Tradisi Pasahat Boru Dalam Perkawinan Adat Angkola Di Padangsidimpuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tradisi Lisan
Tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam
kehidupannya. Kebiasaan tersebut dipelihara dan diajarkan kepada setiap generasi
dalam masyarakatnya agar tetap dilakukan oleh generasi seterusnya. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat
etnik dan diturunkan secara turun-temurun kepada generasi setelahnya dengan tujuan
agar terjaganya nilai-nilai yang terkandung dalam kebiasaan yang dianggap dapat
menuntun kehidupan masyarakat. Tradisi ini pada zaman dahulu dilakukan secara lisan
karena dahulu orang jarang menuliskan aturan-aturan yang berkenaan dengan kebiasaan
masyarakat. Hal ini dipandang wajar sebab aturan-aturan tersebut sudah biasa dilakukan
sehingga tidak perlu lagi menuliskannya sebagai arsip. Tradisi tersebut dapat dikatakan
sebagai tradisi lisan.
Vansina mengatakan bahwa tradisi lisan adalah budaya yang bersumber dari
sejarah “Oral traditions are historical sources of special nature” (1973:1). Menurutnya
tradisi lisan disebarkan melalui mulut (secara lisan). Tradisi harus dipandang sebagai
dokumen bersejarah walaupun berbentuk verbal. “It can be seen that the truly
distinctive feature of oral tradition is : transmission by word of mouth. A tradition
should be regarded as a series of historical documents, even if the documents are verbal

ones” (1973:21).

Tradisi lisan dapat diartikan sebagai kegiatan budaya tradisional suatu
komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi
ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi
lain yang bukan lisan (non-verbal) (Sibarani, 2012:47). Djuweng (dalam Pudentia,
2008:170) mengatakan tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan
masa depan. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara
individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan.
Pengertian di atas sejalan dengan konsep tradisi lisan yang dinyatakan oleh
Finnegan (1992:7) bahwa tradisi lisan bersifat verbal, lisan (non-written), milik
masyarakat, mendasar dan bernilai (fundamental and valued), diturunkan dari generasi
ke generasi (transmitted over generations).
Tradisi yang bersifat lisan merupakan norma-norma adat yang hendaknya
dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Setiap ada upacara adat, aturan dalam upacara itu
dilakukan sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang sebelumnya.
Pada kenyataannya zaman berkembang diikuti kemajuan teknologi, sehingga mulailah
para anak muda dan anggota masyarakat suatu etnik secara sadar maupun tidak sadar
mulai melupakan kebiasaan dalam adat. Kalaupun dikatakan tidak melupakan, paling
tidak telah terjadi pengurangan atau penyederhanaan aturan dalam pelaksanaan upacara

adat dalam masyarakat tersebut. Mulailah para cendekiawan dalam masyarakat
menuliskan tradisi mereka untuk diajarkan kepada anak cucu mereka agar dapat terus
dilakukan.
Zaman sekarang dapat dijumpai berbagai sumber yang

diperlukan untuk

mempelajari tradisi lisan. Sibarani (2012:7-8) mengatakan wacana tradisi lisan tidak

hanya berupa cerita dongeng, mitologi, dan legenda dengan berbagai pesan di
dalamnya, tetapi juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana
ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat,
sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan
lokal dalam komunitas dan lingkungannya.
Tradisi lisan banyak dijumpai dalam setiap upacara adat, seperti upacara
kelahiran anak, upacara perkawinan, upacara keberhasilan dalam pendidikan dan
pekerjaan, upacara memasuki rumah baru, dan upacara memohon sesuatu kepada Yang
Maha Kuasa. Tradisi tersebut biasanya dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
masyarakat pengikutnya. Masyarakat Angkola mayoritas menganut agama Islam.
Dengan demikian, pelaksanaan upacara perkawinan adat dilakukan berdasarkan aturan

yang ada dalam agama Islam dan sesuai dengan tradisi perkawinan yang ada dalam
masyarakat Angkola. Hal ini tidak menjadi perdebatan dalam masyarakat dan tidak pula
dianggap salah, mengingat bahwa setiap orang berhak atas kepercayaan yang
dimilikinya, namun tetap menjaga tradisi yang diwariskan oleh generasi sebelumnya
karena dalam tradisi terkandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dijadikan modal dan
tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sibarani (2012:43-46) menyebutkan ada beberapa ciri tradisi lisan, yaitu :
1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan,
sebagian lisan, dan bukan lisan.
2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya. Oleh karena
tradisi lisan terkait pada konteks peristiwa, tradisi lisan memiliki tempat
kejadian dan situasi kejadian.

3. Dapat diamati dan ditonton orang atau dipertunjukkan dalam suatu konteks
peristiwa tertentu.
4. Bersifat tradisional, untuk mengidentifikasi sebuah kebiasaan apakah termasuk
tradisi lisan atau tidak. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus
mengandung warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi baru yang
ada unsur etnisnya.
5. Diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi lain.

6. Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”. Ciri inilah yang menjadikan
kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal culture) tergolong tradisi lisan
karena budaya bukan lisan itu, seperti adat-istiadat, disampaikan orang tua dari
mulut melalui berbicara sampai ke telinga anak-anaknya melalui mendengar.
7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya, berupa kearifan lokal atau
kearifan yang bermanfaat untuk masyarakat setempat.
8. Memiliki versi-versi atau varian, yaitu bentuk-bentuk yang berbeda. Kalau
perbedaan itu kecil disebut varian, tetapi kalau perbedaan itu besar, bahkan
melampaui bahasa dan bentuk, disebut versi.
9. Milik bersama komunitas tertentu atau masyarakat secara kolektif karena
sifatnya yang lisan dan anonim.
10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.

2.2 Tahapan Perkawinan dalam Adat Angkola
Pesta perkawinan dalam masyarakat Angkola diawali dengan acara pernikahan.
Pernikahan dalam masyarakat Angkola dilakukan menurut agama yang dianut. Setelah
selesai acara pernikahan yang ditandai dengan akad nikah, maka dilaksanakanlah

serangkaian acara perkawinan menurut adat Angkola. Perkawinan dalam adat Angkola
disebut pabuat boru.

Pabuat boru maksudnya adalah mengambil anak perempuan (anak gadis) dari
suatu keluarga yang disetujui dengan cara baik-baik dan sesuai dengan norma adat
untuk dibawa oleh suatu keluarga dengan tujuan menjadikannya sebagai anggota
keluarga yang mengambilnya. Dikatakan mengambil yakni mengambil dengan cara
dinikahi secara sah untuk dijadikan isteri bagi anak laki-laki dari pihak keluarga yang
mengambil. Tata cara pengambilan inilah yang disebut dengan istilah pabuat boru. Ada
beberapa tahapan acara yang harus dilaksanakan dalam acara pabuat boru.
Tahapan perkawinan adat (pabuat boru) dalam etnik Angkola adalah sebagai
berikut:
Pertama, acara mangalap boru, yakni menjeput pengantin wanita. Hari untuk
pelaksanaan mangalap boru telah ditentukan dan disepakati bersama oleh pihak
keluarga wanita dan keluarga laki-laki. Pada hari tersebut pihak keluarga pengantin lakilaki telah bersiap untuk mangalap boru. Rombongan pengantin laki-laki berangkat
menuju rumah pengantin wanita. Sesampainya mereka di rumah keluarga pengantin
wanita, mereka dihidangkan pulut dengan intinya. Setelah makan pulut, pihak keluarga
laki-laki menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk mangalap boru
(menjeput anak perempuan) untuk dibawa ke rumah keluarga pengantin laki-laki. Pihak
keluarga pengantin wanita menerima maksud mereka dengan senang hati.
Kedua, acara markobar adat, yakni persidangan adat yang dipimpin oleh raja
panusunan. Raja panusunan adalah salah satu fungsionaris adat dalam masyarakat
Angkola. Fungsionaris yang lain adalah raja pamusuk, namora, dan natoras. Disebut


fungsionaris

karena

musyawarah

adat

merekalah
dan

yang bertanggung jawab

mengambil

keputusan.

Dalam


untuk

mengadakan

acara markobar

adat

disampaikanlah maksud dan tujuan acara adat tersebut diadakan. Pihak keluarga lakilaki bermohon agar nantinya boru na ni oli (pengantin wanita) dapat dibawa ke dalam
keluarga mereka secara adat. Kemudian pihak keluarga wanita menerima permohonan
keluarga laki-laki. Maka sahlah ikatan yang dijalin oleh kedua pengantin secara adat.
Ketiga, acara mangalehen mangan atau mangan pamunan, yakni memberi
makan si anak gadis (pengantin wanita) oleh orang tuanya. Makanan yang diberikan
disebut upa-upa, yakni makanan tertentu yang telah disiapkan khusus untuk mangupa
pengantin. Upa-upa tersebut memiliki makna tertentu yang berhubungan dengan
kehidupan pengantin nantinya. Semua makanan itu merupakan lambang permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, agar badan dan tondi (jiwa) yang disuguhi upa-upa
senantiasa sehat, tegar, dan kuat serta dianugerahi anak dohot boru (anak laki-laki dan
anak perempuan).
Keempat, acara pasahat boru, yakni penyerahan keselamatan pengantin wanita

dari orang tuanya kepada suaminya. Pengantin wanita diserahkan secara adat oleh orang
tua kepada pengantin laki-laki dan keluarganya untuk dibawa ke rumah suaminya. Pada
acara inilah disampaikan kata-kata nasihat kepada kedua pengantin untuk bekal hidup
mereka, karena mereka adalah suami isteri yang baru akan menjalani kehidupan rumah
tangga. Ibu kandung pengantin wanita adalah orang yang pertama kali menyampaikan
kata-kata nasihat, terutama kepada anak gadisnya yang akan pergi darinya. Kemudian
disusul oleh anggota keluarganya. Setelah semua selesai berbicara, pengantin wanita
diberangkatkan beserta barang-barang bawaannya. Rumah orang tuanya sekarang tidak

lagi menjadi tempat tinggalnya. Rumahnya kini adalah rumah suaminya. Di sinilah saatsaat yang mengharukan terjadi, yakni perpisahan ibu dengan anak gadisnya.
Kelima, acara mangambat boru na langka matobang, yakni menghambat anak
gadis yang menikah (berumah tangga), maksudnya adalah pengantin wanita.
Mangambat boru merupakan rangkaian acara adat dalam rangka melepas keberangkatan
pengantin wanita yang dibawa oleh pengantin laki-laki dan keluarganya. Acara
mangambat boru ini dilakukan oleh anak laki-laki dari namboru pengantin wanita.
Dengan kata lain, pengantin wanita adalah boru tulang dari laki-laki yang menghambat
keberangkatan itu. Acara tersebut memberi makna bahwa pengantin wanita memiliki
anak namboru yang selama ini ikut menjaganya sebelum dia menikah dan dibawa oleh
suaminya. Setelah pihak anak boru diberi uang tebusan sebagai pengobat duka atas
kepergian boru tulangnya, maka pengantin laki-laki diperbolehkan membawa pengantin

wanita.

2.3 Tradisi Pasahat Boru
Pasahat boru adalah penyerahan segala tanggung jawab tentang keselamatan
pengantin wanita dan barang-barang miliknya dari orang tuanya kepada pengantin lakilaki dan keluarganya. Pasahat boru merupakan bagian dari upacara perkawinan adat
dalam masyarakat Angkola. Sebelum menikah, seorang gadis berada dalam asuhan dan
tanggung jawab orang tuanya. Setelah menikah, tanggung jawab atas dirinya berpindah
kepada suaminya. Acara pasahat boru ini merupakan acara pemberangkatan boru
(pengantin wanita) menuju rumah suami dan mertuanya. Acara tersebut dilaksanakan
pada sore hari setelah acara akad nikah dan pesta menjamu para tamu selesai. Pada

acara inilah pihak keluarga pengantin wanita menyerahkan anak gadisnya (pengantin
wanita) kepada keluarga pihak laki-laki untuk dibawa ke rumah mereka secara
terhormat.
Setiap upacara perkawinan sangat penting, baik bagi yang bersangkutan maupun
bagi anggota keluarga dan kerabat kedua belah pihak pengantin sehingga dalam proses
pelaksanaannya harus memerhatikan serangkaian aturan atau tata cara yang sudah
ditentukan secara adat berdasarkan hukum-hukum agama (Sinar, 2011:50-51). Di
daerah Padangsidimpuan, karena letaknya yang berdekatan dengan daerah Tapanuli
Selatan, sampai sekarang perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan adat

(perkawinan yang dilaksanakan menurut adat) dan dipadu dengan norma agama.
Dalam masyarakat Angkola upacara perkawinan adat yang biasa dilaksanakan
disebut pabuat boru (membawa anak gadis atau pengantin wanita). Tradisi pasahat
boru merupakan salah satu bagian dalam acara pabuat boru.
Pada pelaksanaan acara pasahat boru disediakan pula upa-upa untuk mangupa
kedua pengantin yang akan berangkat ke rumah baru. Acara mangupa tersebut disebut
mangalehen mangan atau mangan pamunan (memberi makan kedua pengantin). Acara
mangan pamunan ini merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari acara
pasahat boru, karena acara mangan pamunan dan pasahat boru merupakan rangkaian
acara yang disatukan pelaksanaanya pada waktu yang bersamaan, yakni pada waktu
pemberangkatan pengantin wanita menuju ke rumah suaminya. Hal ini dilakukan
sebagai simbol bahwa orang tualah yang selama ini membesarkan dan memberi makan
mereka. Caranya dilakukan dengan menyuapi kedua pengantin makanan oleh kedua
orang tua dan anggota keluarga. Upa-upa diberikan dengan alasan bahwa inilah puncak

pernyataan kasih sayang orang tua kepada anak gadisnya. Sejak dia lahir, masa anakanak, masa remaja, sampai tiba masanya dia menikah, orang tuanyalah yang
memberikan kasih sayang yang tiada tara. Anak gadisnya pun telah mendapatkan kasih
sayang yang tidak terlupakan.
Selesai disuapi makan, maka dilaksanakanlah acara markobar (memberi katakata nasihat) kepada kedua pengantin. Di sinilah dilaksanakan acara pasahat boru, yaitu
menyerahkan keselamatan anak gadis yang selama ini berada dalam tanggung jawab

orang tuanya kepada suami anaknya. Penyerahan tersebut dilakukan dengan
menyampaikan kata-kata yang berisi tentang penyerahan anak gadis mereka (pengantin
wanita) kepada pihak keluarga pengantin laki-laki. Jadi, segala hak dan kewajiban anak
gadis mereka berpindah dari orang tuanya kepada suaminya dan keluarga suaminya,
yang kemudian disebut sebagai mertuanya. Para pemberi nasihat membekali kedua
pengantin dengan petunjuk-petunjuk sebagai bekal hidup dan kewajiban yang harus
dilaksanakan dalam berumah tangga. Nasihat tersebut diberikan agar kedua pengantin
yang sudah resmi menjadi suami isteri mempunyai kemampuan mengatasi masalah
dalam kehidupan berumah tangga nanti. Mereka juga mendoakan keselamatan bagi
pengantin yang akan memulai hidup baru.
Acara pasahat boru dibuka oleh orang yang ditunjuk oleh ketua adat. Yang
disampaikan antara lain adalah : Dina pabagas boru, dipatidahon do godang ni roha.
Muda anak dipajae, muda boru dipaebat. Tahi ni napabagaskon samo doi, dohot tahi ni
naharoan boru. Cuma dinapabagaskon, disadiahon ma dohot barang siobanon,
tambana upa-upa lalu disorahon. Adong muse na mandongkon mangalehen mangan.
Artinya : Pada waktu menikahkan anak perempuan (anak gadis), berbesar hatilah kita
(bahagia). Kalau anak laki-laki menikahi (maksudnya menikahi anak gadis kemudian

hidup mandiri), kalau anak perempuan dinikahi (setelah menikah maka dibawa oleh
suaminya ke rumah yang baru). Musyawarah (memberi kata-kata nasihat) pada acara
perkawinan di rumah pengantin wanita sama dengan acara perkawinan di rumah
pengantin laki-laki. Hanya saja sewaktu acara perkawinan di rumah pengantin wanita,
disediakanlah barang-barang bawaan pengantin wanita, ditambah upa-upa. Kemudian
baru diserahkan (kepada pengantin laki-laki). Dengan kata lain upa-upa itu disebut juga
memberi makan pengantin wanita.
Orang yang pertama memberikan kata-kata nasihat adalah ibu kandung
pengantin wanita ‘inanta’. Pilihan ini dilakukan untuk menghormati kaum wanita. Ibu
adalah orang yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan sampai anak
gadisnya menikah. Beberapa kalimat yang disampaikannya adalah : Antong jadi boti
mada inang, baen na giot kehe maho langka matobang, manopotkon sitopotonmu. Ho
inang na danak dope, malo-malo ho mamasukkon diri, dohot mambuat roha ni
namborumu. Ulang hami inang mambege naso tupa. Dison tarpayak dijolomu
piramanuk na dihobolan, songoni salin-salinmu tu usaho, songoni pinggan panganan
dohot lage, anso malo ho inang manduruk koum. Artinya : Anakku, sekarang engkau
sudah menikah (berumah tangga), mendapatkan tambatan hatimu. Dirimu Nak, masih
anak-anak (muda), pandai-pandailah

engkau memasukkan diri,

dengan cara

menyenangkan hati ibu mertuamu. Jangan sampai kami dengar Nak, hal yang tidak
enak. Di sini disediakan telur ayam di hadapanmu, supaya seperti ayam itulah rajinmu
berusaha. Ada pula piring dan makanan, supaya pandai engkau Nak, bermasyarakat.
Pengantin wanita diserahkan oleh keluarganya kepada pihak keluarga laki-laki
beserta barang-barang bawaannya, seperti perlengkapan pribadi dan perlengkapan
rumah tangga. Perlengkapan yang dimaksud antara lain seperti kasur atau tikar beserta

bantal, sejumlah pakaian dan kain, piring dan gelas, beberapa peralatan memasak seperti
kompor, periuk, kuali, dan oleh-oleh berupa makanan. Pihak pengantin laki-laki pun
menerima dengan senang hati untuk membawa pengantin wanita (menantu mereka) ke
rumah mereka. Pada saat pemberangkatan biasanya pengantin wanita dan ibunya akan
menangis. Tangisan itu menunjukkan bahwa pengantin wanita merasa sedih
meninggalkan orang tua dan rumahnya beserta semua keluarga. Ini adalah tanda bahwa
dia sangat mencintai orang tua dan keluarganya. Dia merasa berat untuk berpisah
namun keadaanlah yang mengharuskan dia pergi meninggalkan rumah orang tuanya.
Begitu pula ibunya, menangis menahan rasa haru karena anak kesayangannya akan
pergi dari sisinya.

2.4 Teks, Konteks, dan Koteks Tradisi Lisan
2.4.1 Teks Tradisi Lisan
Penelitian tentang tradisi lisan berhubungan erat dengan kebudayaan dan bahasa
(antropolinguistik). Oleh karena itu, aspek-aspek yang akan diteliti adalah terkait
dengan teks, konteks, dan koteks. Sibarani (2004:52) mengatakan bahwa kajian
antropolinguistik mengajak orang Indonesia untuk memahami budaya Indonesia lewat
ucapan lisan sebagai ungkapan hati nuraninya dan lewat teks tertulis sebagai warisan
pendahulunya.
Konsep teks yang digunakan untuk mengkaji tradisi pasahat boru ini adalah
struktur wacana Van Dijk yang disesuaikan dengan teks tradisi lisan. Van Dijk
menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks, yakni struktur makro,
superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna global atau makna

umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu
teks. Tema teks bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Itulah
alasannya teks tidak dapat dipisahkan dari konteks. Dengan kata lain, analisis struktur
makro dalam teks tradisi lisan merupakan analisis teks yang dipadukan dengan koteks
dan konteksnya untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral. Superstruktur atau
struktur alur adalah kerangka suatu teks yang mencakup struktur dan elemen teks dalam
pembentukan teks secara utuh. Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar
tersusun atas tiga elemen, yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Kajian
struktur alur tradisi lisan akan menghasikan skema tradisi lisan mulai dari permulaan,
bagian tengah, dan penutup. Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik
teoretis, mencakup tataran bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, dan gaya bahasa.
Tataran tersebut dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan
karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji (Sibarani, 2012:316).
Dalam penelitian ini, yang merupakan teks adalah kata-kata dan kalimat yang
diucapkan oleh pelaku yang diteliti, dalam hal ini orang-orang yang memberi kata-kata
nasihat kepada kedua pengantin pada waktu pelaksanaan acara adat tersebut (pada
waktu markobar). Tentunya kata-kata dan kalimat yang diucapkan masih dalam bahasa
daerah, yakni bahasa Angkola, karena acara itu merupakan acara adat. Bahasa daerah
tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu agar
maksudnya dapat dipahami. Hal ini dilakukan karena bahasa daerah tidak semuanya
dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa daerah memiliki
nilai-nilai yang luhur yang tidak dapat diartikan sewenang-wenang. Di sinilah perlunya
teks lisan tersebut ditranskripkan ke dalam bentuk tulisan terlebih dahulu, dengan tujuan
untuk memudahkan penganalisisan.

2.4.2 Konteks Tradisi Lisan
Berbicara mengenai teks dalam kajian tradisi lisan akan melibatkan konteks,
karena teks dalam tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Teori konteks
diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi budaya, yakni Malinowski. Konsep
tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan
harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi
ketika bahasa itu dituturkan. Menurut Malinowski (dalam Sinar, 2010:65) interaksi
konteks sosial terjadi dalam dua strata, yaitu konteks situasi dan konteks budaya dan
menganggap teks yang disebut sebagai ujaran hanya bisa dipahami jika berkaitan
dengan dua strata tersebut.
Pandangan Malinowski di atas kemudian dikembangkan oleh Firth dengan
melengkapkan konsep konteks situasi yang terdiri dari empat konsep, yaitu pelibat
‘participant’, aktivitas verbal/nonverbal ‘verbal/nonverbal action’, situasi yang relevan
‘relevant situation’, dan implikasi ‘implication’. Adapun menurut pendapat Halliday
(2007:258), konteks sosial merupakan sebuah struktur semiotik yang diinterpretasikan
ke dalam tiga variabel, yaitu field, tenor, dan mode. “Sosial context is a semiotic
structure which we may interpret in terms of three variabels : a ‘field’ of sosial process,
a ‘tenor’ of sosial relationship, and a ‘mode’ of symbolic interaction”. Ketiga variabel
tersebut dapat diartikan dengan :
1. Field merupakan medan, yakni apa yang dibicarakan dalam interaksi.
2. Tenor merupakan pelibat, yakni siapa yang terkait atau terlibat dalama interaksi.
3. Mode merupakan cara, yakni bagaimana interaksi dilakukan.

Sistem konteks sosial berada pada tingkat semiotik konotatif bahasa yang terdiri
dari konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi (Sinar, 2010:54). Sedangkan
menurut Saragih (2002:193), yang dimaksud dengan konteks merupakan tempat
peristiwa terjadinya teks. Konteks berfungsi menentukan makna suatu ujaran, tuturan,
dan teks/wacana. Artinya bila terjadi perubahan konteks, mengakibatkan perubahan
makna.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan dalam memahami konteks. Oleh karena konteks dalam kajian tradisi lisan
sangat berkaitan erat dengan teks, maka suatu teks tidak dapat dikaji tanpa konteks.
Dalam penelitian tradisi pasahat boru, konteks merupakan unsur yang perlu
diamati sehingga pemaknaan tradisi tersebut dapat dilihat secara keseluruhan. Sibarani
(2012:324) mengatakan ada empat jenis konteks dalam kajian tradisi lisan, yaitu
konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi, untuk memahami
makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, dan untuk memahami nilai dan norma
budayanya serta kearifan lokal yang diterapkan. Oleh karena itu, penulis menggunakan
konsep konteks yang dikemukakan oleh Sibarani. Konteks kajian pasahat boru ini
adalah pada upacara perkawinan adat.
Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu teks,
yakni peristiwa budaya apa yang melibatkan tradisi lisan itu. Sebuah tradisi lisan dalam
konteks budaya yang berbeda akan memiliki makna, pesan, dan fungsi yang berbeda.
Konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang memengaruhi atau
menggunakan teks, yakni siapa saja yang terlibat dalam teks itu, seperti pelaku,
pengelola, penikmat, dan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada

waktu, tempat, dan cara penggunaan teks, yakni kapan, dimana, dan bagaimana suatu
teks dituturkan. Konteks ideologi mengacu pada kekuasaan atau kekuatan apa yang
memengaruhi dan mendomonasi suatu teks, seperti paham, aliran, kepercayaan,
keyakinan, dan nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Ideologi merupakan suatu
konsep sosial yang menyatakan apa yang harus atau tidak dikerjakan oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, konteks ideologi menyangkut nilai dan
sudut pandang yang dianut.

2.4.3 Koteks Tradisi Lisan
Koteks adalah tanda-tanda yang ada dalam teks tradisi lisan berupa
paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material yang berfungsi untuk
memperjelas pesan atau makna suatu teks (Sibarani, 2012:319). Dalam penelitian ini
yang merupakan koteks adalah unsur material. Unsur material yang ada dalam tradisi
pasahat boru ini adalah barang dan benda yang disediakan untuk perangkat
kelengkapan adat tersebut. Perangkat tersebut merupakan benda-benda simbolik yang
mengandung makna tertentu dalam masyarakat Angkola. Oleh karena itu, untuk
mengkaji koteks dalam penelitian tradisi pasahat boru ini digunakan teori semiotika.
Semiotika adalah kajian tentang tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang
digunakan dalam perilaku manusia. Segala yang ada dalam kehidupan manusia dapat
disebut sebagai tanda. Tanda tersebut harus diberi makna agar dapat dipahami oleh
manusia sebagai pelaku kehidupan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk
mengungkapkan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda yang berbentuk verbal
maupun nonverbal. Manusia yang hidup dalam suatu komunitas disebut masyarakat.

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan. Semiotika sebagai ilmu dapat digunakan
untuk mengkaji kebudayaan.
Semiotika melihat berbagai gejala dalam suatu kebudayaan sebagai tanda yang
dimaknai masyarakatnya. Kebudayaan dilihat oleh semiotika sebagi suatu sistem tanda
yang berkaitan satu sama lain dengan cara memahami makna yang ada di dalamnya, dan
keterkaitan itu bersifat konvensional (Hoed, 2011:5). Kajian semiotika bermanfaat
dalam memahami interaksi sosial. Dengan demikian kajian semiotika bermanfaat untuk
pengkajian budaya. Arti atau makna suatu semiotika tidak langsung didapat atau keluar
secara langsung dari satu penanda tetapi merupakan kreasi atau interaksi antarorang
atau antara pemberi tanda dan penerima tanda. Dengan kata lain, arti suatu tanda
ditentukan oleh dinamika pengguna atau masyarakat pemakai bahasa.
Saragih (2012:1) mengatakan bahwa tanda berperan penting dalam kehidupan
manusia karena kehidupan manusia penuh dengan dan diliputi oleh tanda. Cakupan
tanda sangat luas, mulai dari tanda kehidupan sampai ke tanda kematian dan dari tanda
keberuntungan sampai ke tanda kerugian, dan lain sebagainya.
Pakar semiotika yang terkenal adalah Ferdinand de Saussure dan Charles
Sanders Pierce. Ferdinand de Saussure memperkenalkan tanda dengan istilah
signifiant/signifier dan signifie/signified. Signifier diartikan sebagai penanda, yaitu
bentuk yang menandai sesuatu. Signified diartikan sebagai petanda, yaitu makna yang
terkandung dalam sesuatu yang ditandai. Tanda dilihat sebagai pertemuan antara bentuk
yang tercitra dalam kognisi seseorang dan makna yang dipahami oleh manusia pemakai
tanda. Dengan demikian semua yang ada dalam kehidupan dilihat sebagai bentuk yang
memiliki makna tertentu. De Saussure (dalam Hoed, 2011:1) mengatakan bahwa tanda
merupakan sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda

dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi manusia.
Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi bersifat sosial, yakni
didasari oleh kesepakatan atau konvensi sosial.
Dalam menganalisis koteks pada tradisi pasahat boru ini, teori yang digunakan
adalah teori semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Pierce
mengemukakan teori segitiga makna yang terdiri dari tiga unsur, yakni representamen,
objek, dan interpretan. Representamen adalah bentuk yang menyatakan tanda (disebut
penanda). Objek adalah sesuatu yang berada di luar tanda yang menjadi referensi dari
tanda atau acuan. Interpretan adalah makna yang terkandung dalam penanda. Interaksi
antara representamen, objek, dan interpretan disebut semiosis. Proses semiosis menurut
Pierce terjadi dengan tidak terbatas. Di samping makna yang telah disepakati bersama
oleh masyarakat, manusia juga memaknai tanda dengan

kemampuan logika

berpikirnya.
Segitiga Makna
Objek

Representamen

Interpretan

Gambar 1. Hubungan antara representamen, objek, dan interpretan.
Pierce mengatakan bahwa semua gejala (alam dan budaya) harus dilihat sebagai
tanda. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri
dari tiga unsur, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang
berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu
yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Pierce membedakan

tiga jenis tanda, yakni indeks, ikon, dan simbol. Indeks adalah tanda yang muncul dari
hubungan sebab akibat antara penanda dan petanda. Ikon adalah tanda yang muncul dari
perwakilan fisik yang mengisyaratkan petandanya. Simbol adalah tanda yang muncul
dari kesepakatan (konvensi) masyarakat. Prinsip dasarnya ialah bahwa tanda bersifat
representatif, yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (something
that represents something else) (Pierce dalam Hoed, 2011:46). Pierce mengemukakan
bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap, yakni pertama saat tanda dipahami
secara prinsip saja, kedua secara individu, dan ketiga tetap sebagai suatu konvensi,
sehingga dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sepenuhnya sama pada
semua anggota kebudayaan tersebut (dalam Hoed, 2012:47). Objek atau acuan tanda
adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda
(Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).
Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul
dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Menurut Peirce
(dalam Santosa, 1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak
dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang
penafsir berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang
dipahaminya. Oleh karena itu, seorang penafsir harus jeli dan cermat. Sesuatu dilihat
dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan
kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Bagan 1. Pembagian Tanda

Ground/ representamen :
tanda itu sendiri sebagai
perwujudan gejala umum.

Objek/ referent: yaitu apa
yang diacu.

Interpretant: tanda-tanda baru
yang terjadi dalam batin
penerima.

Qualisign: terbentuk oleh
suatu kualitas yang merupakan
suatu tanda, misalnya: “keras”
suara sebagai tanda, warna
hijau.

Ikon: tanda yang penanda dan
petandanya ada kemiripan.
Misalnya: foto, peta.

Rheme: tanda suatu
kemungkinan atau konsep, yaitu
yang memungkinkan
menafsirkan berdasarkan
pilihan, misalnya: “mata merah”
bisa baru menangis, tapi bisa
juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk
melalui realitas fisik. Misalnya :
rambu lalu lintas.

Index: hubungan tanda dan
objek karena sebab akibat.
Misalnya: asap dan api.

Dicent sign: tanda sebagai
fakta/ pernyataan deskriptif
eksistensi aktual suatu objek,
mis : tanda larangan parkir
adalah kenyataan tidak boleh
parkir.

Legisign: Hukum atau kaidah
yang berupa tanda. Setiap
tanda konvensional adalah
legisign, misalnya: suara wasit
dalam pelanggaran.

Symbol: hubungan tanda dan
objek karena kesepakatan /
suatu tanda yang penanda atau
petandanya arbitrer
konvensional. Misalnya:
bendera, kata-kata.

Argument: tanda suatu aturan,
yang langsung memberikan
alasan, mis : gelang akar bahar
dengan alasan kesehatan.

Sumber: Sobur (2004)
Teori semiotika ini digunakan untuk menganalisis makna yang terdapat pada
pelaksanaan acara pasahat boru dalam upacara perkawinan adat Angkola. Selanjutnya
mencakup makna benda-benda (barang-barang bawaan boru), perangkat yang
digunakan sebagai media upacara (dalam upa-upa), dan makna bahasa verbal (dalam
markobar).

2.5 Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau local wisdom, dalam pengertian kamus, terdiri dari dua kata,
yaitu local dan wisdom. Local artinya tempat atau setempat, wisdom artinya

kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat disejajarkan maknanya dengan kata kearifan.
Dengan demikian kata local wisdom dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan
kata kearifan lokal, yakni kebijaksanaan setempat. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapatlah dipahami bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai kebaikan yang
terkandung dalam suatu tradisi etnik yang bersifat bijaksana untuk digunakan
masyarakat setempat sebagai norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat.
Tradisi pasahat boru mengandung aspek-aspek yang menunjukkan kearifan
lokal masyarakat Angkola. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang perlu untuk
dijadikan pembelajaran oleh para pemuda etnik Angkola. Pada umumnya, pemuda
kurang memahami tradisi dan budayanya karena tidak dipelajari secara khusus seperti
layaknya pembelajaran di sekolah. Pembelajaran mengenai tradisi diturunkan oleh
orang tua atau yang dituakan dalam masyarakat kepada generasi penerus, yakni
pemuda. Oleh karena itu, pemuda yang mulai meniti rumah tangga, dalam hal ini
menikah (kawin), sepantasnya memahami tradisinya, karena dalam tradisi terkandung
kearifan lokal.
Menurut Sinar (2011:4) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang
inheren sejak lahir, mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri, meningkatkan
martabat bangsa dan negara. Pembelajarannya tidak memerlukan pemaksaan.
Keterlibatan masayarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat.
Adapun kearifan lokal tradisi masyarakat menurut Sibarani (2012:133-134)
menunjukkan kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotongroyong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan,

kedamaian,

sopan

santun,

kejujuran,

kesetiakawanan

sosial,

kerukunan

dan

penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.
Kondisi masyarakat sekarang mulai berubah karena adanya dinamika dan
pengaruh globalisasi, sehingga kearifan lokal pun mulai pudar. Kearifan lokal sejatinya
menjadi modal dalam membangun masyarakat yang cerdas dalam berperilaku dan
berbudaya, sebab kearifan lokal dibangun di atas nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, kearifan lokal dijadikan sebagai pedoman dan
pengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.

2.6 Penelitian yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian dalam tulisan ini
diantaranya pernah ditulis dalam bentuk tesis.
Penelitian ini menggunakan teori semiotika untuk mengkaji perangkat yang
terdapat pada tradisi yang menjadi objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian yang
relevan dengan itu pernah ditulis oleh Sabriandi Erdian dengan judul Analisis Semiotik
Syair-syair Upacara Kematian Etnis China di kota Medan (2008). Kajian ini
menggunakan teori semiotika menurut Charles Sanders Pierce, Ferdinand de Saussure,
dan Charles Morris. Dengan dasar mendukung untuk menjelajah dan mendeskripsikan
syair-syair upacara kematian etnis China terdapat unsur-unsur bentuk, fungsi, makna,
isi, struktur bahasa dan kesusastraan. Begitu juga halnya dengan wacana bahasa untuk
syair-syair upacara dapat untuk memproyeksikan bahasa dalam konteks sosial. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa proses upacara kematian etnis China berlangsung
dalam empat tahap, yakni sebelum masuk peti, upacara masuk peti dan penutupan peti,
upacara pemakaman, dan sesudah pemakaman. Keempat prosesi upacara ini dilakukan

oleh saekong di rumah, balai persemayaman, atau di rumah sakit. Tanda dan penanda
upacara kematian ini memiliki khasanah bahasa dan wacana kesusastraan dalam adat
dan kebudayaan etnis China yang terdapat di kota Medan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yusni Khairul Amri (2011) berjudul Tradisi
Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan : Pemahaman Leksikon Remaja di
Padangsidimpuan. Penelitian tersebut mengaitkan dua variabel, yakni mengenai tradisi
lisan upacara perkawinan adat dan pemahaman leksikon remaja tentang kosa kata yang
terdapat pada tradisi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa sampai
sekarang masyarakat Padangsidimpuan masih tetap melaksanakan tradisi tersebut tetapi
ada sedikit pergeseran. Ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Padangsidimpuan
dalam menyelenggarakan pesta perkawinan yang dahulu bisa memakan waktu sampai
tujuh hari, tapi sekarang hanya satu hari saja. Adapun mengenai hasil pemahaman
leksikon tidak ditampilkan dalam penjelasan ini karena tidak terkait dengan penelitian
penulis.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian penulis adalah tesis yang ditulis
oleh Mery T. Hutagaol dengan judul Tradisi Andung pada Masyarakat Batak Toba :
Kajian Tradisi Lisan (2012). Beliau menjelaskan bahwa tradisi andung pada upacara
kematian masyarakat Batak Toba mulai hilang dan punah serta dipengaruhi oleh
perkembangan zaman akibat beberapa faktor, yaitu agama, pendidikan, budaya modern,
dan sifat yang ekonomis. Hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa fungsi dan
makna juga bergeser. Nilai budaya yang terdapat dalam tradisi andung yakni hagabeon,
hasangapon, hamoraon, dan nilai kekerabatan.

Penelitian tentang tradisi juga dilakukan oleh Donna Handayani dengan judul
Tradisi Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat suku Bonai provinsi Riau (2012). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa tradisi lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat
suku Bonai merupakan sebuah tradisi yang unik dan banyak mengandung kekuatan
magis di dalam pertunjukannnya. Lukah gilo merupakan suatu tradisi masyarakat suku
Bonai yang keberadaannya hingga saat kini masih terpelihara dengan sangat baik.
Tradisi

ini

sering

dipertunjukkan

oleh

masyarakat

Melayu

lainnya

untuk

memperlihatkan jati diri mereka sebagai masyarakat Melayu Riau.
Penelitian yang dilakukan oleh Edy siswanto (2012) berjudul Kajian Semiotika
Budaya terhadap Syair Dendang Siti Fatimah pada Upacara Mengayun Anak
Masyarakat Melayu Tanjung Pura. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa tahap pembacaan semiotik tingkat pertama (pembacaan heuristic) membuahkan
sebuah heterogenitas yang tidak gramatikal, terkoyak-koyak, dana tidak terpadu seolaholah tidak adaa kesinambungan antara baris demi baris atau lirik demi lirik. Akan tetapi,
setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat
kedua (pembacaan hermeneutic) diperoleh sebuah makna yang padu tentang ini, sasaran
dan tujuan dari setiap pembacaan syair dengan fungsi yang berbeda-beda. Matriks dan
model yg terdapat pada setiap syair merupakan hasil inti dari makna yang terkandung di
dalamnya.
Penelitian yang menggunakan kajian semiotika juga pernah dilakukan oleh
Risman Arbi Sitompul dengan judul Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara
Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial
(2013). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa makna semiotik sosial yang
terkandung pada tradisi lisan baralek gadang bergeser karena dipengaruhi oleh konteks

sosial meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi dipengaruhi oleh
medan (field), pelibat (tenor), sarana (mode). Tradisi ini mengandung nilai-nilai
kearifan lokal yang berguna untuk menata hidup masyarakat di Pesisir Sibolga.

2.7 Klarifikasi Istilah
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah etnis Angkola yang digunakan
dalam upacara perkawinan adat. Untuk memperjelas dan memudahkan para pembaca
dalam memahami maksud istilah tersebut, berikut ini beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini beserta maknanya :
(1)

Pasahat boru adalah penyerahan segala tanggung jawab tentang keselamatan
pengantin wanita dan barang-barang miliknya dari orang tuanya kepada
pengantin laki-laki dan keluarganya.

(2)

Pabuat boru adalah pesta perkawinan adat dalam masyarakat Angkola.

(3)

Dalihan na tolu adalah sistem kekerabatan untuk tiga unsur yang terdapat dalam
masyarakat Angkola, yakni mora, kahanggi, dan anak boru.

(4)

Mora adalah kelompok pemberi anak gadis (boru) untuk dipersunting menjadi
isteri oleh anak boru.

(5)

Kahanggi adalah satu kelompok kerabat satu marga.

(6)

Anak boru adalah kelompok kerabat yang mengambil isteri dari pihak mora.

(7)

Pisang rahut, termasuk dalam kelompok anak boru.

(8)

Suhut, adalah orang yang mengadakan pesta atau hajatan. (Nasution: 2012).

(9)

Ompu ni kotuk adalah orang yang dituakan dalam keluarga suhut, termasuk
kelompok kahanggi, dianggap bijaksana dan cerdas, perannya adalah sebagai
penutup hata (kata-kata) dalam markobar mewakili pihak dalihan na tolu.

(10)

Hatobangon adalah orang yang dituakan yang ada di suatu desa yang mewakili
kelompok marga.

(11)

Harajaon adalah raja adat setempat di suatu desa.

(12)

Raja Panusunan Bulung adalah orang yang menjadi pemimpin, serta yang
berkuasa menurut adat di suatu wilayah. (Siregar: 1996)

(13)

Orang kaya adalah moderator atau juru bicara dalam acara adat.

(14)

Boru adalah anak perempuan, dalam hal ini disebut juga pengantin wanita.

(15)

Bayo adalah anak laki-laki, dalam hal ini disebut juga pengantin lelaki.

(16)

Horja adalah pesta perkawinan adat.

(17)

Horja siriaon adalah pesta suka cita, pesta yang menggembirakan, seperti pesta
perkawinan.

(18)

Horja godang adalah pesta besar, ditandai dengan memotong hewan kerbau
sebagai pangupa.

(19)

Markobar adalah memberikan/menyampaikan kata-kata, dalam hal ini
memberikan kata-kata nasihat kepada pengantin.

(20)

Mangupa adalah memberikan sajian yang mengandung harapan kepada
pengantin.

(21)

Pangupa (upa-upa) adalah makanan untuk mangupa.

(22)

Tondi dohot badan adalah jiwa dan raga.

(23)

Bayo pangoli adalah lelaki yang menikahi, dalam hal ini pengantin lelaki.

(24)

Boru na ni oli adalah wanita yang dinikahi, dalam hal ini pengantin wanita.

(25)

Dipasahat adalah diserahkan, maksudnya pengantin wanita diserahkan kepada
pengantin lelaki.

(26)

Indahan tungkus adalah nasi yang dibungkus khusus secara adat.

(27)

Barang boru adalah barang-barang pengantin wanita yang akan dibawanya ke
rumah suaminya.

2.8 Kerangka Berpikir
Berikut ini dapat dilihat bagan tradisi pasahat boru dalam kajian tradisi lisan
yang digunakan dalam menganalisis tradisi pasahat boru yang disesuaikan dengan
kerangka berpikir peneliti dalam meneliti tradisi lisan pasahat boru.

TRADISI PASAHAT BORU

KONTEKS

TEKS

KOTEKS

MANGUPA

MARKOBAR

SITUASI

SOSIAL

BUDAYA

IDEOLOGI

KEARIFAN LOKAL

Bagan 2. Tradisi Pasahat Boru dalam Kajian Tradisi Lisan.