Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

22

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan (Februari 2017 sampai April
2017). Pengambilan sampel akan dilakukan di Desa Bagan Asahan Kecamatan
Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Analisis unsur hara C,
N dan P dilakukan secara Ex situ di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong serasah (litter
bag) ukuran 30 x 40 cm yang terbuat dari nilon, refraktometer, timbangan
analitik, pH meter, GPS (Global Positioning System), oven, thermometer, toolbox,

Universitas Sumatera Utara

23


meteran, tali rafia, benang, jarum jahit, botol winkler, erlenmeyer, jarum suntik,
gunting, kamera digital, kantong plastik, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah serasah daun R. apiculata yang diambil dari
kawasan lokasi penelitian, air sampel, KOH-KI, Amilum, H2SO4, MNSO4,
Na2S2O3, akuades, tisu, dan amplop. Rincian alat dan bahan dapat dilihat pada
Lampiran 1.

Metode Penentuan Lokasi
Penentuan stasiun dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu
dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu untuk melihat kondisi lingkungan
dan ketersediaan hutan mangrove. Dimana dalam penentuan stasiun terdapat 3
stasiun berdasarkan aktivitas manusia, keberadaan lokasi dengan muara dan
kerapatan serta ketersediaan jenis mangrove R. apiculata dari tepi pantai sampai
daratan. Jarak antar stasiun diambil ± 50 meter per stasiun. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.

Muara
Sungai
Asahan


St I

St II
± 50 m

St III
± 50 m

Daratan

Gambar 4. Ilustrasi Pengambilan Lokasi

Universitas Sumatera Utara

24

Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel
Stasiun I
Stasiun I secara geografis terletak pada koordinat 03º01'27.36" LU dan

099º51'48.42" BT. Stasiun ini didominasi oleh mangrove jenis Avicennia sp.
Lokasi ini berada paling dekat dengan muara sungai Asahan dan memiliki substrat
berlumpur yang cukup dalam. Kondisi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Stasiun I

Stasiun II
Stasiun II secara geografis terletak pada koordinat 03º01'22.88" LU dan
099º51'31.19" BT. Stasiun ini didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp.
Lokasi ini berada dekat dengan pemukiman penduduk sehingga banyak terdapat
sampah limbah rumah tangga dengan substrat berlumpur. Kondisi stasiun II dapat
dilihat pada Gambar 6.

Universitas Sumatera Utara

25

Gambar 6. Lokasi Stasiun II

Stasiun III

Stasiun III secara geografis terletak pada koordinat 03º01'22.22" LU dan
099º51'12.56" BT. Lokasi ini didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp.
Stasiun ini terletak paling jauh dengan laut dengan substrat berlumpur. Kondisi
stasiun III dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Lokasi Stasiun III

Universitas Sumatera Utara

26

Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel Serasah Daun R. apiculata
Pengambilan serasah daun mangrove dilakukan dengan cara mengambil
langsung daun yang sudah gugur secara alami di lantai hutan mangrove pada
setiap stasiun pada petakan 5 m x 5 m untuk membatasi daerah pengambilan daun
R. apiculata. Daun yang diambil berasal dari semua jenis ukuran mangrove yang
ada (pohon, pancang, dan semai). Serasah daun R. apiculata yang sudah
terkumpul kemudian ditimbang seberat 50 g lalu dimasukkan kedalam kantong
serasah (litter bag). Setelah daun dimasukkan, kantong serasah di jahit dan di beri

lubang pada dua sisi kantong agar kantong-kantong dapat dihubungkan dengan
tali. Kemudian kantong yang sudah berisi serasah ditempatkan sebanyak 18
kantong per stasiun lalu diikatkan dengan erat pada akar mangrove R. apiculata
yang berukuran diameter >10 cm agar pada saat pasang kantong serasah tidak
terbawa arus. Prosedur selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Untuk mengetahui dekomposisi serasah daun R. apiculata dilakukan
dengan pengamatan 15 hari sekali selama 90 hari dengan interval waktu 15 hari
sekali (0, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 hari) sebanyak 3 kantong per stasiun yang
diambil secara acak. Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari litter bag
dikeluarkan dibilas dengan air lalu ditiriskan. Sampel serasah selanjutnya
ditimbang berat basahnya, dan dimasukkan kedalam amplop sampel. Kemudian
serasah tersebut dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan dalam oven pada suhu
105ºC hingga beratnya konstan, lalu ditimbang berat keringnya.

Universitas Sumatera Utara

27

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data berat basah dan berat kering serasah

daun mangrove R. apiculata yang telah terdekomposisi selama 90 hari. Data yang
dianalisis adalah kandungan unsur hara C, N dan P dalam serasah daun mangrove
R. apiculata dan parameter fisika-kimia perairan. Pengumpulan data kualitas air
dilakukan secara in situ dan pengamatan laboratorium.

Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika kimia air dilakukan pada setiap stasiun
selama penelitian. Pangambilan dilakukan pada saat air pasang ketika lantai hutan
mangrove dalam keadaan tergenang, dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval
waktu 15 hari selama 3 bulan. Parameter fisika kimia perairan yang diukur dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 3.
Tabel 2. Parameter Fisika Kimia Perairan
Parameter
Fisika-Kimia
Satuan
Alat
Suhu
ºC
Thermometer
DO

Mg/l
DO Meter
Salinitas
ppt
Hand Refraktometer
pH
pH Meter

Tempat Analisis
In Situ
In Situ
In Situ
In Situ

Analisis Data
Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah dilakukan menurut
persamaan Ashton, dkk., (1999) berikut ini :
Xt = X0 . e – kt
Jadi : ln (Xt/X0) = -kt
Keterangan :

Xt
: Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t

Universitas Sumatera Utara

28

X0
e
k
t

: Berat serasah awal
: Bilangan logaritma natural (2,72)
: Nilai laju dekomposisi
: Periode pengamatan

Analisis Unsur Hara Karbon, Nitrogen, dan Fosfor
Analisis unsur hara Karbon, Nitrogen, dan Fosfor dilakukan di
Laboratorium Dasar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Prosedur penentuan kadar C, N, dan P pada serasah daun mangrove Rhizophora
apiculata dapat dilihat pada Lampiran 7.
Penentuan kadar unsur hara C dilakukan berdasarkan kehilangan bobot
bahan organik karena pemanasan. Analisis kandungan unsur hara C organik pada
daun dilakukan dengan metode Walkley and Black (Mukhlis, 2007)

Keterangan :
T
: Volume titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0.5 N dengan daun
S
: Volume titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0.5 N dengan blanko (tanpa daun)
0,003 : 1 ml K2Cr2O7 1 N + H2SO4 mampu mengoksidasi 0,003 g C-Organik
1/0,77 : Metode ini hanya 77% C-Organik yang dapat dioksidasi
BCD : Berat Contoh Daun

Penentuan kadar Nitrogen total dilakukan dengan menggunakan metode
Kjelldahl (Mukhlis, 2007):
Kadar N dalam daun
Keterangan :
a

: Selisih volume (ml)
b
: Bobot bahan kering dalam 0,1 gr tepung daun
0,02 : Normalitas HCl (sebelumnya distandarisasi terlebih dahulu untuk
mengetahui nilai normalis yang tepat)

Universitas Sumatera Utara

29

Sedangkan penentuan unsur Fosfor dilakukan dengan didestruksi basah
(Mukhlis, 2007):
Bila cairan dari ekstraksi destruksi basah :
P daun (%) = P larut x

x 10– 4

= P larutan x 0,2

Universitas Sumatera Utara


30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Laju Dekomposisi
Serasah Rhizophora apiculata mengalami proses dekomposisi yang
ditandai dengan penurunan bobot serasah pada tiap periode pengamatan yang
dimulai dari hari ke 15 hingga hari ke 90. Pengamatan yang dilakukan setiap 15
hari sekali menunjukkan bahwa serasah daun Rhizophora apiculata yang
terdekomposisi mengalami penurunan bobot serasah yang bervariasi. Perubahan
penyusutan berat serasah daun R. apiculata dapat dilihat pada (Gambar 8). Hasil
perhitungan dekomposisi serasah dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 8. Rata-rata serasah daun mangrove R. apiculata selama periode
pengamatan 90 hari

Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan bobot kering yang sangat
drastis terjadi pada awal pengamatan yaitu di hari ke 15 tepatnya pada stasiun I
sebesar 28,90 g dengan penyusutan 21,10 g dan persentase laju dekomposisi

Universitas Sumatera Utara

31

sebesar 42,2 %. Sedangkan penyusutan bobot daun R. apiculata pada stasiun II
dan III sebesar 20,84 g dan 15,40 g dan persentase laju dekomposisinya masingmasing adalah 41,68 % dan 30,80 %. Hasil presentase serasah yang tertinggal
dalam kantong pada saat dekomposisi di Desa Bagan Asahan pada setiap stasiun
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Persentase serasah yang tertinggal dalam kantong
Penurunan bobot basah secara fisik menunjukkan sisa-sisa cercahan
serasah daun R. apiculata yang semakin lama semakin berubah bentuk menjadi
partikel-partikel halus selama periode pengamatan hari ke 15 sampai hari ke 90.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya organisme makrobenthos dan pengaruh
fisika seperti pengikisan oleh angin dan pergerakan molekul air yang terjadi pada
saat pasang. Perubahan fisik serasah daun R. apiculata yang mengalami
dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 10.

Universitas Sumatera Utara

32

a
.

b
.

c
.

d
.

e
.

f.

g
.
Gambar 10. Bentuk serasah daun mangrove R. apiculata yang mengalami proses
dekomposisi selama 90 hari dalam periode 0 - 90 hari. (a) 0 hari; (b)
15 hari; (c) 30 hari; (d) 45 hari; (e) 60 hari; (f) 75 hari; (g) 90 hari.

Universitas Sumatera Utara

33

Dari penyusutan bobot atau sisa serasah daun R. apiculata diatas maka
dapat diketahui pula rata-rata laju dekomposisi serasah daun R. apiculata secara
berkala. Grafik di bawah ini merupakan nilai konstanta rata-rata laju dekomposisi
serasah daun R. apiculata dari setiap stasiun pengamatan (Gambar 11).

Gambar 11. Nilai konstanta rata-rata laju dekomposisi (k) serasah daun
R. apiculata
Nilai konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove R. apiculata
selama 90 hari yaitu pada stasiun I bernilai 13,04 stasiun II bernilai 11,42 dan
stasiun III bernilai 10,24. Nilai perhitungan laju dekomposisi selama penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 6.

Kandungan Unsur Hara (C, N dan P)
Pengamatan proses dekomposisi serasah daun mangrove R. apiculata
dilakukan selama 90 hari dengan interval waktu pengamatan 15 hari. Serasah
daun mangrove R. apiculata yang terdekomposisi mengandung unsur hara berupa
Karbon, Nitrogen dan Fosfor. Berdasarkan hasil uji Laboratorium Riset dan
Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara unsur hara yang paling

Universitas Sumatera Utara

34

tinggi pada daun R. apiculata adalah Karbon. Hasil pengukuran kandungan unsur
hara Karbon (C) pada pengamatan hari ke 0, 30, 60 dan 90 di setiap stasiun dapat
dilihat pada Gambar 12 dan untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 8.

Gambar 12. Kandungan unsur hara Karbon (C) pada daun mangrove R. apiculata
yang telah mengalami dekomposisi
Kandungan unsur hara Karbon (C) yang tertinggi pada daun mangrove
R. apiculata yang telah terdekomposisi terdapat pada hari ke 90 sebesar 16,24 %
di stasiun I dan unsur hara Karbon (C) terendah terdapat pada hari ke 30 sebesar
13,49 % di stasiun III. Pada awal serasah daun mangrove R. apiculata gugur
memiliki kandungan unsur hara Karbon (C) yang sudah cukup tinggi yaitu 15,95
%. Seiring dengan berjalannya proses pendekomposisian unsur hara Karbon (C)
yang ada pada serasah mengalami penurunan kecuali pada stasiun I hari ke 90
yang meningkat kembali menjadi 16,24 %.
Dari hasil pengukuran di laboratorium, diperoleh nilai kandungan unsur
hara Nitrogen (N) dari setiap stasiun (Gambar 11). Kadar unsur hara nitrogen
memiliki nilai yang begitu fluktuatif yaitu mengalami penurunan dan juga

Universitas Sumatera Utara

35

mengalami peningkatan. Adapun mengalami penurunan terjadi pada hari ke 0 –
hari ke 60 kemudian juga mengalami peningkatan pada hari ke 90 di setiap stasiun
pengamatan Kadar unsur hara nitrogen pada serasah daun R. apiculata pada
berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 13. Kandungan unsur hara
Nitrogen (N) tertinggi terdapat pada hari ke 0 sebesar 2,97 % yang kemudian
menurun seiring berjalannya waktu hingga kembali naik pada hari ke 90 pada
masing-masing stasiun. Kandungan unsur hara Nitrogen (N) terendah dari seluruh
pengamatan terdapat pada hari ke 60 di stasiun II sebesar 2,30 %.

Gambar 13. Kandungan unsur hara Nitrogen (N) pada daun mangrove
R. apiculata yang telah mengalami dekomposisi
Kandungan unsur hara Fosfor (P) yang ada pada serasah daun mangrove
R. apiculata cenderung memiliki nilai yang hampir sama, terutama pada stasiun I
yang tidak mengalami perubahan selama masa pendekomposisian dengan nilai
0,02 %. Nilai unsur hara Fosfor (P) tertinggi yang didapati adalah 0,03 % yang
berada pada stasiun II hari ke 15 dan nilai terendah sebesar 0,01 % pada stasiun
III hari ke 60 dan 90. Kandungan unsur hara Fosfor (P) disajikan pada Gambar 14.

Universitas Sumatera Utara

36

Gambar 14. Kandungan unsur hara Fosfor (P) pada daun mangrove R. apiculata
yang telah mengalami dekomposisi
Dari pengukuran Karbon (C) dan Nitrogen (N) dapat diketahui pula nilai
rasio C/N yang dimiliki serasah daun mangrove R. apiculata yang telah
terdekomposisi. Rasio C/N tertinggi terdapat pada hari ke 30 di stasiun II dengan
nilai 6,34 dan terendah 5,62 yang terletak pada stasiun III hari ke 90. Rasio C/N
R. apiculata dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Rasio C/N

Universitas Sumatera Utara

37

Makrobenthos
Makrobentos berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara
mencacah-cacah daun-daun serasah menjadi bagian-bagian kecil. Umumnya
keberadaan makrobenthos mempercepat proses dekomposisi. Gambar 16
menunjukkan beberapa jenis makrobenthos terdapat pada serasah R. apiculata
yang terdekomposisi.

a

b

c

d

Gambar 16. Makrobenthos pada kantong serasah daun R. apiculata (a) Cacing
(Lumbrineris latreilli); (b) Siput (Littoraria intermedia); (c)
Cirolanidae sp.; (d) kepiting (Uca sp.)

Makrobenthos yang terdapat pada kantong serasah daun mangrove R.
apiculata lebih banyak ditemukan pada stasiun I dibandingkan dengan stasiun
yang lainnya. Jenis makrobenthos yang terdapat pada kantong serasah dapat

Universitas Sumatera Utara

38

dilihat pada Tabel 3 dan jumlah makrobenthos yang diperoleh dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Tabel 3. Jenis-jenis makrobenthos yang ditemukan di dalam kantong serasah daun
R. apiculata
Kelas
Ordo
Genus
Turbellaria
Eunicida
Lumbrineris
Gastropoda
Sorbeoconcha
Littoraria
Malacostraca
Isopoda
Cirolanidae
Crustacea
Decapoda
Uca
Parameter Fisika Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisika kimia perairan pada tiap stasiun dilakukan
sebanyak 6 kali pengukuran. Parameter fisika kimia yang diukur adalah: suhu,
salinitas, oksigen terlarut, dan pH. Pada setiap stasiun di lokasi penelitian
memiliki perbedaan nilai parameter fisika kimia perairan. Kisaran dan nilai
rata-rata parameter fisika kimia perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel
4 dan Lampiran 10.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
Stasiun I
Stasiun II
Parameter Fisika
RataRataKimia
Kisaran
Kisaran
rata
rata
30-32
31
27-32
30,33
Suhu (°C)
Salinitas (ppt)
7-16
12,33
5-15
10,17
pH
6,1-7,8 7,03
6,5-7,9 7,28
DO (mg/l)
2,0-3,3 2,75
2,0-3,5 2,85

Stasiun III
RataKisaran
rata
28-33
30,33
5-14
9
6,4-7,8 7,2
2,0-3,0 2,4

Tabel 4 menunjukkan nilai kisaran rata-rata suhu yang terdapat di lokasi
penelitian adalah 27-33°C. Suhu yang tertinggi berada pada stasiun III dengan
nilai 33°C, hal ini dikarenakan waktu pengukuran suhu yang dilakukan pada siang
hari. Sedangkan suhu terendah berada pada stasiun II dengan nilai 27°C, hal ini
dikarenakan waktu pengukuran suhu yang dilakukan pada saat setelah hujan.

Universitas Sumatera Utara

39

Salinitas yang didapat dari setiap stasiun tidaklah memiliki nilai yang
cukup tinggi dan berbeda jauh. Kisaran rata-rata seluruh stasiun adalah 5-16 ppt
dikarenakan tiap-tiap stasiun masih terpengaruh oleh masukan air sungai yang
akan menurunkan kadar salinitas. Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I
dengan nilai rata-rata 12,33 ppt dan salinitas terendah terdapat pada stasiun III
dengan nilai rata-rata 9 ppt.
pH pada seluruh stasiun pengamatan berkisar 6,1-7,9. Nilai tersebut
menunjukkan nilai yang normal untuk permukaan perairan Indonesia. Nilai pH
tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 7,9 dan pH terendah terdapat pada
stasiun I dengan nilai 6,1.
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) dilihat dari nilai rataan tertinggi
terdapat pada stasiun II dengan nilai 2,85 mg/l dan nilai rataan terendah terdapat
pada stasiun III dengan nilai 2,4 mg/l. Kisaran keseluruhan oksigen terlarut yang
didapat berada pada nilai 2,0-3,5 mg/l.

Pembahasan
Laju Dekomposisi
Hasil pengamatan penurunan bobot kering serasah daun R. apiculata pada
Gambar 8 menunjukkan adanya penurunan bobot yang sangat cepat terjadi pada
hari ke 15 dibandingkan setelah hari ke 30, kemudian melambat sampai hari ke 45
dan cepat kembali sampai akhir penelitian pada hari ke 90. Kondisi tersebut
diduga terjadi karena serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsurunsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme
pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Universitas Sumatera Utara

40

Apdhan dkk., (2013) bahwa laju dekomposisi tertinggi terjadi pada tahap awal,
hal ini diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan organik dan anorganik
yang mudah larut (pelindihan) dan juga hadirnya mikroorganisme yang berperan
dalam perombakan beberapa zat yang terkandung dalam daun mangrove. Semakin
lama waktu proses, semakin turun kecepatan per harinya. Hasil penelitian yang
sama juga dilaporkan oleh Sa’ban dkk., (2013), bahwa laju dekomposisi serasah
daun yang terdekomposisi dan sisa serasah daun dan spesies S. alba dan R.
apiculata, terdekomposisi sangat cepat pada 15 hari dibandingkan setelah hari ke30 hari, kemudian melambat sampai ke-45 hari dan cepat kembali sampai akhir
penelitian pada hari ke-60 hari, R. apiculata juga terdekomposisi dengan cepat
sampai akhir ke-75 hari. Menurut Soenardjo (1999) tingginya laju penghancuran
serasah pada tahap awal diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan
anorganik dan organik yang mudah larut atau leaching.
Hasil pengamatan persentase serasah yang tertinggal dalam kantong pada
Gambar 9 menunjukkan bahwa pada hari ke 90 persentasenya stasiun I sebesar
4,47%, stasiun II sebesar 6,6% dan stasiun III sebesar 8,73%. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa persentase terendah terdapat pada stasiun I dikarenakan
lokasinya yang berada paling dekat dengan laut sehingga lebih lama terendam
oleh adanya air pasang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arief (2003) bahwa
peristiwa pasang surut membantu terjadinya proses dekomposisi melalui
pelapukan. Bersama-sama dengan kadar garam dan sinar matahari, secara lambat
pasang surut menghancurkan bahan-bahan organik tersebut. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Handayani (2004) bahwa persentase (%) sisa serasah daun
selama periode waktu terdekomposisi, yaitu pada stasiun I sebesar 20,75% yang

Universitas Sumatera Utara

41

merupakan persentase terendah sedangkan sisa persentase terbesar pada stasiun III
sebesar 28,05%. Menurut Riski dkk., (2016) perubahan bobot kering disebabkan
oleh proses-proses fisik berupa kehancuran serasah yang besar, selain itu faktor
yang menyebabkan terjadi penurunan bobot kering serasah yang besar
diperkirakan juga disebabkan oleh jenis organisme lain yang hidup pada lokasi
tempat serasah mengalami dekomposisi.
Perubahan morfologi serasah daun Rhizophora apiculata pada Gambar 10
memperlihatkan bahwa penurunan bobot secara fisik menunjukkan sisa-sisa
cercahan serasah daun R. apiculata yang semakin lama semakin berubah bentuk
menjadi partikel-partikel halus. Kondisi tersebut terjadi karena adanya proses
dekomposisi yang dilakukan oleh organisme pengahancur (dekomposer). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Andrianto dkk., (2015) proses dekomposisi dimulai dari
proses penghancuran/fragmentasi atau pemecahan struktur fisik terjadi ketika
serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik
yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh dekomposer. Laju
dekomposisi sersah daun terjadi penurunan yang sangat signifikan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Indriani (2008) faktor yang mempengaruhi
laju dekomposisi adalah faktor lingkungan perairan (temperatur, salinitas dan pH)
dan

faktor

lingkungan

substrat

(fraksi

substrat

dan

mikroorganisme

substrat/dekomposer). Waring and Schlesingan (1985) dekomposisi adalah istilah
yang telah digunakan secara luas untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam biokimia, wujud fisik dan bobot bahan organik.
Nilai konstanta laju dekomposisi (k) serasah daun Rhizophora apiculata
pada Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai tertinggi dari 90 hari pengamatan

Universitas Sumatera Utara

42

terdapat pada stasiun I sebesar 13,04 dan terendah pada stasiun III sebesar 10,24.
Kondisi tersebut diduga karena stasiun I diketahui memiliki substrat berlumpur
yang cukup dalam.

Hal ini mendukung untuk makrobenthos berkembang di

stasiun I. Makrobenthos berperan penting dalam penguraian serasah pada saat
mengalami dekomposisi, sehingga pada daerah yang banyak dijumpai
makrobenthos laju dekomposisi cepat berlangsung. Menurut Syamsurisal (2011)
bahwa mikroba (dekomposer) banyak terdapat di daerah bersubtrat lumpur. Selain
itu substrat lumpur yang dalam pada stasiun I mendukung pertumbuhan R.
apiculata yang lebih optimal dikarenakan R. apiculata menyukai substrat
berlumpur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amin dkk.,
(2015) nilai rata-rata R. apiculata menurun jumlahnya pada substrat yang
komposisi lumpurnya rendah / berkarakter keras dan cenderung kasar (pasir, pasir
berlumpur dan pasir berbatu). Spesies ini umumnya tumbuh pada tanah
berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Menurut Noor
dkk., (2012) Rhizophora apiculata tidak menyukai substrat yang keras
Stasiun I berada pada daerah yang paling dekat dengan laut sehingga
faktor lingkungan terutama mekanisme fisik juga ikut membantu proses
dekomposisi menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan stasiun II dan stasiun
III. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sa’ban dkk., (2013) bahwa di daerah
perairan proses dekomposisinya juga dibantu oleh mekanisme fisik yakni
pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama.
Mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah yang disebabkan
oleh hujan atau aliran air. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andrianto
dkk., (2015) bahwa dekomposisi stasiun 2 lebih cepat daripada stasiun 1

Universitas Sumatera Utara

43

dikarenakan penempatan kantong serasah di stasiun 2 (kedua) berada dalam
kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan
lebih cepat terjadi. Sedangkan pada stasiun 1 (kesatu), dimana daerah yang
menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut.
Menurut Mason (1978) penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan
serasah oleh pergerakan gelombang. Kondisi substrat perairan yang lebih lembab
dibandingkan daratan juga berperan dalam menguraian serasah, nilai pH 7-8
menunjukan lingkungan yang selalu basa dan lembab nilai menyebabkan proses
dekomposisi serasah cepat.

Kandungan Unsur Hara (C, N, dan P)
Serasah mengandung unsur hara yang berperan dalam pembentukan
pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan, ikan, udang, kepiting dan
mikroorganisme lainnya di hutan mangrove. Serasah yang memiliki kandungan
unsur hara yang tinggi akan lebih cepat mengalami proses dekomposisi. Hal ini
sesuai dengan Waring dan Schlesinger, (1985) yang menyatakan bahwa Serasah
yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi daripada serasah yang
miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama. Menurut Ulqodry (2008), bahwa
kualitas nutrisi yang tinggi akan menghasilkan proses dekomposisi yang lebih
cepat. Kandungan unsur hara yang dianalisis meliputi karbon, nitrogen dan fosfor.
Berdasarkan hasil pada Lampiran 8, kandungan unsur hara karbon memiliki nilai
yang tertinggi dibandingkan dengan nitrogen dan fosfor. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Yulma (2012), bahwa

Universitas Sumatera Utara

44

kandungan bahan organik karbon (C) pada serasah mangrove jauh lebih besar dari
kandungan nitrogen (N) dan posfor (P).
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 12 diketahui bahwa nilai
persen (%) unsur hara karbon pada serasah daun Rhizophora apiculata
menunjukkan perbedaan sesuai dengan lamanya pengamatan serasah di
lingkungan. Rata-rata persen (%) kadar unsur hara karbon serasah daun R.
apiculata pada stasiun I, II, dan III adalah 15,44 %, 15,17 % dan 14,78 %, dengan
kadar karbon tertinggi terdapat pada stasiun I hari ke 90 dan terendah pada stasiun
III hari ke 30. Persentase karbon tertinggi rata-rata terdapat pada hari ke 0 yaitu
sebesar 15,95 % dan terendah terdapat pada hari ke 30 yaitu sebesar 14,36 % pada
setiap stasiun pengamatan.
Hasil pengamatan di Hari ke 30 unsur hara karbon mengalami penurunan,
disebabkan tingkat suhu yang rendah membuat nilai persen karbon menurun.
Kandungan unsur hara karbon hari ke 30 memiliki rata-rata sebesar 14,36 %.
Sedangkan pada hari ke 90 kandungan unsur hara karbon kembali meningkat
dengan rata-rata sebesar 15,65 %. Kondisi ini diduga karena pada hari ke 30
daerah pengamatan memasuki kemarau sehingga intensitas suhu meningkat dan di
hari ke 90 terjadi pasang besar dan sering hujan sehingga salinitas menurun.
Sesuai dengan literatur Effendi (2003) menyatakan bahwa hujan merupakan salah
satu sumber penambahan karbon di perairan karena hujan tersebut mengandung
karbondioksida yang terdapat di atmosfer. Kadar karbondioksida diperairan dapat
mengalami pengurangan akibat proses fotosintesis dan evaporasi yang terjadi.
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik
melalui proses fotosintesis. Hal ini sejalan dengan penelitian Santoso dkk., (2016)

Universitas Sumatera Utara

45

bahwa kandungan karbon (%) menurun pada hari ke 45 yaitu stasiun I 17,27 %,
stasiun II 15,97 % dan stasiun III 15,04 %, dengan rata-rata 15,61 %. Dikarenakan
pada saat pengamatan kondisi cuaca panas atau kemarau intensitas hujan didaerah
pengamatan sedikit sehingga unsur hara karbon sedikit. Menurut Ulqodry (2008),
bahwa kandungan unsur hara karbon cenderung menurun seiring dengan
penambahan waktu dekomposisi dan pengurangan ukuran partikel serasah.
Kadar unsur hara nitrogen (N) pada Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai
yang didapat begitu fluktuatif yaitu mengalami penurunan dan juga mengalami
peningkatan. Adapun mengalami penurunan pada hari ke 30 sampai dengan hari
ke 60 kemudian juga mengalami peningkatan pada hari ke 90. Kondisi tersebut
diduga karena adanya aktifitas makrobenthos dan pelepasan unsur nitrogen yang
ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riski dkk., (2015) penurunan persentase
nitrogen serasah Rhizophora apiculata dapat terjadi karena pelepasan unsur
nitrogen dari serasah dalam bentuk amonia ke perairan yang kecil. Hasil
penelitian ini berbeda dengan Panjaitan dkk., (2015) nilai kandungan unsur hara
nitrogen mengalami naik turun dari awal periode penelitian hingga akhir, terjadi
peningkatan nilai di awal periode dan diikuti oleh penurunan nilai di akhir
periode. Menurut Effendi (2003), yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya
waktu, kadar nitrogen organik berkurang karena dikonversi menjadi amonia.
Kandungan N tumbuhan rata-rata 2-4% dan mungkin juga sebesar 6-11%.
Tingginya kandungan unsur hara N diduga disebabkan oleh adanya peran dari
aktivitas bakteri (Rindyastuti dan Agung, 2010). Sedangkan menurut Dix dan
Webster (1995) kadar nitrogen meningkat disebabkan karena kurangnya

Universitas Sumatera Utara

46

organisme yang memanfaatkan nitrogen sebagai sumber makanan karena juga
dipengaruhi oleh kadar yang rendah.
Dari Gambar 14 diketahui rata-rata kandungan unsur hara fosfor (P) pada
serasah daun mangrove Rhizophora apiculata secara keseluruhan pada setiap
stasiun pengamatan sebesar 0,02%. Stasiun I tidak mengalami perubahan, Stasiun
II mengalami peningkatan di hari ke 30 dan stasiun III mengalami penurunan di
hari ke 60 dan 90. Hal ini sesuai dengan pernyataan Thaher (2013) bahwa pada
serasah daun jenis Rhizopora kandungan unsur hara fosfor yang dimiliki sebesar
0,025%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitriyani dkk., (2016)
semakin lama waktu pengamatan maka semakin menurun kandungan unsur P
pada serasah, namun berbeda pada stasiun II semakin lama waktu pengamatan
maka kandungan unsur P semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan
salinitas pada stasiun tersebut. Menurut Effendi (2003) di perairan, bentuk unsur
fosfor berubah secara terus menerus, akibat proses dekomposisi oleh mikroba.
Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang
sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor relatif sedikit dibandingkan
dengan kadar nitrogen di perairan.

Rasio C/N
Hasil analisis pada Gambar 15 terlihat bahwa dalam laju dekomposisi
serasah daun Rhizophora apiculata menunjukkan bahwa rasio C/N selama periode
penilitian memiiliki nilai yang bervariasi dengan rata- rata 5,97. Rasio C/N yang
rendah menunjukkan bahan organik sudah sangat matang dan menunjukkan
tingkat kecepatan substrat terdekomposisi. Sesuai dengan pernyataan Dewi (2009)

Universitas Sumatera Utara

47

bahwa C/N merupakan salah satu indikator untuk melihat laju dekomposisi bahan
organik, dimana semakin tinggi C/N maka akan semakin lama bahan organik itu
terdekomposisi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Santoso dkk., (2016) bahwa
dalam laju dekomposisi serasah R. apiculata terdapat variasi nilai rasio C/N pada
tiap stasiun selama periode pengamatan. Menurut Rindyastuti dan Agung (2010)
menerangkan bahwa besarnya nilai awal dan penurunannya akan berkorelasi
dengan cepat dan lambatnya proses dekomposisi karena semakin rendah nilai
C/N, semakin baik kandungan unsur hara N disebabkan oleh kemampuan bakteri
nitrogen pada serasah daun untuk melakukan fiksasi nitrogen.

Makrobenthos
Hasil pada Gambar 16 menunjukkan beberapa makrobenthos yang
terdapat dalam kantong serasah. Makrobenthos yang didapat merupakan
makrobenthos yang tinggal pada karakteristik substrat berlumpur sesuai dengan
keadaan lokasi pengamatan. Faktor lingkungan berperan penting dalam
menunjang kehidupan makrobenthos. Makrobenthos membutuhkan habitat
berlumpur yang telah dihambat oleh perakaran pohon. Sesuai dengan lokasi
penelitian untuk tiap stasiun, dimana semua stasiun memiliki substrat yang
berlumpur sehingga terdapat keanekaragaman makrobenthos yang mempengaruhi
proses laju dekomposisi. Menurut Badrun (2008), umumnya makrozoobenthos
dapat dijumpai dalam jumlah yang lebih banyak pada substrat lumpur berpasir
hingga lumpur dibandingkan pada substrat pasir. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Naibaho dkk., (2014) bahwasannya lokasi untuk setiap stasiun
penelitian memiliki substrat yang berlumpur sehingga terdapat keanekaragaman

Universitas Sumatera Utara

48

makrobentos yang mempengaruhi proses laju dekomposisi. Menurut Gultom
(2009) Kehidupan makrobentos membutuhkan habitat berlumpur yang telah
dihambat oleh perakaran pohon. Selain itu, makrobentos harus mampu hidup
dengan membenamkan diri dalam lumpur di bawah pohon.
Makrobenthos yang terdapat di dalam kantong serasah pada Tabel 3 yaitu
kelas

Turbellaria, Gastropoda, Malacostraca, Crustacea. Keanekaragaman

makrobentos terdapat pada semua stasiun, tetapi kelimpahan makrobentos
terdapat pada stasiun I. Banyaknya makrobentos di dalam kantong serasah
dipengaruhi oleh tingkat salinitas, dimana stasiun I berada di dekat pantai dengan
substrat lumpur yang tebal dan dipengaruhi arus yang cepat. Tingginya bahan
organik yang terdapat pada stasiun I dan faktor lingkungan yang mendukung
pertumbuhannya. Keberadaan makrobenthos tersebut berfungsi sebagai perombak
bahan organik dalam proses dekomposisi. Hal ini sesuai Arief (2003), bahwa
keberadaan makrobentos mempercepat proses dekomposisi. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian Naibaho dkk., (2014) keanekaragaman makrobentos terdapat
pada semua stasiun, tetapi kelimpahan makrobentos terdapat pada stasiun I.
Banyaknya makrobenthos di dalam kantong serasah dipengaruhi oleh tingkat
salinitas, dimana stasiun I berada di dekat pantai dengan kisaran salinitas tertinggi
19–27. Menurut

Siddiqui

dkk.,

(2009)

bahwa

kepadatan makrobentos

mempengaruhi laju dekomposisi. Kehidupan makrobentos dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan semakin tinggi suhu akan meningkatkan aktivitas
makrobentos yang juga akan mempercpat laju dekomposisi.

Universitas Sumatera Utara

49

Parameter Fisika – Kimia Perairan
Hasil pengukuran suhu yang dilakukan selama penelitian pada Tabel 4
memiliki kisaran 27°C-33°C. Suhu rata-rata daerah tropis yang sesuai bagi
kehidupan dan produksi daun mangrove adalah yaitu 26°C-32°C dan kisaran suhu
yang diukur di setiap stasiun pengamatan termasuk dalam kisaran tersebut
sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih mendukung
untuk kehidupan ekosistem mangrove. Sesuai dengan Baku Mutu pada kepmen
LH No. 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suhu air laut yang ideal untuk
mangrove adalah 28°C-32°C (KMNLH, 2004).
Suhu tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 33°C, hal ini dikarenakan
oleh pengukuran suhu yang dilakukan pada saat siang hari. Faktor lainnya adalah
letak stasiun III adalah daerah terbuka sehingga intensitas cahaya yang diterima
tinggi dan stasiun tersebut memiliki kedalaman yang rendah sehingga penetrasi
cahaya matahari masih dapat menembus dasar perairan. Nilai suhu terendah
terdapat pada stasiun II sebesar 27°C. Rendahnya suhu diakibatkan karena pada
saat pengukuran bertepatan saat hujan turun yang mengakibatkan suhu pada
perairan tersebut rendah. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) yang menyatakan
bahwa perbedaan waktu pengukuran di setiap stasiun yang berhubungan dengan
intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan perairan, kondisi cuaca, ada
tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan, dan banyak sedikitnya volume air
yang tergenang menyebabkan terjadinya fluktuasi suhu air dan udara antara
masing-masing stasiun. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Nuriyawan dkk.,
(2016) bahwa dari hasil pengukuran, suhu perairan di kedua stasiun penelitian
berkisar antara 29°C – 35°C; Suhu air terendah dijumpai pada stasiun 2 sebesar

Universitas Sumatera Utara

50

29°C serta suhu tertinggi sebesar 35°C. Hal ini dapat disebabkan pada stasiun
tersebut adalah daerah yang cukup terbuka dan tidak terlindungi oleh tegakan
mangrove

sehingga

pengaruh

langsung akibat

perubahan

cuaca

dapat

mempengaruhi perairan tersebut. Menurut Halidah, dkk., (2007) bahwa semakin
besar persentase penutupan vegetasi maka semakin rendah temperatur dalam air.
Keberadaan vegetasi sangat membantu dalam mengurangi penyerapan cahaya,
sehingga suhu pada permukaan perairan tidak terlalu tinggi.
Saat pengukuran nilai salinitas yang didapat pada masing-masing stasiun
pada Tabel 4 berkisar antara 5-16 ppt. Hasil nilai kisaran salinitas antar stasiun
yaitu pada stasiun I 7-16 ppt, stasiun II 5-16 ppt dan stasiun III 5–14 ppt. Pohon
mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas yang sesuai dengan habitat yang
dipengaruhi oleh pasang surut dan salinitas. Menurut Arksonkoe (1993), salinitas
merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan
mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies
mangrove. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Keliat dkk., (2015) bahwa
pertumbuhan tinggi dan diameter semai R. apiculata semakin menurun pada
tingkat salinitas yang semakin tinggi, semai akan tumbuh tetapi dalam keadaan
tidak normal (tertekan). Menurut Arief (2003) pasang surut berkaitan dengan
salinitas, tingkat frekuensi pasang surut sangat ikut menentukan adanya perubahan
salinitas. Semakin sering terjadi pasang surut, tingkat salinitas semakin
meningkat. Pengaruh salinitas terhadap kepadatan makrobentos (dekomposer)
terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui kerapatan pohon yang mengakibatkan
suatu tunjangan bagi kenaikan kepadatan makrobentos.

Universitas Sumatera Utara

51

Nilai kisaran salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 7-16 ppt
disebabkan oleh letak stasiun I yang dekat pantai sedangkan yang terendah
terdapat pada stasiun III dengan nilai 5-14 ppt. Hasil tersebut terbilang rendah
diduga karena lokasinya yang dekat dengan muara sungai. Hal ini sesuai dengan
Rosmaniar (2008), adanya penambahan air tawar yang mengalir masuk ke
perairan laut melalui muara sungai akan menurunkan nilai salinitas.

Hasil

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuriyawan dkk., (2016)
Kisaran sebaran salinitas kedua stasiun 18‰ – 20‰ dengan salinitas terendah
terdapat pada stasiun 1 sebesar 18‰; hal ini terjadi karena letaknya yang lebih
kedalam muara dibandingkan dengan stasiun 2; namun memiliki fluktuasi harian
yang lebih stabil. Menurut Ramli dkk., (2011) bahwa di daerah yang terdapat
aliran sungai akan terjadi percampuran dua atau lebih massa air yang berbeda
sifatnya. Hal inilah yang menyebabkan penurunan salinitas air laut sebagai akibat
masuknya air tawar ke perairan. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove
untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt (Alwidakdo, dkk., 2014).
Nilai pH tertinggi pada Tabel 4 terdapat pada stasiun II sebesar 7,9. Nilai
pH terendah terdapat pada stasiun I sebesar 6,1. Kondisi perairan tersebut
cenderung bersifat asam, sifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. Hal ini sesuai dengan Prescott dkk., (2004) yang
menyatakan bahwa pH suatu perairan merupakan salah satu parameter yang
penting dalam pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan memiliki
kemampuan yang berbeda dalam

mentoleransi pH perairan. Kematian lebih

sering diakibatkan oleh pH yang rendah daripada disebabkan pH yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

52

Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai
anion dan kation serta jenis stadia organisme. Hasil penelitian hampir sama
dengan penelitian Aida dkk., (2014) dimana pH yang didapat cenderung bersifat
asam dengan kisaran pH 6,50 – 7,29. Menurut Nuriyawan dkk., (2016) organisme
perairan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan.
Kematian dapat pula diakibatkan oleh pH yang rendah daripada disebabkan pH
yang tinggi.
Setiap perairan mempunyai pH yang tidak sama tergantung pada
lingkungan perairannya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, Tabel 4
menunjukkan kisaran pH perairan adalah 6,1-7,9. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa perairan tersebut masih sesuai dengan standar baku mutu air laut. Menurut
Daulat dkk., (2014) mengacu kepada standar baku mutu air laut yang dikeluarkan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, pH yang disyaratkan
untuk menunjang kehidupan biota laut adalah 7 – 8,5. Nilai pH perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain salinitas, aktivitas fotosintesis,
aktivitas biologi, suhu kandungan oksigen dan adanya kation serta anion dalam
perairan (Handayani, 2004).
Oksigen terlarut berperan dalam proses dekomposisi karena makrobentos
sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya. Nilai DO yang
didapat saat penelitian pada Tabel 4 bervariasi setiap stasiunnya berkisar 2,0 mg/l
– 3,5 mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai rata-rata
sebesar 3,5 mg/l dan nilai DO terendah terdapat pada semua stasiun pengamatan
dengan nilai rata-rata sebesar 2,0 mg/l. Variasi tersebut diduga karena adanya

Universitas Sumatera Utara

53

perbedaan waktu pengukuran dan perbedaan musim. Sesuai dengan literatur
Ketaren (2014) yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut bervariasi
menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi
oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam
hari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitriyani dkk., (2016) bahwa
nilai DO yang didapat saat penelitian bervariasi setiap stasiunnya berkisar 1,6
mg/l – 2,5mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai rata-rata
sebesar 2,3 mg/l dan nilai DO terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai ratarata sebesar 2,1 mg/l. Menurut Lekatompessy dan Alfredo (2010) kadar DO di
perairan juga berfluktuasi secara harian, tergantung pada percampuran (mixing)
dan pergerakan massa air (turbulence), aktivitas fotosintesis dan respirasi serta
masukan limbah kedalam air. Sumber utama oksigen di perairan terbuka antara
lain berasal dari interaksi air dan udara melalui proses difusi, aktivitas fotosintesis
oleh fitoplankton.
Rendahnya kadar oksigen terlarut pada Tabel 4 di stasiun III disebabkan
karna tingginya aktivitas mikroorganisme sangat optimal. Rendahnya nilai
kandungan oksigen terlarut diduga karena tingginya aktivitas organisme dan
mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari
sumbangan hutan mangrove maupun dari darat. Murni dkk., (2015) berpendapat
bahwa faktor lain yang menyebabkan rendahnya DO pada stasiun pengamatan
adalah karena tingginya aktivitas organisme dan mikroorganisme dalam proses
pendekomposisian bahan organik.

Universitas Sumatera Utara

54

Rekomendasi Pengelolaan
Mangrove di desa Bagan Asahan merupakan mangrove yang termasuk ke
dalam kawasan pesisir timur Sumatera Utara. Onrizal (2010) menyatakan bahwa
wilayah pantai timur Sumatera Utara pada Tahun 1977 terdapat 103.415 ha hutan
mangrove, Tahun 1989 tersisa menjadi 88.931 ha, Tahun 1997 tersisa menjadi
53.198 ha dan Tahun 2006 hanya tersisa 41.700 ha. Dengan berkurangnya luasan
hutan mangrove yang terus menerus terjadi maka perlu dilakukannya pengelolaan.
Pada dasarnya pengelolaan kawasan hutan mangrove dilakukan untuk
menjaga kelestarian ekosistem mangrove secara kesinambungan sehingga peranan
mangrove sebagai sumber unsur hara di perairan tetap terjaga. Upaya pengelolaan
yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan ekosistem mangrove sebagai
kawasan yang dilindungi dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan
mangrove. Keberhasilan pengelolaan hutan mangrove dapat dioptimalkan melalui
strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat. Keterlibatan langsung
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam mengandung arti, ikut
memikirkan, merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi sumberdaya ekosistem
mangrove.
Minimnya informasi tentang peranan ekosistem mangrove berdampak
dengan sedikitnya pengetahuan masyarakat dalam memahami fungsi hutan
mangrove yang sebenarnya, seperti halnya manfaat yang diberikan serasah
mangrove yang terdekomposisi. Adanya penyuluhan kepada masyarakat tentang
pemanfaatan hutan mangrove yang lestari dan penanaman bibit mangrove
merupakan upaya menjaga kelestarian ekosistem mangrove.

Universitas Sumatera Utara

55

Karena tingkat kerusakan mangrove yang berdampak pada pengurangan
luas hutan mangrove, fungsi dan nilai manfaatnya sangat tinggi, perlu dirancang
suatu

penataan

wilayah

pengelolaan

mangrove.

Pengembangan

fungsi

pemanfaatan dan konservasi yang ditata dalam wilayah pengelolaan perlu
didukung dengan aspek hukum yang mengatur fungsi dan tanggungjawab.
Peraturan dan penegakan hukum yang kuat diharapkan mampu membawa masingmasing sektor terkait untuk mengelola kawasan mangrove dengan prinsip
konservasi agar nilai manfaat meningkat dan berkesinambungan.

Universitas Sumatera Utara

56

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1.

Laju dekomposisi serasah daun R.apiculata pada hari ke-90 yaitu pada
stasiun I bernilai 13,04 stasiun II bernilai 11,42 dan stasiun III bernilai 10,24.
Laju dekomposisi tercepat ialah pada stasiun I dengan nilai 13,04 dan laju
dekomposisi terlama terdapat pada stasiun III dengan nilai 10,24.

2.

Kandungan unsur hara karbon selama proses dekomposisi 90 hari yaitu
stasiun I sebesar 16,24 %, stasiun II sebesar 15,29% dan stasiun III sebesar
15,42 %. Unsur hara nitrogen yang terdekomposisi pada hari ke 90 yaitu
stasiun I sebesar 2,69%, stasiun II sebesar 2,57 % dan stasiun III sebesar
2,75%. Kandungan unsur hara fosfor selama proses dekomposisi 90 hari yaitu
stasiun I 0,02 %, stasiun II 0,02 % dan stasiun III 0,01 %.

Saran
Perlu dilakukannya kajian tentang bakteri dan fungi yang aktif dalam
proses dekomposisi serasah daun mangrove R.apiculata serta kajian tentang
hubungan laju dekomposisi serasah dengan laju produksi perikanan di Desa
Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Dekomposisi Serasah daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove di Desa Bagan Percut Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

Dekomposisi Serasah daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove di Desa Bagan Percut Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Dekomposisi Serasah daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove di Desa Bagan Percut Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

0 0 4

Dekomposisi Serasah daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove di Desa Bagan Percut Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Dekomposisi Serasah daun Rhizophora apiculata Pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove di Desa Bagan Percut Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

0 0 24

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 1 2

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

1 1 6

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 27