Relationship Between The Big Five Personality Factor (Neo - Pi - R) With Deviant Behavior In Employees

  RELATIONSHIP BETWEEN THE BIG FIVE PERSONALITY FACTOR

(NEO - PI - R) WITH DEVIANT BEHAVIOR IN EMPLOYEES

Helviana Syafitri

Lisparika Napitupulu

  Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Jl. Kaharudin Nasution No, 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru

  

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between the big five personality factors with deviant behavior in employees with a quantitative approach. Samples were employees PT.Telkom Witel Ridar, obtained by sampling purposive sampling technique. Subjects in this study were 130 employees. Of data collection is done by using a measuring tool form questionare based theory Costa & McCrae for five big personality factors and theories Robinson & Bennett for deviation theory behavior. Reliability test using Cronbach Alpha coefficient values obtained results with 0,893 to scale big five personality factors and 0.804 for the scale of deviant behavior. Based on the analysis, the result r = -0.052 and p = 0.559. These results indicate that there is not relationship between the significant big five personality factors with deviant behavior in employees. Keywords: big five personality factors, deviant behavior, employee

  Latar Belakang Masalah

  Sumber daya manusia di Indonesia secara umum masih dinilai berkualitas rendah, terutama di instansi pemerintahan maupun organisasi. Sumber daya manusia yang ada dalam suatu organisasi memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia tentunya akan menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan maupun karyawan itu sendiri. Berbagai cara dilakukan perusahaan agar para karyawan bekerja dengan baik dan tidak melakukan perilaku yang dapat merugikan perusahaan, seperti halnya memberikan reward jika karyawan melakukan pekerjaan sesuai target. Akan tetapi hal itu tidak membuat sebagian karyawan merasa puas, sebagian dari mereka melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma perusahaan atau di alam bawah sadar. Seperti melakukan pencurian kecil-kecilan, sengaja memperlambat siklus kerja, mensabotase peralatan kantor, datang terlambat, tidak menghormati, dan tidak mengikuti instruksi atasan (Galperin, 2002).

  Penyimpangan perilaku kerja merupakan suatu masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh organisasi saat ini. Penyimpangan perilaku kerja merupakan masalah luas, yang dapat menyebabkan kerugian finansial, ketika karyawan terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja, perilaku ini dapat memiliki efek merugikan pada organisasi. Beberapa tahun terakhir organisasi industri menghasilkan bunga yang tinggi untuk kegunaan organisasi. Miliaran dolar yang hilang setiap tahun akibat penyimpangan kerja seperti, organisasi kehilangan hingga $ 200 miliar dolar per tahun dari pencurian karyawan, $ 4,2 miliar untuk kekerasan, dan $ 5300000000 untuk rekreasi berselancar karyawan (Greenberg, 1998).

  Penyimpangan perilaku sangat berpengaruh terhadap individu dan organisasi (Sudha & Khan, 2013), setiap penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh karyawan tidak segera diselesaikan maka akan berakibat buruk terhadap generasi yang akan mendatang dan tentunya akan menganggu kepribadian setiap individu yang tidak melakukan penyimpangan. Perilaku menyimpang dapat juga berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan karyawan seperti yang ditargetkan oleh perilaku tersebut dan salah satu masalah yang paling serius yang dihadapi oleh organisasi (Sudha & Khan, 2013). Menurut Nuebert (2004) Penyimpangan dan penyimpangan organisasi.

  Menurut Judge, Martocchio & Thoresen (1997), kepribadian big five factor terdiri dari ekstraversi, kesadaran, keramahan, stabilitas emosi, dan keterbukaan terhadap pengalaman, lima faktor ini didesain untuk melihat temperamen kepribadian seseorang dalam hidupnya. Kepribadian secara unik sebagai instrumen yang terstandar, memprediksi hubungan dengan kinerja. Masing-masing dari kepribadian big five factor atau kepribadian lima besar seperti; ekstraversi, kesadaran, keramahan, stabilitas emosi, dan keterbukaan terhadap pengalaman, telah terbukti berpengaruh terhadap kinerja untuk level pekerjaan-pekerjaan tertentu, sehingga pengaruh kepribadian terhadap kinerja sangat berarti (Widhiastuti, 2005).

  Menurut Farhadi, Fatimah, Nasir & Shahrazad (2012) bahwa kesadaran dan keramahan menghasilkan hubungan yang signifikan dengan perilaku penyimpangan kerja. Karyawan yang kurang kesadaran dan keramahan akan lebih saling terlibat dalam perilaku menyimpang lebih sering, dari pada mereka yang lebih teliti dan menyenangkan rekan-rekan kerja. Pada dasarnya perilaku yang dilakukan individu erat kaitannya dengan kepribadian yang ada pada diri individu tersebut, dan kepribadian lima faktor sangat berperan aktif didalamnya. Kepribadian merupakan cerminan kemampuan seseorang dalam melakukan atau menjalankan aktivitas maupun berperilaku apapun. Lima faktor kepribadian yang merupakan salah satu teori kepribadian, dan dikembangkan dengan lima faktor yang dapat mencerminkan kemampuan seseorang untuk berperilaku tertentu dengan lebih baik atau tidak. Perbedaan lain yang mungkin muncul, individu dengan faktor ketelitian yang tinggi, tidak akan absen dari pekerjaannya dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat dimensi ketelitian yang rendah. Faktor ketelitian yang rendah, menyebabkan karyawan memiliki jalan yang salah dalam pekerjaan atau mungkin akan kehilangan pekerjaan (Widhiastuti, 2005).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu karakteristik yang relatif stabil yang menjelaskan bagaimana individu secara khusus bereaksi terhadap berbagai situasi. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengambil judul apakah terdapat “hubungan antara kepribadian big five factor (NEO-PI-R) dengan penyimpangan perilaku pada karyawan? ”.

  Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut : “apakah terdapat hubungan antara kepribadian big five factor (NEO- PI-R) dengan penyimpangan perilaku pada karyawan”.

  Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara kepribadian big five factor (NEO-PI-R) dengan penyimpangan perilaku pada karyawan.

  Manfaat Penelitian

  Dapat memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan bahwa adanya hubungan antara kepribadian big five factor terhadap penyimpangan perilaku. Serta menambah keilmuan psikologi terutama psikologi industri.

  b. Manfaat Teoritis

  1. Untuk Karyawan Diharapkan dapat di jadikan masukan untuk berperilaku dalam kehidupan sehari- hari agar dapat memberikan kualitas hidup yang terbaik sehingga menjadi individu yang berkompeten.

  2. Untuk Peneliti Selanjutnya Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya dan penelitian ini dapat menjadi acuan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi.

  

TINJAUAN PUSTAKA

Penyimpangan Perilaku

  Menurut teori biologis, penyimpangan dilakukan oleh seorang individu disebabkan oleh adanya faktor biologis. Seperti cacat fisik dan mental yang parah yang tidak mungkin dapat melakukan segala perilaku yang diharapkan sehingga timbul perilaku yang menyimpang. Salah satu contoh teori biologis ialah pandangan mengenai kromosom-Y ganda, dinyatakan bahwa satu diantara seribu orang lelaki memiliki kromosom sehingga pria semacam ini dinyatakan sangat cendrung melakukan tindak kejahatan dan prilaku yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat atau anti sosial (Luthans, 2006).

  Menurut teori sosialisasi penyimpangan dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk menghayati norma dan nilai-nilai yang dominan. Teori sosialisasi tertuju pada perilaku sosial baik yang bersifat menyimpang maupun yang patuh dikendalikan oleh norma dan nilai-nilai yang dihayati. Penyimpangan disebabkan oleh adanya gangguan pada proses penghayatan dan pengalaman nilai-nilai dalam perilaku seseorang.

  Teori Penyimpangan Perilaku

  Secara mendasar, paling tidak ada tiga perspektif untuk menentukan apakah perilaku menyimpang itu, yaitu absolut, normative, dan reactive (Narwoko & Suyanto, 2011). Perspektif absolut berpendapat bahwa kualitas atau karakteristik perilaku menyimpang bersifat intrinsik, terlepas dari bagaimana ia dinilai. Dengan kata lain, perilaku menyimpang ditentukan bukan dengan norma, kebiasaan, atau aturan-aturan sosial. Perspektif normative berpendapat bahwa perilaku menyimpang bisa didefinisikan sebagai setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Narwoko & Suyanto, 2011). Sebuah tindakan dikatakan menyimpang atau tidak, ditentukan oleh batasan-batasan norma masyarakat atau budaya. Perspektif reaktif berpandangan bahwa perilaku menyimpang dapat ditemukan dalam bagaimana secara aktual perilaku itu dinilai. perbuatan barulah dianggap menyimpang setelah dicap menyimpang, dan sesuatu yang relatif dalam arti bahwa kadang kala hampir semua orang dapat disebut sebagai penyimpangan sepenuhnya (Setiadi & Kolip, 2011). Perilaku dianggap menyimpang ketika kebiasaan organisasi, kebijakan, atau peraturan internal dilanggar oleh individual atau kelompok yang mungkin membahayakan kesejahteraan organisasi atau masyarakat (Robinson & Bennet, 2000).

  Aspek – aspek penyimpangan perilaku

  Empat aspek yang di kemukakan oleh Robinson & Bennet (2000) yaitu:

  1. Penyimpangan produksi Prediktor produksi penyimpangan yang sangat berkolerasi dan berperan dalam organisasi. Organisasi dimana individu melindungi diri untuk kepentingan mereka yang paling mungkin untuk melakukan penyimpangan. Adapun penyimpangan produksi yang dilakukan oleh individu adalah: pergi lebih awal, mengambil waktu istirahat yang berlebihan, sengaja bekerja lambat, membuang- buang sumber daya.

  2. Penyimpangan properti Merupakan penyimpangan yang dilakukan individu yang kebijakan dan kepatuhannya sangat rendah terhadap perusahaan. Adapun penyimpangan yang dilakukan adalah : menyabotase peralatan, menerima suap, berbohong tentang jam kerja, mencuri dari perusahaan.

  3. Penyimpangan politik Penyimpangan yang diklasifikasiikan sebagai bentuk kecil dari penyimpangan, organisasi memberikan pengertian bahwa mereka peduli tentang kesejahteraan karyawan, maka karyawan akan cenderung untuk terlibat dalam perilaku penyimpangan politik. Adapun penyimpangan yang dilakukan adalah: menunjukkan favoritisme, bergosip tentang rekan kerja, menyalahkan rekan kerja, bersaing tidak sehat.

  4. Penyimpangan agresi

  Penyimpangan yang tidak berhubungan dengan organisasi tetapi sangat berhubungan dengan kepribadian individu yang melakukan tindakan menyimpang. Adapun penyimpangan yang dilakukan individu adalah: melecahkan seksual, pelecahan verbal, mencuri dari rekan karja, membahayakan rekan kerja.

  Kepribadian

  Beberapa definisi yang penting secara historis adalah teori ciri (pola perilaku yang dapat diamati, berlangsung dari waktu ke waktu), teori sifat dan faktor Eysenck, McCrae dan Costa, dan pendekataan trait dari Cattel. Eysenck menggunakan pendekatan hipotesis deduktif untuk meringkas tiga faktror bipolar; ekstraversi atau introversi, neurotisme atau stabilitas, dan psikotik atau superego. Eysenck yakin bahwa, untuk dapat bermanfaat kepribadian harus dapat memprediksi perilaku dan mempersentasikan bukti yang cukup untuk mendukung teori tiga faktornya. McCrae dan Costa, seperti Eysenck menempatkan pendekatan trait untuk dapat berkembang lebih empiris dan statistis. Ia menekankan pentingnya mengumpulkan informasi kunci dari kuesioner, dari situasi tes, dan dari kehidupan seseorang dan kemudian menggabungkan informasi tersebut secara objektif dengan menggunakan metode kuantitatif yang canggih terutama analisis faktor (Friedman & Schustack, 2006).

  Teori Kepribadian Big Five Factor

  Costa dan McCrae, seperti kebanyakan peniliti faktor lainnya, membangun taksonomi yang terelaborasi mengenai sifat dari kepribadian. Dalam masa penelitiannya Costa dan McCrae awalnya hanya berfokus pada dua dimensi utama, yaitu neurotisme dan ekstraversi. Tidak lama setelah menemukan N dan E, Costa dan Mccrae menemukan faktor ketiga yang mereka sebut dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Walaupun Lewis Goldberg adalah orang yang pertama menggunakan istilah lima besar pada tahun 1981 untuk mendeskripsikan temuan yang konsisten dari analisis faktor atas sifat kepribadian. Hingga akhirnya dua dimensi terakhir muncul yaitu keramahan dan kesadaran, dan mereka melaporkan studi pada lima faktor kepribadian (Feist & Feist, 2010).

  John & McCrae (1990) menyingkat ke lima faktor kepribadian tersebut dengan OCEAN. Berkaitan dengan kepribadian lima besar tersebut, Robins, Tracy & Trzesniewski (2008) memiliki pendapat sendiri antara lain Neurotisme meliputi perasaan-perasaan negatif, cemas, sedih, mudah tersentuh. Faktor Keterbukaan atas pengalaman meliputi keterbukaan, kedalaman dan mental individual yang kompleks dan pengalaman hidup. Ekstraversi dan faktor Kesepakatan termasuk interpersonal bahwa seseorang dapat bekerjasama dan bergaul dengan orang lain. Terakhir adalah yang disebut dengan faktor Ketelitian, menyangkut tugas dan pencapaian serta kontrol yang merupakan persyaratan sosial (Robins, Tracy & Trzesniewski, 2008).

  Aspek-aspek Kepribadian Big Five Factor

  Pengukuran five factor model yang menggunakan trait kata tunggal sebagai sebuah item, dikembangkan oleh Paul T. Costa dan Robert R. McCrae. Adapun aspek-aspek didalam kepribadian big five factor menurut Costa & McCrae (1991) meliputi :

  1. Stabilitas Emosi Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptif (Costa & McCrae 1991). Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk menahan stres. Orang dengan kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang skornya negatif tinggi cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman (Mastuti, 2005).

  2. Ekstraversi Menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan menunjukkan tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Kaum ekstravert (ekstraversinya tinggi) cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan. Sementara kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian (Mastuti, 2005).

  3. Keterbukaan terhadap pengalaman Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa (Costa & McCrae, 1991). Dimensi ini mengamanatkan tentang minat seseorang. Orang terpesona oleh hal baru dan inovasi, ia akan cenderung menjadi imajinatif, benar - benar sensitif dan intelek. Sementara orang yang disisi lain kategori keterbukaannya ia nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban (Mastuti, 2005).

  4. Keramahan Menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum mulai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku (Costa & McCrae, 1991). Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Orang yang sangat mampu bersepakat jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain (Mastuti, 2005) 5. Kesadaran.

  Menilai kemampuan individu didalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi (Costa & McCrae, 1991). Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung bertanggungjawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah ia akan cenderung menjadi lebih kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan (Mastuti, 2005).

  Faktor-Faktor Terbentuknya Kepribadian Big Five Factor faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian ada dua yaitu faktor

genetik dan faktor lingkungan (John & Srivastava, 1999). Faktor genetik mempunyai peranan

penting didalam menentukan kepribadian khususnya yang terkait dengan aspek yang unik

dari individu (John & Srivastava, 1999). Pendekatan ini berargumen bahwa keturunan

memainkan suatu bagian yang penting dalam menentukan kepribadian seseorang (Mastuti,

2005). Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang membuat seseorang sama dengan

orang lain karena berbagai pengalaman yang dialaminya.

situasi. Diantara faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap

kepribadian adalah pengalaman individu sebagai hasil dari budaya tertentu. Masing-masing

budaya mempunyai aturan dan pola sanksi sendiri dari perilaku yang dipelajari, ritual dan

kepercayaan. Hal ini berarti masing-masing anggota dari suatu budaya akan mempunyai

karakteristik kepribadian tertentu yang umum (John & Srivastava, 1999). Faktor lain yaitu

faktor kelas sosial membantu menentukan status individu, peran yang mereka mainkan dan

hak istimewa yang dimiliki. Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya dan

bagaimana mereka mempersepsi anggota dari kelas sosial lain. Faktor lain yaitu faktor kelas

  sosial membantu menentukan status individu, peran yang mereka mainkan dan hak istimewa yang dimiliki. Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya dan bagaimana mereka mempersepsi anggota dari kelas sosial lain ( John & Srivastava, 1999 ).

  Hubungan Kepribadian Big Five Factor dengan Penyimpangan Perilaku Karyawan

  Kepribadian big five factor adalah lima abstrak dimensi yang banyak disajikan oleh pendekatan kepribadian, yang terdiri dari stabilitas emosi, ekstraversi, keterbukaan terhadap pengalaman, keramahan, dan kesadaran. Penyimpangan kerja berkaitan dengan model lima faktor kepribadian. Individu yang openess to experience memiliki inovasi dan cenderung menjadi imajinatif, benar-benar sensitif dan intelek. Sementara orang yang disisi lain kategori keterbukaannya ia nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban sehingga tidak akan melakukan penyimpangan. menurut penelitian Robins (2001). Selanjutnya orang yang memiliki conscientiousness memiliki sifat-sifat seperti kepercayaan, kompetensi, prestasi berjuang, tanggung jawab, dan disiplin. Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan kesadaran berhubungan negatif dengan perilaku menyimpang dalam organisasi (Farhadi, Fatimah, Nasir & Shahrazad, 2011). Mereka menemukan hubungan negatif antara kesadaran dan perilaku menyimpang di tempat kerja sehingga individu yang mendapat skor rendah pada conscientiuosness akan melakukan penyimpangan produksi.

  Individu yang memiliki ekstraversion mampu bersosialisasi, aktif, suka berbicara, berorientasi pada hubungan dengan manusia, optimis, menyukai kegembiraan, dan setia. Sedangkan individu yang memiliki ekstraversi nya rendah lebih introvert cenderung tidak terbuka dan memiliki hubungan yang sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian. Sehingga individu yang rendah ekstraversinya akan melakukan penyimpangan pribadi agresi. Seperti yang dikemukakan oleh Kaplan, Gurven, Rueden, Massenkof & Vie (2012) individu yang kurang motivasi dan tidak dapat menyesuaikan diri akan melanggar dari konteks sosial sehingga melakukan penyimpangan. Individu yang memiliki agreeableness cenderung berhati lembut, percaya, suka menolong, dan pemaaf. Menurut penelitian Nuebert (2004) bahwa, karyawan yang keramahannya tinggi tidak akan melakukan sifat permusuhan dan melakukan agresi terhadap orang lain selama waktu bekerja. Sedangkan menurut Judge, Martocchio & Thoresen (1997) keramahan memiliki hubungan negatif dengan perilaku antarpribadi sehingga melakukan penyimpangan

  Emotional stability menunjukkan hubungan yang negatif terhadap penyimpangan

  perilaku. Individu dengan stabilitas emosi yang tinggi akan dapat bekerja lebih baik dibandingkan dengan individu yang lain pada situasi yang memiliki tingkat stressor yang tinggi (Costa & McCrae, 1991). Selanjutnya individu dengan stabilitas emosi cenderung merasa tenang, aman, dan percaya diri sehingga kecil kemungkinan melakukan penyimpangan perilaku. Kepribadian big five factor sangat memiliki hubungan yang erat dengan penyimpangan perilaku, karena kepribadian merupakan hal yang unik yang mendasari pikiran, perilaku dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang. Lima faktor kepribadian didesain untuk melihat tempramen kepribadian seseorang dalam hidupnya, yang mencerminkan skor tinggi dan rendah sehingga terbukti berpengaruh terhadap kinerja.

  Berkenaan dengan faktor demografi dengan perilaku menyimpang di tempat kerja, ada beberapa temuan yang menemukan perbedaan dalam perilaku menyimpang di tempat kerja antara karyawan dengan demografis yang berbeda latar belakang. Satu studi menunjukkan bahwa jenis kelamin lebih berpengaruh kuat dari pada agresi antarpribadi (Hershcovis dkk, 2007). Jenis kelamin dan usia yang ditemukan berhubungan dengan penyimpangan perilaku di tempat kerja. Sebuah meta-analisa dilakukan untuk meninjau penyimpangan perilaku dalam organisasi menemukan bahwa usia, jenis kelamin, dan status perkawinan merupakan hasil yang valid dalam melakukan penyimpangan perilaku (Lau & Sholihin, 2005).

  Hipotesis

  Berdasarkan berbagai uraian teori yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti mengambil suatu hipotesa bahwa:

  1. Ada hubungan yang signifikan antara kepribadian big five factor dengan penyimpangan perilaku pada karyawan

  2. Ada hubungan yang negatif antara stabilitas emosi dengan penyimpangan perilaku pada karyawan

  3. Ada hubungan yang negatif antara ekstraversi dengan penyimpangan perilaku pada karyawan

  4. Ada hubungan yang negatif antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan penyimpangan perilaku pada karyawan

  5. Ada hubungan yang negatif antara kesadaran dengan penyimpangan perilaku pada karyawan

  6. Ada hubungan yang negatif antara keramahan dengan penyimpangan perilaku pada karyawan.

  

METODE PENELITIAN

Identifikasi Variabel Penelitian

  1. Variabel Independen (X) : Kepribadian Big Five Factor

  Definisi Operasional Variabel

  Penyimpangan Perilaku Penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Penyimpangan meluas jika banyak orang menempuh cara-cara pencapaian keberhasilan dengan wajar beralih kecara-cara menyimpang, kebanyakan penyimpangan menimbulkan hal yang merusak bagi seseorang dan masyarakat. Perilaku dianggap menyimpang ketika kebiasaan organisasi, kebijakan, atau peraturan internal dilanggar oleh individual atau kelompok yang mungkin membahayakan kesejahteraan organisasi atau masyarakat. Robinson & Bennet (2000) mengemukakan aspek- aspek penyimpangan perilaku yaitu; (1). Penyimpangan produksi, (2). Penyimpangan properti, (3). Penyimpangan politik, dan (4). Penyimpangan agresi.

  Kepribadian Big Five Factor Kepribadian adalah karakteristik psikologis individu yang dapat membedakan dari individu lain dan karakteristik tersebut tercermin didalam individu menghadapi situasi tertentu dengan cara yang khusus. Kepribadian adalah asosiasi dari berbagai latar belakang yang manusia pilih dan bagaimana mereka menggunakannya dalam pekerjaan. Teori Big Five

  

Factor sangat berguna dalam menentukan performa yang akan mendukung kinerja

  karyawan. Costa & McCrae (1991) mengemukakan aspek-aspek sebagai berikut; (1). Stabilitas emosi, (2).Ekstraversi, (3). Keterbukaan terhadap pengalaman, (4). Keramahan, dan (5). Kesadaran.

  Subjek Penelitian

  Populasi Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang dapat berupa manusia Bungin (2009). Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karektiristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik-karakteristik individu (Azwar, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Telkom Witel Ridar Kota Pekanbaru. Populasi berjumlah 180 karyawan yang merupakan seluruh staf PT.Telkom Witel Ridar.

  Metode Pengumpulan Data

  Skala adalah suatu alat pengumpul data yang berupa sejumlah pernyataan yang harus dijawab oleh subjek yang menjadi sasaran atau responden penelitian. Penggunaan skala sebagai salah satu alat pengumpulan data didasarkan pada pertimbangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Hadi (1997), sebagai berikut : (1) subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri; (2) apa yang dinyatakan oleh subjek adalah benar dan dapat adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

  Kelebihan dari skala ini, dikemukakan oleh Sugiyono (2010) yaitu: (1) metode ini merupakan metode yang praktis; (2) dalam waktu yang singkat dapat memperoleh data yang banyak; (3) hemat, dengan menggunakan angket, tenaga yang digunakan sedikit; dan (4) orang dapat menjawab dengan leluasa dan tidak dipengaruhi oleh teman-teman yang lainnya.

  Daya Diskriminasi

  Menurut Azwar (2012), daya diskriminasi adalah suatu ukuran yang menunjukkant tingkat-tingkat pembedaan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai daya beda soal tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki daya beda soal rendah. Penentuan kriteria yang menyatakan dalam indeks daya diskriminasi butir minimal 0,30. Namun, apabila jumlah yang diinginkan tidak mencukupi, maka dapat meurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25 sehingga jumlah butir yang diinginkan dapat tercapai. Uji validitas kedua skala dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer paket Seri Program Statistik SPSS 17.0 for Windows. Uji diskriminasi skala penyimpangan perilaku menghasilkan koefisiensi yang bergerak antara -0,009 sampai 0,780 sebelum seleksi butir. Dengan pengujian tersebut tidak terdapat aitem gugur dari 28 aitem yang di uji cobakan. Dari 28 aitem yang shahih, akan digunakan semua dalam penelitian ini. Hasil dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

  Metode Analisis Data

  Setelah melakukan prosedur penelitian dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya proses analisis data. Sebelum melakukan proses analisis korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebaran data dan uji linieritas hubungan variabel sebagai prasyarat dalam melakukan analisis korelasi product moment.

  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Hipotesis

  Sebagaimana dengan hipotesis yang telah diajukan ada enam hipotesis. Berdasarkan hasil uji korelasi product moment untuk menguji hipotesis dalam penelitian ditemukan bahwa adanya hubungan negatif antara kepribadian big five factor terhadap penyimpangan perilaku pada karyawan. Adapun untuk tambahan analisis regresi untuk melihat seberapa besar konstribusi yang diberikan variabel bebas dan variabel terikat. Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa kepribadian big five factor dengan penyimpangan perilaku tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, yaitu adanya hubungan negatif antara kepribadian big five factor dengan penyimpangan perilaku.

  1. Tidak terdapat hubungan antara big five factor dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar -0.052 dan p=0,559. Nilai

  p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,559 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  2. Tidak terdapat hubungan antara stabilitas emosi dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar 0,005 dan p=0,955. Nilai p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,955 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  3. Tidak terdapat hubungan antara ekstraversi dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar 0,000 dan p=0,999. Nilai p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,999 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  4. Tidak terdapat hubungan antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar -0,101 dan p=0,252. Nilai p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,252 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  5. Tidak terdapat hubungan antara keramahan dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar -0,133 dan p=0,131. Nilai

  p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,131 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  6. Tidak terdapat hubungan antara kesadaran dengan penyimpangan perilaku pada karyawan, menggunakan korelasi product moment (r) sebesar 0,010 dan p=0,914. Nilai p lebih besar dari nilai 0,05 atau 0,914 > 0,05 maka hipotesis ditolak.

  Pembahasan

  Berdasarkan hasil analisis korelasi Product Moment dalam menjawab hipotesis penelitian mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Big Five Factor dengan Penyimpangan Perilaku, yang ditunjukkan pada hasil nilai korelasi sebesar -0,052 dan

  

p=0,559 (p>0,05). Dengan demikian hipotesis penelitian ditolak. Miner (1992) menjelaskan

bagaimana kepribadian dalam diri individu secara khusus bereaksi terhadap berbagai situasi.

  Woodworth & Ruchimat (1997) mengatakan bahwa faktor hereditas dan faktor lingkungan sama-sama turut mempengaruhi terbentuknya kepribadian individu. Faktor hereditas meliputi segenap faktor yang telah ada pada individu pada waktu individu telah mulai menjalani kehidupannya. Sedangkan yang dimaksud faktor lingkungan adalah segenap faktor yang terdapat diluar individu yang selalu memberikan pengaruh terhadap individu semenjak dimulainya kehidupan.

  Hasil penelitian menemukan bahwa banyak subjek memiliki kepribadian big five

factor yang tinggi sehingga tingkat penyimpangan perilaku yang dialami subjek menurun.

Individu dengan aspek stabilitas emosi yang sangat tinggi akan cenderung mengukur emosi yang tidak stabil, identitas rata-rata individu penyebab stres psikologis, ide-ide yang tidak realistik, dorongan hati dan mengatasi respon-respon penyesuaian yang buruk (McCrae & John, 1990). Apabila individu memiliki aspek stabilitas emosi yang sangat tinggi tentunya dapat bekerja dengan baik. Kemampuan mereka untuk mengendalikan kekhawatiran dan kecemasan yang mereka miliki membuat mereka dapat menjalankan pekerjaan mereka dengan baik dan pada akhirnya menurunkan penyimpangan perilaku mereka. Adanya tingkat kecemasan yang rendah, emosional yang stabil akan mempengaruhi proses sosialisasi yang baik dengan tim kerja. Hal ini tidak sejalan dengan hipotesis kedua bahwa tidak ada ditunjukkan dengan nilai r=0,005 yang berarti dibawah nilai skor korelasi dan p > 0,05.

  Telah diketahui bahwa aspek ekstraversi juga cukup berpengaruh besar terhadap penyimpangan perilaku. Individu dengan aspek ekstraversi yang sangat tinggi cenderung mampu bersosialisasi, aktif, suka berbicara, berorientasi pada hubungan dengan manusia, optimis, menyukai kegembiraan, dan setia (McCrae & John, 1990). Sehingga hipotesis ketiga tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Individu yang memiliki ciri ini, mereka dapat mengatasi konflik situasi dengan lebih efektif yang mungkin terjadi pada pekerjaan mereka (McShane & Glinow, 2000). Dengan kondisi kerja yang relatif tanpa konflik dapat membuat karyawan dengan ciri-ciri menjadi lebih nyaman dengan pekerjaan mereka. Dengan rasa aman yang mereka miliki mereka akan dapat memberikan semua kemampuan mereka dalam pekerjaan yang pada akhirnya dapat menurunkan penyimpangan perilaku pada karyawan.

  Keterbukaan terhadap pengalaman yang tinggi membuat individu dapat meluangkan waktu untuk berimajinasi, ketertarikan terhadap keindahan, perasaan, ide-ide, aksi-aksi, dan nilai-nilai yang muncul. Individu yang memiliki keterbukaan terhadap pengalaman cenderung merasa aman, tenang, dan percaya diri. Dengan karakteristik yang mereka miliki, dapat mencapai secara optimal kesuksesan dan prestasi. Kesuksesan dan prestasi diperlukan untuk menurunkan penyimpangan perilaku pada karyawan. Sehingga hipotesis keempat tidak menunjukkan hasil yang signifikan antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan penyimpangan perilaku yang ditunjukkan dengan nilai r= -0,101 yang berarti dibawah nilai skor korelasi dan p > 0,05.

  Individu dengan aspek keramahan yang sangat tinggi cenderung disiplin, penurut, memiliki kemampuan mengatur, penuh pertimbangan, berjuang untuk sampai tujuan (McCrae & John, 1990). Sehingga hipotesis ke lima tidak menunjukkan hasil yang signifikan antara keramahan dengan penyimpangan perilaku yang ditunjukkan dengan nilai r= -0,133 yang berarti dibawah nilai skor korelasi dan p > 0,05. Hipotesis sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mastuti (2005) menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keramahan dengan sampel mahasiswa suku jawa.

  Individu dengan aspek kesadaran yang sangat tinggi cenderung berhati lembut, percaya, suka menolong, memaafkan, dan terus terang (McCrae & John, 1990). Sehingga menurunkan penyimpangan perilaku dan mendorong individu untuk membantu teman yang sedang mengalami kesulitan tentu akan optimal. Seperti penelitian yang dilakukan Sartika & Iman (2012) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian dengan prokrastinasi akademik dengan nilai kesadaran 58,3%, hal ini hampir sama dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek kesadaran dengan penyimpangan perilaku yang ditunjukkan dengan nilai r=0,010 yang berarti dibawah nilai skor korelasi dan p > 0,05. Hasil ini juga didukung oleh deskriptif analisis yang menunjukkan kesadaran pada persentase yang sangat tinggi, sedangkan penyimpangan perilaku rendah.

  2 Koefisien determinasi yang ditemukan sebesar R=0,052 dengan R =0,003 atau 0,3% memperlihatkan bahwa kepribadian big five factor memberikan kontribusi sebesar 0,3%.

  faktor interaksi individu dan situasi, faktor individual dan faktor situasional. Faktor interaksi individu dan faktor situasi yaitu, perilaku menyimpang timbul disebabkan oleh adanya interaksi yang sangat erat antara individu dengan situasi ditempat kerja. Faktor individual yaitu perilaku menyimpang timbul disebabkan oleh dari individu itu sendiri, seperti karakteristik kepribadian (Robinson, 2003).

  Penyimpangan perilaku dijelaskan oleh Appelbaum, David & Matousek (2007) menunjukkan bahwa semakin terdidik karyawan semakin kecil kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku yang tidak etis, sesuai usia, dimana karyawan yang lebih tua cenderung lebih jujur dari pada karyawan yang lebih muda. Karyawan yang paling setia dan bersemangat tentang pekerjaan mereka rata-rata paling tidak mungkin untuk berhenti. Akibatnya karyawan tersebut kemungkinan besar tidak terlibat dalam praktik bisnis yang melanggar hukum. Ketika karyawan memiliki kepribadian big five factor yang rendah maka karyawan tersebut tidak dapat mengendalikan dorongan-dorongan untuk mengambil bagian dalam kegiatan illegal sehingga menyebabkan karyawan melakukan penyimpangan perilaku. Oleh karena itu, hasil analisis regresi pada penelitian ini telah menunjukkan bahwa kepribadian bukan faktor yang utama yang memberikan konstribusi yang tinggi terhadap penyimpangan perilaku.

  Adapun faktor- faktor penyebab penyimpangan perilaku dalam penelitian ini tidak terbukti dapat di lihat berdasarkan hasil deskripsi antara penyimpangan perilaku dengan jenis kelamin, terlihat bahwa karyawan perempuan sebanyak 72% dan karyawan laki-laki sebanyak 58%. Hal ini dinyatakan bahwa karyawan perempuan lebih ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan dengan nilai ekstraversinya yang sangat tinggi.

  Hasil deskripsi antara penyimpangan perilaku dengan usia karyawan, terlihat bahwa kebanyakan dari karyawan di dominasi berusia 38 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan emosi yang dimiliki karyawan sebesar 36,1%. Stabilitas emosi pada karyawan PT.Telkom tergolong sangat tinggi. Sedangkan hasil analisis deskripsi antara penyimpangan perilaku dengan status pekerja didominasi oleh pegawai tetap sebanyak 125 karyawan dan 5 karyawan adalah pegawai honorer. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan karyawan tetap bekerja dengan baik dan memiliki kesadaran yang sangat tinggi yaitu 45,4%.

  Adapun faktor-faktor penyebab penyimpangan perilaku dalam penelitian ini tidak terbukti karena beberapa faktor yaitu faktor resilensi. Faktor resilensi tidak hanya tergantung pada karekteristik individu, tetapi sangat dipengaruhi oleh proses interaksi yang timbul dari keluarga dan lingkungan menurut Schoon (dalam -, 2007). Sebagai contoh, individu belajar untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Hal ini mengacu pada operasi mental seperti; mengatasi keterampilan serta karakteristik individu dan pengalaman menurut Rutter (dalam -, 2007).

  Keluarga dalam hal ini juga dapat menjadi faktor pelindung seperti; ikatan yang kuat antara anak dan keluarga, keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak, orang tua mendukung serta memenuhi secara finansial, emosional, kognitif dan kebutuhan sosial serta dkk, 2003). Saat berada di lingkungan, keluarga juga memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan. Faktor pelindung yang paling penting adalah pemantauan orang tua yang sesuai dengan usia perilaku sosial, termasuk membangun jam malam, memastikan pengawasan orang dewasa pada saat di luar rumah dan menegakkan aturan rumah tangga. Serta mendukung anak pada keberhasilan akademik, ikatan yang kuat dengan lembaga prososial dan penerimaan norma konvensional terhadap penyalahgunaan narkoba (Bierman dkk, 2003). Dengan faktor – faktor pelindung tersebut membuat individu untuk mentaati norma-norma yang ada.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyimpangan perilaku yang dialami oleh karyawan PT. Telkom Witel Ridar berada pada cakupan rendah. Karyawan yang memiliki kepribadian big five factor yang tinggi lebih bersemangat dalam bekerja. Sehingga karyawan dapat bekerja dengan baik dan sungguh-sungguh.

  

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

  Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada karyawan PT. Telkom Witel Ridar dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian big five factor terhadap penyimpangan perilaku pada karyawan.

  Saran

  Setelah penulis melakukan analisis data dan kesimpulan terhadap penelitian, maka penulis memberikan saran:

  1. Bagi individu sendiri, sebaiknya terlebih dahulu mencari subjek dan tempat untuk melakukan penelitian, dan menerima berbagai masukan dari berbagai pihak sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

  2. Bagi organisasi, agar dapat memberikan reward bagi karyawan yang teladan dan tidak pernah memiliki masalah dalam organisasi sehingga menurunkan penyimpangan perilaku yang terjadi pada perusahan.

  3. Bagi penelitian selanjutnya, berdasarkan penelitian ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan antara lain, penelitian melibatkan subyek penelitian dalam jumlah terbatas, yaitu sebanyak 130 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini tidak menggunakan data kualitatif sebagai pendukung skala sehingga dimungkinkan adanya unsur kurang objektif dalam proses pengisian seperti adanya saling bersamaan dalam pengisian angket. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggali lebih dalam faktor-faktor serta variabel-variabel lain yang turut mempengaruhi penyimpangan perilaku yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

  Appelbaum,S.H., David, G., & Matousek,A. (2007). Positive and negative deviant behaviors: causes impacts and solutions. Corporate Governance Journal, 7, 586-598. Azwar, S. (2009). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2012). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bierman, K.L.,dkk. (2003). A research-based guide for parents, educator, and community leaders. Department of Health and Human Services: Maryland Bungin, B. (2009).Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Costa, P. T., & McCrae, R. (1991). Trait psychology comes of age. Faculty Publications, Departement of Psychology, 169-204. Farhadi, H., Fatimah, O., Nasir, R., & Shahrazad, W.S. (2012). Agreeableness and conscientiousness as antecedents of deviant behavior in workplace. Asian Social

  Science Journal, 8(9), 1-7

  Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (2006). Jakarta: Gelora Aksara Pratama Galperin, B. L. (2002). Determinants of deviance in the workplace: an emperical examination in Canada and Mexico. Unpublished Ph.D Thesis. Concordia University.

  Greenberg, J. (1998). Aggressive reactions to workplace injustice. Journal of Organizational Behavior, 83-117. Hadi, S. (1997). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset Hershcovis, S. M., dkk (2007). Predicting workplace aggression: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 92 (1), 228-238. John, O.P., & Srivastava, S. (1999). The big trait taxonomy: history measurement and theoretical perspectives. Departement of Psychology. Judge, T.A,. Martocchio, J. J,. & Thoresen, C. J (1997). Five factor model of personality and employee absence. Journal of Applied Psychology, 82(5),745-755. Lau, C. M & Sholihin, M. (2005). Financial and nonfinancial performance measurement: How do they affect job satisfaction. The British Accounting Review, 37(4),389-413. Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: ANDI Mastuti, E. (2005). Analisis faktor alat ukur kepribadian big five (adaptasi dari

  IPIP) pada mahasiswa suku jawa. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 7(3). McCrae, R. R., & John, O. P. ( 1990). An introduction to five factor model and its applications.

  Gerontology Research Center, Eastern Avenue, Baltimore

  McShane, S.L,. & Mary, A. V. G. (2000). Organizational Behavior. USA: McGraw-Hill Minner, J. B. (1992). Industrial-Organizational Psychology. USA: McGraw-Hill Narwoko, J.D,. & Suyanto, B. (2011). Sosiologi. Jakarta: Kencana Nubert, S. (2004). The five factor model and the workplace. Rochester Institute of

  Technology

  Robinson, S.L (2003). The impact of community violence and an organization’s procedural justice climate on workplace aggression. Academy of Management Journal. 46 (3), 317-326.

  Robinson, S. L., & Bennet, R. J. (2000). Developmentof a measure of workplace deviance.

  New York: John Miley & Sons.Inc Setiadi, E. M,. & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Sudha, K.S., Khan, W.(2013). Personality and motivational traits as correlates of workplace deviance among public and private sector employees. Journal Psychology, 4(1), 25-32.