BAB I PENDAHULUAN - Kebudayaan Islam

BAB I PENDAHULUAN Sebagai agama yang memiliki materi ajaran yang integral dan

  komprehensif, islam disamping mengandung ajaran umat sebagai syariah, juga memotivasi umat islam untuk mengembangkan kebudayaan islam, yaitu kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai islami. Kebudayaan memperoleh perhatian yang serius dalam islam, karena mempunyai peran yang sangat penting untuk membumikan ajaran utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manusia.

  Manusia yang akal budinya mampu menghasilkan kebudayaan yang spektakuler. Hidup manusia memang memerlukan sarana kehidupan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya, serta memperoleh kemudahan dan kesenangan hidup. Akal budi mampu melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta mengelolanya sehingga menghasilkan produk budaya maju. Tetapi tidak sedikit produk budaya itu yang justru menyengsarakan manusia sendiri dan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.

  Umumnya masyarakat awam memandang kebudayaan identik dengan kesenian. Perkembangan kebudayaan dipahami dengan berkembangnya bentuk-bentuk kesenian. Pandangan seperti itu tidak salah, karena memang kesenian adalah salah satu produk dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan pada dasarnya adalah aspek subyektif dari masyarakat. kebudayaan adalah pola cita suatu masyarakat, yang mengatur tata hubungan antara anggota masyarakat. Pola cita inilah yang menentukan aturan-aturan, kaedah-kaedah normative, dan menggariskan pola laku suatu masyarakat.

BAB I PEMBAHASAN

1. Definisi Kebudayaan Islam

  Banyak ahli mencoba untuk mendefnisikan kebudayaan. A.L. Kroeber dan Clyde Kluchohn, telah mengumpulkan kurang lebih 161 defnisi tentang kebudayaan (Musa Asy’arie, 1992:93). Secara garis besar, defnisi kebudayaan sebanyak itu dikelompokkan kedalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang masing-masing pembuat defnisi.

  Kelompok pertama menggunakan pendekatan deskriptif, dengan menekankan pada sejumlah isi yang terkandung didalamnya, seperti defnisi yang dipakai oleh Taylor bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hokum, moral, adat istiadat, dan berbagai kemampuan, serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.

  Kelompok kedua menggunakan pendekatan historis, dengan menekankan pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan, seperti defnisi yang dipakai oleh Park dan Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah totalitas dari organisasi dan warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.

  Kelompok ketiga menggunakan pendekatan normative, seperti defnisi yang dipakai oleh Ralph Linton yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelaari dan mereka miliki, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

  Kelompok keempat menggunakan pendekatan psikologi, yang diantaranya menekankan pada aspek penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar, seperti defnisi yang dipakai oleh Kluckhohn yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri atas semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.

  Kelompok kelima menggunakan pendekatan structural, dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan, seperti defnisi yang dipakai oleh Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi untuk membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material maupun non material.

  Kelompok keenam menggunakan pendekatan genetic, yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda, ataupun ide dan symbol. Termasuk dalam kelompok ini adalah defnisi yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.

  Dari berbagai tujuan dan sudut pendang tentang defnisi kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya bahwa manusialah pencipta kebudayaan itu sendiri. Dari penjelasan diatas kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi: kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.

2. Prinsip-Prinsip Kebudayaan Islam Kebudayaan terkait erat dengan perubahan kemasyarakatan.

  Perubahan itu mempunyai dimensi tempat, waktu, gerak, dan arah. Walaupun kebudayaan terikat dengan tempat, namun tidak berarti tempat yang menentukan sebuah kebudayaan menjadi unggul.

  Kebudayaan masyarakat kota belum tentu lebih baik daripada kebudayaan masyarakat desa. Demikian uga halnya dengan waktu. Kebudayaan masyarakat yang hidup pada empat belas abad yang lalu tidak mesti rendah dan sebaliknya kebudayaan masyarakat sekarang tidak lebih unggul.

  Suatu kebudayaan bisa bergerak kea rah yang lebih maju (progressive) atau bergerak mundur (regressive). Dalam istilah lain, suatu kebudayaan bisa bergerak kearah yang lebih baik (maslahat/nur), atau bergerak kearah yang lebih buruk (mafsadah/dzulumat). Dalam hal ini tergantung pada actor-aktor penggeraknya.

  Prinsip kebudayaan islam adalah salah satu diantara dua alternative tersebut. Sepanjang sejarah umat manusia, kebudayaan hanya mempunyai dua model tersebut, yaitu membangun atau merusak. Kedua model kebudayaan itu hidup dan berkembang saling berganti (al- Anbiya’:104).

  Disamping itu, prinsip kebudayaan dalam pandangan islam adalah adanya ruh (iwa) didalamnya dan ruh itu tidak lain adalah wahyu Allah

  ( al-Qur’an menurut sunah Rasul-Nya), seperti yang dinyatakan oleh surat asy-Syura: 52 dan 53. Selain itu, tentu saja ada ruh budaya diluar wahyu. Jika ruh budaya adalah wahyu Allah, maka kebudayaan bergerak kea rah membangun seperti yang dibuktikan oleh para rasul Allah sejak Adam sampai Nabi Muhammad saw.

  Kebudayaan masyarakat Madinah al-Munawwarah merupakan sebuah model kebudayaan yang berdasarkan wahyu, yang hingga saat ini menjadi rujukan umat islam dalam melakukan sikap apologetic tentang ketinggian islam, namun toh mereka belum mewujudkannya. Sebaliknya, jika ruh kebudayaan bukan wahyu Allah, maka kebudayaan cenderung bergerak kearah yang merusak (destruktif), itulah model kebudayaan yang digerakkan Fir’aun, Qarun, para kapitalis, dan komunis.

  Kebudayaan yang mereka kembangkan jelas-jelas menjadi perusak, tidak bisa menciptakan suatu kehidupan dalam masyarakat yang saling menghormati dan saling memakmurkan, tetapi justru menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.

3. Sejarah Intelektual Islam

A. Masa Klasik (650-1250 M)

  Menurut Harun Nasution, kemajuan umat islam pada masa klasik dimulai sejak dilakukannya ekspansi oleh Dinasti Umayyah. Ekspansi ini menimbulkan adanya pertemuan dan persatuan berbagai bangsa, suku, dan bahasa, yang menimbulkan kebudayaan dan peradaban baru.

  Pada masa klasik lahir ulama-ulama besar dalam bidang fiih, seperti Imam Hanaf, Imam Hambali, Imam Syaf’I, dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula flosof muslim, seperti al-Kindi, seorang flosof muslim pertama berkebangsaan Arab, pada tahun 801 M. Di antara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya menerima flsafat sebagai bagian dari kebudayaan islam. Selain al-Kindi, pada abad itu lahir pula flosuf besar seperti al-Razi yang lahir pada tahun 865 M dan al-Farabi lahir tahun 870 M. Dia dikenal sebagai pembangun sistem flsafat. Pada abad berikutnya lahir flosof agung Ibnu Miskawaih pada tahun 930 M. Pemikirannya yang terkenal adalah tentang pendidikan Allah. Kemudian lahir Ibnu Sina pada tahun 1037 M, ibnu Bajjah tahun 1138 M, Ibnu Thufail tahun 1147 M, dan Ibnu Rusyd pada tahun 1126 M.

  Pada masa klasik, seorang raja dinasti Abbasiah, yaitu al-Ma’mun (813-833) terkenal sebagai raja yang cendikiawan, karena perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sangat besar. Ketika itu banyak dilakukan penerjemahan-penerjemahan ilmu pengetahuan berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab.

  Disamping itu, dinasti Umayyah di Spanyol, yang didirikan Abdurrahman, yang lolos dari kejaran bani Abbasiyah pada tahun 750 M. mendirikan pusat pemerintahan di Cordova, masjid, universitas, dan perpustakaan yang berisi ribuan buku sebagai pusat pengembangan kebudayaan islam. Dari perpustakaan inilah lahir seorang intelek muslim bernama Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lain- lain.

  Sedangkan di Mesir, seorang jendral kekhalifahan Fathimiyyah yang bernama Jasuhar al-Saiili, mendirikan masjid al-Azhar di Cairo pada tahun 972 M. , kemudian menjadi Universitas Al-Azhar yang masih eksis sampai sekarang. Disamping itu, berdiri Darul Hikamah sebagai pusat kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan.

B. Masa Pertengahan

  Masa pertengahan (1250-1800) dicatat dalam sejarah pemikiran islam sebagai masa kemunduran. Terjadinya kemunduran karena flsafat mulai dijauhkan dari umat islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dan dunia dengan akhirat, yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.

  Sebagian pemikir islam kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Ghazali yang pertama menjauhkan flsafat dari agama. Al-Ghazali menyerang flsafat dalam karyanya berjudul

  Tahufutul Falasifah (kerancuan flsafat). Tulisan al-Ghazali dijawab

  oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan Tahafutu Tahafut (kerancuan diatas kerancuan). Ada persoalan mendasar yang sering dilontarkan oleh sebagian umat islam, yaitu mengapa umat islam tidak dapat menguasai ilmu dan teknologi modern? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena orang islam tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan para ulama besar pada masa klasik. Pada masa kejayaan banyak terbuai dengan kemegahan yang bersifat material. Kembali ke tradisi klasik, akan dapat membangkitkan umat islam. Kemunduran sejarah intelektual umat islam pada masa pertengahan, banyak disebabkan oleh konfik-konfik internal di kalangan para actor dalam kerajaan-kerajaan islam, sementara Barat mulai bangkit.

C. Masa Modern (1800 M sampai sekarang)

  Periode ini merupakan masa kebangkitan umat islam. Mereka menyadari ketertinggalannya dengan Barat. Hal itu disebabkan karena umat islam meninggalkan tradisi klasik, yang kemudian diadopsi dan dikembangkan barat. Para penguasa, ulama, dan intelektual muslim mulai mencari jalan untuk mengembalikan umat islam ke zaman kejayaan.

  Untuk mengembalikan kajayaan umat islam ada beberapa alternative diantaranya adalah Pertama memurnikan ajaran islam dari unsur-unsur yang menjadi penyebab kemunduran umat islam, sebagaimana yang di motori oleh Muhammad Ibn Abdulwahab di Arab Saudi yang bekerjasama dengan raja Sa’ud. Kedua, menyerap pengetahuan barat untuk mengimbangi pengetahuan mereka seperti yang dilaksanakan oleh Turki dengan mengirim pelajar- palajarnya ke Eropa. Ketiga, melepaskan diri dari penjajahan bangsa Barat.

  Dalam prakteknya, semua alternative tersebut tidak diterima umat islam. Misal, pengiriman anak-anak islam untuk studi ke Barat adalah sebuah langkah yang keliru, karena ilmu pengetahuan barat adalah sekuler. Oleh karena itu, yang paling tepat adalah belajar ke Timur Tengah, sebagai sumber keislaman. Sementara itu, melepaskan diri dari penjajahan barat memang telah dilakukan oleh umat islam atau karena baratsendiri yang melepaskannya, namun hal itu hanya lepas secara fsik. Namun dari segi alam pikiran dan kenyataan masyarakat islam cenderung menjadi imitator, bahkan aplikator model Barat. Disamping itu dalam konteks pembangunan sosial politik dan ekonomi yang dilakukan oleh Negara-negara mayoritas islam, tidak bisa lepas dari konteks makro, yaitu barat sebagai decision maker-nya dan Yahudi sebagai pengendalinya. Hal itu dibenarkan oleh Mc. I. Dimont bahwa tidak ada sejengkal tanah pun didunia ini yang lepas dari cengkraman Yahudi. Oleh karena itu, orang islam sulit sekali menandingi Barat.

  Namun upaya untuk maju harus dilakukan, lepas dari penjajahan secara hakiki harus diperjuangkan, yaitu merevolusi pandangan yang tidak Qur’aini menjadi pandangan dengan al-Qur’an menurut sunnah Rasul, pasti umat islam akan meraih kemajuan, yaitu hidup sejahtera, sebagaimana masyarakat Madinah al-Munawwarah pada masa Nabi Muhammad saw.

4. Masjid sebagai Pusat Peradaban Islam

  Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus seperti shalat. Padahal masjid berfungsi lebih luas daripada sekedar tempat shalat. Sejak awal berdirinya masjid belum bergeser dari fungsi utama yaitu tempat shalat. Akan tetapi perlu diingat bahwa masjid di zaman Nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Nabi Saw menyucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan al-Qur’an dan al- Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin, membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama dan ras, hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahterakan umat justru dari masjid.

  Masjid dijadikan symbol persatuan umat islam. Selama sekitar 700 tahun sejak Nabi mendirikan masjid pertama, fungsi masjid masih kokoh dan orsinil sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi pun kemudian bermunculanjustru dari Masjid. Masid al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang sangat dikenal luas kaum muslimin Indonesia. Masjid ini mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa. Bahkan pengentasan kemiskinan pun merupakan program nyata masjid.

  Tapi sangat disesalkan masjid kemudian mengalami penyempitan fungsi, apalagi adanya intervensi pihak-pihak tertentu yang menjadikan masjid sebagai alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Ruh peradaban yang sarat dengan misi ketuhanan seolah-olah telah mati. Awal kematiannya bermula dari hilangnya tradisi berpikir integral dan komprehensif menjadi berpikir sektoral yang sempit. Ruh dan aktivitas pendidikan serta merta menjauh dari masjid. Masjid hanya mengajari umat tentang belajar baca tulis al-Qur’an tanpa pengembangan wawasan dan pemikiran islami dan tempat belajar umat tentang ilmu fkih ibadah, bahkan lebih sempit lagi yaitu ibadah praktis dari salah satu mahzab. Lebih parah lagi masjid-masjid menjadi tempat belajar menghujat dan menyalahkan mahzab-mahzab lain yang berbeda. Dengan menyempitkan fungsi masjid seperti ini, bagaimana mungkin akan tumbuh sikap toleran terhadap penganut agama lain, bila terhadap sesama umat seagama saja ditanamkan sikap permusuhan.

  Di Indonesia kondisi ini terjadi sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu kita akan sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerahan keberagamaan umat islam. Kita mungkin tidak menemukan masjid yang memiliki kegiatan yang terprogra secara baik dalam pembinaan keberagamaan umat. Terlebih lagi masjid yang menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan.

  Pada perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Kesadaran ke arah optimalisasi fungsi masjid kembali tumbuh terutama dikalangan intelektual muda, khususnya pada para aktivis masjid. Dimulai dengan gerakan pesantren kilat di masjid pada awal tahun 1978, dan pengentasan buta huruf al-Qur’an di awal tahun 1990-an, gerakan ini berhasil mengentaskan buta huruf al-Qur’an sekitar 30% anak TK s/d SMP dan 40% siswa SMA dan Mahasiswa.

  Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan dan menyejahterakan jamaahnya. Fungsi dan peran masjid dari waktu ke waktu terus meluas, membuktikan kesadaran dan pemahaman umat islam terhadap pemanfaatan masjid semakin meningkat. Meluasnya fungsi dan peran masjid ini seiring dengan laju pertumbuhan umat islam di Indonesia, baik secara kualitatif atau kuantitatif yang tercermin dalam pertambahan jumlah penduduk muslim dan peningkatan jumlah intelektual muslim yang sadar dan peduli terhadap peningkatan kualitas umat islam. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya perluasan fungsi dan tugas masjid.

  Konsepsi tentang masjid sejak masa-masa awal didirikan hingga sekarang tidak akan pernah berubah. Paradigma tentang masjid digali dari al-Qur’an. Jika paradigma yang digunakan adalah al-Qur’an, maka masjid yang didirikan berdasarkan takwa tidak akan pernah berubah misi dan tujuannya. Apa yang dimaksud paradigma disini adalah cara mengetahui sesuatu melalui skema konseptualnya.

  Berdasarkan paradigma inilah kita akan berpikir tentang konsep, tujuan, dan perlakuan terhadap masjid memiliki kesamaan. Melalui paradigma inilah kita akan mampu mengontrol kesucian masjid dari pemikiran yang dikhotomis dan berbagai pelecehan lainnya.

  Dari segi tujuan pendirian masjid misalnya, jika paradigma yang kita sepakati hanya al-Qur’an, maka tujuan yang sah mendirikan masjid adalah berdasarkan takwa kepada Allah, bukan karena yang lain-lain sebagaimana frman Allah SWT pada Q.s. al-Taubah,107.

  Dalam syariat islam masjid memiliki dua fungsi utama yaitu, pertama sebagai pusat ibadah ritual dan kedua berfungsi sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat islam.

5. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia

  Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Oleh karena islam besar dari negeri Arab, maka islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arab. Pada awal masuknya dakwah islam ke Indonesia, dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran islam mana kebudayaan Arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang ditampilkan orang Arab dengan perilaku ajaran islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.

  Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan para wali di tanah Jawa. Kehebatan para wali adalah kemampuannya dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

  Lebih jauh lagi nilai-nilai islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upacara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa Arab sudah banyak masuk kedalam bahasa daerah, bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Hal itu tanpa disadari apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran islam.

  Istilah-istilah Arab masuk dalam budaya Jawa, misal dalam wayang, actor janoko tidak lain adalah bahasa Arab jannaka. Empat sekawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan produk personifkasi dari ucapan Ali bin Abi Thalib “Itsmar Khairan, fatruk ma bagha” (berbuatlah kebaikan,tinggalkan perbuatan sia-sia). Sedang kalimosodo, tidak lain adalah kalimat syahadat. Istilah Majlis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Permusyawaratan Rakyat, semuanya berbahasa Arab. Masih banyak lagi istilah-istilah bahasa Arab lainnya, yang diadopsi menjadi bahasa Indonesia.

BAB III PENUTUP Islam pada dasarnya mengatur dua pola hubungan, yaitu hubungan

  manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia serta dengan makhluk sekitarnya. Yang pertama hubungan dengan pencipta, sedangkan yang kedua dengan yang diciptakan, yaitu makhluk. Dinul islam membicarakan keseluruhan hubungan itu. Hubungan manusia dengan Sang Khalii pada umumnya bersifat ritual, sedangkan hubungan manusia dengan makhluk terbentuk dalam masyarakat dan menghasilkan kebudayaan. Pola tingkah laku manusia diamati baik dalam hubungannya dengan Khalii, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan makhluk lainnya.

  Islam menentukan bahwa segala bentuk kegiatan manusia harus dimulai dengan kesadaran atas perintah (ajaran) Allah. Setiap kegiatan dimulai hubungan dengan Allah, dalam rangka mencari ridha Allah, baik dalam hubungan dengan manusia maupun hubungan dengan makhluk lainnya, semua dilakukan untuk mencari ridha Allah. Kebudayaan yang terbentuk juga dalam rangka mencari ridha Allah. Ridha Allah yang dikejar, karena keinginan untuk merealisasikan kebahagiaan umat manusia.

  Dengan kata lain, kebudayaan islam adalah pola tingkah laku manusia yang bersumber dan bercorak pada tingkah laku yang dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

   Al-Faruii, Ismail R., Atlas Budaya Islam, Menjelajah khasanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 201,cet.III.

   Asy’ary, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 1992.

   Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Bandung: Mizan,1995.

   ………………… Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 2000.  Hitti, Philip K., History of the Arabs, New York: Corlearby Club, Laks Camplain,1970, Edisi ke X.

  

a World Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1974.

  Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Conscience and History in

  Linton, Ralph, The Cultural Background of Personality, New York: D.  Appleton-Century Company, 1945. Nasution, Harun, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1986.

   Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press,1990. 