BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial - Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modal Sosial

  Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringan- jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini, manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).

  Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat antara yang satu dengan lainnya.

  Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam menunjang ekonomi peternak yang tergolong rendah, dan perluasan akses sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera pada tingkat perekonomian peternak.

  Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005.

  Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan: “modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.

  Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan: “bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.

  Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih penting dari pada hubungan dalam kelompok.

  Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih keuntungan.

  Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya : “Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.

  Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

  Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ), ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).

  norms

  1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial kooperatif yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial. Fukuyama (2002) menyatakan:

  “trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.

  2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).

  3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda.

  Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan, dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).

  4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial.

  Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ). Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ):

  “Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.

  Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk- bentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

  Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur, kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban, rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk kerjasama, tingkah laku, sinergi antara kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).

2.2.Interaksi Sosial

  Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56): “Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok- kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk- bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orang- orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.

  Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).

  Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang terdiri dari :

  1. Kerjasama Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah kuat diantara mereka.

  2. Persaingan Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

  3. Konflik Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur- unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.

  4. Perdamaian Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam interaksi sosial dan antar kelompok didalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu, kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada dimasyarakat.

  Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko 1984:115):

  “Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

2.3. Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi

  Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:

  1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.

  2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan pertanian campuran ( mixed forming ) dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu)

  3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70- 100%.

  4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha ternak 100% ( komoditi pilihan). Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat tradisional.

  Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh dengan terhadap harga yang terbentuk. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap mutu/kualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling (perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti, 2000).

  Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo (1990) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

  1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.

  2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial, bibit unggul,dan lain-lain.

  3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip- prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.

2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil

  Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan: “Bagi hasil semata-mata hanya merupakan bagi usaha pada kegiatan pertanian, yang dalam pelaksanaan priode usaha seluruh pekerjaan di laksanakan oleh penggarap atau di bawah pimpinanya. Bagi usaha yang di maksud dalam hal ini adalah suatu perjanjian kerja dengan upah khusus”.

  , Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan:

  “Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari : (a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut; ( c ) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.

  Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan: “Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.

  Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut

  

penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak

(Muhzi 1984).

  Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983 menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam, misalnya besarnya berkisar antara 1 , 1 , 1 2 dari nilai pertambahan bobot badan 4 3 2 3 selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995), 2 ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar dari pertumbuhan bobot 3 1 badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar dari

  2 pertambahan nilai modal usaha.

  Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan: “Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”. Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu.

  Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima sebab usaha ekstensifikasi pada daerah tertentu sudah tidak memungkinkan. Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).

  Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor- faktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi tenaga kerja peternak oleh para pemilik modal (Lole,1995).