pidana.

Permohonan grasi terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden

(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun

(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

diajukan 1 (satu) kali.”

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945, istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat, karena menduduki suatu kedudukan resmi, dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dengan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusannya bersifat absolut, artinya


(51)

tindakan presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dinilai oleh Pengadilan.

Kepala negara atau Presiden dalam melaksanakan haknya untuk memberikan grasi hanya perlu memperhatikan ketepatan dalam membuat suatu putusan sesuai dengan rasa keadilan yang terdapat di dalam masyarakat, tanpa terikat pada suatu acara tertentu, kecuali pada pertanggungjawaban politis kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Grasi hanya dapat diberikan oleh Presiden kepada seseorang yang telah dijatuhi suatu pidana oleh hakim, dan bukan merupakan suatu penindakan (maatregel) atau suatu kebijaksanaan.

Menurut Pompe terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, sebagai berikut :37

1. Adanya kekurangan di dalam peraturan perundang-undangan, di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, apabila kepada hakim tersebut telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu pidana yang lebih ringan.

2. Adanya keadaan-keadaan yang tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah dijatuhkan, contoh : terpidana yang sedang sakit, atau terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana denda yang telah dijatuhkan oleh hakim.

37 Pompe, Dikutip Dalam Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico,


(52)

3. Terpidana yang baru saja dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan. 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa

percobaan, yang menyebabkan terpidana memang seharusnya mendapatkan pengampunan.

5. Pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah, yang dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah tersebut dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya, apabila grasi diberikan kepada terpidana yang telah melakukan tindak pidana yang bersifat politis.

Menurut Van Hattum alasan pemberian grasi antara lain38 :

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut

tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari Raja, melainkan harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan, kepentingan negara tersebut dapat

dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh Presiden, adalah :39

1. Faktor Keadilan

Yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap kurang adil, maka grasi dapat diberikan sebagai perwujudan keadilan.

2. Faktor Kemanusiaan

Yaitu dilihat dari keadaan pribadi terpidana, jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi

38 Van Hattum, Dikutip Dalam Lamintang, Ibid, hlm 269. 39 Ibid, hlm 271.


(53)

lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Syarat-syarat sebelum sebuah permohonan grasi diajukan untuk dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, adalah sebagai berikut :

1. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

2. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana, keluarganya atau melalui kuasa hukumnya, untuk terpidana mati keluarga dapat mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana

3. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun

4. Grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal :

a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut

b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari terpidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan grasi diterima.

Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh Pengadilan.


(54)

Prosedur permohonan grasi berdasarkan Pasal 5 s.d 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagai berikut :

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Hak mengajukan diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama

(2) Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.”

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana

(3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan

terpidana.”

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap

(2) permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


(55)

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden

(2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung

(3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana

(4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi

dan salinannya.”

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara

terpidana kepada Mahkamah Agung.”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“ Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah


(56)

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi

setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau

penolakan grasi

(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan

Mahkamah Agung.”

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“(1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden

(2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 91) disampaikan kepada :

a. Mahkamah Agung

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama

c. Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana, dan

d. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana

menjalani pidana.”

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa :

“ Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang


(57)

Berdasarkan Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa prosedur permohonan grasi sebagai berikut :

1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana setelah putusan dibacakan, apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama

2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan terpidana (terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa persetujuan terpidana) harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untu diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi (dan salinannya) dapat disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana yang nantinya akan disampaikan oleh kepala lembaga pemasyarakatan kepada Presiden dan salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama

3. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu 4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu

paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, panitera pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada ketua pengadilan yang


(58)

memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan ke Mahkamah Agung

5. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan-pertimbangannya terhadap grasi yang diajukan terpidana

6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung melanjutkan berkas-berkas tersebut beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, mengabulkan atau menolak permohonan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, kemudian keputusan Presiden mengenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya keputusan Presiden.

8. Salinan Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada :

a. Mahkamah Agung

b. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana

c. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana terkait

Prosedur pengajuan grasi tersebut merupakan prosedur baku yang harus dilaksanakan oleh terpidana maupun kuasa hukumnya yang melakukan pengajuan, dan pengajuan grasi hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.


(1)

74

Pelaksanaan pemberian grasi terhadap terpidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah sesuai, karena dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan mengenai prosedur pengajuan, dan penyelesaian permohonan grasi kepada Presiden, yang menjadi tidak sesuai adalah pelaksanaan pemberian grasi oleh Presiden, karena grasi bukan merupakan upaya hukum melainkan suatu hak atau kewenangan yang dimiliki Presiden.

Ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dalam memberikan grasi harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dalam pelaksanaannya pertimbangan Mahkamah Agung hanya menjadi sebuah nasehat saja, hal tersebut menunjukkan bahwa pertimbangan dari Mahkamah Agung dirasa tidak mempengaruhi keputusan Presiden dalam pelaksanaan pemberian grasi tersebut.

B. Dampak Pemberian Grasi Oleh Presiden Dikaitkan Dengan Efek Jera Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan, upaya yang dimaksudkan adalah upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan, dalam pemidanaan terdapat tujuan pemidanaan memberikan efek jera dan penangkalan. Efek jera menjauhkan terpidana dari kemungkinan mengulangi tindak pidana yang sama, sedangkan tujuan penangkal berfungsi sebagai contoh yang


(2)

mengingatkan dan menakutkan bagi para pelaku tindak pidana yang memiliki kemampuan dalam masyarakat.

Terdapat teori integratif (gabungan) dalam teori pemidanaan, yaitu pemidanaan mengandung karakter retributivis sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral terhadap tindakan yang salah, dan karakter relatif terletak pada tujuan kritik moral tersebut adalah suatu perubahan perilaku terpidana dikemudian hari. Sehingga dengan konsep gabungan ini teori integratif menganggap pemidanaan sebagai unsur penjeraan dibenarkan, tetapi tidak mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat pelaku dapat berbuat baik dikemudian hari, dalam hukum pidana terdapat tujuan hukum pidana, yaitu :

1. Prefentif (Pencegahan)

Tujuan untuk memberikan perasaan takut atau mencegah setiap orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik (perbuatan melawan hukum), hal ini berkaitan dengan efek jera bagi pelaku tindak pidana bahwa banyak dampak negatif yang akan dirasakan oleh pelaku tindak pidana tersebut apabila melakukan perbuatan yang melawan hukum. 2. Represif (Pembinaan)

Tujuan untuk mendidik atau membina seseorang yang pernah melakukan tindak pidana menjadi lebih baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemberian grasi oleh Presiden harus berdasarkan faktor keadilan dan kemanusiaan, pada pelaksanaannya dampak negatif dari pemberian grasi terhadap terpidana tidak menimbulkan efek jera, karena dengan adanya pemberian grasi, maka terpidana dapat melakukan pengulangan tindak


(3)

76

pidana yang sama. Dampak bagi masyarakat dengan adanya pemberian grasi pada kasus-kasus tertentu dikhawatirkan masyarakat akan melakukan tindak pidana yang sama, karena dirasa kurang memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Dampak positif bagi terpidana terdapatnya kepastian hukum bagi terpidana yaitu, ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.

Kenyataan yang terjadi dampak efek jera hanya akan dialami oleh pelaku tindak pidana yang diduga tidak memiliki jaringan luas atau kekuasaan dan uang, bagi para pelaku tindak pidana yang tidak melekat unsur yang menguntungkan, dan apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukannya merupakan tindak pidana yang baru pertama pelaku tersebut lakukan. maka hukuman yang dialaminya akan memberikan efek jera. Sedangkan bagi pelaku tindak pidana yang memiliki jaringan kekuasaan dan uang, maka efek jera tidak berfungsi maksimal karena para pelaku tindak pidana tersebut mempunyai anggapan bahwa “hukum dapat dibeli”.


(4)

77 A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Pelaksanaan terhadap pemberian grasi terhadap terpidana belum sesuai, karena karena grasi bukan merupakan upaya hukum melainkan suatu hak atau kewenangan yang dimiliki Presiden. Ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dalam memberikan grasi harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dalam pelaksanaannya pertimbangan Mahkamah Agung hanya menjadi sebuah nasehat saja.

2. Dampak Pemberian Grasi Atas Hak Prerogatif Presiden Dikaitkan Dengan Efek Jera Terhadap Pelaku Tindak Pidana.

Pelaksanaan pemberian grasi oleh Presiden masih banyak berdampak negatif karena tidak menimbulkan efek jera bagi terpidana, karena dengan adanya pemberian grasi, maka terpidana dapat melakukan pengulangan tindak pidana yang sama. Dampak bagi masyarakat dengan adanya pemberian grasi pada kasus-kasus tertentu dikhawatirkan masyarakat akan melakukan tindak pidana yang sama, karena dirasa kurang memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.


(5)

78

B. Saran

1. Diharapkan Presiden dapat melakukan pelaksanaan pemberian grasi dengan cara meninjau atau menelaah kasus yang akan dikabulkan permohonan grasi terlebih dahulu dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dari keputusan dalam pemberian grasi tersebut.

2. Untuk mengurangi dampak negatif dari pemberian grasi terhadap terpidana berupa pengulangan kembali tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, sebaiknya Balai Pemasyarakatan mengoptimalisasikan pengawasan terhadap terpidana yang telah mendapat pemberian grasi, agar tidak terjadinya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana tersebut, dan meminimalisir akibat dari tindak pidana yang ditimbulkan terpidana yang dapat merugikan masyarakat umumnya.


(6)

Tempat Tanggal Lahir

: Bandung, 11 April 1991

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Tegal Kawung Rt/Rw 001/118, Cmahi Utara

Telepon

: +6285721327960

Pendidikan Formal

: - SDN Cimahi 18

- SLTPN 6 Cimahi

- SMA Darul Hikam Bandung

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada

rekayasa yang melebih-lebihkan.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

2 35 114

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITSI NOMOR 56/PUU XIII/2015 DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG GRASI YANG DIBERIKAN OLEH PRESIDEN

0 3 1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi - [PERATURAN]

0 3 6

KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI.

0 0 13

UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

0 0 43

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PE RLINDUNGAN ANAK

0 0 66

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMI SI YUDISIAL

0 0 26

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN

0 0 4

Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 - Kumpulan data - OPEN DATA PROVINSI JAWA TENGAH

0 0 3

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12