Analisis Gaya Bahasa Dalam Kumpulan Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008 : 725) konsep
merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar
bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk menambah hal-hal lain.
Jadi, konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1.1 Gaya Bahasa
Keraf (2006:112) mengemukakan bahwa gaya atau khususnya gaya bahasa
dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin
stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan
tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis
indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis
atau mempergunakan kata-kata secara indah.
Penggunaan bahasa – bahasa indah dalam tulisan meningkatkan nilai suatu
cerita.

Gaya


bahasa

dalam

sebuah

cerita

merupakan

cara

pengarang

mengungkapkan pemikiran atau ide melalui bahasa yang khas dalam tulisan. Gaya
bahasa sangat menarik karena dapat menjadi ciri khas tersendiri dalam
menggambarkan jiwa dan kepribadian penulisnya. Sebuah gaya bahasa yang baik
harus mengandung tiga unsur berikut : 1) kejujuran, 2) sopan santun, dan 3)
menarik.


7

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Cerpen
Menurut Sumardjo dan Saini (1998 : 30) cerpen merupakan cerita
berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata “pendek” dalam batasan ini tidak jelas
ukurannya. Ukuran pendek di sini diartikan sebagai : dapat dibaca sekali duduk
dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya
mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam
dan tidak kompleks.
Cerita pendek diuraikan menurut kata yang membentuknya berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 263) adalah sebagai berikut, cerita artinya
tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal, sedangkan pendek
berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal
yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu
ketika.

2.1.3 Filosofi Kopi

Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005)
karya Dewi Lestari pertama kali diterbitkan pada tahun 2006. Filosofi Kopi :
Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (1995 – 2005) berisi delapan belas
tulisan yang berupa cerpen dan prosa, yakni : Filosofi Kopi (1996), Mencari
Herman (2004), Surat Yang Tak Pernah Sampai (2001), Salju Gurun (1998),
Kunci Hati (1998), Selagi Kau Lelap (2000), Sikat Gigi (1999), Jembatan Zaman
(1998), Kuda Liar (1998), Sepotong Kue Kuning (1999), Diam (2000), Cuaca
(1998), Lara Lana (2005), Lilin Merah (1998), Spasi (1998), Cetak Biru (1998),
Budha Bar (2005) dan Rico de Coro (1995).

8

Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Stilistika
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
stilistika. Stilistika adalah 1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan
dalam karya sastra ; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; 2)
penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana 1982 : 159).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990 :79) menuliskan stilistika
(Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam
karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995 : 277) menuliskan stilistika
(Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra,
perpaduan ilmu linguistik dan sastra.
Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993 : 3) menyebutkan bahwa
stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji
cara sastrawan memanipulasi memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat
dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika
meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri – ciri yang
membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana nonsastra, meneliti
derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Stilistika mengkaji wacana
sastra di satu pihak dan juga linguistik di lain pihak. Menurut Sudjiman (1993 :
13-14) menguraikan pusat perhatian stilistika adalah Style, yaitu cara yang
digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarana Style dapat diterjemahkan sebagai gaya
bahasa.

9


Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur – unsur bahasa yang digunakan, maka
gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang
dipergunakan, yaitu : 1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2) gaya bahasa
berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, 3) gaya bahasa berdasarkan
struktur kalimat, dan 4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
(Keraf, 2006 : 115). Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini
biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech.
Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini
dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata – mata
merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan
gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya
dalam bidang makna (Keraf, 2006 : 129).

2.2.2

Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

2.2.2.1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata – mata
merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu
(Keraf, 2006 : 129). Gaya bahasa ini memiliki fungsi antara lain : menjelaskan,
memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk
hiasan. Gaya bahasa retoris terdiri atas :
1. Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam
prosa, untuk hiasan atau penekanan. Misalnya : Takut titik lalu tumpah.

10

Universitas Sumatera Utara

2. Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang – kadang dalam prosa
untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya :
Kura – kura dalam perahu, pura – pura tidak tahu.
3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh
dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya :
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.
4. Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya
dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya
menyangkal. Berpura – pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia
menekankan hal itu. Misalnya :
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya
saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan anda menipu diri
sendiri.
5. Apostrof
Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari
para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh
orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator
secara tiba - tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak
hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek

11


Universitas Sumatera Utara

khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada
hadirin. Misalnya :
Hai kamu dewa – dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah
kami dari belenggu penindasan ini.
6. Asindeton
Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan
mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak
dihubungkan dengan kata sambung. Misalnya
Materi pengalaman diaduk – aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum
dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji – imaji, metode, prosedur,
dijungkir balik, masih itu – itu juga.
7. Polisindeton
Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.
Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain
dengan kata – kata sambung. Misalnya :
Dan ke manakah burung – burung yang gelisah dan tak berumah dan tak
menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu – bulunya?
8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri
atas dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan
dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik
bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya :
Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk
melanjutkan usaha itu.

12

Universitas Sumatera Utara

9. Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang
berlaku. Misalnya :
Masihkah kau tidak peraya bahwa dari segi fisik engkau tak apa – apa,
badanmu sehat, tetapi psikis ....
10. Eufemismus
Kata eufemisme atau eufemismus


diturunkan

dari

kata

Yunani

euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau
dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam
acuan berupa ungkapan – ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau
ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin
dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang
tidak menyenangkan. Misalnya :
Ayahnya sudah tak ada di tengah – tengah mereka (= mati).
11. Litotes
Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari
keadaan sebenarnya. Atau suau pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan

katanya. Misalnya :
Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun –
tahun lamanya.

13

Universitas Sumatera Utara

12. Histeron Proteron
Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan
kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar,
misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya
bahasa ini disebut juga hiperbaton. Misalnya :
Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh
dengan tenang.
13. Pleonasme dan Tautologi
Pada

dasarnya

pleonasme

dan

tautologi

adalah

acuan

yang

mempergunakan kata – kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk
menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata
yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya :
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu
sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya :
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
14. Perifrasis
Perifrasis

adalah

gaya

yang

mirip

dengan

pleonasme,

yaitu

mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak
dalam hal bahwa kata – kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan
satu kata saja. Misalnya :
Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak (= ditolak).

14

Universitas Sumatera Utara

15. Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau Antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata – kata sebelum peristiwa atau gagasan yang
sebenarnya terjadi. Misalnya :
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.
16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang
dipergunakan dalam pidato batau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang
lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki
adanya suatu jawaban. Misalnya :
Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan menipulasi
di negara ini ?
17. Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua
konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
Dalm silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi
secara semantik tidak benar. Misalnya :
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya,
sebenarnya hanya cocok untuk sala satu daripadanya (baik secara logis maupun
gramatikal). Misalnya :
Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.

15

Universitas Sumatera Utara

18. Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula – mula
menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya :
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.
19. Hiperbola
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar – besarkan sesuatu hal. Misalnya :
Kemarahanku sudah menjadi – jadi hingga hampir – hampir meledak aku.
20. Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan
yang nyata dengan fakta – fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal
yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya :
Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
21. Oksimoron
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan
berusaha untuk menggabungkan kata – kata untuk mencapai efek yang
bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang
mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata – kata yang berlawanan
dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam daripada
paradoks. Misalnya :
Keramah – tamahan yang bengis.

16

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.2 Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama – tama dibentuk berdasarkan
perbandingan atau persamaan. Memb andingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang
lain, berarti mencoba menemukan ciri – ciri yang menunjukkan kesamaan antara
kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan
perbandingan yang termasuk dalam bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk
gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.
(1) Dia sama pintar dengan kakaknya.
Kerbau itu sama kuat dengan sapi.
(2) Matanya seperti bintang timur.
Bibirnya seperti delima merekah.
Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.
Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang
sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal
yang termasuk dalam kelas yang berlainan (Keraf, 2006 : 136).
Gaya bahasa kiasan terdiri atas :
1. Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang
dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya
yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata – kata : seperti, sama,
sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya :
Bibirnya seperti delima merekah.

17

Universitas Sumatera Utara

Kadang – kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang
mau dibandingkan, seperti : Bagai duri dalam daging.
2. Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah
hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak
mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga
pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya
sama dengan simile tetapi secara berangsur – angsur keterangan mengenai
persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya :
Pemuda adalah seperti bunga bangsa.
bangsa, Pemuda

Pemuda adalah bunga

Bunga bangsa.

3. Alegori, Parabel, dan Fabel
Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam
alegori, nama – nama pelakunya adalah sifat – sifat yang abstrak, serta tujuannya
selalu jelas tersurat. Misalnya :
Cerita tentang putri salju.
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh – tokoh yang biasanya
manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan
agama. Misalnya :
Cerita tentang anak durhaka kepada orang tuanya.
Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang,
dimana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya :
Cerita dongeng Sang Kancil.

18

Universitas Sumatera Utara

4. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda – benda mati atau barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah
memiliki sifat – sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu
corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda – benda mati bertindak,
berbuat, berbicara seperti manusia. Misalnya :
Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba disana.
5. Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan
antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya :
Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.
6. Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu. Misalnya :
Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.
7. Epitet
Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau
ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa
deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu
barang. Misalnya :
Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya (=bulan).

19

Universitas Sumatera Utara

8. Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan
sebagiann dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro toto).
Misalnya :
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000 (pars pro toto).
Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia (totem
pro parte).
9. Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil pertemuan, pemilik untuk barang
yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan
kulitnya, dan sebagainya. Misalnya :
Ia membeli sebuah chevrolet.
10. Antonomasia
Antonomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang
berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar
resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya :
Yang Mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini.
11. Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada

20

Universitas Sumatera Utara

sebuah kata yang lain. Dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan
dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya :
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah
manusianya, bukan bantalnya).
12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan
hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara
halus. Misalnya :
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!
Sinisme adalah

gaya

bahasa

yang

menyatakan

sesuatu

dengan

menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara
lebih tajam dan menusuk perasaan. Misalnya :
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!
Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas
dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Misalnya :
Kelakuanmu memuakkan saya.
13. Satire
Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk
ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan
manusia. Misalnya :
Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini
pun kau sudah kewalahan.

21

Universitas Sumatera Utara

14. Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering
tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya :
Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatannya.
15. Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata
dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.
Misalnya :
Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si cebol).
16. Pun atau Paronamasia
Pun atau Paronamasia adalah kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi
yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Misalnya :

“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.

Uraian di atas berisi tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan
digunakan sebagai landasan teori penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi
yang berbeda – beda di setiap kalimat. Fungsi gaya bahasa tersebut dapat sebagai
menjelaskan dan memperkuat makna, menambah nilai keindahan atau estetik,
menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa (hiburan), atau sekedar
hiasan.

Keseluruhan

jenis

gaya

bahasa

inilah

yang

akan

diterapkan

penggunaannya dalam penelitian ini.

22

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Semantik
Chaer (1995 : 2) mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa

Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda)
yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata semantik sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat
diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga
tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Menurut pandangan Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri
atas dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain
dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi dan (2) yang mengartikan
(signifiant, signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa
yang bersangkutan. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual)
yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan
unsur luar bahasa (ekstralingual).
Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang,
yaitu :
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina
leksikon. Makna leksikal adalah makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,
atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan
referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna
yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpanya kata tikus makna
leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan

23

Universitas Sumatera Utara

timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati
diterkam kucing.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna
gramatikal. Jika makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata
yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang
hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses
reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat
dalam kalimat Batu seberat itu terangakat juga oleh adik melahirkan makna
‘dapat’.
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada
tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen,
yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut
kata bermakna referensial. Jika kata-kata tidak mempunyai referen , maka kata itu
disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang
bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot
rumah tangga yang disebut meja dan kursi. Sebaliknya kata karena dan tetapi
tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang
bermakna nonreferensial.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab
makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan
hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi

24

Universitas Sumatera Utara

faktual objektif. Seperti contoh kata perempuan dan wanita kedua kata ini
mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.
Makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif
maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki
konotasi. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata
ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang
konotasinya positif.
4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atatu asosiasi apapun. Makna konseptual sama saja dengan
makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah
makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan
kata itu dengan sesuatu yang brada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
5. Makna Kata dan Makna Istilah
Makna kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai
makna yang jelas, pasti, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.
Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Perbedaan makna kata dan istilah, yaitu 1) Tangannya luka kena pecahan kaca, 2)
Lengannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat
tersebut bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata tersebut
memiliki yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai jari

25

Universitas Sumatera Utara

tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal
bahu.
6. Makna Kias
Semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak
merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, arti denotatif) disebut
mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti
“bulan‟ dan raja siang dalam arti ”matahari” semuanya mempunyai arti kiasan.

2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang gaya bahasa yang relevan sebagai sumber adalah
sebagai berikut:
Nurul Fitriah (2010) dalam skripsi yang berjudul Gaya Bahasa Retoris
dan Kiasan Dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari. Ia membahas tentang gaya
bahasa retoris dan kiasan serta gaya bahasa paling dominan.Gaya bahasa dalam
novel Rectoverso disimpulkan bahwa hanya terdapat sebelas macam gaya bahasa
retoris, yaitu Aliterasi, Asonansi, Anastrof, Apostrof, Asindeton, Elipsis,
Eufemismus, Prolepsis atau Antisipan, Erotesis atau Pertanyaan Retoris, Koreksio
dan Epanortosis, Dan Hiperbola. Sedangkan gaya bahasa kiasan hanya enam gaya
bahasa, yaitu Simile, Metafora, Alegori, Personifikasi, Sinekdoke Pars Pro Toto,
dan Antonomasia. Kemudian gaya bahasa yang paling dominan digunakan adalah
gaya bahasa Simile.
Suryati (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa
Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A Navis. Gaya bahasa dalam
kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami disimpulkan terdapat empat jenis gaya

26

Universitas Sumatera Utara

bahasa berdasarkan teori Henry Guntur Tarigan yang terdiri atas : 1) gaya bahasa
perbandingan meliputi ; Perumpamaan, Personifikasi, Antitesis, dan Perifrasis. 2)
gaya bahasa pertentang meliputi ; Hiperbola, Klimaks, dan Antiklimaks. 3) gaya
bahasa pertautan meliputi ; Eufemisme, Epitet, dan Asindeton. 4) gaya bahasa
perulangan meliputi ; Epizeukis, Tautotes, Anafora, Epistrofa, Epanalepsis, dan
Anadiplosis.
Lazfihma (2014) dalam skripsi yang berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam
Slogan Iklan Minuman di Televisi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
terdapat (1) sepuluh kategori gaya bahasa yang terdiri dari 3 gaya bahasa
metafora, 18 gaya bahasa hiperbola, 4 gaya bahasa personifikasi, 3 gaya bahasa
aliterasi, 4 gaya bahasa asonansi, 8 gaya bahasa repetisi, 6 gaya bahasa pertanyaan
retoris, 2 gaya bahasa sinekdoke, 2 gaya bahasa elipsis, dan 2 makna denotatif (2)
makna yang terkandung dalam slogan iklan minuman teh dan kopi di televisi.
Marini (2010) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Stilistika Novel
Laskar Pelangi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keunikan pemilihan dan
pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa,
leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul. Kekhususan
aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi
leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa
Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk
dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan
menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotasi,
metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.

27

Universitas Sumatera Utara