BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori 2.1.1 Kebijakan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor - Pengaruh Struktur Birokrasi Dan Kemampuan Sumber Daya Manusia Terhadap Implementasi Kebijkan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor Di Kantor Unit Pelaksan Teknis Dae

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Teori

2.1.1 Kebijakan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

  Menurut Carl J. Friedrich (Wahab, 2001:3) , kebijakan publik adalah suatu

arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan dan kesempatan terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

  Parker (Wahab, 2001:31), kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungan suatu obyek atau suatu tanggapan atas suatu krisis.

  Menurut Chandler dan Plano (Tangkilisan, 2003:1), kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

  Dengan demikian dapat disimpulkan, Kebijakan publik itu berupa keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas publik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah.

  Ada tiga alasan mempelajari kebijakan negara menurut Anderson dan Thomas R. Dye (Wahab,2001:12) , yaitu:

  1. Dilihat dari alasan ilmiah (scientific reason) Kebijakan negara dipelajari dengan maksud memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula kebijakan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat.

  2. Dilihat dari alasan profesional (profesional reason) Studi kebijakan negara dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan negara guna memecahkan masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan hal ini, terkandung sebuah pemikiran bahwa kebijakan negara tersebut agar tepat sasaran.

  3. Dilihat dari alasan politis (political reason) Kebijakan negara dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dari uraian di atas maka pada dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi yang menurut Islamy (2000:24), sebagai berikut:

1. Bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

  2. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan secara

  3. Kebijakan publik harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu.

4. Pada akhirnya segala proses yang ada diatas adalah diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat.

  Berkaitan dengan hal ini, dalam pembahasan ini peneliti membahas salah satu dari bentuk kebijakan publik yaitu Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di Bidang Perhubungan, termasuk didalamnya Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor.

  Pengujian kendaraan bermotor meliputi kegiatan memeriksa, mencoba dan

meneliti diarahkan kepada setiap kendaraan bermotor yang wajib uji secara

keseluruhan pada bagian-begian kendaraan secara fungsional dalam sistem

komponen serta dimensi teknis kendaraan bermotor baik berdasarkan ketentuan

yang berlaku maupun berdasarkan ketentuan persyaratan teknis yang objektif.

Kendaran bermotor yang wajib uji untuk memenuhi ambang batas laik jalan yang

sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang

Kendaraan dan Pengemudi, pasal 127 meliputi:

  a) Emisi gas buang kendaraan bermotor; b) Kebisingan suara kendaraan bermotor; c) Efisiensi sistem rem utama; d) Efisiensi sistem rem parkir; e) Kincup roda depan; f) Tingkat suara klakson; g) Kemampuan pancar dan arah sinar lampu; h) Radius putar; i) Alat petunjuk kecepatan; j) Kekuatan untuk kerja dan ketahanan ban luar untuk masing-masing jenis Bagi kendaraan yang dinyatakan lulus uji mendapat perpanjangan buku uji berkala selama enam bulan dan dilengkapi dengan tanda samping, yaitu berat kosong kendaraan, jumlah berat yang diperbolehkan/diizinkan, daya angkut barang, masa berlaku surat/tanda uji dan kelas jalan terendah yang boleh dilalui. Sedangkan dan bagi kendaraan yang dinyatakan tidak lulus uji, maka petugas penguji wajib memberitahukan secara tertulis yaitu perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan, waktu dan tempat dilakukan pengujian ulang tanpa dipungut biaya lagi.

  Sedangkan manfaat yang diperoleh bagi kedaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor adalah sebgai berikut:

  a) Manfaat secara teoritis yang didapatkan bagi kendaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor yaitu: (1)

  Pengendalian kendaraan yang dioperasikan di Indonesia. (2) Mempermudah penyidikan pelanggaran menyangkut kendaraan yang bersangkutan. (3) Memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka penrencanaan pembangunan nasional.

  b) Manfaat secara praktis yang diharapkan bagi kendaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor untuk kelestarian lingkungan yang disebabkan oleh asap gas buang kendaraan bermotor dan keselamatan baik materi maupun jiwa, maka diharuskan mengikuti pengujian kendaraan bermotor untuk memperkecil kerusakan-kerusakan berat pada waktu pemakaian dan akan mengurangi tingkat resiko kecelakaan yang diakibatkan oleh kendaraan tersebut.

  Dalam pasal 1 Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di bidang Perhubungan sebagai berikut, “Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor adalah pungutan retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan jasa pengujian kendaraan bermotor kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis laik jalan”. Pelayanan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor meliputi: 1.

  Pemeriksaan kondisi laik jalan; 2. Pembuatan nomor ijin; 3. Pembuatan, pemasangan dan pengecatan tanda sampling; 4. Penggantian Buku Uji; 5. Kendaraan yang melakukan uji di luar daerah atau mutasi uji.

  Obyek dan subyek retribusi pengujian kendaraan bermotor dijelaskan dalam

  pasal 12 dan 13 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di Bidang Perhubungan sebagai berikut, “Obyek retribusi adalah pelayanan pengujian kendaraan bermotor yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di jalan”, dan “Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati jasa pelayanan pengujian kendaraan bermotor”.

  Dalam Penetapan Struktur Dan Besaran Tarif Retribusi Pengujian Kendaraan

  

tentang Struktur dan besarnya tarif pengujian kendaraan bermotor dan tidak

  (enam) bulan

  /kendaraan /6 (enam) bulan 3. Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 5.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

  Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 30.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

  (enam) bulan b. Penilaian Kondisi Teknis, 1.

  c) Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 2.000,00- /kendaraan /6

  /kendaraan /6 (enam) bulan

  b) Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 4.500,00-

  a) Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 6.500,00- /kendaraan /6

  bermotor ditetapkan sebagai berikut: a.

  Pengujian Berkala

  c) Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 3.000,00- /kendaraan 2.

  /kendaraan

  b) Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 3.000,00-

  a) Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 5.000,00- /kendaraan

  Pengujian Pertama

  Pengujian: 1.

2. Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 25.000,00-

  c.

  Buku Uji Rp 10.000,00- /kendaraan d.

  Tanda Uji (Plat Uji) Rp 5.000,00- /pasang e. Pengecatan tanda samping dan nomor uji Rp 7.500,00- /kendaraan f. Stiker tanda samping Rp 10.000,00- /kendaraan g.

  Pergantian tanda uji (plat uji) yang rusak/hilang Rp 20.000,00- /pasang h. Pergantian buku uji yang rusak/hilang Rp 35.000,00- /kendaraan i. Penilaian kondisi teknis untuk penghapusan atau pelelangan dan keperluan sejenisnya Rp 50.000,00- /kendaraan; dan j.

  Perubahan bentuk dan atau status Rp 75.000,00- /kendaraan

2.1.2 Implementasi Kebijakan

  Pada umumnya implementasi kebijakan merupakan kegiatan membentuk suatu hubungan yang dimungkinkan mencapai tujuan dari program atau kebijakan, yang direalisasikan sebagai aktivitas pemerintah. Proses implementasi dapat dimulai jika sasaran dan tujuan umum telah ditentukan dan dananya telah dialokasikan untuk mencapai sasaran tersebut. Kiranya inilah sebagai syarat dasar untuk implementasi suatu program. Suatu kebijakan yang diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan diharapkan oleh pemerintah atau kelompok sasaran dapat berjalan dengan baik. Sehingga kebijakan tersebut dapat berhasil meraih dampak atau mencapai tujuan yang diinginkan.

  Sebelum lebih jauh memaparkan teori implementasi, perlu kiranya untuk diketahui lebih dahulu makna atau pengertian implementasi itu sendiri. implementasi merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bersama-sama untuk menjalankan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. (James P. Dan Josep Stewart dalam Winarno, 2002:101).

  Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002:102) mendefinisikan “implementasi kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang di lakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di tetapkan dalam keputusan sebelumnya”. Kegiatan implementasi ini baru dilakukan setelah kebijakan memperoleh pengesahan dari legislatif dan alokasi SDM dan dana juga telah di setujui. Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas, implementasi kebijakan dalam pembuatannya melalui adanya suatu tahapan, tahapan tersebut dalam pelaksanaannya terdapat konsekuensi-konsekuensi yang dipengaruhinya.

  Menurut Dunn (2002:80), Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan dari pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapai hasilnya. Perhatian pertama pada tahap undang-undang adalah pada pemilihan arah dan tindakan serta pengamatan bahwa hal tersebut diikuti sampai selesainya waktu pelaksanaan dan tidak ada pemahaman sifat masalah. Dalam pemilihan arah dan tindakan didasarkan pada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dari suatu kebijakan. Tujuan-tujuan dan sasaran yang dioperasionalkan dalam bentuk tindakan menuntut kejelasan dan kosistensi atau keseragaman yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sehingga para pejabat pelaksana melaksanakan tindakan sesuai dengan

  Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka diperlukan langkah- langkah implementasi kebijakan yang tepat seperti yang dikemukakan olehWebster (dalam Wahab, 2001:64) sebagai berikut:“implementasikebijakanadalahsebagaitoimplement(mengimplementasikan) yang diartikan to provide the mean for carrying out(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) to give practice affect to(menimbulkan dampak atau akibat sesuatu)”.

  Dari uraian teori-teori yang dikemukakan para ahli kebijakan negara diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. (Agustino, 2006:139) dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

  Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart (dalam Agustino, 2006:140) istilah itu dinamakan dengan the command and control

  approach (pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach ) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom

  

up approach ). Masing-masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja

dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.

  Sedangkan pendekatan top down, misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik- tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi.Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti dari pendekatan top down adalah sejauh mana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

  Terdapat banyak model-model Implementasi kebijakan baik yang beraliran

  

top down ataupun bottom up yang dapat dijadikan rujukan atau pedoman dalam

  mengadakan penelitian mengenai implementasi kebijakan, salah satunya yaitu Model George C. Edwards III.

  Beberapa ilmuan penganut aliran top down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.

  

direct and indirect impact on implementation (dalam Agustino, 2006:149) dimana

  terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : (a) Komunikasi, (b) Sumberdaya, (c) Disposisi, (d) Struktur Birokrasi.

  Gambaran Implementasi kebijakan menurut George C. Edward III merupakan salah satu model daripada implementasi kebijakan secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik Menurut George C. Edward

  Communication Resources Implementation Disposition

  Bureaucratic Sumber: Agustino, 2006:150

  Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu

  kebijakan, menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: 1.

  Transmisi Di mana penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut dikarenakan komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan gagal di tengah jalan.

  2. Kejelasan Dalam hal ini komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrat’s) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/bermakna ganda). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

  3. Konsistensi Apapun perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

  Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

  suatukebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan salah satu faktoryang

  menentukan keberhasilan suatu implementasi, menurut menurutGeorge C. Edward

  III(Agustino, 2006:151) sumber dayamerupakan sumber penggerak dan

  

pelaksana dalammengimplementasikan kebijakan.Indikator sumber-sumber daya

  terdiri dari beberapa elemen meliputi manusia (staff), peralatan (facilities), Informasi (information) dan Kewenangan (Authority). Dimensi sumber daya manusia berarti efektivitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada aparatur yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Dimensi peralatn merupakan sarana yang digunakan untuk mengoperasionalisasi implementasi suatu kebijakan.

  Dimensi informa merupakan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan berdasarkan informasi yang relevan dan cukup. Kewenangan sangat diperlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijaksanaan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

  Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi

  kebijakan publik, bagi George C. Edwards III, adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga

  Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III(Agustino, 2006:152), adalah:

  (a) Pengangkatan birokrat;

  Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

  (b) Insentif;

  Merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.

  Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.

  Variabel keempat , menurut Edward, yang mempengaruhi tingkat

  keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi.

  Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

2.1.3 Struktur Birokrasi

  Dalam organisasi pemerintahan, prosedur merupakan sesuatu rangkaian tindakan yang ditetapkan lebih dulu, yang harus dilalui untuk mengerjakan sesuatu tugas. Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002:56) mengatakan bahwa struktur birokrasi juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi di dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial atau nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijaksanaan.

  Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins (1995:45) bahwa struktur birokrasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti.

  Menurut Sondang P. Siagian (Indrawijaya, 2000:3), mengemukakan bahwa bersama secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dimana terdapat seorang atau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau beberapa orang yang disebut bawahan.

  Berdasakan penjelasan di atas makastruktur birokrasiadalah suatu keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasakan situasi, kondisi dan kebutuhan.

  Karena sejatinya struktur birokrasi menggambarkan bagaimana birokrasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orangdan antar kelompok. Sebab struktur birokrasi ada kaitannya dengan tujuan dan cara yang dipakai untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapainya.

  Menurut George C. Edward III (Winarno, 2002:150) terdapat dua indikator penting dari struktur birokrasi birokrasi yaitu: a)

  Standar Operasinal Prosedur (SOP)

  b) Fragmentasi

  Winarno (2002:150), dalam bukunya yang berjudul Teori dan Proses

  

Kebijakan Publik menyatakan bahwa Standard Operational Procedure(SOPs)

  merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas.

  Ukuran dasar atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Para pelaksana dengan menggunakan SOP dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibelitas yang besar organisasi merupakan penyebaran tanggung jawab pelaksanaan tugas sehingga tidak tumpang tindih dengan tetap mencakup pada pembagian tugas secara menyeluruh.

  Khusus pada organisasi pemerintah pedoman pelaksanaan administrasi perkantoran yang dapat meningkatkan pelayanan dan kinerja birokrasi merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/21/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Peraturan ini mengamanatkan perlunya penyusunan Standar Operasi Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan sebagai pelaksanaan Reformasi Birokrasi di seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang bertujuan secara umum untuk membangun/membentuk perilaku aparatur negara dengan integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggung jawab serta kemampuan memberikan pelayanan yang prima melalui pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaandan aspek sumber daya aparatur. Atau dapat dikatakan bahwa Penyusunan SOP merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam peningkatan pelayanan dan kinerja.

  Untuk menentukan pencapaian implementasi kebijakan secara efektif harus ada struktur birokrasi yang menjelaskan tugas yang jelas (job discription), wewenang (authority), dan tanggung jawab (accountabillity) antar bidang dalam perilaku/individu dan kelompok dalam peningkatan mutu pelayanan, sehingga dengan demikian struktur birokrasi sangat berpengaruh terhadap efektifitas pelayanan. Oleh karena itu struktur birokrasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap implementasi kebijakan. Akan tetapi, apabila struktur birokrasi tidak disusun dengan baik maka akan dapat menghambat tercapainya tujuan implementasi kebijakan secara maksimal.

  Selanjutnya menurut Jones (2001:49) dalam bukunya “Organizational

  Theory

  ” dinyatakan bahwa istilah SOPs muncul dalam pembahasan mengenai “Balancing Standardization and Mutual Adjustment

  ”, yaitu: “Written rules and

  

standard operating procedures (SOPs) and unwritten values and norms help to

control behavior in organization. The specify how an employee is to perform his or

her organization role, and they set forth the tasks and responsibilities associated

with that role” . Berdasarkan pendapat ini maka SOP merupakan bagian dari

  peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku anggota. SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peransecara terus menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.

  Struktur birokrasi perlu diperhatikan, apakah ada pengecekkan penerimaan atau penolakkan syarat-syarat pelayanan, kerja yang terus-menerus berkesinambungan, apakah ada manajemen yang komitmen, struktur yang cocok dengan situasi dan kondisi, dan apakah ada sumberdaya yang mapan.

  Oleh karena itu struktur birokrasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap pencapaian implementasi kebijakan. Akan tetapi, apabila struktur birokrasi

2.1.4 Sumber Daya Manusia

  Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber daya manusia (human resources).Menurut Fipplo (Handoko,1995:5) manajemen sumberdaya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatan, pengembangan, pemberian konpensasi, pengintegrasian, memelihara dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai tujuan organisasi. Tercapainya tujuan suatu organisasi sangat tergantung dari kemampuan sumber daya manusia dalam memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena hal ini akan mendorong tercapainya tujuan organisasi dengan lebih cepat, efektif, dan efesien.

  Kemampanan suatu organisasi sangat bergantung pada ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan.

  Sumber daya manusia dalam hal ini pegawai yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena hal ini akan mendorong tercapainya tujuan organisasi dengan lebih cepat, efektif dan efisien, sehingga dengan sendirinya organisasi akan selalu siap menghadapi dan beradaptasi dengan setiap perubahan yang ada, khususnya yang berhubungan dengan usaha kearah pengembangan organisasi.

  Sebaliknya, suatu organisasi yang tidak didukung dengan kemampuan pegawai yang memadai akan sangat terancam keberadannya, sebagai contoh organisasi publik tidak akan bisa memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat manakala pegawainya belum memahami dan menguasai tentang tugas

  Demikian hal dengan pegawai negeri sipil yang mempunyai mandat sebagai

  

public servant , bila dihubungkan dengan pekerjaan dapat diartikan sebagai suatu

  keadaan pada diri seseorang yang secara penuh bersungguh-sungguh bekerja, berdaya guna untuk melaksanakan pekerjaan, sehingga pegawai pemerintah dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu, karena tidak semua orang memiliki keahlian yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kemampuan sumber daya manusia (pegawai) dapat diartikan sebagai kondisi seorang pegawai yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pengalaman kerja serta keminatan dalam melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepada sehingga dapat melaksanakan tugas tepat dan benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

  Untuk mengukur kemampuan aparat dalam penguasaan pengetahuan dapat dilihat dari :

  1. Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh.

  2. Tingkat pendidikan non formal (kursus, latihan,penataran dan lain- lain) 3.

  Tingkat perjalanan kerja yang dimiliki.

  4. Tingkat keinginan/kemauan/minat pegawai terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangan. (Naryono,1978:23).

  Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pegawai akan menentukan efektifitas implementasi kebijakan. Dengan kata lain implementasi kebijakan diduga dipengaruhi oleh faktor struktur birokrasi dan kemampuan sumber daya manusia

2.2 Kerangka Pikir

  Edward mengemukakan bahwa salah satu pendekatan dalam studi implementasi adalah harus dimulainya pertanyaan apakah yang menjadi syarat dan selanjutnya Edward menentukan empat faktor yang mempengaruhinya, (1) Komunikasi, (2) Sumberdaya, (3) Disposisi atau sikap, (4) Struktur Birokrasi.

  Keempat variabel ini saling berhubungan satu sama lain.

  Berdasarkan uraian diatas , dalam hal ini peneliti menggunakan aplikasi dari

  model George C Edward yang dianggap representatif untuk menggambarkan Implementasi Kebijakan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor pada Kantor UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan dengan faktor struktur birokrasi dan faktor kemampuan sumber daya manausia yang dijadikan variabel dalam penelitian.

  Adapun hubungan implementasi kebijakan dengan struktur birokrasi dan kemampuan sumber daya manusia secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hubungan antara struktur birokrasi dengan implementasi kebijakan

  Birokrasi sebagai pelaksana harus dapat mendukung kebijakan yangtelah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

  Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemunkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi.

  Ada dua indikator penting dalam struktur birokrasi yaitu standar operasi bukunya yang berjudul Teori dan Proses Kebijakan Publik menyatakan bahwa

  

Standard Operational Procedure(SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan

  internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas (Winarno, 2002:150).

  Sedangkan, fragmentasi dalam organisasi merupakan penyebaran tanggung jawab pelaksanaan tugas sehingga tidak tumpang tindih dengan tetap mencakup pada pembagian tugas secara menyeluruh. Sedangkan fragmentasi dalam organisasi merupakan penyebaran tanggung jawab pelaksanaan tugas sehingga tidak tumpang tindih dengan tetap mencakup pada pembagian tugas secara menyeluruh. Jadi, dapat disimpulkan bahwa struktur organisasi dalam suatu badan sangat berperan penting dimana untuk menentukan keberhasilan dari suatu implementasi kebijakan dibutuhkan suatu struktur organisasi yang tertata rapih guna tercapainya suatu tujuan yang telah disepakati bersama.

2. Hubungan antara kemampuan sumber daya manusia dengan implementasi kebijakan.

  Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah- satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.Widodo (2004:51) menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, maka memerlukan kemampuan dan kecakapan tinggi (profesionalisme) dengan beberapa persyaratan. Karena itu administrasi negara dapat dikategorikan sebagai profesi, dimana tidak semua orang bisa pendidikan tinggi, dan memiliki pengalaman, kecakapan, ketrampilan dan keahlian yang memadai.

  Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.

  Untuk mengukur kemampuan aparat dalam penguasaan pengetahuan dapat dilihat dari : a) Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh.

  b) Tingkat pendidikan non formal ( kursus, latihan,penataran dan lain- lain

  c) Tingkat perjalanan kerja yang dimiliki.

  d) Tingkat keinginan/kemauan/minat pegawai terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangan. (Naryono, 1978:23).

  Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pegawai akan menentukan hasil implementasi kebijakan. Dengan kata lain semakin tinggi kemampuan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya maka semakin tinggi hasil implementasi kebijakan yang dicapai.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan

keberhasilan implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh faktor struktur

birokrasi dan kemampuan sumber daya manusia. Kedua variabel bebas (X1 dan

X2) ini saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam ikut

menentukan tinggi rendahnya dan baik buruknya suatu implementasi kebijakan

  Semakin baik faktor struktur birokrasi dan kemampuan sumber daya

manusia, maka tujuan dari implementasi kebijakan itu sendiri akan

tercapai/terpenuhi secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya.Sebagaimana dari teori-teori telah dikemukakan di muka¸ maka

dapat diuraikan secara rinci mengenai keterkaitan implementasi kebijakan

dengan struktur birokrasi dan kemampuan sumber daya manusia dalam bentuk

tabel kerangka pikir sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Pikir

STRUKTURBIROKRASI(X1) 1.

  Berdasarkan kerangka pemikiran di atas menunjukkan adanya

pengaruh antara variabel X yaitu struktur birokrasi (X1) dan kemampuan

sumber daya manusia (X2) terhadap variabel (Y) yaitu implmentasi kebijakan

retribusi pengujian kendaraan bermotor pada Kantor UPTD-PKB Dinas

  Perhubungan Kota Medan. Berdasarkan pernyataan ini sehingga varibel X perannya mempunyai arti penting di dalam mempengaruhi eksistensi keberadaan variabel Y.

  Standar Operasi Prosedur (SOP)

  2. Fragmentasi KEMAMPUANStaf/SDM(X2)

  Keterampilan 3. Pengetahuan

  IMPLEMENTASI KEBIJAKAN (Y)

1. Pendidikan 2.

2.3Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap hal-hal yang sedang diteliti.

  

Adapun penjelasannya menurut Sugiyono menyatakan dalam bukunya yang

berjudul Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D yaitu: “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban empirik” (Sugiyono, 2009:64). Berdasarkan kerangka teori penelitian, maka hipotesis yang berkaitan dengan ada tidaknya hubungan anatara variabel X dan variabel Y, yaitu hipotesis nol ( )

dan hipotesis alternative ( ). Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini

adalah hipotesis statistik. Hipotesis statistik ini ditujukan untuk mengetahui

pengaruh antara variabel X dan variabel Y, maka dilakukan uji statistik melalui

asumsi sebagai berikut:

  

1. Hipotesis Mayor : Variabel X1 (Struktur Birokrasi) dan Variabel X2

(Kemampuan Sumber Daya Manusia) Secara simultan/bersama-sama adakahpengaruh struktur birokrasi dan

kemampuan sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi

pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.

  : = “tidak terdapat pengaruh struktur birokrasi dan kemampuan sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB

  “terdapat pengaruh struktur birokrasi dan kemampuan : ≠ sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.” Hipotesis mayor sebagaimana tersebut di atas, apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut:

Gambar 2.3 Hipotesis Mayor

  STRUKTURBIROKRASI ( X1 )

  IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ( Y ) KEMAMPUANSDM ( X2 )

2. Hipotesis Minor :

  a) Variabel X1 (Struktur Birokrasi) : = “tidak terdapat pengaruh struktur birokrasi terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.”

  ≠ “terdapat pengaruh struktur birokrasi terhadap : implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.”

  : = “tidak terdapat pengaruh kemampuan sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.”

  : ≠ “terdapat pengaruh kemampuan sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor di UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan.”

  Hipotesis minor sebagaimana tersebut di atas, apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut :

Gambar 2.4 Hipotesis Minor

  STRUKTURBIROKRASI ( X1 )

  IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ( Y ) KEMAMPUANSDM ( X2 )

2.4 Definisi Konsep

  Definisi konsep merupakan definisi yang dipakai oleh peneliti dalam menggambarkan secara abstraksi dari suatu fenomena tertentu. Definisi konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. (Singarimbun,1996:34). Adapun definisi konseptual dalam penelitian ini adalah : 1.

  Implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor adalah jasa yang mencakup Pemeriksaan kondisi laik jalan, Pembuatan nomor ijin, Pembuatan, pemasangan dan pengecatan tanda sampling, Penggantian Buku Uji, Kendaraan yang melakukan uji di luar daerah atau mutasi uji.

  2. Struktur birokrasi adalah suatu keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasakan situasi, kondisi dan kebutuhan. Karena sejatinya struktur birokrasi menggambarkan bagaimana birokrasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orangdan antar kelompok. Sebab struktur birokrasi ada kaitannya dengan tujuan dan cara yang dipakai untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapainya.Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.

  3. Kemampuan sumber daya manusia adalah kemampuan petugas dalam melaksanakan tugas dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan tupoksi dan kewenangannya sehingga tercapai tujuan organisasi.Untuk itu, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas yang diantaranya dapat dilihat/dinilai dari pendidikan, ketrampilan dan pengetahuan dalam bidangnya sehingga implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor pada Kantor UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan.

2.5 Definisi Operasional

  Singarimbun (1996:23), mengatakan bahwa “dengan membaca definisi operasional dalam suatu penelitian, seorang peneliti akan mengetahui pengukuran suatu variabel, sehingga ia dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut”.

  Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti adalah sebagai berikut: a)

  Struktur birokrasi (X1) 1)

  Standar Operasi Prosedur (SOP) (a) Kemudahan pengajuan permohonan pengujian kendaraan bermotor. (b) Kejelasan prosedur kerja pelakasanaan pengujian kendaraan bermotor. 2)

  Fragmentasi (a)

  Koordinasi antar seksi sesuai tugas dan kewenangan (b) Jumlah petugas/pegawai yang menerima tugas sesuai tupoksi.

  b) Kemampuan sumber daya manusia (X2) a.

  Tingkat Pendidikan Pegawai

  (a) Pengaruh pendidikan pegawai dengan pekerjaan/posisi. (b) Jumlah pegawai yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang pengujian kendaraan bermotor.

  b.

  Tingkat KetrampilanPegawai (a) Penguasaan pegawai dalam mengoperasikan alat uji yang digunakan. (b) Kecepatan dalam proses pengujian kendaraan bermotor.

  c.

  Tingkat Pengetahuan Pegawai

  (a) Tingkat pemahaman pegawai terhadap prosedur dan mekanisme pelaksanaan

  pengujian kendaraan bermotor.

  (b) Tingkat pemahaman pegawai akan tugas dan tanggungjawab.

  c) Implementasi kebijakan retribusi pengujian bermotor (Y), yaitu TingkatKeberhasilan Implementasi Kebijakan.

  (a) Kelancaran kegiatan pengujian kendaraan bermotor. (b) Pencapaian hasil yang dikehendaki.

  Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini tentang pengaruh struktur birokrasi dan sumber daya manusia terhadap implementasi kebijakan retribusi pengujian kendaraan bermotor pada Kantor UPTD-PKB Dinas Perhubungan Kota Medan, sebagaimana dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Skema Operasionalisasi Variabel

  Nomor Variabel Indikator Sub Indikator Kuesioner

  1

  2

  3

  4 (a) Kemudahan pengajuan permohonan pengujian 1) kendaraan bermotor. Standar Operasi Prosedur (SOP) (b)

  Kejelasan prosedur kerja pelakasanaan pengujian Struktur kendaraan bermotor. Birokrasi

  (a) Koordinasi antar seksi ( X1 ) sesuai tugas dan kewenangan.

  2) Fragmentasi (b) Jumlah petugas/pegawai yang menerima tugas sesuai tupoksi.

  (a) Pengaruh pendidikan pegawai dengan pekerjaan/posisi.

  1) (b) Tingkat pendidikan Jumlah pegawai yang pegawai mempunyai keahlian khusus yang melakukan pengujian kendaraan bermotor.

  (a) Penguasaan pegawai Kemampuan dalam mengoperasikan Sumber Daya 2) alat uji yang digunakan.

  Tingkat ketrampilan Manusia pegawai (b)

  Kecepatan dalam proses pengujian kendaraan ( X2 ) bermotor.

  (a) Tingkat pemahaman pegawai terhadap prosedur dan mekanisme

  3) Tingkat pengetahuan pelaksanaan pengujian pegawai kendaraan bermotor.

  (b) Tingkat pemahaman pegawai akan tugas dan tanggungjawab.

  Implementasi Tingkat keberhasilan (a) Kelancaran kegiatan

  Kebijakan tujuan kebijakan. pengujian kendaraan ( Y ) bermotor.

  (b) Pencapaian hasil yang dikehendaki.

Dokumen yang terkait

BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TAERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit - Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Bakar Diesel - Uji Performansi Mesin Diesel Berbahan Bakar Lpg Dengan Modifikasi Sistem Pembakaran Dan Menggunakan Konverter Kit Sederhana

0 0 27

BAB II DESKRIPSI PROYEK 2.1 UMUM 2.1.1 Judul dan Pengertian Judul - Pantai Labu Marine Research & Resort

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Pantai Labu Marine Research & Resort

0 0 12

BAB II DESKRIPSI PROYEK 2.1 TERMINOLOGI JUDUL - Museum Sejarah dan Seni Medan

0 1 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Stabilitas Lereng Bendung USU Kuala Bekala

1 12 35

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proyek - Metode Project Evaluation and Review Technique (PERT) dan Critical Path Method (CPM) dalam Optimalisasi Penjadwalan Proyek

1 11 13

Efektivitas Pelaksanaan Program Bimbingan Keterampilan Di Panti Sosial Karya Wanita (Pskw) Ruhui Rahayu Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah

0 0 14

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori 2.1.1 Kebijakan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor - Pengaruh Struktur Birokrasi Dan Kemampuan Sumber Daya Manusia Terhadap Implementasi Kebijkan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor Di Kantor Unit Pelaksan Teknis Dae

0 1 31