BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Defenisi Remaja - Hubungan Obesitas dengan Ideal Diri pada Remaja di SMU Santo Thomas – 3 Medan Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Defenisi Remaja Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode

  transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Ada beberapa definisi mengenai remaja, Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993).

  Zakiah Darajad mendefinisikan remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Darajad, 1990). Zakiah Darajad dalam bukunya yang lain mendefinisikan remaja sebagai tahap umur yang datang setelah masa anak-anak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan membawah akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja (Darajad, 1990).

  Hasan Bisri dalam bukunya Remaja Berkualitas, mengartikan remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab (Bisri, 1995). Pada umumnya mendefenisikan remaja mencapai umur 10 – 18 tahun : bila seorang anak tahun untuk anak perempuan dan 12 – 20 tahun untuk anak laki – laki.

  Menurut undang – undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Menurut undang – undang Perburuhan anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16 – 18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal. Menurut UU Perkawinan No 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki – laki.

  Menurut DikNas anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus Sekolah Menengah. Sedangkan menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10 – 18 tahun (Soetjiningsih, 2004).

  Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, karena pada masa ini remaja telah mengalami perkembangan fisik maupun psikis yang sangat pesat, dimana secara fisik remaja telah menyamai orang dewasa, tetapi secara psikologis mereka belum matang.

2. Batasan Usia Remaja

  Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak – kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartini Kartono (1995) dibagi tiga yaitu : a. Remaja Awal (12-15 Tahun) Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak – kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak – kanakannya.

  Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu – ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.

  b. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun) Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak – kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirinya.

  c. Remaja Akhir (18-21 Tahun) Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya (Kartono, 1995).

B. Ideal Diri 1. Defenisi Ideal Diri

  Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia harus berperilaku bagaimana dia harus berperilaku berdasarkan standar, tujuan, keinginan atau nilai pribadi tertentu. Sering disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri (Dalami, Suliswati, Farida, Rochimah & Banon, 2009).

  Persepsi individu tentang bagaimana seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau nilai yang diyakini. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh kebudayaan, keluarga dan ambisi, keinginan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan orang serta prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung mensetting tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultural, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas (Dalami, dkk, 2009).

  Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah inspirasi, cita – cita, nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujidkan cita – cita dan harapan pribadi yang berdasarkan norma sosial (keluarga, budaya) dan kepada siapa ia ingin lakukan (Riyadi & Purwanto, 2009).

  Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak – kanak yang diperngaruhi oleh orang penting dari dirinya yang memberikan tuntunan dan harapan. Pada masa remaja, ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orangtuanya, guru dan teman terdekat. Penetepan saat ini tetapi masih dalam batas yang dapat dicapai. Hal ini diperlukan oleh individu untuk memacu dirinya ke tingkat yang lebih tinggi (Riyadi & Purwanto, 2009).

  Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri dan tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, samar – samar atau kabur, ideal diri akan berada ditengah masyarakat dengan norma tertentu, Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung, ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental ( Mubarak & Chayatin, 2006).

  Ideal diri biasa juga bersifat realistis, bias juga tidak. Saat ideal diri seseorang mendekati persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut cenderung tidak ingin berubah dari kondisinya saat ini. Sebaliknya, jika ideal diri tersebut tidak sesuai dengan persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut akan terpacu untuk memperbaiki dirinya. Tetapi ingat, jika ideal diri terlalu tinggi justru dapat menyebabkan harga diri rendah. Beberapa hal yang berkaitan dengan ideal diri antara lain : a.

  Pembentukan ideal diri pertama kali terjadi pada masa kanak – kanak b. Masa remaja terbentuk melalui proses identifikasi terhadap orangtua, guru, dan teman c.

  Ideal diri dipengaruhi oleh orang – oarng yang dianggap penting dalam memberikan tuntutan dan harapan d.

  Ideal diri mewujudkan cita – cita dan harapan pribadi berdasarkan norma keluarga dan social ( Mubarak & Chayatin, 2006).

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Ideal Diri

  Adapun faktor yang mempengaruhi ideal diri : a. Kecenderungan individu untuk menetapkan ideal diri pada batas kemampuan b.

  Faktor budaya yang mempengaruhi individu yang menetapkan ideal diri.

  Standar yang terbentuk ini kemudian akan dibandingkan dengan standar kelompok teman c.

  Ambisi dan keinginan untuk sukses dan melampaui orang lain, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri ( Mubarak & Chayatin, 2006).

  Semua faktor diatas mempengaruhi individu dalam menetapkan ideal diri. Individu yang mampu berfungsi, akan mendemostrasikan kesesuain antara persepsi diri dan ideal diri, sehingga ia akan dapat apa yang ingin ia inginkan. Ideal diri hendaknya tidak terlalu tinggi, akan tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong atau motivasi dala hidupnya.

  Gangguan ideal diri terjadi karena ideal diri terlalu tinggi, sukar dicapai dan tidak realistik (Riyadi & Purwanto, 2009).

C. Obesitas 1. Defenisi obesitas

  Obesitas didefenisikan sebagai akumulasi lemak tubuh yang berlebihan sedikitnya 20% di atas berat badan rata – rata sesuai umur, jenis kelamin, dan berat badan (Mubarak & Chayatin, 2006).

  Obesitas biasa disebut dalam bahasa awam sebagai kegemukan atau berat badan yang berlebihan. Permasalahan ini terjadi hampir diseluruh dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat, baik di negara – negara maju ataupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1998, WHO juga telah mendeklarasikan obesitas sebagai epidemik global ( Aryani, 2010).

2. Penilaian status gizi

  Beberapa metoda yang telah dibakukan untuk menentukan status gizi adalah sebagai berikut : a.

  Tabel Metropolitan Life Insurance Co Cara menentukan besar kecilnya perawakan atau postur tubuh adalah dengan rumus : b.

  Pengukuran Jaringan Lemak Bawah Kulit Metoda ini dilakukan dengan alat khusu yang disebut “skinfold

  ”, yang mengukur ketebalan jaringan lemak dibawah kulit. Pada

  capiler wanita pengukuran dilakukan di lengan atas bagian belakang (triceps).

  Bila ketebalan lemak mencapai lebih dari 2,5 cm, maka wanita itu kegemukan. Pada pria pengukuran dilakukan di bawah tulang belikat (

  subscapula ). Ketebalan lemak yang mencapai lebih dari 1,5 cm

  termaksud kegemukan. Metode ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan waktu pemeriksaan pasien oleh dokter atau dalam penelitian – penelitian.

  c.

  Index Massa Tubuh

  Kegemukan pada dasarny bertingkat – tingkat. Semakin banyak lemak di dalam tubuh, maka tingkat kegemukannya semakin besar. Untuk mengetahui tingkat kegemukan, kegemukan bisa dihitung dengan kalkulator untuk melihat posisi masing – masing.

  d.

  Tentu saja, masing – masing penderita kegemukan harus jujur pada dirinya sendiri. Dengan demikian, dapat diketahui tingkat kegemukan yang dialaminya secara lebih pasti. Klasifikasi yang digunakan disini adalah kategori berdasarkan aturan untuk orang – orang di Asia Pacific. Indonesia termasuk bagi dari Asia Pacific.

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Klasifikasi Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT)

  2

  < 18,5 kg/m

  Underweight

  2 Batas Normal 18,5 – 22,9 kg/m

  2 Overweight

  ≥ 23 kg/m

  2 At Risk 23,0 – 24,9 kg/m

  2 Obese

  ≥ 25 kg/m (Sumber : Klasifikasi Berat Badan (BB) Penduduk Asia Menurut International Obesity Task Force (IOTF)). e.

  Rumus Broca Penilaian status gizi seseorang dengan menggunakan Broca adalah dengan cara menimbang berat badan (BB) dan mengukur tinggi badannya (TB). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

  BB normal = TB – 100 BB ideal = BB normal – 10% (BB normal)

  Ket : BB = berat badan (kg)

3. Jenis obesitas

  Terdapat beberapa jenis obesitas a. Obesitas berdasarkan usia

   kegemukan pada masa bayi (infancy-onset obesity) Kegemukan dapat terjadi pada semua umur, mulai dari bayi, anak – anak, remaja sampai dewasa. Kegemukan pada masa bayi (infancy-onset

  

obesity ) dimulai sejak bayi baru lahir sampai berumur 24 bulan. Hal ini

umumnya disebabkan karena bayi mendapatkan makanan yang berlebih.

  Apabila kegemukan pada masa bayi ini terus berlangsung sampai umur 2 tahun, maka biasanya akan berlanjut terus sampai masa kanak – kanak.

  Para peneliti mengungkapkan bahwa 30% dari bayi yang menderita kegemukan sampai umur 6 bulan, kelak akan menjadi orang dewasa yang gemuk pula.  Kegemukan pada masa dewasa (adult-onset obesity)

  Kegemukan saat dewasa biasanya terjadi setelah usia 30 tahun lebih. Berdasarkan penelitian, setelah umur 25 tahun metabolisme basal turun 4% setiap 10 tahun berikutnya. Ini berarti makin tua seseorang maka metabolisme basalnya makin rendah sehingga ada kelebihan energi dalam tubuh yang akan ditumpuk sebagai jaringan lemak. Ditambah pula kesibukan dalam pekerjaan serta tanggung jawabnya semakin bertambah sehingga tidak sempat untuk berolahraga. Bila keadaan ini berlangsung lama, lambat – laun tubuh akan menderita kegemukan.

  b.

  Obesitas berdasarkan atas kondisi sel – sel lemak  Jenis Hipertropik Kegemukan yang terjadi karena ukuran sel – sel lemak yang membesar disebut dengan obesitas Hipertropik. Hasil penelitian dua orang peneliti yakni Hirsch dan Knittle mengungkapkan bahwa ukuran sel lemak normal adalah 0,3 ug, sedangkan jumlah sel lemak seseorang dengan berat normal adalah 2 x 10 pangkat 10.

   Jenis Hiperplastik Pada obesitas Hiperplastik, seseorang mempunyai jumlah sel lemak lebih banyak – mungkin sampai jumlah 2 x 10 pangkat 16 – dibandingkan dengan jumlah normal.

   Jenis Hipertropik – Hiperplastik Obesitas Hipertropik – Hiperplastikterjadi apabila kelebihan gizi berlangsung lama dan ukuran sel lemak telah mencapai maksimal yaitu 0,9 ug. Apabila kelebihan gizi masih juga berlangsung terus, maka sel lemak mulai memperbanyak diri sehingga jumlahnya bertambah banyak dan dapat mencapai 2 x 10 pangkat 16 atau bahkan sampai tidak terbatas.

  c.

  Obesitas berdasarkan atas distribusi jaringan lemak  Obesitas tipe buah apel (tipe android)

  Kegemukan tipe buah apel menpunyai gejala – gejala penimbunan terutama di bagian tubuh sebelah atas yaitu di muka, leher, pundak, dada dan perut. Umumnya tipe ini terdapat pada laki – laki, oleh karena itu disebut tipe android (andro = laki – laki, bahasa latin).

   obesitas tipe per (tipe android) Kegemukan tipe buah per ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan di bagian tubuh sebelah bawah yaitu perut, panggul, pantat/ bokong dan paha. Umumnya tipe ini terdapat pada wanita, oleh karena itu disebut tipe ginoid (gino = perempuan).

  d.

  Obesitas berdasarkan atas jaringan lemak yang tertimbun didaerah perut/ sentral Pada obesitas sentral, penimbunan lemak terutama terdapat di daerah perut ditandai dengan meningkatnya lingkar pinggang. Pada wanita lingkar pinggang mencapai lebih dari 88 cm dan pada laki – laki lebih dari 102 cm (Tirtawinata, 2012).

4. Penyebab obesitas

  Adapun faktor yang menyebabkan obesitas adalah

  a. Pola makan yang kurang baik

  Ada sebagian orang yang tidak dapat mengendalikan nafsu makannya sehingga mereka makan berlebihan. Mereka selalu makan sekenyang – kenyangnya, baik makan sehari – hari dirumah maupun di restoran ataupun di pesta – pesta. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang salah mengakibatkan kegemukan. Para ahli menganjurkan agar makan secukupnya saja, supaya ada ruang dalam perutnya untuk minuman, buah – buahan sebagai pencuci ulut serta untuk pernafasan (Tirtawinata, 2012).

  b.

  Kurang gerak badan Faktor lain yang menyebabkan kegemukan adalah kurang gerak yang berarti kurang melakukan aktivitas jasmani serta pola hidup yang terlalu santai.

  Keadaan ekonomi yang membaik dan kemajuan teknologi yang pesat membuat kehidupan seseorang lebih santai karena pekerjaan yang tadinya dikerjakan dengan tenaga manusia sekarangdigantikan oleh mesin (Tirtawinata, 2012).

  c.

  Faktor psikologi Keadaan psikologis seseorang dapat menyebabkan perubahan perilakunya.

  Ketakutan, kecemasan, kesedihan, kebosanan dan stres karena tekanan hidup akan menyebabkab perilaku yang berbeda – beda bagi setiap orang.

  Ada yang mengatasi stres dengan tidur atau melamun, ada yang melakukan olahraga atau jalan – jalan, ada pula yang menenggak minuman keras atau menelan obat terlarang. Sebagian orang ada yang memilih makan berlebih sebagai “pelarian” untuk menghilangkan stresnya. Mereka memilih makanan berlebihan sebagai pelarian, karena proses makan selalu memberikan rasa nikmat, kenyang dan nyaman, maka rasa kenyang dan nyaman itu diidentikkan dengan rasa aman dan tenang. Makan berlebihan sebagai “pelipur lara” ini dalam jangka panjang akan mengakibatkan obesitas (Tirtawinata, 2012).

  d.

  Faktor keturunan Suatu penelitian di Amerika Serikat membuktikan bahwa apabila kedua orang tua mempunyai berat badan normal, biasa berat badan anak – anaknya juga normal; kecenderungan anak – anaknya menjadi gemuk hanya sekitar 10%.

  Apabila salah satu orang tuanya gemuk, maka kecenderungan anak – anaknya menjadi gemuk meningkat menjadi 40 – 50%. Sedangkan bila kedua orang tuanya gemuk, maka peluang anak – anaknya menjadi gemuk meningkat lagi menjadi 70 – 80%. Menurut ilmu genetika, kegemukan diturunkan dari orang tua ke anaknya, sesuai dengan hukum Mendel (Tirtawinata, 2012).

5. Resiko obesitas

  Penyakit generatif adalah penyakit yang disebabkan oleh menurunannya fungsi organ – organ tubuh karena usia lanjut (Tirtawinata, 2012).

  a.

  Penyakit Degeneratif Hasil dari berbagai penelitian mengungkapkan bahwa angka kesakitan

  (morbiditas) pada penderita kegemukan lebih tinggi dari pada orang dengan berat badan normal, yang berarti penderit kegemukan lebih sering terserang penyakit dari pada orang dengan berat badan normal. Demikian juga angka kematian (mortalitas) pada penderita obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan anga kematian pada orang dengan berat badan normal (Tirtawinata, 2012).

  b. penyakit kanker Obesitas merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit kanker.

  Hasil penelitian mengungkapkan bahwa laki – laki penderita obesitas mempunyai risiko lebih besar terkena usus besar dan kanker kelenjar prostat, bila dibandingkan dengan laki – laki berbobot normal. Adapun wanita kegemukan berisiko tinggi terkena kanker payudara, kanker indung telur (ovarium) dan kanker mulut rahim, terutama pada wanita pasca menopause yaitu yang telah berhenti haidnya (Tirtawinata, 2012).

  c. osteo-artritis

  Penderita obesitas mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit osteo

  • – artritis daripada orang dengan berat badan normal. osteo – artritis adalah radang di persendian tulang. Salah satu jenis artritis adalah penyakit akut atau disebut juga gangguan asam urat yang disebabkan karena adanya kadar asam urat dalam darah. Apabila kadar asam urat itu sangat jenuh, maka akan terbentuk kristal asam urat yang mengendap disendi – sendi tulang sehingga terasa sakit sekali bila sendi itu digerakkan (Tirtawinata, 2012).
d. batu empedu

  Cairan empedu di hasilkan oleh hati (liver) dan ditampung dalam kantung empedu. Fungsi cairan empedu adalah mencerna lemak makanan yang kemudian mengalami metabolisme dalam tubuh menjadi energi yang digunakan untuk aktifitas sehari-hari (Tirtawinata, 2012).

  Jumlah cairan empedu yang diproduksi tergantung pada jumlah lemak dalam makan. Bila makanan banyak mengandung lemak, maka makin banyak pula cairan empedu yang diproduksi. Cairan empedu yang berlebihan dan menjadi jenuh akan mengendap dan membentuk batu empedu. Gejala penyakit empedu adalah rasa nyeri yang sangat hebat (kolik) di derah perut bagian kanan atas (Tirtawinata, 2012).

  e.

  Penampilan Fisik Dampak sosial yang diakibatkan oleh obesitas ialah pandangan dari segi estetika yaitu yang berkaitan dengan keindahan, keserasian tubuh dan kecantikkan. Sebenarnya hal ini sangat relatif, tergantung pada zaman dan mode. Dalam kehidupan sehari – hari, mereka yang menderita obesitas kesukaran memilih pakaian jadi yang pas dan kesukaran mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan orang – orang yang berbadan langsing yang kualisifikasinya sama (Tirtawinata, 2012).

6. Penanggulangan obesitas a.

  Perilaku Sehat Seseorang sangat mempengaruhi kesehatannya. Modifikasi perilaku digunakan untuk mengatur/memodifikasi pola makan dan aktivitas fisik pada mereka yng menjalani terapi obesitas. Melalui modifikasi perilaku ini dapat diketahui faktor atau situasi apa yang dapat membuat berat badan menjadi berlebih sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi ketidakpatuhan dalam terapi obesitas (Andri & Hurmaly, 2013).

  b.

  Aktivitas fisik Tujuan aktivitas fisik dalam penurunan berat badan adalah membakar lebih banyak kalori. Banyaknya kalori yang dibakar bergantung dari frekuensi, durasi dan intensitas latihan yang dilakukan. Salah satu cara untuk menghilangkan lemak tubuh adalah aerobik atau berjalan kaki selama 30 menit setiap hari (Andri & Hurmaly, 2013).

  c.

  Perubahan Pola Makan Inti dari perubahan pola makan ini adalah mengurangi asupan kalori total. Bicarakan dengan dokter atau ahli gizi untuk mengetahui kebutuhan kalorimu. Diet ekstrem tidak disarankan karena dapat mengurangi nutrisi yang seharusnya diperlukan dalam masa pertumbuhan remaja, misalnya dengan terjadinya defisiensi vitamin. Puasa terus – menerus juga bukanlah suatu jawaban karena penurunan berat badan kebanyakan berasal dari kehilangan air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan terasa lemas (Andri & Hurmaly, 2013).