73
Bagi petani kecil yang miskin, pindah dari Simaninggir adalah untuk mengubah situasi hidup mereka di kampung.
Tidak ada kemungkinan untuk menikmati situasi hidup yang lebih baik, mempercepat mereka pindah dari kampung halaman ke daerah lain. Permulaan abad ke XX ini sebagian
dari mereka sudah pindah ke daerah lain setelah terbukanya jalan keluar yaitu berita dari daerah lain dan adanya kemungkinan untuk pindah. Hampir bersamaan dengan itu kaum
terdidik pun meninggalkan Simaninggir untuk melanjutkan sekolah dan ada juga yang bekerja di instansi pemerintah,berdagang, rumah sakit, sekolah dan lainnya.
4.2.2 Faktor Pendidikan
Umumnya, bagi masyarakat berkembang, pendidikan berfungsi terutama untuk memperoleh status yang tinggi terlebih dahulu, belum untuk mempertahankan status. Itu
sebabnya orang rela berkorban menyekolahkan anaknya agar mencapai posisi intelektual dalam masyarakat, yang kemudian akan mampu menggeser orientasi kepemimpinan
tradisional dan kepemimpinan agama. Pendidikan berfungsi mempersiapkan orang agar mampu berperan dalam pekerjaan, memelihara kebudayaan, meningkatkan tafar kehidupan,
serta membangun kepribadian.
63
Keinginan terhadap perubahan status menyebabkan mobilitas vertikal terjadi dalam masyarakat, yaitu gerakan perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari satu status ke
status lain, baik dari gerak menurun maupun gerak menaik. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial, di antaranya ialah lowongan yang terbuka serta
prestise pekerjaan yang berbeda. Dalam hal ini pendidikan memiliki peran yang sangat
63
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak. Op.Cit., hal 27
Universitas Sumatera Utara
74
penting. Gerakan kristenisasi melalui perkembangan pendidikan banyak mengubah cara hidup dan sistem berfikir orang Batak Toba.
Cara hidup yang tertutup di dalam desa-desa marga menjadi terbuka ke arah sistem hidup bersama yang heterogen. Sistem sosial yang berorientasi pada sawah mengendur dan
berkembang ke arah orientasi organisasi modern yang memperkenalkan status formal berupa jabatan-jabatan. Pengenalan pendidikan dan budaya Barat melahirkan pola pikir baru tentang
kepemimpinan. Muncullah kepemimpinan baru di samping kepemimpinan tradisional. Pimpinan baru didukung oleh simbol-simbol baru berupa jabatan formal dalam
pemerintahan, seperti guru, wedana, mandor, dan lain sebagainya. Juga simbol lain berupa bahasa Belanda dan Jerman, serta pakaian dan etika pergaulan. Makin lama makin muncul
pula perubahan sikap pandang yang cenderung lebih menghargai pimpinan baru dan mengurangi kharisma pimpinan tradisional.
Lembaga pendidikan menjadi saluran semboyan dan semangat baru orang Batak Toba yang berbunyi hamajuon atau kemajuan, sebagai dampak akulturasi dengan budaya Barat
melalui aktivitas pengembangan agama Kristen. Penerapan sistem organisasi dan politik pemerintahan modern oleh Belanda mendukung proses akulturasi ini. Orang Batak Toba
pada awal kedatangan misionaris Jerman serta pemerintah kolonial Belanda memenuhi anjuran misionaris agar menyekolahkan anak-anaknya agar bisa membaca dan menulis dalam
bahasa lain, tahu kebudayaan, dan kepintaran bangsa asing. Mereka menyebutkan bahwa semua gambaran basis kemajuan adalah jalur pendidikan.
Hubungan pendidikan di luar Desa Simaninggir, juga merupakan suatu sarana komunikasi yang baik. Pada masa ini hubungan ke luar kecamatan dalam hal pendidikan
sudah semakin lancar. Kaum intelek yang sudah berhasil dari desa ini pada masa itu dapat
Universitas Sumatera Utara
75
dikatakan yang kemudian menjadi pelopor masyarakat untuk membawa mereka meninggalkan kampung halamannya.
Kemajuan yang diperoleh orang Batak Toba merupakan hasil pendidikan yang dikembangkan oleh para misionaris Jerman, Pemerintahan Kolonial Belanda, serta usaha
pendidikan yang dikembangkan oleh orang Batak Toba sendiri. Masyarakat di desa ini mempunyai sikap terbuka terhadap hubungan dengan dunia luar. Demikian pula dalam
bidang agama, terlebih dalam bidang pendidikan. Tanpa sikap yang terbuka suka menerima dari masyarakat Simaninggir, sudah tentu tidak mungkin keduanya dapat
berkembang dan menanamkan pengaruhnya di desa ini pada waktu itu. Modal kemajuan pesat pendidikan itu ialah semboyan orang Batak Toba tentang hamajuon atau kemajuan.
Migrasi yang terjadi ke Sumatera Timur dan Jawa dianggap sebagai aplikasi mengisi hamajuon oleh masyarakat Batak Toba khususnya penduduk Simaninggir. Bagi orang Batak
Toba pendidikan adalah jalur mencapai kemajuan. Seperti yang telah dialami, pendidikan yang diorganisir oleh misi Jerman, Pemerintah Belanda, dan orang Batak Toba telah
mengangkat martabat dan kemampuan orang Batak Toba sehingga mereka dapat hidup lebih baik terutama di daerah perantauan. Banyak dari mereka dinilai lebih pintar dari orang
Melayu dan Jawa dalam jabatan mandor dan pegawai rendah lainnya, maupun jabatan pegawai, guru, dan lainnya.
Untuk mencapai tingkat pendidikan yang diinginkan, pengaruh kekayaan tidak membedakan keinginan tersebut. Persaingan untuk memberangkatkan anak ke sekolah yang
lebih tinggi di kota-kota Kabupaten Tapanuli Utara, bahkan ke kota dan propinsi lain di Sumatera atau Jawa cukup terasa. Syair nyanyian ciptaan komponis Nahum Situmorang
alm mendukung kegigihan tersebut dan memberitahukan secara halus adanya persaingan.
Universitas Sumatera Utara
76
Syair lagu tersebut berbunyi:
ANAKHON HI DO HAMORAON DI AHU ANAKKU ADALAH KEKAYAANKU
Ai tung so boi pe au inang da tu dolok tu toruan tar songon dongan-dongan ki nalobi pansarian
alai sudena gellenghi da dang jadi hahurangan anakkon hi do hamoraon di ahu
nang so tarihuthon ahu pe angka dongan ndang na pola marsak ahu disi
alai anakkon hi do dang jadi hatinggalan sian dongan ma godangnai
hugogo pe mansari arian nang bodari lao pasikkolahon gelleng hi
ai ingkon marsikkola do satimbo-timbona sikkap ni na tolap gogokki
marhoi-hoi pe au inang da tu dolok tu toruan mangalului ngolu-ngolu naboi parbodarian
asalma sahat gelleng hi da sai sahat tu tujuan anakhon hi do hamoraon di au
Kesadaran terhadap peranan pendidikan yang demikian besar terlihat dari kesungguhan mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke luar Sumatera sejak
terbukanya isolasi Batak dengan dibukanya jalan raya yang menghubungkan keresidenan Tapanuli dengan Sumatera Timur pada awal abad ke-20. Menurut hasil analisa penulis, baik
mereka yang kaya maupun miskin kesungguhannya sama dalam menyekolahkan anak.
Universitas Sumatera Utara
77
Persaingan positif ini berdasarkan landasan ideal cita-cita hidup Batak Toba. Kekayaan merupakan modal untuk mencapai pendidikan. Bagi orang Batak Toba, faktor kekayaan
melalui pengamatan penulis, bukan merupakan penentu untuk membentuk semangat mengejar pendidikan karena pendidikan telah menjadi kebiasaan membudaya.
Namun kenyataannya faktor kekayaan penting untuk menunjang pendidikan anak sampai tingkat yang tertinggi, seperti tampak dari syair lagu ciptaan Nahum Situmorang di
atas, bahwa anak adalah kekayaan. Karenanya, orangtua harus bersedia bekerja keras mencari nafkah untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat tertinggi. Bila diterjemahkan
lagi motto hidup ini, menunjukkan bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain. Suasana kemerdekaan memberi peluang bagi rakyat biasa
untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang dapat dianggap sebagai mobilitas sosial.
Tabel I Banyak Sekolah Menurut Status di Kecamatan Parlilitan Tahun 1990
No. Nama
Sekolah Jumlah
Sekolah Jumlah
Murid Kelas
1 Kelas
2 Kelas
3 Kelas
4 Kelas
5 Kelas
6 1.
SD Non Inpres
35 3.613
634 711
662 562
518 526
2. SD
Inpres 18
1580 293
281 266
263 240
237 3.
SMP Negeri
3 1.416
504 459
453 -
-- -
4. SMP
Swasta 3
349 123
108 118
- --
- 5.
SMA Negeri
1 371
135 108
128 -
- -
Sumber: BPS Kecamatan Parlilitan 2013
Selama dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, seperti jamur di musim penghujan bermunculan sekolah-sekolah buatan republik antara lain di beberapa ibukota kecamatan
Universitas Sumatera Utara
78
telah berdiri SMP, SMA di Tarutung dan Balige, Schakel school, Vervolk School, Volk School dilebur menjadi Sekolah Rakyat.
64
Pada tahun 1950-an murid-murid yang berhasil menyelesaikan pelajarannya di Sekolah Dasar kemudian melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi. Mereka mengikuti jejak langkah dari para murid yang berasal dari Desa Pusuk 1 dan juga adanya dorongan motivasi dari orang tua dan guru mereka. Di Desa
Simaninggir sendiri sampai tahun 2002 pun belum didirikan pemerintah sekolah lanjutan seperti SMP, sehingga untuk melanjutkan sekolah tingkat pertama mereka harus pergi ke luar
daerah dan menumpang di rumah-rumah guru maupun tinggal di rumah-rumah penduduk Pusuk 1 agar bisa melanjutkan sekolah.
65
Ada rasa rendah diri tersendiri jika mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka sampai SMA. Anak-anak yang melanjutkan tingkat pendidikan SMA, yang semuanya berada
di luar Simaninggir, akan pulang kembali ke Simaninggir saat musim liburan untuk mengambil bekal hidup seperti uang dan beras yang akan dibawa kembali ke tempat di mana
mereka bersekolah. Selama di kampung, mereka akan membantu orang tuanya ke ladang, Mereka memilih tinggal di rumah-rumah yang dekat dengan sekolah mereka yang
pada saat itu yakni desa Pasar Pusuk 1. Di Desa Pusuk 1 hanya terdapat Sekolah Menengah Pertama yang pada saat itu bernama SMP SATAHI PUSUK. Oleh karena itu untuk
melanjutkan ke tingkat SMA mereka berpencar, ada yang ke SMA di Dolok Sanggul, Pakkat, Parlilitan, Balige dan Tarutung. Pada tahun 1970-an sudah banyak anak-anak Simaninggir
yang mengecap pendidikan SMP dan SMA. Bahkan secara mendasar, menjadi keharusan bagi para orang tua mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMA.
64
Bungaran Antonius Simanjuntak, Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 tahun Agama Kristen di Sumatera Utara. Op.Cit., hal. 271.
65
Wawancara dengan Martua Mahulae dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
79
membersihkan rumah dan menceritakan pengalaman mereka selama bersekolah di luar daerah.
Bagi murid yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, mereka ada yang kuliah di Siantar, Medan dan Pulau Jawa, meskipun hanya beberapa orang yang mengecap perkuliahan
dari Desa Simaninggir. Hasil dari pendidikan yang didapatkan oleh para pemuda dan pemudi Desa Simaninggir setelah menamatkan diri dari pendidikan SMA, mereka memilih untuk
menetap diperantauan dan mencari pekerjaan di sana dan kemudian berhasil dan akhirnya menetap di perantauan tersebut karena pekerjaan yang mereka dapatkan sudah jauh lebih
baik.
Tabel II Banyak Surat dan Wessel Pos
yang Dikirim dan Diterima Dirinci PerKantor Pos Kecamatan Parlilitan Tahun 1990
No. Jenis Surat
Jumlah Dikirim
buah Jumlah Diterima
buah Jumlah Uang
Dikirim Jumlah
Uang Diterima
1. Surat Biasa
4.320 9.439
- -
2. Surat Kilat
10.200 8.780
Rp. 64.035 Rp.38.009
3. Wessel Pos
939 853
- -
Sumber: BPS Kecamatan Parlilitan 2013
Hasil dari pekerjaan mereka berupa gaji bulanan, mereka sisihkan untuk dikirim kepada orang tua mereka yang tinggal di kampung. Kiriman dikirimkan melalui Kantor Pos
Parlilitan, akan sampai di satu Kedai Kopi yang terdapat di Pasar-Pusuk, kemudian saat Hari Sabtu yaitu merupakan hari pekan atau pasar, penduduk Simaninggir akan turun ke pasar
Universitas Sumatera Utara
80
untuk berbelanja, maka pemilik Kedai Kopi akan memanggil orang tua yang mendapat surat dan kiriman dari anak mereka.
66
Saat usia orang tua mereka telah lanjut, maka mendorong anak-anaknya untuk menarik orang tua mereka untuk tinggal bersama dengan mereka di tanah perantauan. Bagi
para orang tua, awalnya hal ini memang sangat berat untuk mengikuti anaknya tinggal menetap di perantauan karena rumah dan sawah serta ternaknya nanti tidak ada yang
mengurus. Lama-kelamaan mereka akhirnya mengikuti anak mereka untuk tinggal bersama Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi para orang tua Simaninggir saat
mendapat surat dan kiriman dari anak mereka yang ada di perantauan. Mereka akan memberitahukan hal ini kepada penatua gereja agar saat kebaktian ibadah Hari Minggu, akan
diumumkan bahwa anak mereka baik-baik saja di perantauan dan telah mengirimkan sedikit rejeki sebagai ucapan terima kasih ke gereja. Maka setelah pulang kebaktian, para orang tua
akan bercerita tentang anak-anak mereka yang ada di perantauan dengan rasa bangga sambil berjalan menuju rumah masing-masing.
Mendengar cerita dari penduduk yang rata-rata anaknya sudah merantau dan mendapat pekarjaan di perantauan, serta mendapatkan kiriman beberapa kali dalam setahun
yang kemudian memberikan ucapan terimakasih ke gereja karena doa dari pendeta dan para jemaat, menjadi daya tarik tersendiri dan motivasi bagi orang tua yang sedang dalam proses
menyekolahkan anak mereka di Simaninggir sampai tamat Sekolah Dasar dan melanjutkan tingkat pendidikan SMP dan SMA. Selanjutnya, saat orang tua penduduk Simaninggir
berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka keluar daerah dan bekerja di sana, tinggallah orang tua mereka di kampung halaman.
66
Wawancara dengan Magdalena Simanullang dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
81
di perantauan, karena mereka tidak cukup kuat untuk hidup seorang diri karena tidak sanggup lagi berjalan menaiki dan menuruni perbukitan Simaninggir, untuk setiap aktivitasnya, dan
jauh dari anak-anaknya membuat mereka selalu merindu juga fasilitas kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan terdapat di perantauan.
Meskipun orang tua yang tinggal di kampung selalu dikirimi uang oleh anak-anak mereka setiap bulannya, tetap saja tidak dapat dipergunakan untuk membeli kebutuhan
sehari-hari secara bebas. Hal ini karena keadaan fisik mereka yang tidak sekuat dulu, menyebabkan mereka tidak bisa turun ke pasar pada Hari Sabtu karena tidak adanya
transportasi yang sampai ke Desa Simaninggir. Faktor transportasi ini jugalah yang mendorong para orang tua untuk semakin berfikir tentang ajakan anak-anak mereka agar
tinggal bersama di tanah perantauan tempat mereka berdomisili. Hal ini juga merupakan sebuah kebanggan bagi satu keluarga Simaninggir, saat anak-
anaknya berhasil membawa keluarganya ke perantauan di mana mereka berdomisili dan bekerja. Sukses dalam mencapai pendidikan tertentu, kemudian keberhasilan untuk
memperoleh pekerjaan, baik diberbagai instansi, apalagi mendapat tempat dalam hirarki sistem pemerintahan sepertinya telah membuat mereka semakin betah untuk tinggal dan
menetap di perantauan. Kesempatan yang terbatas di wilayah budaya sendiri untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan kaum terdidik yang belajar di daerah lain semakin
enggan untuk kembali ke kampung halamannya. Terbukanya pusat-pusat pendidikan di daerah lain, lama-kelamaan menyebabkan
Simaninggir kehilangan manusia-manusia potensialnya yaitu para generasi muda, yang mengakibatkan lahan pertanian mereka kembali menjadi lahan yang ditumbuhi semak
belukar. Pendidikan telah menjadi salah satu faktor yang mampu mengatasi kemiskinan
Universitas Sumatera Utara
82
bahkan merupakan langkah paling strategis untuk meraih hamoraon dan hasangapon di kalangan generasi muda Simaninggir. Pada tahun 1990-an kaum muda yang mendapat
pendidikan SMP dan SMA di Simaninggir sudah merasa malu tinggal di kampung halamannya jika tetap menjadi petani apalagi hanya membantu orang tua setiap harinya ke
sawah.
67
Bagi penduduk Desa Simaninggir, interaksi dengan dunia luar sudah berlangsung sejak masa kemerdekaan, hal ini lebih fokus dalam hal perekonomian di antara daerah-daerah
di sekitar Simaninggir yakni daerah Sipagabu dan Pasar Pusuk 1 sebagai tempat berlangsungnya pasar. Pasar Pusuk 1 memiliki akses jalan raya yang dapat dilalui untuk
transportasi yang lebih memadai untuk melakukan kontak dengan Kecamatan Parlilitan dan Pendidikan yang mereka tempuh menjadi salah satu faktor penentu untuk
meninggalkan kampung halamannya. Mereka meninggalkan Desa Simaninggir dengan satu tekad dapat berhasil ‘menjadi anak’ di daerah perantauan. Mereka mencari sumber
pendapatan yang lebih baik. Pendidikan menyebabkan wibawa sosial meningkat dan sekaligus ‘membuka jalan’ meninggalkan kampung halaman mereka yaitu Desa Simaninggir.
Singkatnya, pendidikan bukan menahan orang tinggal di desanya, tetapi mempercepat mereka meninggalkan kampung halamannya.
Migrasi seperti ini yang berkaitan dengan dunia pendidikan telah dimulai sejak tahun 1950-an dan mencapai puncak pada tahun 1970-
an.
4.2.3 Faktor Ekonomi