Hubungan Obesitas Dengan Gangguan Mood Pada Remaja Putri

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Mood
2.1.1. Pengertian Gangguan Mood
Gangguan mood merupakan suatu masalah psikiatri yang muncul dari adanya
gangguan depresi. Depresi adalah suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang
secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimis, dan kesepian.8
Keadaan ini sering disebutkan dengan istilah kesedihan (sadness), murung (blue),
dan kesengsaraan.9 Dalam ketentuan DSM IV gangguan mood adalah depresi
mayor, gangguan distemik, dan gangguan bipolar.10
Gangguan depresi merupakan gangguan mood depresi yang berlangsung
selama sekurang-kurangnya dua minggu. Untuk menegakkan diagnosis memerlukan
empat simptom tambahan, seperti gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan
energi, perasaan tidak berarti, pikiran untuk bunuh diri, dan sulit berkonsentrasi.
Sehingga ia kehilangan minat dan hampir disemua aspek kehidupannya.10
Menurut (DSM IV) , gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Gangguan depresi berat ( Major depressive disorder ).

Kriteria : didapatkan lima atau lebih simptom depresi selama dua minggu.
Kriteria tersebut adalah suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari
yang diakui sendiri oleh subjek ataupun observasi orang lain (pada anakanak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah

terpancing amarahnya), kehilangan minat atau perasaan senang yang
sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas seharihari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada program diet atau

Universitas Sumatera Utara

justru ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau
hipersomnia berkelanjutan, agitasi atau retardasi psikomotorik, letih atau
kehilangan energi, perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang
eksesif, kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun, pikiranpikiran mengenai mati, bunuh diri,

atau usaha

bunuh

diri

yang

muncul


berulang kali, distres dan hendaya yang signifikan secara klinis, tidak
berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.10
2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder)
Gangguan distimik adalah suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada
bukti

suatu

episode

depresi

berat (dahulu disebut depresi

neurosis).

Kriteria DSM IV untuk distemik : perasaan depresi selama beberapa hari,
paling sedikit dua tahun (atau satu tahun pada anak-anak dan remaja);
selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir, yakni : tidak
adanya nafsu makan atau makan berlebihan, imsomnia atau hipersomnia,

lemah atau keletihan, percaya diri rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit
membuat keputusan, perasaan putus asa; selama dua tahun atau lebih
mengalami gangguan, tanpa adanya gejala-gejala selama dua bulan; tidak
ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak
diketemukan; gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung
dari kondisi obat atau medis; signifikansi klinis distress (hendaya) atau
ketidaksempurnaan dalam fungsi.10
3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothynic
disorder).
Kriteria : kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah
episode depresi berat atau lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah

Universitas Sumatera Utara

mengalami) paling tidak satu atau episode hipomania; tidak ada riwayat
episode manik penuh atau episode campuran; gejala-gejala suasana
perasaan bukan karena skizofrenia

atau menjadi gejala yang menutupi


gangguan lain seperti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh
efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum;
distress atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.10
Sedangkan menurut Waslick, depresi pada remaja terbagi 2 tipe yakni tipe
primer dan tipe sekunder. Tipe primer : bila tidak ada gangguan psikiatrik
sebelumnya, dan tipe sekunder : bila gangguan yang sekarang mempunyai
hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan depresi
yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih banyak
keluhan somatik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa,
mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah,
percaya diri yang rendah, dan tidak patuh.8,14-16

2.1.2. Etiologi
Depresi merupakan sekolompok penyakit gangguan mood dengan dasar yang
sama.8 Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap etiologi depresi,
khususnya pada anak dan remaja adalah :
1. Faktor genetik
Meskipun penyebab depresi secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor
genetik mempunyai peran terbesar. Gangguan mood cenderung terdapat
dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orang tuanya

menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila kedua
orang tuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat gangguan mood

Universitas Sumatera Utara

sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali lipat.16 Pada kembar monozigot,
76% akan mengalami gangguan afektif, sedangkan bila kembar dizigot hanya
19%. Bagaimana proses gen diwariskan belum diketahui secara pasti. Bahwa
kembar monozigot tidak 100% menunjukkan gangguan afektif, kemungkinan
ada faktor non-genetik yang turut berperan.17-19
2. Faktor sosial
Dilaporkan bahwa orangtua dengan gangguan afektif cenderung akan selalu
menganiaya atau menelantarkan anaknya dan tidak mengetahui bahwa
anaknya menderita depresi sehingga tidak berusaha untuk mengobatinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan orang tua, jumlah
sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orangtua, perceraian,
fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam terjadinya
gangguan depresi pada anak.10 Ibu yang menderita depresi lebih besar
pengaruhnya


terhadap

kemungkinan

gangguan

psikopatologi

anak

dibandingkan ayah yang mengalami depresi. Pada tahun 1998, Levitan dkk
dan tahun 1999, Weiss dkk melaporkan adanya hubungan yang signifikan
antara riwayat penganiayaan fisik atau seksual dengan depresi, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Diyakini bahwa faktor nongenetik seperti fisik maupun lingkungan merupakan pencetus kemungkinan
terjadinya depresi pada anak dengan riwayat genetik.11,20-22

3. Faktor Biologis lainnya
Dua hipotesis yang menonjol mengenai mekanisme gangguan mood terfokus
pada terganggunya regulator sistem monoamine-neurotransmiter, termasuk
noreepinefrin dan serotonin (5-hidroxytriptamine). Hipotesis lain mengatakan


Universitas Sumatera Utara

bahwa

depresi

yang

terjadi

erat

hubungannnya

dengan

perubahan

keseimbangan adrenergic-asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya

kolinergik, sementara dopamin secara fungsional menurun.23

2.1.3. Epidemiologi
Gangguan afektif kurang umum pada anak prepubertas dari pada remaja. Pada
prepubertas, prevalensi titik gangguan depresi berat berkisar 1,8%-2,5%, gangguan
distimik 2,5% dan gangguan bipolar 0,2%-0,4%. Pada remaja, prevalensi titik
gangguan depresi berat diperkirakan 2,9-4,7%, gangguan distimik 1,6%-8,0%, dan
gangguan bipolar

1%.16 Kejadian pada jenis kelamin, tidak adanya perbedaan

perempuan dan laki-laki pada prepubertas, tapi perempuan lebih sering dibanding
laki-laki pada remaja. Rasio remaja perempuan dibandingkan laki-laki adalah 2:1.13
Kejadian gangguan depresi pada remaja bervariasi tergantung dari kelompok
umur. Kejadian depresi makin meningkat dengan bertambahnya umur anak. Di
Amerika didapatkan gejala depresi pada remaja umur 11-13 tahun (remaja awal)
lebih ringan secara bermakna dibandingkan dengan gejala depresi pada umur 14-16
tahun (remaja menengah) dan 17-18 tahun (remaja akhir). Prevalensi gangguan
depresi pada remaja dengan depresi berat 0,4%-6,4%, gangguan distimik 1,6%-8%
dan gangguan bipolar 1%. Sekitar 40%-70% komorbiditas dengan gangguan jiwa

lain (penyimpangan pemusatan perhatian dan hiperaktif, anxietas, anoreksia
nervosa, problem sekolah). 50% populasi memiliki dua atau lebih dari dua gangguan
jiwa lain.23

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang tampak dipengaruhi oleh usia dan pengalaman psikologis
anak.10 Perbedaan gejala klinis pada anak dan remaja menurut Ryan dkk bahwa
gambaran depresi pada anak dengan keluhan somatik, agitasi psikomotor, cemas
perpisahan, dan fobia, sedangkan pada remaja dengan keluhan anhedonia,
hipersomnia, putus asa, perubahan berat badan, dan penyalahgunaan obat.9,10
Gejala klinis depresi :


Mood dismorfik (labil dan mudah tersinggung). Gejolak mood pada remaja
adalah normal, tetapi ada kondisi depresi menjadi lebih nyata. Mood yang
dismorfik dan sedih lebih sering tampak. Kecenderungan untuk marahmarah dan perubahan mood meningkat.15




Pubertas. Depresi kronis yang dialami sejak masa remaja awal,
kemungkinan akan mengalami kelambatan pubertas, terutama pada
depresi yang disertai dengan kehilangan berat badan dan anoreksia.
Remaja yang mengalami depresi lebih sulit menerima atau memahami
tanda-tanda pubertas yang muncul. Perubahan hormonal yang disertai
stress lingkungan, dapat memicu timbulnya depresi yang dalam dan
kemungkinan munculnya perilaku bunuh diri. Mimpi basah dan mimpi yang
berhubungan

dengan

incest

(hubungan

seksual

dengan


anggota

keluarga), dapat menambah beban rasa bersalah pada remaja yang
depresi. Periode menstruasi pada remaja wanita yang mengalami depresi,
mungkin terlambat, tidak teratur, atau disertai dengan timbulnya rasa sakit
yang hebat dan perasaan tidak nyaman. Mood yang disforik sering tampak
pada periode premenstruasi. Remaja wanita yang mengalami depresi
mungkin merasa murung (feeling blue), sedih (down in the dump),

Universitas Sumatera Utara

menangis tanpa sebab, mejadi sebal hati (sulky and pouty), mengurung
diri di kamar, dan lebih banyak tidur.15


Perkembangan kognitif. Disorganisasi fungsi kognitif pada remaja yang
bersifat sementara, menjadi lebih nyata pada kondisi depresi. Pada
remaja

awal

yang

mengalami

depresi,

terdapat

keterlambatan

perkembangan proses pikir abstrak yang biasanya muncul usia sekitar 12
tahun. Pada remaja yang lebih tua, kemampuan yang baru diperoleh ini
akan menghilang atau menurun. Prestasi sekolah sering terpengaruh bila
seorang remaja biasanya mendapat hasil baik di sekolah, tiba-tiba
prestasinya menurun, depresi harus dipertimbangkan sebagai salah satu
faktor penyebabnya. Membolos, menunda menyelesaikan tugas, perilaku
yang mudah tersinggung di dalam kelas, tidak peduli terhadap hasil yang
dicapai dan masa depan, dapat merupakan gejala awal dari depresi pada
remaja.24,25


Harga diri. Pada remaja, kondisi depresi memperkuat perasaan rendah
diri. Rasa putus asa dan rasa tidak ada yang menolong dirinya makin
merendahkan harga diri. Pada suatu saat remaja depresi mencoba untuk
melawan perasaan rendah dirinya dengan penyangkalan, fantasi, atau
menghindari

kenyataan

realitas

dengan

menggunakan

NAPZA

(Narkotika,Psikotropika,dan Zat Adiktif) lainnya.24,25


Berat badan. Penurunan berat badan yang cepat dapat merupakan
indikasi adanya depresi. Harga diri yang rendah dan kurangnya perhatian
pada perawatan dirinya, atau makan yang berlebihan dapat menyebabkan
obesitas, merupakan tanda dari depresi.

Universitas Sumatera Utara



Perilaku antisosial. Membolos, mencuri, berkelahi, sering mengalami
kecelakaan, yang terjadi terutama pada remaja yang sebelumnya
mempunyai riwayat perilaku yang baik, mungkin merupakan indikasi
adanya depresi.24,25



Penyalahgunaan NAPZA. Kebanyakan remaja yang depresi cenderung
menyalahgunakan

NAPZA,

misalnya

ganja,

obat-obatan

yang

meningkatkan mood (amfetamin), yang menurunkan mood (barbiturat,
tranquilizer, hipnotika), dan alkohol. Akhir-akhir ini banyak digunakan
heroin, kokain dan derivatnya serta halusinogen.24,25


Perilaku sosial. Secara umum remaja yang mengalami depresi tidak
menunjukkan

minat

untuk

berkencan

atau

mengadakan

interaksi

heteroseksual. Namun ada juga remaja yang mengalami depresi menjadi
perilaku berlebihan dalam masalah seksual, atau menjalani pergaulan
bebas, sebagai tindakan defensif untuk melawan depresinya. Beberapa
remaja menginginkan kehamilan sebagai kompensasi terhadap objek
yang hilang atau rasa rendah dirinya. Remaja yang mengalami depresi
ada kemungkinan kawin muda untuk menghindari konflik dalam keluarga.
Seringkali perkawinan ini malah memperkuat depresinya.


Kesehatan fisik. Remaja yang mengalami depresi, tampak pucat, lelah
dan tidak memancarkan kegembiraan dan kebugaran. Seringkali mereka
mempunyai banyak keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit lambung,
kurang nafsu makan, dan kehilangan berat badan tanpa adanya penyebab
organik.

Remaja

yang

mengalami

depresi

biasanya

tidak

mengekspresikan perasaannya secara verbal, namun lebih banyak
keluhan fisik yang diutarakan, sehingga hal ini biasanya merupakan satu-

Universitas Sumatera Utara

satunya kondisi yang membawanya datang ke dokter. Sensitivitas dari
seorang dokter dalam menemukan mood yang disforik ataupun depresi
akan

dapat

mencegah

kemungkinan

terjadinya

bunuh

diri

pada

remaja.24,25


Perilaku bunuh diri. Remaja yang mengalami depresi mempunyai
kerentanan tinggi terhadap bunuh diri. Penelitian di Kentucky (Amerika
Serikat), menyebutkan sekitar 30% dari mahasiswa tingkat persiapan dan
pelajar sekolah menengah atas pernah berpikir serius tentang percobaan
bunuh diri dalam satu tahun terakhir saat diteliti, 19 % mempunyai
rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri, dan 11% telah mencoba
melakukan bunuh diri.24-26

2.1.5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis depresi pada remaja tidak sejelas seperti penyakit lain. Tidak ada tes
khusus yang dapat membantu menentukan bahwa seseorang individu menderita
depresi, dan sangat sedikit yang dapat ditentukan penyebabnya.23 Faktor
neuroendokrin

dapat

mempengaruhi

kejadian

mempengaruhi
depresi,

kejadian

sehingga

depresi,

dapat

sehingga

dilakukan

dapat

deksametason

suppression test (DST) berupa sekresi berlebihan kortisol, kadar hormon
pertumbuhan menurun jika diberi insulin-induced hypoglicemia, kadar tiroksin total
lebih rendah, peningkatan sekresi kortisol pada malam hari.16

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Terapi
Perawatan di rumah sakit perlu dipertimbangkan sesuai dengan indikasi, misalnya
penderita cenderung

mau bunuh diri, atau adanya penyalahgunaan atau

ketergantungan obat.10,15 Pada umumnya, penderita berhasil ditangani dengan rawat
jalan.14
1. Gangguan depresi berat (Major depressive disorder ).
Psikoterapi dan farmakoterapi yang efektif dalam mengobati depresi di masa
kecil dan remaja. Psikoterapi ini terutama penting untuk pasien dengan
diagnosis ganda atau precipitants terkait dengan gangguan keluarga atau
konflik, meskipun anak-anak ini cenderung memiliki penyakit refraktori. Terapi
perilaku-kognitif (12-16 minggu) efektif sekitar 40%-50% kasus depresi
remaja. Kombinasi terapi dengan hasil terapi fluoxetine dan kognitif-perilaku
pada perbaikan klinis yang signifikan dalam 71% pada remaja. Tingkat
perbaikan melebihi dari pendekatan lain, seperti pengobatan dengan
fluoxetine tunggal (61%) atau terapi perilaku-kognitif tunggal (43%).27-29
Kurangnya effektivitas dan efek samping yang buruk dari tricyclic
antidepressants (TCAs), membuat selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRI)

sebagai

antidepresan

yang

utama

digunakan

untuk

terapi

farmakologis. Hanya 1 dari 12 RCT, yang menunjukkan keberhasilan TCA
untuk pengobatan anti depresi.30,31
Sekitar 70% kasus, penggunaan SSRI mengurangi gejala depresi.
Pada tahun 2004, The U.S Food and Drug Administration (FDA) diarahkan
perusahaan farmasi untuk menerangkan tentang peningkatan risiko berpikir
bunuh diri dan perilaku pada anak dan remaja dengan gangguan depresi
mayor menjalani pengobatan dengan antidepresan. FDA tidak melarang

Universitas Sumatera Utara

penggunaan antidepresan pada anak dan remaja, tetapi harus adanya
pengawasan oleh dokter dan keluarga pada remaja yang mengkonsumsi obat
antidepresan tersebut untuk mengurangi gejala depresi atau tidak adanya
perubahan

dalam

psikoterapi

perilaku,

terutama

pada

fase

awal

pengobatan.30,31
Pencegahan adalah awal dalam penatalaksanaan depresi. Gangguan
mood (depresi dan gangguan bipolar) berhubungan dengan penyalahgunaan
obat . Dokter anak harus memberitahu kepada -keluarga tentang hubungan
antara gangguan mood dengan penyalahgunaan obat dan tampilan remaja
yang memiliki satu atau lebih episode depresi untuk penyalahgunaan obat
pada setiap kunjungan.bukti menunjukkan bahwa keluarga adalah awal untuk
intervensi sebagai pencegahan timbulnya depresi jika ada faktor keturunan
dari orang tua. Dokter anak secara rutin harus melihat tampilan ibu – ibu yang
mengalami depresi peripartum.32 Ketika dokter anak mengidentifikasi depresi
pada orangtua atau ada riwayat keluarga yang mengalami depresi pada salah
satu saudara, maka mereka harus pula diintervensi untuk pencegahan pada
anak - anaknya33-35
2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder)
Farmakoterapi dengan antidepresan berguna dalam pengobatan pasien
gangguan distimik. Antidepresan sangat membantu mengurangi gejala
depresi yang vegetative. yaitu apabila gejala gangguan distemik berhubungan
dengan

gejala

seperti

anoreksia,

gangguan

somatis,

gangguan

penyalahgunaan obat, dan penyakit fisik lain. Kondisi ini memerlukan
intervensi. gabungan yang dinamis antara psikoterapi dan farmakoterapi.

Universitas Sumatera Utara

3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik
Psikoterapi

lebih

diperlukan

pada

gangguan

bipolar

dibandingkan

farmakoterapi sebagai terapi kedua. Pada dua penelitian mengatakan
pemberian litium karbonat efektif sebagai pengobatan gangguan bipolar dan
manik. Dosis awal yang diberikan secara oral 1,0-1,2 mEq/L, dan dilanjutkan
dosis pemeliharaan 0,5-0,8 mEq/L. Sebelum diberikan terapi ini diwajibkan
pemeriksaan fungsi ginjal dan kadar tiroid dalam darah. Asam valproat (anti
epilepsi) juga dapat digunakan sebagai pengobatan gangguan bipolar.
Kebanyakan dokter anak menggunakan asam valproat sebagai pengobatan
farmakoterapi pada pasien gangguan bipolar, walaupun obat ini berpotensi
berbahaya bagi fungsi. sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pemberian obat asam valproat.35-37
Jika gejala awal onsetnya terjadi lebih dini pengobatan sering gagal
Konsensus mengatakan jika deteksi dini gangguan bipolar awal terlambat
terutama jika sudah terjadi fase bipolar prodromal maka pengelolaan jangka
panjang diperlukan. Sebagai dokter anak harus hati-hati memantau
perkembangan perilaku anak yang memiliki riwayat keluarga yang mengalami
gangguan bipolar. Gangguan bipolar ini merupakan garis bilineal dalam
keluarga yang sangat mungkin menunjukkan gejala awal gangguan.35-37

2.1.7. Prognosis
Jika depresi berat gagal ditatalaksana dalam waktu 7-12 bulan akan terjadi atau
berbakat recurrent atau menjadi episode depresi. Usaha bunuh diri (suicide attempt)
dan bunuh diri (suicide) merupakan komplikasi yang sering timbul.14,38-39 Semakin
muda usia mulainya depresi, semakin jelek prognosisnya, namun erat hubungannya

Universitas Sumatera Utara

dengan faktor genetik.12

Anak yang mengalami depresi berat cenderung untuk

menderita depresi berat berulang dan gangguan bipolar.4 Kebanyakan yang sembuh
dalam beberapa bulan, kembali relaps 1-2 tahun kemudian.39

2.2. Obesitas
2.2.1. Defenisi Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.3
Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan
pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorium pada umumnya
digunakan:
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan disebut obesitas bila BB >
120% BB standar.4
b. Pengukuran berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB >
persentil ke 95 atau > 120% 40
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK).
Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85.40
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri dsb. yang tidak
digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode yang paling akurat,
tetapi tidak praktis untuk dilapangan.4
e. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator obesitas.40

2.2.2. Perjalanan Perkembangan Obesitas
Menurut Dietz terdapat 3 periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam
kaitannya dengan terjadinya obesitas, yaitu: periode pranatal, terutama trimester 3
kehamilan, periode adiposity rebound pada usia 6 – 7 tahun

dan periode

adolescence.40

Universitas Sumatera Utara

Pada bayi dan anak yang obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk
2 dekade berikutnya dan 80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang
obesitas.41 Menurut Taitz, 50% remaja yang obesitas sudah mengalami obesitas
sejak bayi.4 Sedang penelitian di Jepang menunjukkan 1/3 dari anak obesitas
tumbuh menjadi obesitas dimasa dewasa dan risiko obesitas ini diperkirakan sangat
tinggi, dengan OR 2,0 – 6,7.42
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa obesitas pada usia 1-2 tahun
dengan orang tua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas
pada usia 10-14 tahun dengan salah satu orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi
obesitas dewasa.43
2.2.3.

Faktor-faktor Penyebab Obesitas

Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan adanya keseimbangan
energi positif, sebagai akibat ketidak seimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk
jaringan lemak.4 Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan
oleh faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas
sekunder) akibat kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar
10%.44
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu
penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh
karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas,
gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian
makanan padat terlalu dini pada bayi.4


Faktor Genetik .
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua
orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua
obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila

kedua orang tua tidak

obesitas, prevalensi menjadi 14%.44 Hipotesis Barker menyatakan bahwa
perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan
organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang
dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan
merupakan

predisposisi

timbulnya

berbagai

penyakit

dikemudian

hari.

Universitas Sumatera Utara

Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting
metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol
nafsu makan yang jelek.45 Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas
ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.45


Faktor lingkungan.
1. Aktifitas fisik.
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu
sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju
mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian
obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar ≥ 5 kg. 46 Penelitian di Jepang menunjukkan
risiko obesitas yang rendah (OR:0,48) pada kelompok yang mempunyai
kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan
berat badan dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah
raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat badan yang
signifikan.42
Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV ≥ 5 jam perhari mempunyai
risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton TV
≤ 2 jam setiap harinya.46
2. Faktor nutrisi
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak
tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat
badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat
makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta
kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.44
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan
asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar

Universitas Sumatera Utara

dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak dengan OR 1.7. Penelitian
lain menunjukkan peningkatan konsumsi
daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali.42 Keadaan ini
disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih
besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis
yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein
dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat
sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi
yang berlebihan.46 Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga
menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas
penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme
asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan
dapat dipastikan akan dioksidasi; sedang karbohidrat mempunyai kapasitas
penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan
oksidasi karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan
oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila
cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka
kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk
lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas.
Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga
sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.3
3. Faktor sosial ekonomi.
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta
peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan
yang dikonsumsi.44 Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir
terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya
aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak
memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang
bermain komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan
aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang
mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.47
Studi yang dipimpin Dr.Gregory Simon, dari Group Health Cooperative , di Seattle,
sebuah lembaga perencana kesehatan nonprofit yang berada di Pacific Northwest
ini meneliti lebih dari 9 ribu orang dewasa. Hasilnya sekitar 25 persen orang gemuk
lebih sering mengalami rasa cemas yang berlebihan dan mood (suasana hati) yang
tak stabil, dibanding orang dengan berat badan normal.48

Universitas Sumatera Utara

2.3. Remaja
2.3.1. Definisi Remaja
Menurut Departemen Kesehatan RI definisi remaja yang digunakan adalah mereka
yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sedangkan menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) batasan usia remaja
adalah 10 sampai 21 tahun. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia remaja
dibedakan dalam masa remaja awal 10 sampai 13 tahun, masa remaja tengah 14
sampai 16 tahun, dan remaja akhir 17 sampai 19 tahun.49
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju
dewasa. Pada masa ini banyak terjadi perubahan baik dalam hal fisik maupun psikis.
Perubahan-perubahan tersebut dapat mengganggu batin remaja. Kondisi ini
menyebabkan remaja dalam kondisi rawan dalam menjalani proses pertumbuhan
dan perkembangannya, Kondisi ini juga diperberat dengan adanya globalisasi yang
ditandai dengan semakin derasnya arus informasi.49

2.3.2. Perkembangan jiwa pada remaja
2.3.2.1. Perkembangan Psikososial
Pencarian identitas diri mulai dirintis seseorang pada usia yang sangat muda, yaitu
sekitar usia remaja muda. Pencarian identitas diri berarti pencarian jati diri, di mana
remaja ingin tahu kedudukan dan perannya dalam lingkungannya, disamping ingin
tahu juga tenatang dirinya sendiri yang menyangkut soal apa dan siapa dia, semua
yang berhubungan dengan “aku” ingin diselidiki dan dikenali.50,51
Psikososial merupakan manisfestasi perubahan faktor-faktor emosi, sosial
dan intelektual. Akibat perubahan tersebut, maka karakteristik psikososial remaja
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :1, 50,51

Universitas Sumatera Utara

1.

Remaja awal (10-14 tahun)

a. Cemas terhadap penampilan badanya yang berdampak pada meningkatnya
kesadaran diri (self consciousness).
b. Perubahan hormonalnya mengakibatkan ia menjadi individu yang mudah
berubah-ubah emosinya seperti mudah marah, mudah tersinggung atau
menjadi agresif.
c. Menyatakan kebebasan dalam bereksperimen baik cara berpakaian,
berdandan trendy dan lain-lain.
d. Perilaku

memberontak

membuat

remaja

sering

konflik

dengan

lingkungannya.
e. Kawan lebih penting sehingga remaja berusaha menyesuaikan diri dengan
mode teman sebayanya.
f.

Perasaan

memiliki

terhadap

teman

sebaya

masuk

dalam

suatu

gang/kelompok sahabat, remaja pada masa itu tidak mau berbeda dengan
teman sebayanya.
g. Sangat

menuntut

keadilan

dari

sisi

pandangannya

sendiri

dengan

membandingkan segala sesuatunya sebagai buruk atau hitam atau baik /
putih sehingga ia sulit bertoleransi dan sullit berkompromi.
2. Remaja Pertengahan (14 – 17 tahun)
a.

Lebih mampu untuk berkompromi, kelihatan lebih tenang, sabar dan lebih
toleran untuk menerima pendapat orang lain.

b.

Belajar berpikir independent dan memutuskan sendiri sehingga menolak
campur tangan orang lain termasuk orang tua.

c.

Bereksperimen untuk mendapatkan citra diri yang dirasanya nyaman
sehingga pakaian, gaya rambut, sikap dan pendapatnya berubah – ubah.

Universitas Sumatera Utara

d.

Merasa perlu mengumpulkan pengalaman baru walaupun berisiko sehingga
mulai bereksperimen dengan merokok, alkohol, seks bebas dan mungkin
NAPZA.

e.

Tidak lagi berfokus pada diri sendiri dapat lebih bersosialisasi dan tidak lagi
pemalu.

f.

Membangun nilai, norma dan moralitas mulai mempertanyakan kebenaran
ide, norma yang dianut oleh keluarga.

g.

Mulai membutuhkan lebih banyak teman dan ada rasa solidaritas sehingga
ingin banyak menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman – teman.

h.

Mulai membina hubungan dengan lawan jenis sehingga mulai berpacaran
tetapi belum kepada hubungan yang serius serius.

i.

Mampu berpikir secara abstrak mulai berhipotesa berdampak mulai peduli
yang sebelumnya tidak terkesan dan ingin mendiskusikan atau berdebat.

j.

Ketrampilan intelektual khusus berdampak adanya mata pelajaran sekolah
yang mulai menonjol sehingga perlu mediasi.

k.

Minat yang besar dalam seni, olah raga, berorganisasi, dll berdampak
mengabaikan pekerjaan sekolah.

l.

Senang berpetualang sehingga ingin mandiri, tapi belum memikirkan
keselamatan diri yang dianjurkan.

3. Remaja Akhir (17 – 19 tahun)
a. Sangat Idealis berdampak cenderung menggeluti masalah sosial politik
termasuk agama.
b. Terlibat dalam kehidupan, pekerjaan dan hubungan di luar keluarga
berdampak mulai belajar mengatasi stres yang dihadapi dan sulit diajak
berkumpul dengan keluarga.

Universitas Sumatera Utara

c. Belajar mencapai kemandirian secara finansial maupun emosional sehingga
mulai merasa cemas akan ketidak pastian masa depan yag dapat merusak
keyakinan diri.
d. Lebih mampu membuat hubungan yang stabil dengan lawan jenis sehingga
mulai mempunyai pasangan yang lebih serius dan banyak menghabiskan
waktunya untuk membina hubungan tersebut.
e. Merasa sebagai orang dewasa sehingga cenderung mengemukakan
pengalamannya sendiri yang berbeda dengan pendapat orang tuanya.
f. Hampir siap menjadi orang dewasa yang mandiri dan mulai nampak ingin
meninggalkan rumah untuk hidup sendiri.

2.3.2.2

Emosi

Emosi adalah reaksi sesaat yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku
sedangkan perasaan adalah sesuatu yang sifatnya lebih menetap. Pada masa
remaja kepekaan emosi biasanya meningkat, sehingga rangsangan sedikit saja
sudah menimbulkan luapan emosi yang besar, misalnya menjadi mudah marah atau
mudah menangis. Masa remaja didominasi oleh peran emosi, hal ini dapat dilihat
dari seleranya tentang lagu, buku bacaan, perilakunya pada saat mengendarai
kendaraan. Kepekaan emosi remaja yang meningkat biasanya akan mempengaruhi
perilakunya, misalnya putus pacar, maka frustasinya akan dibawa ke sekolah, ke
rumah, di jalan dan bahkan dapat mempengaruhi prestasi akademiknya.1
Kepekaan emosi yang meningkat dapat berbentuk : menyendiri, mudah
marah, gelisah dengan bentuk perilaku seperti menggigit kuku, menggaruk – garuk
kepala, merusak benda – benda, mencoret – coret, suka berkelahi atau bahkan
mengalami gangguan mental emosional (depresi), dan mengkonsumsi NAPZA.1,52

Universitas Sumatera Utara

Secara emosional remaja ingin tidak terikat lagi dengan orang tuanya,
sekalipun tetap masih ingin dikasihi. Remaja ingin diperlakukan seperti orang
dewasa, serta merasa senang bila dihargai. Keinginan remaja untuk diakui sebagai
orang dewasa menimbulkan konflik dengan lingkungan. Konflik tersebut dapat
menyebabkan remaja mengalami kecemasan dan ketegangan.1,52

2.3.2.3.

Perkembangan Kecerdasan

Pada masa remaja, perkembangan intelegensia masih berlangsung sampai usia 21
tahun. Dengan berkembangnya intelegensia remaja akan lebih suka belajar sesuatu
yang mengandung logika untuk memahami hubungan antara hal satu dengan yang
lainnya. Imajinasi remaja juga menunjukkan kemajuan, hal ini ditandai dengan
banyak prestasi yang dapat dicapai remaja, misalnya mengarang lagu, membuat
karangan

ilmiah,

membuat

sajak,

dan

prestasi



prestasi

lainnya

yang

menggambarkan kemampuan intelegensia dan imajinasi remaja.50,51
Dengan berkembangnya fungsi intelektual akan terjadi kemajuan – kemajuan
seperti mampu mengadakan generalisasi, mampu melihat relasi antara hal yang
satu dengan yang lain, mampu mengadakan pembicaraan yang bersifat ilmiah,
senang mengkritik, dan mampu berpikir secara abstrak.52

2.3.2.4.

Skrining Resiko Gangguan Mood

Mood Disorder Questionnaire (MDQ)

ini merupakan instrumen skrining

terbaru untuk gangguan bipolar. kuesioner ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi
dan mampu mengidentifikasi tujuh dari sepuluh orang yang memiliki gangguan
bipolar. kuesioner ini dikembangkan oleh tim pskiater dan ilmu perilaku dari
University of Texas Medical Branch yang telah melakukan penelitian dalam menilai
sensitivitas dan spesifisitas Mood Disorder Quisioner sebagai instrumen scrining

Universitas Sumatera Utara

untuk gangguan spektrum bipolar dalam populasi umum sampel. Kuesioner ini terdiri
dari 13 pertanyaan yang harus dijawab dengan ya atau tidak yang disusun sesuai
dengan kriteria DSM IV dan pengalaman klinis. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Robert dkk dari Uneversity of Texas Medical Branch dengan membandingkan
kuisoner Mood Disorder Questioner dengan SCID sebagai gold standard didapatkan
sensitivitasnya 28.1% dan spesifitasnya adalah 97.2%.

.
2.4. Kerangka Konseptual

GANGGUAN
MOOD

OBESITAS

GANGGUAN DEPRESI
BERAT

Umur
Sosial ekonomi
Suku

GANGGUAN
DISTEMIK

GANGGUAN AFEKTIF
BIPOLAR

Universitas Sumatera Utara