BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Remaja - Perilaku Berisiko Seksual Remaja Pengamen Jalanan di Kota Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Remaja

  Mendefenisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Masa remaja merupakan masa transisi yang unik dan ditandai oleh berbagai perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yaitu usia 10-19, merupakan masa yang khusus dan penting. Karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa (FKM-UI, 2002; Sarwono, 2002).

  Pada masa remaja terjadi perubahan fisik (organobiologik) secara cepat, yang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mental-emosional). Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan remaja yang mengalaminya. Karena itu merekan memerlukan pengertian, bimbingan dan dukungan di lingkungan di sekitarnya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi dewasa yang sehat baik jasmani, maupun mental psikhososial.

  Dalam lingkungan sosial tertentu, masa remaja bagi pria merupakan saat diperolehnya kebebasan, sementara untuk remaja wanita merupakan saat mulainya segala bentuk pembatasan. Pada masa yang lalu, anak gadis mulai dipingit ketika mereka mulai mengalami haid. Walaupun dewasa ini praktek seperti itu telah jarang ditemukan. Namun perlakukan terhadap remaja pria dan wanita diperlukan dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja, agar masalahnya dapat tertangani secara tuntas (FKM-UI, 2002).

  Menurut ciri perkembangannya, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

  1. Remaja awal (early adolescence) (10-12 tahun) Seorang remaja pada tahap ini masih heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotic. Kepekaan berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

  2. Remaja madya (middle adolescence) (13-15 tahun) Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecendrungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana, peka atau tidak peduli, ramai- ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialistis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.

3. Remaja akhir (late adolescence) (16-19 tahun)

  Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: a.

  Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

  b.

  Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

  c.

  Terbentuk identitas seksual yang akan berubah lagi.

  d.

  Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

  e.

  Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2002).

2.2. Defenisi Anak Jalanan

  Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan phsykis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.

  Definisi anak jalanan adalah anak di bawah usia delapan belas tahun yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka di jalanan.

  Penggunaan istilah anak jalanan berimplikasi pada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial.

  

Kedua, pengertian ekonomi, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang

  terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua yang miskin (Nugroho, 2000; Bagong, 1999).

  UNICEF membagi anak jalanan dalam tiga kategori yaitu: anak-anak yang menghuni jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan anak-anak keluarga jalanan.

  Ada sejumlah faktor utama yang diyakini menyebabkan atau memperburuk, masalah anak jalanan termasuk: faktor ekonomi, hubungan keluarga, tingkat pendidikan orangtua rendah, jumlah keluarga besar, migrasi dari desa ke kota, perang dan bencana alam.

  Secara garis besar anak jalanan dibedakan ke dalam tiga kelompok :

  1. Children On the Street (Anak Jalanan yang bekerja di jalanan), yakni anak- anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya.

  2. Children of the street (Anak Jalanan yang hidup dijalanan), yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi.

  Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual.

  3. Children from families of the street atau children in street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia, kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api, dan sebagainya walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti (Bagong, 1999, Boaten, 2008).

2.3. Faktor–faktor yang Menyebabkan Munculnya Anak Jalanan

  Banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan seperti: kesulitan keuangan keluarga atau tekanan kemiskinan, ketidakharmonisan rumah tangga orangtua, dan masalah khusus menyangkut hubungan anak dengan orangtua. Kombinasi dari faktor-faktor ini seringkali memaksa anak-anak mengambil inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri dijalanan. Kadangkala pengaruh teman atau kerabat juga ikut menentukan keputusan untuk hidup dijalanan. Pada batas-batas tertentu, memang tekanan kemiskinan merupakan kondisi yang mendorong anak-anak hidup dijalanan. Namun, bukan berarti kemiskinan merupakan satu-satunya faktor determinan yang menyebabkan anak lari dari rumah dan terpaksa hidup dijalanan.

  Kebanyakan anak bekerja dijalanan bukanlah atas kemauan sendiri, melainkan sekitar 60% diantaranya karena dipaksa oleh orangtuanya (Bagong, 1999).

  Menurut Surjana menyebutkan bahwa faktor yang mendorong anak untuk turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut:

  1. Tingkat Mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orangtua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan (sering menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil) jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup dijalanan, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, dalam rangka bertualang, bermain-main atau diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari kelurga adalah terlantar, ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orangtua, salah perawatan dari orangtua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse) kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orangtua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini saling terkait satu sama lain.

  2. Tingkat Meso (underlying cause), yaitu faktor agar berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur disini dianggap sebagai kelas masyarakat, dimana masyarakat itu ada yang miskin dan kaya. Bagi kelompok keluarga miskin anak akan diikut sertakan dalam menambah penghasilan keluarga).

  Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain. Pergi ke kota untuk bekerja adalah sudah menjadi kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak (berurbanisasi).

  3. Tingkat makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ini dianggap memiliki status sebab akibat yang sangat menentukan, dalam hal ini sebab banyak waktu di jalanan, akibatnya akan banyak uang). Sebab yang dapat diidentifikasikan secara ekonomi adalah membutuhkan modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lama bekerja dijalanan dan meninggalkan bangku sekolah (Siregar, 2004).

2.4. Pengamen Jalanan

  Pengamen adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara bernyanyi atau memainkan alat musik di muka umum dengan tujuan menarik perhatian orang lain dan mendapatkan imbalan uang atas apa yang mereka lakukan.

  Definisi Pengamen itu sendiri, awalnya berasal dari kata amen atau mengamen (menyanyi, main musik, dsb) untuk mencari uang. Amen/pengamen (penari, penyanyi, atau pemain musik yang tidak bertempat tinggal tetap, berpindah-pindah dan mengadakan pertunjukkan di tempat umum). Jadi pengamen itu mempertunjukkan keahliannya di bidang seni. Seorang pengamen tidak bisa dibilang pengemis, karena perbedaannya cukup mendasar. Seorang pengamen yang sebenarnya harus betul-betul dapat menghibur orang banyak dan memiliki nilai seni yang tinggi. Sehingga yang melihat, mendengar atau menonton pertunjukkan itu secara rela untuk merogoh koceknya, bahkan dapat memesan sebuah lagu kesayangannya dengan membayar mahal (Suswandari, 2000).

  Pengamen adalah salah satu pekerjaan yang dilakukan anak jalanan dengan cara menyanyikan lagu baik menggunakan alat maupun tidak. Sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran dijalan atau tempat-tempat umum lainnya, tidak atau bergantung dengan keluarga, dan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup dijalanan.

2.5. Pengertian Perilaku

  Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan.

  Perilaku merupakan suatu tindakan yang mempunyai frekuensi, lama, dan tujuan khusus, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar (Green, 2000).

  Menurut Skinner (2001) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

  Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus. Skinner membedakan perilaku menjadi dua : a.

  Perilaku tertutup (Covert Behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.

  Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

  b.

  Perilaku terbuka (Overt Behavior) Repon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Skinner dalam Notoatmodjo (2001) mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan atau respon, respon dibedakan menjadi dua respon :

  1) Respondent response atau reflexive respon

  Respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap. Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi respon dan emotional behaviour. 2)

  Operant respons atau instrumental respon Respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforsing stimuli atau reinforcer.

  Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun dari luar individu.

  Menurut Quin, Anderson, dan Finkelstein bahwa ada 4 tingkatan dari pengetahuan yang perlu dikenal:

  1. Pengetahuan kognitif (know-what) yang berasal dari pelatihan dasar dan sertifikasi.

  2. Keahlian lanjutan (know-how) yang menerjemahkan buku pelajaran menjadi eksekusi yang efetif.

  3. Pemahaman sistem (know-why) yang berasal dari dua tingkatan di atas ditambah kemampuan untuk memimpin suatu intuisi pelatihan.

  4. Aktifitas yang berasal dari motivasi sendiri (care-why) yang mendorong kelompok-kelompok kreatif untuk menjadi kelompok yang terbaik dengan menggunakan kemampuan yang maksimal. Menurut Quin, Anderson, dan Finkelstein bahwa tiga tingkatan yang pertama terdapat pada system-sistem didalam organisasi seperti basis-basis data, teknologi dan sistem prosedur operasional, sedangkan yang ke empat hanya ada diperoleh melalui kultur dari organisasi (Wiranata, 2000).

  Bloom (1980) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor).

  Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

1. Pengetahuan (Knowledge)

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang merupakan pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

  Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

  Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan.

  a.

  Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling tendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyakatan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.

  b.

  Memahami (comprehension)

  Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalkan dapat menjelaskan mengapa harus makan-makanan yang bergizi.

  c.

  Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggukan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan- perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

  d.

  Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e.

  Sintesis (synthesis) Sintesis menuju kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

  f.

  Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare disuatu tempat, dapat menafsirkan sebab- sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya.

2. Sikap (Attitude)

  Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesedian untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan presdisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkat laku yang terbuka. Sikap merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

  Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan.

  a.

  Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  b.

  Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  c.

  Menghargai (valuing) Mengajarkan orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  d.

  Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

3. Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.

  a.

  Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama b.

  Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

  c.

  Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

  d.

  Adopsi (adooption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannyatanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Menurut Green (2000), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor : 1.

  Faktor predisposisi (predidposing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu perilaku.

  2. Faktor pendukung atau pemungkin (enabling factors) meliputi semua karakter lingkungan dan semua sumber daya atau fasilitas yang mendukung atau memungkinkan terjadinya suatu perilaku.

  3. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku antara lain tokoh masyarakat, teman atau kelompok sebaya, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan daerah atau pusat (Notoatmodjo, 2007).

  2.6. Perilaku Seksual

  Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2002).

  2.7. Perilaku Berisiko Seksual Pengamen Jalanan

  Kehadiran remaja pengamen jalanan merupakan masalah yang meresahkan saat ini, dan perlu penanganan yang efektif. Rentannya anak jalanan terhadap terhadap resiko kesehatan reproduksi dan seksual termasuk pelecehan seksual, kekerasan seksual, penyimpangan seksual yang dapat menyebabkan penyakit menular seksual, seperti GO, sifilis dan HIV/AIDS disebabkan oleh kurangnya kesadaran mereka akan bahaya penyakit menular yang mematikan tersebut , pengaruh dan tekanan kelompok yang mengakibatkan anak jalanan minum alkohol, merokok, dan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif (Napza), rentan juga terhadap penyakit infeksi, seperti ISPA, diare, tifus, hepatitis, dan kulit maupun rawan masalah gizi serta kriminal atau kejahatan seperti mencopet, mencuri, merampas, memeras bahkan merampok hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mereka rasa kurang.

  A. Pelecehan Seksual

  Menurut Mboiek, (1992:1) dan Stanko (1996:56) yang di kutip oleh Kinasih pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki -laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam Daldjoeni,1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki- laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya (Kinasih, 2007).

  B. Kekerasan Seksual

  Tindakan yang mengarah keajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan- gurauan yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban dengan keadaan fisik maupun memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak sesuai, merendahkan, menyakiti dan melukai korban. Bentuk kekerasan seksual seperti melakukan hubungan seksual secara paksa terhadap anak, meraba -raba alat kelamin, memegang dada yang tidak dikehendaki oleh korban, dipeluk dan dicium secara paksa dan penganiayaan secara emosional seperti penggunaan kata- kata kasar yang di maksudkan untuk menjatuhkan harga diri anak.

  Menurut Kaplan dan Sadock (1997) tindak kekerasan seksual pada anak jalanan adalah tindakan dibawah paksaan terhadap anak untuk melakukan aktivitas seksual, kekerasan seksual adalah perbuatan yang disengaja menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik atau emosional. Istilah child abuse berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

  Menurut Rahima (2005) kekerasan fisik yang dialami anak jalanan baik laki-laki maupun perempuan sangat banyak antara lain tamparan, pemukulan, pencekikkan, lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan senjata, pengrusakan alat kelamin, penganiayaan dan pembunuhan (Rambe, 2009).

C. Penyimpangan Seksual

  Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang dialami seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Berikut ini macam-macam bentuk penyimpangan seksual: 1.

   Homoseksual Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan

  seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Hal yang memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara homoseksual dengan peningkatan risiko AIDS. Pernyataan ini dipertegas dalam jurnal kedokteran Amerika (JAMA tahun 2000), kaum homoseksual yang “mencari” pasangannya melalui internet, terpapar risiko penyakit menular seksual (termasuk AIDS) lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

  2. Sadomasokisme

  Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual

  diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual.

  3. Ekshibisionisme Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, merasa jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi begini sering diderita pria, dengan memperlihatkan penisnya yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi.

  4. Voyeurisme Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual.

  5. Fetishisme

  

Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas

  seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut.

  6. Pedophilia/Pedophil/Pedofilia/Pedofil

  Pedophilia Adalah orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks/kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur.

  7. Bestially

  Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan

  binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain sebagainya.

  8. Incest

  

Inces t Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non

  suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki- laki.

  9. Necrophilia/Necrofil

  Necrophilia/Necrofi l Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat/orang mati.

  10. Zoophilia Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan.

  11. Sodomi

Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks

  baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan.

12. Frotteurisme/Frotteuris

  Frotteurisme Yaitu suatu bentuk kelainan seksual di mana seseorang laki-laki

  mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek/menggosok- gosok alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik/umum seperti di kereta, pesawat, bis dan lain-lain. (Sarwono, 2002; Suyatno, 2009)

D. Minuman Beralkohol

  Alkohol adalah zat penekan susuan syaraf pusat meskipun dalam jumlah kecil mungkin mempunyai efek stimulasi ringan. Bahan psikoaktif yang terdapat dalam alkohol adalah etil alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi madu, gula sari buah atau umbi umbian. Di Indonesia penjualan minuman beralkohol di batasi dan yang boleh membeli adalah mereka yang telah berumur 21 tahun. Beberapa etnik di Indonesia menggunakan minuman beralkohol pada acara tertentu dalam jumlah yang sedikit. Mereka juga memproduksi minuman beralkohol dengan nama yang bermacam ragam misalnya : tuak, minuman cap tikus, ciu dan lain-lain (Widianti, 2007).

  Terdapat 4 kelompok determinan dari penyalahgunaan alkohol (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan) yang mana peranannya sangat kompleks dan saling terkait satu sama lainnya.

  • Sosial Penggunaan alkohol sering kali didasari oleh motif-motif sosial seperti meningkatkan prestige ataupun adanya pengaruh pergaulan dan perubahan gaya hidup. Selain itu faktor sosial lain seperti sistem norma dan nilai

  (keluarga dan masyarakat) juga menjadi kunci dalam permasalahan penyalahgunaan alkohol.

  • Ekonomi Masalah penyalahgunaan alkohol bisa ditinjau dari sudut ekonomi. Tentu saja meningkatnya jumlah pengguna alkohol di Indonesia juga dapat diasosiasikan dengan faktor keterjangkauan harga minuman beralkohol (import atau lokal) dengan daya beli atau kekuatan ekonomi masyarakat. Dan secara makro, industri minuman beralkohol baik itu ditingkat produksi, distribusi, dan periklanan ternyata mampu menyumbang porsi yang cukup besar bagi pendapatan negara (tax, revenue dan excise).
  • Budaya Melalui sudut pandang budaya dan kepercayaan masalah alkohol juga menjadi sangat kompleks. Di Indonesia banyak dijumpai produk lokal minuman beralkohol yang merupakan warisan tradisional (arak, tuak, badeg, dll) dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat dengan alasan tradisi. Sementara bila tradisi budaya tersebut dikaitkan dengan sisi agama dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah kaum muslim yang notabene melarang konsumsi alkohol, hal ini tentu saja menjadi sangat bertolak belakang.
  • Lingkungan Peranan negara dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan alkohol menjadi sangat vital. Bentuk peraturan dan regulasi
tentang minuman beralkohol, serta pelaksanaan yang tegas menjadi kunci utama penanganan masalah alkohol ini. Selain itu yang tidak kalah penting adalah peranan provider kesehatan dalam mempromosikan kesehatan terkait masalah alkohol baik itu sosialisasi di tingkat masyarakat maupun advokasi pada tingkatan decision maker.

D. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif (Napza)

  Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis (Widianti, 2007).

  Napza pada mulanya ditemukan dan dikembangkan untuk pengobatan dan penelitian. Tujuannya adalah untuk kebaikan manusia. Namun berbagai jenis obat tersebut kemudian disalahgunakan untuk mencari kenikmatan sementara atau mengatasi persoalan sementara (Wilopo, 2006).

  Penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) adalah suatu pemakaian non-

  medical atau ilegal barang haram yang dinamakan narkoba (narkotika dan obat-

  obat adiktif) yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakaiannya. Manusia pemakai narkoba bias dari berbagai kalangan, mulai dari level ekonomi tinggi hingga rendah, para penjahat, ibu-ibu rumah tangga, bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-sekolah yang jelas-jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus lagi anak dan remaja. Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalah gunakan adalah tembakau, alcohol, obat-obat terlarang, dan zat-zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang dihisap dari asapnya.

  Penyalangunaan narkoba dapat menyebabkan kebergantungan zat narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan sakau/withdrawal. Lama kelamaan generasi muda itu bergantung kepada zat-zat tersebut dan sukar untuk melepaskan diri karena mereka telah kecanduan (ketergantungan narkoba). Jika sudah demikian maka generasi muda yang sudah bergantung pada zat-zat narkoba akan apa saja bangaimana mendapatkan uang, baik secara halal maupun haram seperti mencuri, merampok, mencopet dan sebagainya (Willis, 2010).

2.8.Alur Pikir Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori yang telah dikemukan di atas, maka kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

  Perilaku Seksual Remaja Pengamen Jalanan Lama Menjadi Anak

  Jalanan Pendapatan Perhari Tempat Tinggal Di kordinasi atau tidak Umur Jenis Kelamin Tingkat pendidikan Pengetahuan Sikap Tindakan Pelecehan seksual

  Kekerasan seksual Penyimpangan seksual Minuman alkohol Penyalahgunaan Napza Menyebabkan HIV / AIDS dan PMS lainnya

  Status Perkawinan Orangtua

Gambar 2.1 Alur Pikir Penelitian

  Lama Menjadi Anak Jalanan