Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

SKRIPSI

Oleh: IRYANI DESPIANTI

NIM K 4404026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID

23 JULI 2001

Oleh: IRYANI DESPIANTI NIM K 4404026

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

commit to user

ABSTRAK

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI 2001 , Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, April. 2012

Penelitian bertujuan untuk mengetahui (1) Latar belakang dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (2) Pelaksanaan dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (3) Dampak dari dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 bagi Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada saat itu serta sistem pemerintahan Indonesia setelah dikeluarkannya dekrit.

Penelitian ini menggunakan metode historis dengan langkah-langkah, heuristik, kritik, interpretasi, historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis berupa surat kabar (Kompas, Media Indonesia), dan sumber data sekunder berupa buku. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data historis yang mengutamakan ketajaman interpretasi sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Latar belakang dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001 adalah: (a) Adanya hubungan yang tidak harmonis antara presiden dengan DPR/MPR sebagai akibat pernyataan dan kebijakan presiden yang kontroversial (b) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid merupakan perlawanan presiden atas politisasi kasus Bruneigate dan Buloggate yang bertujuan menjatuhkan presiden Abdurrahman Wahid melalui memorandum I dan memorandum II (c) Percepatan Sidang Istimewa MPR. (2) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 tidak dilaksanakan karena tidak didukung oleh parlemen, TNI dan POLRI. (3) Dampak dikeluarkannya dekrit tanggal 23 Juli 2001 adalah: (a) Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan sebagai presiden melalui ketetapan MPR RI No II/MPR/2001. (b) Penetapan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden melalui ketetapan MPR RI No. III/MPR/2001 dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden melalui ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) Terjadi perubahan pada sistem pemerintahan presidensial yaitu mengatur adanya pembatasan dan pembagian kekuasaan kelembagaan negara yaitu pengangkatan presiden berdasarkan kedaulatan rakyat, presiden tidak dapat membubarkan DPR serta mekanisme pemberhentian presiden oleh MPR lebih dipersulit karena membutuhkan pembuktian dari Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci : Presiden Abdurrahman Wahid, Dekrit Presiden 23 Juli 2001

commit to user

ABSTRACT

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI 2001 , Minithesis. Surakarta: teacher training and education faculty of Sebelas Maret University Surakarta, April. 2012.

The aims of the research were (1) To know the background of Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23 rd July 2001 (2) To know the implementation of Abdurahman Wahid’s presidential decree on 23 rd July 2001 (3) To know the impact of Abdurrahman Wahid issued the presidential decree on

23 rd July 2001. This research used historical method. The steps were heuristic, critical, interpretation, and historiography. Data sources used in this research is written sources which cover primary and secondary sources. The primary source used were in the form of article and the opinion of personages at that time and the relevant personages. The newspaper (Kompas and Media Indonesia). The secondary source was a book. The data were analyzed by using historical data analysis technique that emphasized to the sharpness of the historical interpretation.

Based on the research, it can be concluded that: (1) The background of Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23 rd July 2001 is: (a) the inharmonic relationship between the president and the DPR as the result of the President’s controversial statement and policy which considered being disappointing by the MPR/DPR. (b) Abdurahman Wahid’s presidential decree was the president’s opposition for politicizing the Bruneigate and Buloggate cases with goal of dropping the president through the 1 st and 2 nd memorandums. (c) the acceleration of the MPR special memorandum sessions. (2) The enforcement of the decree on 23 rd July 2001 could not be implemented because the TNI and POLRI were not support it. (3) the result of the issued of the presidential decree on 23 rd July 2001 were: (a) The president Abdurrahman Wahid was dismissed as President trough the determination of MPR RI No. II/MPR/2001. (b) Determining Megawati Soekarnoputri as president through the determination of MPR RI No. III/MPR/2001 and Hamzah Haz as vice president through the determination of MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) The government system changed to be presidential system which is president is directly elected by the citizens through the election and the mechanism of president demission by the MPR become more difficult because it needs constitutional court’s verification.

Key Words : The President Abdurrahman Wahid, The Presidential decree on July 23 rd , 2001.

commit to user

MOTTO

”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain-Nya”

(Q.S. Ar Ra’du: 11)

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada: • Bapak dan Ibu tercinta...

• Mas Pipink dan Mbak Tini yang kubanggakan

• Sahabatku ’Hierogliphers’ • Teman-teman Sejarah ’04

terima kasih atas persahabatan dan hari-hari yang indah

• Almamater

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Dalam proses penulisan ini terdapat beberapa hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas

Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.

4. Drs. Djono, M.Pd selaku pembimbing I yang telah dengan perhatian dan sabar dalam memberi pengarahan dan bimbingan.

5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd selaku pembimbing II yang telah dengan perhatian dan sabar dalam memberikan pengarahan dan bimbingan.

6. Semua dosen Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS.

7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan doa dan kasih sayang yang tulus

8. Sahabatku Ana, Ela, Ega, Devi, Diah, Farida, Mba Nur, dan Yanik atas semua bantuan, dukungan dan perhatian kalian selama ini.

9. Almamater. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

juga dunia pendidikan. Surakarta, April 2012

Penulis

commit to user

C. Saran .......................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 68 LAMPIRAN ....................................................................................................... 72

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Memasuki pertengahan tahun 1997 beberapa negara Asia seperti Korea, Thailand, dan Malaysia mulai terlanda krisis moneter. Kekhawatiran banyak pihak bahwa krisis itu bakal menulari Indonesia menjadi kenyataan. Bulan juli 1997 nilai rupiah terus merosot. Di bulan agustus nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp. 2.575,- menjadi Rp. 2.603,-. Bulan berikutnya turun lagi menjadi Rp. 3.000,-per dolar AS. Bulan oktober menjadi Rp. 3.845,- per Dolar AS. Dalam bulan-bulan berikutnya kemerosotan nilai rupiah lebih tidak masuk akal lagi. Pada bulan mei 1998 rupiah diperdagangkan Rp. 10.000,- dan dalam seminggu berikutnya anjlok menjadi Rp. 12.600,- ( Muhamad Hisyam, 2003: 56).

Dampak dari kemerosotan nilai tukar rupiah mengakibatkan harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini menimbulkan aksi demonstrasi menuntut diturunkannya harga barang yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia.

Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Gejolak politik ini terkait dengan situasi perekonomian yang semakin buruk akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan asia seperti Thailand,

Korea Selatan, dan Filipina. Di Indonesia nilai tukar rupiah yang terus melorot, menimbulkan rush: orang ramai-ramai melepas rupiah untuk ditukar dolar Amerika. Harga-harga membumbung tidak terkendali (Tjipta Lesmana, 2009: 117).

Pelopor penentang Presiden Soeharto dan Orde Baru adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan Mahasiswa yang

commit to user

menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden mundur. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan dari rakyat dan orang- orang dekatnya sendiri (Miriam Budiardjo, 2008:133).

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Menurut Mahfudz Sidiq (2003: 235) di masa pemerintahan B. J. Habibie atas desakan elemen-elemen gerakan reformasi, telah menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis. Diantaranya: Hak paten untuk mendirikan partai, adanya penyelenggara pemilu yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral, kehadiran pemantau asing, serta keberanian rakyat untuk melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Lembaga DPR pun telah mengesahkan tiga perangkat UU sebagai landasan penyelenggaan pemilu ini.

Pemerintahan B. J. Habibie hanya bertahan selama 1 tahun 5 bulan (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999) dan dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota MPR dan DPR pada 7 Juni 1999.

Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak

98, namun yang memenuhi syarat mengikuti pemilu hanya 48 partai politik saja. Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum multipartai kedua sejak tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak, 2003:414)

Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan

commit to user

153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat 120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau 12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi. ( www.tempointeraktif.com ).

Dari hasil pemilu 1999 dapat diketahui terdapat dua partai politik yang memperoleh suara terbanyak, yakni PDI Perjuangan ( 33,74% ) dan Golkar (22,44%). Dalam perjalanannya, kedua partai tersebut tidak serta merta bisa menguasai percaturan politik di DPR. Hal ini dikarenakan munculnya kekuatan koalisi baru yang dikenal dengan koalisi poros tengah.

Latar belakang kemunculan poros tengah, menurut Untung Wahono, memiliki beberapa versi yang saling melengkapi. Pertama, dalam rangka menarik Amien Rais ke kubu Islam. Kedua, dalam rangka memunculkan kekuatan politik alternatif berbasis Islam. Ketiga, memecah kebekuan alternatif calon presiden RI pasca Pemilu 1999. Keempat, untuk memberikan jaminan berjalannya agenda reformasi melalui pendekatan penawaran kekuatan ( Mahfudz Sidiq, 2003:244)

Awalnya tidak ada yang tahu benar kelompok apa Poros Tengah itu, tetapi menjelang akhir Juni 1999 kelompok ini mulai diperlakukan sebagai blok kekuasaan ketiga yang dapat dipercaya dan pers menuliskannya dengan huruf kapital. Awalnya orang beranggapan bahwa setelah pemilu, keseimbangan kekuasaan terbagi rata antara kaum reformis yang dipimpin oleh PDI-P dan PKB dan kelompok koalisi yang dipimpin Golkar dan PPP bersama dengan partai- partai Islam kecil. Kini ada Poros Tengah yang dipimpin oleh Amien Rais dan kelompok ini bisa menarik PPP, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PK. Pada waktu yang sama, Amien, atas nama Poros Tengah, mulai mengembangkan ide untuk

menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pencalonan ini dikatakan merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara kelompok Megawati dan kubu Habibie (Greg Barton, 2010:361)

Pada 20 Oktober 1999, SU MPR sampai pada sesi pemilihan presiden RI untuk periode 1999-2004, penghitungan suara yang berakhir pukul 14.35 WIB

commit to user

menghasilkan Abdurrahman Wahid memperoleh 373 suara dan Megawati meraih 313 suara. Dengan demikian, MPR akhirnya menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI periode 1999-2004 (Mahfudz Sidiq, 2003: 245).

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, hubungan yang dibangun antara presiden dan DPR tidak harmonis karena banyak konflik yang lahir dari kebijakan yang dikeluarkan presiden. Awal konflik presiden dengan DPR adalah dari kebijakan pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Menurut Khamani Zeda , meski kebijakan itu cukup penting untuk menumbuhkan budaya demokrasi dengan memberikan ruang publik yang bebas bagi media massa dan sekaligus upaya pemberdayaan civil society yang selama ini selalu dikooptasi negara, namun kebijakan itu tak ubahnya seperti menciptakan musuh baru bagi pemerintahannya ( Mahfudz Sidiq, 2003: 250)

Kebijakan-kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dalam menjalankan pemerintahan sering menimbulkan konflik dengan DPR. Ketegangan ini lebih terlihat sebagai petarungan politik antara presiden dengan partai politik yang ada. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan konstelasi politik di DPR yaitu upaya untuk mengganti presiden. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pada pemilu 1999 yang harus menerima kekalahan pada saat pemilihan presiden di MPR, mendapat dukungan dari partai politik yang tergabung dalam poros tengah yang semula mendukung Abdurrahman Wahid guna mengangkat Megawati Soekarnoputri duduk di kursi kepresidenan. Dukungan didapat pada saat pertemuan pimpinan partai politik tanggal 22 Juli 2001 di kediaman Megawati.

Pertemuan ini meningkatkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan partai politik yang juga pimpinan di DPR/MPR. P.N.H Simanjuntak, 2003: 450 menyebutkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan DPR/MPR ( yang juga pimpinan Partai Politik) mencapai puncaknya ketika pada tanggal 22 Juli 2001, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri (yang juga sebagai Wakil Presiden) mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik di kediamannya. Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Umum Partai Golkar ( ketua DPR), Ketua Umum PAN Amien Rais ( ketua MPR), ketua umum PPP Hamzah Haz, Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PBB Yuzril Ihza Mahendra,

commit to user

Wakil ketua PKP Sutradara Ginting, Wakil ketua MPR Matori Abdul Jalil dan wakil ketua MPR Hari Sabarno. Hasil dari pertemuan diberitahukan oleh Amien Rais pada wartawan yang dikutip oleh Andreas Harsono (2009:16), Amien menyatakan: “…tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah kepemimpinan nasional yang baru, Insya Allah itu semua tergantung Allah, kami semua disini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral kepada ibu Megawati Soekarnoputri”.

Pernyataan yang dibuat oleh Amien Rais tersebut dinilai oleh presiden Abdurrahman Wahid sebagai ajakan untuk adu kekuatan, dan tidak mau melakukan kompromi politik, ini dapat dilihat dalam pernyataan presiden dalam pidatonya pada malam harinya, yang dikutip oleh P. H. Simanjutak (2003: 450). Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan:

”…Ini saya berarti akan diturunkan oleh mereka. Itu namanya sudah mengajak adu kekuatan. Sudah tidak mencari kompromi politik lagi. Belum ada sidang, arahnya sudah kesana. Oleh karena itu, tidak bisa lain. Kalau memang sudah politis, adu kuat. Ya mari adu kuat. Kekuatan siapa yang menang. Saya jamin tidak ada tindakan kekerasan dari masyarakat. Karena itu, saya juga minta aparat keamanan tidak menembak siapapun,” kata presiden.

Bentuk nyata dari perlawanan presiden Abdurrahman Wahid adalah dengan mengeluarkan dekrit. Isi Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid yang dibacakan pada hari Senin 23 Juli 2001 pukul 01:10 WIB yaitu: (1) Membekukan

MPR dan DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun, (3) Menyelamatkan gerakan Reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Maklumat ini langsung disikapi oleh para elite politik di Senayan dengan mempercepat Sidang Istimewa MPR. Hanya delapan jam setelah Maklumat diumumkan presiden, MPR bersidang dan memberhentikan Presiden. (Tjipta Lesmana, 2009: 215).

Di Indonesia dekrit pertama kali diberlakukan pada masa pemerintahan Presien Soekarno. Dekrit presiden 1959 dilatar belakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.

commit to user

Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, namun sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara dikalangan masyarakat berpendapat untuk kembali ke UUD 1945 semakian kuat. Menanggapi hal itu, Presiden Soekarno menyampaikan amanat di depan Sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 konstituante melaksanakan pemungutan suara, hasilnya 269 suara menyetujui untuk kembali ke UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekrit tersebut antara lain : (1) Pembubaran Konstituante, (2) Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950, (3) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (A.B. Lapian, dkk., 1996: 147-149).

Dekrit presiden Soekarno tanggal 5 juli 1959 dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 tidak dapat dilaksanakan dan menjadi penyebab jatuhnya beliau dari kursi kepresidenan.

Latar belakang terjadinya dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001 bermula dari pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 1999 ini dimenangkan oleh PDI-Perjuangan, sebagai ketua partai pemenang pemilu 1999 Megawati diperkirakan menjadi presiden selanjutnya, tapi kemenangan pada pemilihan umum tersebut tidak mutlak dimenangkan oleh PDI- Perjuangan, sehingga pencalonan Megawati sebagai presiden terganjal dengan kemunculan Poros Tengah dimotori oleh Amien Rais, poros tengah ini mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Dan pada hasil pemilihan presiden dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid dengan mengalahkan

commit to user

Megawati sebagai presiden Indonesia. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, hubungan yang dibangun antara presiden dan DPR tidak harmonis karena banyak konflik yang lahir dari kebijakan yang dikeluarkan presiden. Sehingga menimbulkan kekacauan politik. Puncaknya presiden Abdurrahman Wahid memberlakukan dekrit Presiden tertanggal 23 Juli 2001.

Pagi hari tanggal 23 Juli 2001, menanggapi dekrit presiden Abdurrahman Wahid MPR Menggelar sidang istimewa dipimpin langsung oleh Ketua MPR Amien Rais dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden Abdurrahman Wahid. Dari hasil sidang memutuskan bahwa maklumat yang pada dasarnya adalah dekrit presiden Abdurrahman Wahid adalah tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dari sidang tersebut, juga menghasilkan keputusan untuk memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden (P.N.H. Simanjuntak, 2003:453-454).

Permasalahan yang menarik bagi penulis dalam penelitian ini adalah dimana hubungan antara DPR/MPR dengan Presiden pada masa kepemerintahan Abdurrahman Wahid tidak berjalan harmonis sebagaimana seharusnya, dimana puncak dari perselisihan antara Presiden dengan DPR/MPR, yakni dikeluarkannya dekrit presiden oleh Presiden Abdurrahman Wahid tepat pukul 01: 10 WIB Senin tanggal 23 Juli 2001 dinihari. Dari hal inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman

Wahid 23 Juli 2001?

2. Bagaimana proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid

23 Juli 2001?

3. Bagaimana dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid

23 Juli 2001?

commit to user

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.

2. Proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli

2001.

3. Dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian dapat diketahui kegunaan dari setiap kegunaan dari setiap kegiatan ilmiah, adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang berbagai strategi pemerintah (presiden) dalam mengatasi masalah khususnya permasalahan politik

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada setiap pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam penulisan sejarah

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sebelas Maret

commit to user

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Politik Pemerintah

a. Politik Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:20) menyatakan pengertian politik sangat beragam tergantung dari konsep politik yang pernah ada dan sedang berkembang saat ini. Ada lima konsep yakni negara, kekuasaan, keputusan atau kebijakan, pengalokasian sumber-sumber (distribusi), dan konflik. Dari kelima konsep ini, lahir pengertian atau definisi politik yang beragam. Lebih lanjut politik didefinisikan antara lain sebagai :

1) Segala kehidupan atau kegiatan bernegara atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan negara;

2) Segala kegiatan mempertahankan dan/ atau merebut kekuasaan;

3) Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan / atau melaksanakan keputusan politik atau kebijakan publik;

4) Kegiatan yang berkaitan dengan pengalokasian dan penerimaan sumber-sumber; dan

5) Segala kegiatan berbentuk perselisihan politik atau konflik politik.

Menurut Ramlan Surbakti (1992:167) seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Sistem politik bukan suatu yang jelas batas teritorialnya, akan tetapi sistem politik merupakan suatu konstruksi analisis yaitu suatu istilah yang digunakan untuk memudahkan analisis atas berbagai hal yang konkret.

Budi Winarno (2008: 91) mengungkapkan bahwa dalam sistem politik pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur politik penting karena menyangkut bagaimana pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan dilakukan.

Ramlan Surbakti (1992 : 167) menyatakan bahwa perbedaan antara sistem politik dengan sistem lainnya adalah pola-pola interaksi yang dalam sistem politik melibatkan kekuasaan dan kewenangan. Unsur utama sistem politik adalah pemerintah yang diberikan kewenangan memonopoli penggunaan paksaan fisik

commit to user

10

sesuai dengan undang-undang. Sebelum tahun 1960-an yang dipelajari dalam ilmu politik terfokus pada kegiatan pemerintah. Namun, sejak tahun 1960-an para ahli melihat kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat (diluar pemerintah), seperti partai politik, kelompok kepentingan, pers, dan golongan masyarakat yang lain. Bahkan pemimpin pemerintahan berasal dari masyarakat melalui pemilihan umum. Kebijakan umum yang dirumuskan merupakan hasil interaksi dengan berbagai organisasi, kelompok, dan golongan dalam masyarakat. Itu sebabnya, mengapa politik dirumuskan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Pemerintah Hartomo dan Arnicun Aziz (1999: 158) berpendapat bahwa pemerintah tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara, sebab negara sebagai organisasi dan lembaga bangsa memiliki kekuasaan. Pengaturan penggunaan kekuasaan dan batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang negara. Demikian pula pengaturan urutan (hirarkhi) kekuasaan serta sumber kekuasaan negara.

Menurut Ramlan Surbakti (1992: 168) pemerintah (government) secara etimologis berasal dari kata Yunani, kubernan atau nakhoda kapal. Artinya, menatap kedepan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.

Menurut C.F. Strong dalam Jimly Asshiddiqie (2005: 19), kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.

commit to user

11

c. Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan di dunia terbagi atas sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Pada umumnya, negara-negara di dunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut, dalam bentuk tipe ideal yang diwakili negara Inggris (parlementer) dan Amerika Serikat (presidensial). Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan tersebut.

Shively yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (1992: 170) menjelaskan tentang ciri-ciri sistem kabinet parlementer sebagai berikut:

1) Parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui pemilihan umum.

2) Anggota dan pemimpin kabinet (perdana menteri) dipilih oleh parlemen untukl melaksanakan fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar atau seluruh anggota kabinet biasanya juga menjadi anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni legislatif dan eksekutif.

3) Kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas

dari parlemen

4) Manakala kebijakan tidak mendapat dukungan dari parlemen, perdana menteri dapat membubarkan parlemen, lalu menetapkan waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk parlemen yang baru.

5) Fungsi kepala negara (perdana menteri) dan fungsi kepala negara (presiden, raja) dilaksanakan oleh orang yang berlain.

Jimly Asshidiqie (2007:315-316) memaparkan karakteristik umum yang menggambarkan sistem pemerintahan presidensial yaitu:

1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden saja.

3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan.

4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.

5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.

6) Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.

commit to user

12

7) Jika dalam sistem pemerintahan parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.

8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat.

9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial hal ini dapat dilihat dari konstitusi negara yaitu UUD 1945. Walaupun dalam sejarahnya Indonesia juga pernah menyimpang dari konstitusi dengan menganut sistem pemerintahan parlementer pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959.

Menurut Usep Ranawijaya (1983:35) Pada waktu ini kaidah-kaidah hukum pokok mengenai organisasi negara kita yang berlaku termuat diantaranya di dalam suatu konstitusi yang dinamakan Undang-Undang Dasar 1945. konstitusi tersebut dinyatakan berlaku lagi setelah bangsa Indonesia mengalami penggunaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat hasil Konperensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Konstitusi Proklamasi atau Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara tanggal 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden.

Adapun kelemahan dan kelebihan dalam pemerintahan presidensial menurut Ramlan Surbakti (1992: 171) yakni pertama, kepimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, daripada dalam kabinet parlementer, tetapi siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih jelas pada kabinet parlementer dibandingkan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang bersifat komprehensif jarang dapat dibuat karena legeslatif dan eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan kemungkinan kedua badan ini didominasikan oleh partai yang berbeda. Ketiga, jabatan kepala pemerintahan negara berada pada satu tangan. Keempat, legislatif bukan

commit to user

13

tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai sumber termasuk legislatif.

Jimly Asshidiqie (2007 : 321) menyebutkan dalam penjelasan UUD 1945, meskipun sekarang tidak berlaku normatif lagi secara langsung tetapi sebagai dokumen historis masih tetap dapat dijadikan acuan ilmiah yang penting, dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala pemerintahan menyatu dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan legislatif. Hal tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum amandemen UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu

a) Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR.

b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi.

c) Presiden adalah mandataris MPR.

d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

2. Dekrit

Istilah dekrit berasal dari bahasa latin yakni kata “decretum” yang mempunyai arti sebagai keputusan yang diambil diluar kebiasaan, sebagai keputusan bersama (Usep Ranawijaya, 1983:37). Moh. Mahfud M.D. (2010: 108) mendefinisikan dekrit Presiden sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa menjadi konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga dekrit bisa dimenangkan dalam pertarungan politik.

Penggunaan Dekrit menurut Usep Ranawijaya (1983:36) telah digunakan di zaman Romawi dengan istilah “decretum” yang umumnya diartikan sebagai suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan tersebut digunakan pada keputusan didalam perkara-perkara perdata diluar kebiasaan (biasanya perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk pemeriksaan perkara). Perkataan decretum kemudian dipakai juga untuk keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksanya sendiri atas pemohonanan yang berkepentingan di dalam instansi pertama atau dalam

commit to user

14

tingkat appel. Keputusan-keputusan kaisar dalam hal demikian itu dinamakan “decreta principis” dan mempunyai kekuatan undang-undang untuk soal-soal yang sama.

Dekrit pernah diberlakukan beberapa negara, seperti pengalaman Jerman pada masa pemerintahan Adolf Hitler dimana Weimer Konstitusi 1919, oleh Hitler diganti dengan konstitusi baru dengan alasan kewenangan luar biasa presiden untuk mengatakan negara dalam keadaan bahaya. Sejak itu dekrit keadaan darurat telah disalahgunakan kelompok Nazi untuk kepentingan golongannya sendiri dengan mengubah struktur negara dan pemerintahan demokrasi menjadi pemerintahan diktator (Danny Indrayana, 2010:263-264).

Harun Alrasid dalam Moh. Mahfud M.D. (2010: 106) berpendapat bahwa, secara hukum presiden mempunyai wewenang mengeluarkan dekrit

sebagai tindakan darurat presiden. Menurut Denny Indrayana (2010: 261-262),

dekrit dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven staatsnoodrecht) . Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum perundangan. Karena itu, dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi dengan hukum yang tidak normal pula (abnormal recht voor abnormal tijd).

Menurut Herman Sihombing (1996:7-8), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam satu peraturan darurat, yaitu:

a. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya atau eksistensi negara itu sendiri (het hoogste staatsbelang-het bestaan zelf van den staat-op het spel stand en afhan kelijk was van het al of niet maken der getroffenregeling)

b. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu (deze regeling noodzakelijk was)

commit to user

15

c. Syarat ketiga ialah, bahwa noodregeling itu bersifat sementara, provosoir, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu, diperlakukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku (in de derde plaats zal hi) de noodregelen geheel als “tijdeljk”, “provisoir”, beschouwen, nl. Zoolang geldende als de nood op dat bepaalde punt duurt, het daarna in stijd met het normale recht blijven gelden dier regels kan door hem niet wordengeduld).

d. Syarat berlakunya ialah: bahwa ketika dibuat peraturan darurat itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.

Denny Indrayana (2010:263) menyatakan indikator bahwa dekrit semata- mata dikeluarkan karena negara dalam kondisi benar-benar genting, yaitu bila dekrit itu memenuhi dua syarat utama yakni:

a. Merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan negara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary in the interest of the nation) dan;

b. Harus memenuhi teori keseimbangan (evenwichtstheorie) antara bahaya yang datang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan.

Kedua kriteria itu terpenuhi apabila negara dalam keadaan bahaya yang disebabkan perang atau negara darurat karena bencana alam. Kedua kondisi itulah yang sebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan dekrit.

Herman Sihombing (1996 : 1) berpendapat dalam pemberlakuan hukum tata negara darurat harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa

2) Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai lagi untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada

3) Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada Pemerintah Negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.

4) Wewenang luar biasa itu dan hukum tata negara darurat adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.

commit to user

16

Pelaksanaan dekrit menurut Denny Indrayana (2010: 262) adalah isi dekrit wajib bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria- kriteria obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven staatsnoodrecht) .

UUD 1945 belum mengatur secara jelas mengenai pihak-pihak yang terkait dalam Dekrit di Indonesia, Pasal 22 Ayat (1) dan (2) hanya menentukan presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang- undang dan peraturan pemerintahan tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, pemberlakuan keadaan bahaya atau keadaan darurat harus disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait menurut ketentuan hukum nasional, yaitu beberapa lembaga negara yang terkait melalui pimpinannya masing-masing, lembaga-lembaga negara yang perlu diberitahu secara resmi akan adanya pemberlakukan keadaan darurat adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara R. I., Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Para menteri Kabinet, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dan DPRD yang di daerahnya berlaku keadaan Darurat (Jimly Asshiddiqie, 2008:301-302).

commit to user

17

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka Pemikiran Merupakan alur penalaran yang didasarkan pada tema dan masalah penelitian, maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Pasca jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto pada mei 1998 terjadi perubahan dibidang politik pemerintahan. Gerakan reformasi telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan politik dan pemerintahan yang pada masa sebelumnya terkontrol, berubah menjadi sangat bebas. Pada masa reformasi diadakan pemilu untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR

Politik Pemerintah

Reformasi MPR / DPR

Terpilihnya Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden

Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden

Dekrit Presiden

Abdurrahman Wahid diberhentikan

Sebagai Presiden

commit to user

18

sekaligus akan duduk di MPR. MPR hasil pemilu diberi kewenangan untuk memilih presiden yang sesuai dengan harapan reformasi, yang dimenangkan oleh Abdurrahman wahid.

Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden ke empat Indonesia mengemban harapan besar menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Dalam perjalanannya, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dinilai tidak maksimal dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dan kebijakan yang diambil sering menimbulkan kontroversi dimasyarakat yang berdampak lahirnya konflik dengan pihak DPR. Pihak DPR yang juga sebagai anggota MPR berupaya untuk menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR. Sikap yang diambil oleh DPR/MPR tersebut melahirkan perlawanan dari presiden dengan mengeluarkan dekrit. Dekrit yang pada awalnya menjadi senjata presiden dalam melakukan perlawanan terhadap pihak MPR, justru menjadi alasan diberhentikannya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

commit to user

19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian Untuk memperoleh data-data sebagai sumber penulisan, peneliti melakukan studi tentang buku-buku literatur, majalah, jurnal dan surat kabar yang tersimpan di beberapa perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat untuk penelitian adalah sebagai berikut:

1. Perpustakaan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

4. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

6. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta

7. Perpustakaan Colose st. Ignatius, Yogyakarta

8. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta

9. Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukoharjo

10. Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak pengajuan judul skripsi yaitu bulan November 2011 sampai dengan April 2012.

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ilmiah diperlukan suatu metode tertentu sesuai dengan objek dan tujuan penelitian. Metode merupakan cara kerja yang sistematis yang

commit to user

20

mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan ilmiah yang bersangkutan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koentjaraningrat, 1977: 12). Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah. Sartono Kartodirjo (1992: 37) berpendapat bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Hadari Nawawi (1985: 67) mengatakan bahwa metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau. Mohammad Nazir (1988: 33) mengatakan bahwa metode penelitian sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interaksi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menguji dan menelitinya secara kritis mengenai peninggalan masa lampau sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah. Dalam penelitian ini di usahakan pembuatan rekonstruksi peristiwa sejarah tentang Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001. Pertimbangan yang mendasar digunakannya metode sejarah atau historis yaitu karena metode ini lebih sesuai dengan data yang dikumpulkan, diuji, dan dianalisis secara kritis sumber-sumber sejarah yang terkait.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data historis atau data sejarah. Data dapat diartikan sebagai suatu fakta atau prinsip yang diberikan atau ditampilkan, sesuatu yang menjadi dasar suatu argumen dalam setiap susunan sistem intelektual, materi yang menjadi dasar untuk diskusi, penetapan suatu kebijakan atau setiap informasi rinci (Helius Sjamsuddin,

commit to user

21

1996:1). Menurut Moh Nazir (1988: 57) data sejarah adalah sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian dengan metode sejarah.

Helius Sjamsuddin (1996: 74), sumber sejarah dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara, yaitu: (a) kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (b) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (c) pembagian menurut asal (dari mana asalnya), (d) isi (mengenai apa), (e) tujuan (untuk apa), yang masing-masing dibagi lebih lanjut menurut waktu, tempat, dan cara atau produknya. Pembagian tersebut berkaitan dengan beberapa aspek dari sumber dan dapat membantu dalam mengevaluasai sumber sejarah. Untuk kepentingan praktis, sumber sejarah dapat dibagi atau diklasifikasi secara garis besar menjadi dua macam, yaitu peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan.

Menurut Moh. Nazir (1988: 58 - 59) sumber sejarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpanan yang orisinil dari data sejarah. Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian masa lampau. Contoh dari data atau sumber primer adalah catatan resmi yang dibuat pada suatu acara atau upacara, suatu keterangan oleh saksi mata, keputusan-keputusan rapat, foto-foto, dan sebagainya. Sedangkan sumber sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.