BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Bentuk tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi dalam bentuk

  kekerasan fisik saja.. Ada beberapa bentuk perbuatan lainnya yang sebenarnya juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak kurang lebih sama dengan bentuk kekerasan secara umum yang dilakukan terhadap orang dewasa

  Haskell dan Yablonsky menyebutkan empat jenis perbuatan yang menjadi dasar mengkategorikan sebagai kejahatan kekerasan, yaitu pembunuhan (murder), perkosaan dengan penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery), dan

  

  Clinard and Quinney juga menyatakan bahwa kejahatan kekerasan pembunuhan (homocide), penganiayaan berat (aggravated assault), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape). The Federal Bureu of investigation, di bawah

  

Uniform Crime Reporting Program, telah mengembangkan jenis-jenis kejahatan

  

  dengan kekerasan, yaitu: 1.

  Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja 52 (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang lain Mahmud Mulyadi, op.cit., hal. 35, dikutip dari buku karangan Sue Titus Reid (1985).

  Crime and Criminology . New York: CBS College Publising, hal. 211. 53 Ibid, dikutip dari buku karangan Neil Allan Weinaer, et.al. (Ed.), Violence Pattern, Causes, Public Policy, USA: Harcout Brace Jovanovich (HBJ) Publisher, hal xiii.

  (Criminal homocide, comprising murder and nonnegligent manslaugter,

  

the willfull (nonnegliegent) killing of one human being by another );

2.

  Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita dengan ancaman penggunaan keerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against

  her will ); 3.

  Perampokan, yaitu pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atai ancaman kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery: the taking or

  attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or threat of force or violence and/or by putting the Victim in fear ); 4.

  Penganiayaan berat, yaitu serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka parah atau luka berat (Aggravated assault: an

  unlawfull attact by one person upon another for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury );

  5. Serangan lainnya (yang sederhana), yaitu serangan atau usaha untuk melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak mengaibatkan luka-luka serius atau luka berat pada korban (Other

  Assaulth (simple): assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to the victim ).

Child Abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak

sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak. Child abuse menurut Terry E.

  Lawson seorang psikiater mengatakan bahwa kekerasan anak dapat

  

  diklasifikasikan dalam 4 macam yaitu: a.

  Emotional Abuse Emotional Abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional itu berjalan konsisten.

  b.

  Verbal Abuse Verbal abuse itu lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak.

  Ketika anak meminta sesuatu orang tua tidak memberikan malah 54 membentaknya. Saat si anak mengajak berbicara orang tua tidak

  Sulaiman Zuhdi Manik, ed., Kekerasan Terhadap Anak dalam Wancana dan Realita/Editor, (Medan : Pusat Kajian dan Pelindungan Anak, 1999), hal. 29 menanggapinya justru menghardik dengan bentakan, diam kau! Misalnya Anak akan akan mengingat kekerasan jenis ini jika semua kekerasan verbal ini berlaku dalam satu periode.

  c.

  Physical Abuse Kekerasan jenis ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan itu meninggalkan bekas.

  d.

  Sexual Abuse Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus, ketika anak perempuan menderita kekerasan sxual dalam usia 6 bulan.

  Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse menjadi : physichal

  abuse (kekerasan fisik), Psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara

  

  sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

  Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda- benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, legan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.

  2. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

  3. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, 55 sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak

  Abu Huraerah, Op.cit, hal.. 47-49, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung:Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial), hal.365-366. seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

  4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

  Nurul Huda, SH, M.Hum dalam artikelnya menambahkan bentuk lain dari kekerasan terhadap anak selain bentuk-bentuk di atas, yaitu komersialisasi (child

  

exploitation ), yaitu kekerasan dimana adanya unsur pengambilan keuntungan

  materi secara sepihak oleh pelaku kekerasan terhadap korban baik secara sengaja

  

  maupun tidak sengaja. Komersialisasi itu bisa berupa: 1.

  Perlakuan menjadi buruh pabrik, PRT, Jermal.

2. Prostitusi 3.

  Perdagangan. WHO juga menambahkan bentuk “child abuse and neglect” yaitu penelantaran anak (child neglect) yang merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti : kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernanung, dan 56 Nurul Huda, “Kekerasan Terhadap Anak dan Masalah Sosial yang Kronis,” Jurnal

  

Unikal : Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008, hal. 8, diunduh dari

, tanggal 4 april 2014 jam

  10.20 keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan dalam

  

  mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan. Misalnya kelalaian di bidang kesehatan, kelalaian dibidang pendidikan, kelalaian di bidang fisik ataupun kelalaian dibidang emosional.

  Bentuk-bentuk dari semua tindak kekerasan yang diterima anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif dan melakukan kekerasan yang serupa terhadap anak-anak.

  Terry E. Lawson mengatakan, semua jenis gangguan mental (mental

  disorsis) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika

  ia masih kecil. Ketika kekerasan anak-anak berakibat pada budaya kekerasan maka hal itu tidak berorientasi lagi pada faktor sosiologis. Artinya kekerasan anak prilaku masyarakat atau sejumlah besar anggota masyarakat yang secara meluas tidak dikehendaki oleh masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan

   memerlukan tindakan sosial untuk mengatasinya.

  Berikut hendak dikemukakan beberapa bentuk perbuatan (tindak pidana) kekerasan terhadap anak yang ditetapkan dalam KUHP, UU Perlindungan Anak,

  57 Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, “Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect Bagi Tenaga

Profesional Kesehatan”, 2003, hal. 10, diunduh dari diakses tangal 1 April 2014, jam 13.00 58 Manik, op.cit, hal. 30 dan UU KDRT. Dalam KUHP ada beberapa tindak pidana, bahkan ada yang

  

  secara eksplisit disebutkan sebagai kekerasan terhadap anak, yaitu: (1)

  Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278); (2)

  Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima belas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya (Pasal 301);

  (3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);

  (4) Kejahatan terhadap nyawa, merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);

  (5) Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356).

  Seperti dikemukakan di atas, ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam

59 Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan

  Pada Anak Korban Kekerasan .

diakses pada

tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32

  Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

  Melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);

  (14) Merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang mengnadung kekerasan, atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87); 60 Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan

  (13) Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);

  (12) Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);

  (11) Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal 85);

  (10) Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak secara melawan hukum (Pasal 84);

  (9) Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);

  (8) Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);

  80); (7)

  

  (6) Melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal

  (5) Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);

  Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memrlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);

  78); (4)

  (3) Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal

  (2) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);

  (1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);

  Pada Anak Korban Kekerasan .

diakses pada

tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32

  (15) Mengeksploitasiekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);

  (16) Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89).

  Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam UU KDRT adalah sebagai berikut: (1) melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga (Pasal 44); (2) melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga (Pasal 45); (3) melakukan kekerasan seksual (Pasal 46-48);

   dan (4) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga (Pasal 49).

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak

  Sebelum melihat faktor terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, baiklah terlebih dahulu memahami profil atau latar belakang dari korban dan pelaku tindak kekerasan ini. Karena tidak dapat dipungkiri, latar belakang dari korban dan pelaku ini sedikit banyak mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan ini.

  Secara umum, anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan sebenarnya tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, dalam arti, baik anak laki-laki maupun perempuan keduanya potensial dan merupakan sasaran empuk dari perlakuan semena-mena yang berkembang di masyarakat. Namun demikian, bila dibandingkan secara kuantitatif jumlah anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya lebih dominan menimpa anak perempuan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dibandingkan anak laku-laki secara struktural anak perempuan memang lebih vulnerable, lebih lemah, tergantung, dan mudah

   dikuasai, dan diancam oleh pelaku.

  Umur anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan relatif bervariasi: bisa menimpa anak-anak remaja berusia sekitar 17 -18 Tahun, tetapi sering kali pula dialami anak-anak balita yang berusia di bawah 5 Tahun atau bahkan para jabang bayi yang masih merah: baru lahir, tetapi karena orang tuanya malu dan untuk menyembunyikan aib, maka bayi yang seharusnya diberi limpahan kasih- 61 62 Ibid.

  Bagong Suyanto, op.cit, hal 49, mengutip Harkristuti Harkriswono, “Anak & Kekerasan: Kasus di Indonesia”, Dibacakan pada acara Lokakarya Hak Asaso dan Perlindungan Anak. Diselenggaraan oleh Lembaga pers Dr. Soetomo dan UNICEF 6-7 Oktober 1998). sayang dan disambut gembira para orang tuanya itu kemudian dibunuh. Menurut data yang dimuat media massa selama 1994-1996, Irwanto menyimpulkan bahwa anak yang menjadi korban tindak kekerasan separuhnya berusia di bawah 13

   Tahun, dan sekitar 20% berusia di bawah 10 Tahun.

  Latar belakang ekonomi korban menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak. Dari berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di harian pagi Jawa Pos, diketahui 15% korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu, untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7%. Di harian pagi, Memorandum polanya hampir sama: 18,7% korban adalah berasal dari golongan masyarakat miskin dan 12,2% berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti anak diperkosa, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di lingkungan komunitas yang sederhana, termarginalisasi dan miskin, karena gaya hidup, kondisi lingkungan dan “ruang” untuk terjadinya peristiwa itu

   memang lebih terbuka.

  Kekerasan anak kini merupakan problema sosial. Dalam waktu singkat apat didaftarkan beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kekerasan pada

  

  anak yaitu: 1.

  Emosional orang dewasa. Konsekwuensi logisnya, kekerasan pada anak yang seyogianya dikurangi dan akhirnya diberantas habis, malah bertambah banyak dengan berbagai modusnya.

  2. Nilai-nilai sosial. Struktur ekonomi dan politik selama ini melahirkan gap yang sangat dalam antara individu lainnya dan kelompok satu dengan lainnya. Kelompok yang tertekan secara ekonomis lebih berpotensi melakukan kekerasan terhadap anak. Himpitan ekonomis memaksa orang tua menyuruh anak mencari nafkah dan apabila si anak gagal maka orang tua akan marah dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak demikian kompleks. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya 63 Ibid. hal. 50, mengutip Muhammad Farid Irwanto & Jeffry Anwar, Anak yang

  

Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi, (Jakarta: Kerjasama PKPM

Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial dan UNICEF, 1999). 64 65 Suyanto, op.cit., hal.53 Manik, loc.cit.

  disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor

  

  eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti: 1.

  Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, auitsme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

  2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.

  3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, keatiadaan ibu untuk jangka panjan atau keluarga tanpa ayah dan ibutidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

  4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang terlalu realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.

  5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

  6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnyaa mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

  7. Kondisi lingkunan sosial buruk, pemukian kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuhtak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak

   sendiri.

  1. Faktor orang tua/keluarga Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak.faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya: a.

  Praktik-praktik budaya yang merugikan anak: 66 - Kepatuhan anak kepada orang tua

  Abu Huraerah, op.cit, hal. 50, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial,

dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan

Sosial, 1997), hal. 336-337. 67 Abu Huraerah, op.cit, hal. 51, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan

Kekerasan terhadap Anak” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Penanganan Korban

  Kekerasan pada Wanita dan Anak”, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

  • Hubungan asimetris b.

  Dibesarkan dengan penganiayaan c. Gangguan mental d.

  Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 Tahun.

  e.

  Pecandu minuman keras dan obat.

2. Faktor lingkungan sosial/komunitas

  Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya: a.

  Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis b.

  Kondisi sosial-ekonomi yang rendah c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.

  d.

  Status wanita yang dipandang rendah e. Sistem keluarga patriarkal f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3. Faktor anak itu sendiri a.

  Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya b.

  Perilaku menyimpang pada anak. Ada lima faktor secara internal dan eksternal, yaitu: kurang harmonisnya hubungan kekeluargaan dalam rumah tangga, masyarakat/lingkungan tempat bergaul dan mengabaikan segi keimanan, kesulitan ekonomi akibat krisis ekonomi, sanksi/hukuman yang masih dianggap ringan, serta sarana dan prasarana

   hiburan yang sangat menonjolkan unsur kekerasan atau topik negatif lainnya.

  Masih ringannya hukuman uang dikenakan kepada si pelaku kekerasan, adalah suatu yang sering terjadi. Kelihatannya sanksi yang dijatuhkan hakim belum membuat insaf para pelakunya. ‘masih ringan’, mungkin inilah anggapannya, sehingga pelaku kekerasan terhadap anak melakukan kekerasan berulang-ulang dan yang lain begitu mudah melakukannya. Lebih ironis kekerasan terhadap anak, apakah di sektor publik atau domestik tidak diproses secara hukum, Polisi, misalnya, bahkan bukan jarang menganjurkan korban dan pelaku berdamai, ataupun pengaduan uang ada tidak ditindaklanjuti, apakah lagi

   yang tidak diadukan.

  68 69 Manik, op.cit, hal. 35 Ibid.hal.37 Nurul Huda, SH, M.Hum, menyebutkan ada beberapa faktor sosial yang

  

  menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu: 1.

  Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak.

  2. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat.

  3. Kemiskinan.

  Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bawa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial,d an kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu: (1) pewarisan kekerasan antar generasi (integenerational transmission of

  

violence ), (2) stres sosial (social stress), (3) isolasi sosial dan keterlibatan

  masyrakat bawah (social isolation and low communitu involvement) dan (4)

   struktur keluarga (family structure).

  Dengan kondisi demikian, wajar kiranya kalau kasus-kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi. Pelaku menganggap bukan sesuatu yang melanggar hukum. Di jalanan misalnya, sering menyaksikan anak-anak bekerja sebagai penjual koran, penjual rokok, penyemir sepatu dan berbagai aktifitas anak jalanan di rumah kasus-kasus kekerasan bukan tidak banyak. Orangtua kandung, orangtua tiri, abang kakak dan angota keluarga lainnya merupakan pelaku kekerasan yang berulang-ulang, baik yang dilakukan secara sadar atau tidak.

  Selanjutnya dari sisi pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan anak yang keras yang dianggap sebagai adat-budaya yang dianggap merupakan pola pengasuhan turun temurun dimana sang anak harus patuh terhadap semua perintah orang 70 71 Huda, op.cit, hal. 3-5.

  Manik, op.cit., hal 53, mengutip Richard J. Gelles., “Child Abuse,” Encyclopedia Articlefrom Encarta. (diakses Juli 2004), hal 4-6. tuanya juga terkadang malah mengakibatkan timbul tindakan kekerasan terhadap anak, dan malah dianggap wajar dan diacuhkan oleh masyarakat.

C. Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan di Indonesia 1) Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam KUHP

  Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Beberapa pasal

  

  dalam KUHP yang mengaturnya adalah: 1.

  Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);

  2. Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP.

  3. Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima beas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak 72 kesehatannya (Pasal 301); Sumarwani, loc.cit.

  4. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);

  5. Kejahatan terhadap nyawa, seperti seperti pembunuhan (338), pembunuhan dengan pemberatan (339), pembunuhan berencana (340), merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);

  6. Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356).

  Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dalam KUHP, penjatuhan hukuman bagi tersangka pelaku tindak pidana bagi anak tidak diatur secara khusus penambahan hukumannya. Selain itu KUHP juga tidak ada mengatur secara khusus anak-anak yang menjadi korban tindak pidana.

  Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara langsung. Dalam Pasal 14c KUHP ditetapkan bahwa “dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian kerugian” yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu ini, di samping jarang diterapkan, masih mengandung banyak kelemahan, yaitu: (1) ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat; (2) pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan; (3) pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif. Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan

   pidana bersyarat.

  Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (perdata) ke dalam perkara 73 pidana. Ketentuan ini dapat dikatakan memberikan perlindungan korban

  Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan .

diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32 kejahatan dalam mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya putusan pidana berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan perdata harus mengikuti putusan pidana. Artinya, pihak penggugat yang menitipkan perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski putusan atas tuntutan ganti

   kerugiannya tidak memuaskan.

  Pasal tentang penganiayaan sendiri dalam KUHP diatur dalam BAB XX buku kedua KUHP tentang penganiayaan yaitu Pasal 351-358.

  1) Tindak Pidana Penganiayaan Biasa

  Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.

Pasal 351 KUHP 1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua Tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima Tahun.

  3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh Tahun.

  4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

  5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:

  a) Adanya kesengajaan

  b) Adanya perbuatan

  c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh.

  d) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya 2) 74 Tindak Pidana Penganiayaan Ringan Ibid.

  Pasal 352 KUHP (1)

  Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2)

  Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:

  a) Bukan berupa penganiayaan biasa

  

  (1) Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya;

  b) Bukan penganiayaan yang dilakukan (2)

  Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah; (3)

  Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum; c) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian.

  3) Tindak Pidana Penganiayaan Berencana

  Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja, mengutarakan arti direncanakan untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.

  Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa. 75 Ibid Pasal 353 KUHP (2)

  Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat Tahun. (3)

  Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh Tahun. (4)

  Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan Tahun Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan

  

  menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:

  a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.

  b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:

  1. Resiko apa yang akan ditanggung.

  2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.

  3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.

  c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang. 4)

  Tindak Pidana Penganiayaan Berat Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain.

  Pasal 354 KUHP 1)

  Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan Tahun. 2)

  Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh Tahun.

76 Ibid

  Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya. Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat).

  Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.

  Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut:

  a) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut.

  b) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

  c) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra.

  d) Kekudung-kudungan e) Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu.

  f) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan. Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:

  Penganiayaan berat biasa (ayat 1)

  b) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)

  5) Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana

  Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.

  

2) Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No 23

Tahun 2002

  UU No. 23 tahun 2002, yaitu tentang Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban tindak pidana kekerasan. Pasal 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan pengertian tentang perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal dari kekerasan dan diskriminasi.

  Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat, anak yang berdapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas diperdagangkan, anak yang menjadi penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropoka dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

  Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan,

   dan rehabilitasi, baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

  Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) (“UU Perlindungan Anak”) yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi;

  b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

  c. penelantaran;

  d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

  e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan pada anak, dapat diidentifikasi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup: (1) Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian kepada orang tua dan harus mengutamakan sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54); (3) Diwajibkannya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga (Pasal 55); (4) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- 77 Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, op.cit., hal. 9. undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dan pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66); (5) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69). Upaya pencegahan kekerasan pada anak dengan sarana nonpenal.

  Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak Hal tersebut diatur dalam Pasal 80 dan 90 UU No.

  23 Tahun 2002.

  Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

  (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalamluka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

  Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)

  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalammati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4)

  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

  Pasal 90

  (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal

  78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85,

  Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. (2)

  Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Selain itu juga ada terdapat bentuk perlindungan lain terhadap anak, yaitu dalam Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Akan tetapi bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak saja. Dalam penjelasan Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.

  Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga tidak ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui: (1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan (4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

  Kekerasan juga dapat berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui: (1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan (3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual. Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat.

  Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.

  Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban kekerasan.

3) Perlindungan Anak dari UU No. 23 Tahun 2004

  Perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT), terbagi dalam beberapa bab.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder - Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan Manufaktur

0 0 8

Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem 2.1.1 Pengertian Sistem - Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kompetensi Sumber Daya Manusia terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Dasar-dasar Perpajakan 2.1.1.1 Pengertian Pajak - Analisis Pengaruh Penagihan Pajak Aktif Terhadap Penerimaan Tunggakan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Medan Timur)

0 0 23

Analisis Pengaruh Penagihan Pajak Aktif Terhadap Penerimaan Tunggakan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Medan Timur)

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Pengaruh Penambahan Larutan Zat Kapur Terhadap Kenaikan pH Pada Air Pengolahan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal

0 0 16

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai

0 3 11