BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang hidup di dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna, karena

  kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata. Oleh karena ketidaksempurnaannya tersebut membuat manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling melengkapi dalam menjalankan hidup ini. Dalam menjalankan hidupnya manusia membutuhkan pergaulan dan hidup bersama sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut. Kebutuhan hidup manusia itu sangat banyak dan tidak akan ada habisnya, apabila satu kebutuhan telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lainnya.

  Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini dapat diwujudkan dengan perkawinan, di mana perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu yang umumnya terkait dengan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan. Perkawinan sebagai aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun juga mempunyai suatu tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.

  1 Gatot Supramono mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kedua orang yang berlainan jenis selain terikat secara lahir, atau secara fisik, tetapi juga batinnya terikat. Oleh karena

  1

  dalam perkawinan mereka sebagai pasangan suami isteri. Dengan demikian, dalam perkawinan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan ini jelas bahwa yang diikat dalam perkawinan sebagai suami isteri adalah seorang wanita dan seorang pria. Ini berarti kalau ada seorang wanita ataupun seorang pria yang ingin diikat sebagai suami isteri haruslah melalui perkawinan.

  Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat isteri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

  Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Peraturan ini mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, diantaranya dipengaruhi oleh pengetahuan,kepercayaan dan keagamaan yang dianut dalam 1 Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 7. masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia sebelum Tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan penduduk Indonesia, yaitu :

  2

  1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

  2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat.

  3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks

  Ordonnantie Christen Indonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74.

  4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

  5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan asing lainnya berlaku hukum adat mereka.

  6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.

  Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu aturan sebagai realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang yang bersifat nasional dan sesuai dengan falsafah Pancasila.

  Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974). Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992, ha1. 5. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak

  3

  keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami isteri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan isteri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.

  Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqaan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi

  4 kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.

  Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa 3 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 69.

  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.

  5 Iman Jauhari mengemukakan bahwa :

  Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.

6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut

  asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

  2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

  3. Perkawinan berasas monogami.

  4. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

  5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

  6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.

  7. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

  7

  5 K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15. 6 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003. hal. 3 7 Lihat ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

  Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

  Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan cara- cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara tersebut diatur dalam lembaga perkawinan. Hal ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang

  8 pencipta.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan maka suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, hal ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum yang di atur dalam Undang-undang perkawinan untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, yang kebanyakan menganut ajaran dari mazhab Syafi'i. 8 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI, Press, Jakarta, 1998 hal 63.

  Dalam pelaksanaan perkawinan tentunya tidak terlepas dari adanya berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa : 1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

  5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam Pasal ini.

  6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Berdasarkan ketentuan tersebut tersirat adanya persyaratan untuk melakukan perkawinan dengan adanya izin wali baik orang tua maupun izin pengadilan untuk dapat melaksanakan suatu perkawinan.

  Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab diucapkan oleh pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Hal ini tergambar dari adanya rukun perkawinan,untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

  1. Calon suami

  2. Calon isteri

  3. Wali nikah

  4. Dua orang saksi dan

  9

  5. Ijab dan kabul Wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya (Wali Akrob atau Wali Ab’ad). Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi rukun dalam perkawinan Islam, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan menurut sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.

  Ada beberapa pendapat mengenai pentingnya wali sebagai syarat untuk sahnya nikah menurut Hukum Islam. Hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi para ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab Syafi`i dan mazhab Hanafi. Mazhab Syafi`i mengatakan bahwa wali adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah, sedangkan mazhab Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnah hukumnya, seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT Surat Al Baqarah ayat 234, dikatakan bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa 9 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, hal. 10 menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat tersebut Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak

  10 menikah.

  Namun pada umumnya umat Islam di Indonesia menganut paham mazhab Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i wali merupakan masalah penting sekali dalam pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi rukun bagi sahnya suatu nikah. Alasan pendapat ini diantaranya yaitu hadist Nabi riwayat Turmudzi dari Aisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”.

  Selain itu, ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh orang tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.

  Menurut Abdullah Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang

  11

  menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Jadi wali nikah dalam suatu 10 11 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal. 218-220.

  Abdullah Kelib, Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, hal 11 perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Dengan kata lain, wali nikah merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Adapun yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat menurut hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh.

  Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab artinya pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan dari pihak ayah. Sedangkan wali hakim ialah wali yang ditauliah oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah. Pejabat negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh kepala kantor departemen agama sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat menjadi wali pengganti atau wali hakim, jika wali nasabnya berhalangan, wali nasabnya berlaku adhal atau tidak ada wali nasabnya.

  Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil. Di samping itu, perwalian termasuk wali nikah merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua dan keluarga dekat, dan dalam keadaan tertentu dapat melompat kepada uli ''l-amr (pemegang kekuasaan sosial atau konstitusional) seperti wali hakim dalam masalah pernikahan yang wali nasabnya berlaku adhal (menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan yang dibenarkan

  

12

menurut hukum dan wajar dilangsungkan).

  Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat lain. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN juga yang harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak- pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa wali Adhal.

  Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek, saudara laki- laki atau kelompok wali akrob) yang tidak berkenan untuk menikahkan calon pengantin perempuan karena alasan-alasan tertentu seperti, tidak setuju dengan calon mempelai, tidak sekufu, beda agama dan lain sebagainya. Adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah.

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka ditelaah lebih lanjut penyelesaian perselisihan akibat adanya wali nasab yang menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan dikaitankan dengan keabsahan perkawinan. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Penyelesaian 12 Nasrul Azwar, Pengertian Wali Al-Amr dan Problematika, http://id.shvoong.com/, diakses 25 Maret 2012. Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

  1. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya wali Adhal ?

  2. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?

  3. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinan wali adhal ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penyebab terjadinya wali Adhal

  2. Untuk mengetahui keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

  3. Untuk mengetahui status perkawinan yang timbul dari perkawinan wali adhal.

  D. Manfaat Penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan , terutama mengenai masalah penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agar lebih mengetahui tentang persyaratan yang hasrus dipenuhi, hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ditemukan dua judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu :

  1. Penelitian oleh Parimpunan Matondang, Nim 992105060/Ilmu Hukum Tahun 2002 dengan judul “Kedudukan Wali Hakim Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1972 dan Penerapannya di Kota Medan, dengan permasalahan antara lain : a. Bagaimana kedudukan wali hakim menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam serta Penerapannya di Kota Medan ? b. Bagaimana kewenangan wali hakim dalam kewaliannya sebagai wali nikah dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ? c. Bagaimana peralihan perwalian ke tangan wali hakim menurut Undang- undang No. 1 Tahun 1974 ?

  2. Penelitian yang dilakukan oleh Marahalim, Nim 057005037/MH/Tahun 2007 dengan judul “Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim Tinjau dari Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dengan permasalahan antara lain : a. Bagaimana pengangkatan wali hakim dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ? b. Bagaimana fungsi wali hakim dalam perwaliann ?

  c. Bagaimana pertimbangan wali hakim dalam menikahkan seorang yang memiliki wali nasab serta keabsahan wali hakim dalam pernikahan tersebut ?

  Dari kedua penelitian di atas dilihat dari judul dan permasalahan yang dibahas maupun kasus yang dibahas tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan No.

  215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

  13

  atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

  14

  pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu

  15 kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

  Apabila dikaitkan dengan judul penelitian dan permasalah yang diteliti dalam penelitian ini, maka kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori wali hakim. Dalam agama Islam wali adalah rukun dalam perkawinan.

  Perkawinan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah dalam Surat An-Nur (24) yang artinya “…dan kawinkanlah orang- orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. 13 14 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

  hal. 203 15 Ibid.,

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah

  16 Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

  Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi tiga (3): a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.

  b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.

  c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam di angkat oleh kedua

  17 calon suami-isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.

  Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali hakim. Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat

  18 perbedaan pendapat.

  Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum. 16 Muhammad bagir, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran As-Sunah Pendapat Para Ulama, Mizan Media Utama, Bandung, 2002, hal.57. 17 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, 1982, hal. 46. 18 Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4), Buku Pintar Keluarga

  Muslim, Semarang, 1993, hal.8

  Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya oleh karena itu dalam pelaksanaan perkawinan seorang anak juga membutuhkan adanya orang tua yang bertindak sebagai walinya.

  Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri.

  Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.

  Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana

  19 pendekatan dan perdamaian kerabat.

  Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam

  Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari : 1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

  2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

  3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

  4. Tidak ada larangan perkawinan.

  5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

  6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.

  7. Harus telah lewat waktu tunggu/masa iddah bagi janda. 19 Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 187.

  Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang. Tata cara melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan.

  Ada tidaknya keberatan dari para pihak terkait keberadaan wali dalam suatu pernikahan ditunjukkan dengan adanya wali nikah yang hadir guna menikahkan pasangan dalam suatu perkawinan. Wali dalam pernikahan merupakan unsur penting dalam suatu perkawinan khususnya bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Hal ini disebabkan karena wali nikah adalah pihak yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Suatu perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menyerahkan mempelai wanita

  20 kepada mempelai pria dalam proses ijab qabul.

  Jadi ijab dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata, sehingga karena peranan wali yang sangat penting dan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab enggan untuk menikahkan (adhal) 20 Abdullah Kelib, Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, hal 11 dapat digantikan kedudukannya oleh wali hakim. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 Kompilasi hukum Islam yang menentukan bahwa: (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakin muslim,aqil dan baligh.

  (2) Wali nikah terdiri dari:

  a. Wali nasab

  b. Wali hakim Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

  1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

  2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

  3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

  4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

  Pelaksanaan perkawinan mengikuti ketentuan dan tata caranya diatur dalam

  Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut : 1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat. 2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.

  Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, yaitu :

  1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak perkawinan tersebut. 3) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya. 4) Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. 5) Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.

  Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor

  9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut : 1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami tedahulu. 2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. 3) Izin kawin. 4) Dispensasi. 5) Izin Pengadilan. 6) Persetujuan 7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata. 8) Perjanjian perkawinan apabila ada 9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam. 10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

  Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Demikian pula halnya dalam hal pelaksanaan perkawinan tidak dapat dilaksanakan akibat keenggaan dari wali pihak yang berkepentingan dapat dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama.

2. Konsepsi

  Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

  1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

  21 yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  2. Wali nikah adalah wali yang dalam hal pelaksanaan nikah bertindak sebagai wali yang menikahkan mempelai wanita.

  3. Wali Adhal adalah wali yang enggan mengawinkan perempuan yang berada di

  22

  bawah perwaliannya. Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat 21 jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

  4. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak

  23 sebagai wali nikah.

  5. Pegawai Pencatat Akta Nikah adalah pegawai pemerintah yang diwajibkan mencatat akta nikah dengan memenuhi ketentuan batasan umur dan kedewasaan dalam melakukan perkawinan.

  6. Keabsahan Perkawinan adalah suatu keadaan dimana pelaksanaan suatu perkawinan sah oleh hukum dengan memenuhi segala ketentuan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

  7. Sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  24 8. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan atau pemecahan.

  9. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan

  25 peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian Sifat Penelitian 1.

  Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal 22 23 Marahalim Harahap, Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim, hal. 70 24 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, hal. 6 25 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN : Balai Pustaka, Jakarta, 1976 hal. 75

  A.Basiq, Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 7

  26

  yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”. Penelitian ini bersifat deskriptif

  analitis

  , karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa penyelesaian sengketa wali adhal dan kaitannya dengan keabsahan perkawinan.

  2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

  Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yang dilengkapi pula dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang diteliti di lapangan yaitu dengan menganalisis salah satu penetapan pengadilan tentang wali adhal. Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

  3. Sumber data

  Sumber data primer berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

  1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

  a. Peraturan perUndang-undangan

  b. Teori hukum perkawinan dan hukum keluarga

  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan 26 hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 42. tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

  Sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data

  Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : a. Penelitian kepustakaan (library research)

  Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembatalan perkawinan.

  b. Metode penelitian lapangan

  Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan yaitu dengan menganalisis kasus/perkara dalam penetapan pengadilan, di samping melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

  Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.

Dokumen yang terkait

PENETAPAN KADAR HIDROKORTISON ASETAT DALAM SEDIAAN KRIM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) TUGAS AKHIR - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 13

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Air - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMAKAIAN KOAGULAN PAC DAN TAWAS DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR BAKU (SUNGAI BELAWAN) TUGAS AKHIR - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran NitratDan Nitrit Pada Air Sungai Deli Secara Spektrofotometri Visibel

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 16

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 1 31

Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 0 16

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33