Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PPU-9/2011
BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN E. Pengertian Outsourcing Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan,
melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.
Outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Business Process
Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar
oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan. BPR adalah pendekatan baru dalam managemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan pendekatan lama yaitu
continuous improvement process . BPR dilakukan untuk memberikan respons atas
perkembangan ekonomi secara global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat sehingga berkembang persaingan yang bersifat global dan berlangsung sangat ketat. Menurut Candra Soewondo Outsourcing adalah Pendelegasian operasional dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (penyedia jasa)
9 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm 10 10 Sonhaji, Aspek Hukum Hubungan Kerja Melalui Mekanisme Outsourcing berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan , Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Majalah Masalah-Masalah Hukum Vol. 36 No. 2 April-Juni 2007, hlm. 112 11 Candra Soewondo, “Outsourcing Implementasinya Di Indonesia”, (Jakarta: Elok Media Kompetindo, 2003) hlm-0212 Sedangan menurut Greaver dalam Indrajit Outsourcing adalah tindakan mengalihkan atau menyerahkan aktivitas-aktivitas internal yang terjadi berulang kali dan hak-hak pembuatan keputusan yang dimiliki suatu perusahaan kepada
Di dalam undang-undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah
outsorcing . Tetapi pengertian outsourcing dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 64
UU Ketenagakerjaan, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran tertentu.
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana perusahaan pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk menyediakan tenaga kerja 12 Indrajit RE dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: Grasindo, 2003) hlm 03. 13 H.Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja,
Internet : Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005, hlm.80 14 I Wayan Nedeng, Lokakarya Dua Hari: Outsourcing Dan PKWT, (Jakarta: Lembangtek, 2003), hlm. 2 yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa.
Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja.
Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lain dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
1. Menyerahkan dalam bentuk pekerjaan.
2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
Perjanjian Outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Di bidang ketenagakerjaan, outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada dua perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan yang kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi
outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu.
Bentuk dari perjanjian outsourcing adalah tertulis. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada yang berbentuk lisan, apabila terjadi perselisihan, serta sebagai syarat untuk adanya perjanjian outsourcing.
Berdasarkan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 220/Men/2004 Tahun 2004 tentang bentuk dan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kep. 220/Men/X/20040). Bentuk dan isi perjanjian outsourcing adalah sebagai berikut :
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang dilaksanakan melalui perjanjian yang didibuat secara tertulis,
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut ; a.
Di lakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan, b.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak dari pemberi pekerjaan untuk memberikan penjelasan tentang tata cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, c.
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan, d.
Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya, e.
Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan pemborongan pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan, f. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan maka perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan serta melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat Pasal 6 ayat (2) Kep. 220/Men/2004.
3. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum kecuali (Pasal 3 Kep/Men/X/2004) yaitu : a.
Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang ; b.
Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.
4. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana yang diamksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.
5. Dalam suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahka kepada perusahaan pemborong pekejaan yang budan berbadan hukum (Pasal 4 ayat (1) Kep.220/Men/X/2004.
6. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud diatas bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang budan berbada hukum tersebut dengan pekerjaanya/buruhnya dan tanggung jawab tersebut harus dituangkan dalam perjanjian pemboronga pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pemborong pekerjaan.
7. Hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam pelaksanaan suatu pemborongan pekerjaan diatur dalam suatu perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan pemborongan pekerjaan dan pekerja yang dipekerjakanya yang dapat dituangkan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu selanjutnya disebut (PKWTT) dan PKWT tertentu apabila telah memenuhi persyaratan perjanjian karja waktu tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. tahun 2003 tentang Penyediaan Jasa Pekerja.
F. Pengaturan Outsourcing
UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi UU Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.
Pelaksanaan outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerja
outsourcing , dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Oleh karena itu perlu
adanya suatu peraturan agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing.
Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek ketenagakerjaan, maka UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan outsorcing di Indonesia yang ditemukan dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66.
15 Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses
dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan
Permasalahannya, 12 April 2006.1. Dasar pelaksanaan Outsourcing
Prinsip dasar pelaksanaan outsourcing adalah terjadinya suatu kesepakatan kerjasama antara perusahaan pengguna jasa tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dalam bentuk perjanjian pemborongan pekerjaan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja, dimana perusahaan pengguna tenaga kerja akan membayar suatu jumlah tertentu sesuai kesepakatan atas hasil pekerjaan dari tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja.
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 64, yang berbunyi sebagai berikut :”Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Dengan demikian outsorcing dapat terlaksana bila sudah ditandatangani suatu perjanjian antara pengguna jasa tenaga kerja dan penyedia jasa tenaga kerja yaitu perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan jasa tenaga kerja.
Pengertian perjanjian pemborongan menurut Pasal 1601 b Kitab Undang- Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut (KUH Perdata) yang menyebut perjanjian pemborongan dengan pemborongan pekerjaan yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Definisi tersebut kurang tepat karena menganggap perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak karena pemborong hanya mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hanya memiliki hak saja.
F.X. Djumialdji, memberikan suatu definisi yaitu: “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan”.
Perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja harus dalam bentuk tertulis, sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) sebagai berikut: “Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”.
2. Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pihak lain.
Pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan melakukan outsourcing adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keunggulan kompetitif perusahaan agar dapat mempertahankan hidup dan berkembang. Mempertahankan hidup berarti tetap dapat mempertahankan pangsa pasar, sementara berkembang berarti dapat meningkatkan pangsa pasar, dengan tujuan strategis ialah bahwa dengan melakukan outsourcing, perusahaan ingin meningkatkan kemampuannya berkompetisi, atau ingin meningkatkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kompetisi antara perusahaan umumnya menyangkut tiga hal, yaitu harga produk, mutu produk dan layanan. Oleh karena itu, pekerjaan harus diserahkan pada pihak yang lebih profesional dan lebih berpengalaman
16 Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 34 daripada perusahaan sendiri dalam melaksanakan jenis pekerjaan yang diserahkan, tidak sekedar pihak ketiga saja.
Namun demikian tidak semua pekerjaan dapat dialihkan dengan cara
outsourcing , hanya pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang
dapat dialihkan kepada perusahaan lain. Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya melalui : a.
Pemborongan pekerjaan; atau b. Penyediaan jasa pekerja.
Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan: “Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”.
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2) yaitu:
a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c)
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Berdasarkan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, outsourcing dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core bussiness) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
catering , usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha penunjang
di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain diatur juga dalam Pasal 6 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain yang bunyinya sebagai berikut :
1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat : a.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan; b.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c.
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya apabila pekerjaan yang diborong tersebut apabila tidak dilaksanakan, maka kegiatan utama tetap berjalan sebagaimana mestinya.
2. Perusahaan pemberi pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.
3. Perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan menunjang serta melaporkan kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
3. Syarat-syarat Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Outsourcing.
UU Ketenagakerjaan mengatur syarat-syarat perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja agar kepentingan para pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, baik pihak-pihak yang berhubungan maupun terhadap pekerja/buruh yang dipekerjakan tidak ada yang dirugikan terutama tenaga kerja
outsourcing yang biasanya berada pada posisi yang lemah. Syarat-syarat tersebut
dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan disebutkan 1.
Perusahaan penyedia tenaga kerja haus berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat (3)) 2. Perusahaan penyedia tenaga kerja harus mampu memberikan perlindungan upah dan kesejahteraan, memenuhi syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pengguna tenaga kerja atau peraturan-perundang- undangan yang berlaku. (Pasal 65 ayat (4)), dengan kata lain perusahaan penyedia tenaga kerja minimal harus memiliki Peraturan Perusahaan yang telah disetujui oleh Departemen Tenaga Kerja.
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan antara lain : 1. Ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
2. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana terdapat dalam
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
3. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
4. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
5. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Apabila ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Syarat-syarat bagi perusahaan pelaksana pekerjaan juga terdapat pada
Pasal 3, Pasal 5 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/2004: Pasal 3 ayat (2) sampai dengan ayat (5) : 1)
Penyerahan sebagian pelaksana pekerjaan kepada pemborong harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum.
2) Ketentuan dalam ayat (1) dikecualikan bagi : a.
Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak dibidang pengadaan barang; b.
Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang memperkerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. 3)
Apabila pemborong yang akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. 4)
Apabila perusahaan pemborong yang bukan berbadan hukum dimaksud ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh, maka perusahaan yang berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi kewajiban tersebut.
Pasal 4 berbunyi : 1)
Dalam hal disuatu daerah tidak terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum, atau terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong yang tidak berbadan hukum. 2)
Perusahaan penerima pemborongan yang tidak berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja.
3) Tanggung jawab dimaksud ayat (2) harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.
Kepmenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004 Pasal 2 disebutkan untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, perusahaan wajib memiliki izin operasional dari instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk mendapatkan ijin operasional, dengan menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
a) Copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau koperasi; b)
Copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh; c)
Copy SIUP;
d) Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten harus sudah menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan diatas dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diterima. Izin operasional bagi perusahaan penyedia tenaga kerja berlaku diseluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja.
Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, dalam dunia
outsourcing , baik dalam pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa
tenaga kerja, perusahaan diwajibkan menjamin perlindungan/jaminan terhadap hak-hak pekerja/buruh.perlindungan tersebut dimulai dengan adanya kewajiban, bahwa perusahaan harus berbadan hukum. Bila kita berbicara masalah perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja, maka hal ini merupakan masalah yang sangat komplek karena akan berkaitan dengan kesehatan kerja, keselamatan kerja, upah, kesejahteraan, dan Jamsostek.
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
dan keselamatan kerja.
3. Perlindungan teknis, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan
G. Alasan Penggunaan Outsourcing di Jasa Perbankan
Hubungan ketenagakerjaan dengan sistem outsourching tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti perbankan. Salah satu alasan perusahaan melakukan praktek kerja outsourching yaitu, untuk efektifitas dan efisiensi biaya perusahaan.
Dengan diberlakukannya sistem kerja outsourching, berarti perusahaan bisa melakukan efisiensi biaya dengan mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan jumlah seminimal mungkin. Hal ini dilakukan agar perusahaan bisa lebih fokus 17 Abdul khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya
Bakti 2003), hlm. 61-62 memberikan kontribusi pada bagian inti perusahaan atau dikenal dengan istilah
core business . Dengan berkembangnya zaman, tujuan dari outsourcing tidak
lagi hanya untuk membagi risiko ketenagakerjaan saja akan tetapi berubah menjadi lebih kompleks lagi.
Namun praktek kerja outsourching yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah mulai keluar dari pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak pekerja
outsourching yang dirugikan dengan adanya praktek kerja ini. Meskipun semua
aturan tentang outsourching sudah dijelaskan di dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi aturan ini masih sering dilanggar oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan terjadinya protes dari para pekerja outsourching yang akhirnya membuat MK melakukan beberapa kali revisi undang-undang demi melindungi hak-hak pekerja.
Bank Indonesia selanjutnya disebut (BI) tetap membolehkan perbankan menggunakan jasa outsourcing, termasuk debt collector. Alasannya, penyusunan Peraturan Bank Indonesia selanjutnya disebut (PBI) ini mengacu pada UU Ketenagakerjaan. BI berharap, regulasi ini menghapus wilayah abu-abu penggunaan tenaga outsourcing di perbankan
Michael F. Corbett, pendiri the outsourcing institute, mengemukakan bahwa outsourcing telah menjadi alat manajemen dimana outsourcing bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga untuk mendukung tujuan dan sasaran bisnis.
18 Basel Committee on Banking..hlm 5
Cobbet kemudian mengindentifikasi alasan penggunaan outsourcing menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Lima alasan strategis (kesatuan jangka panjang) a.
Meningkatkan fokus bisnis perusahaan b.
Mendapatkan akses pada kemampuan kelas dunia c.
Mempercepat keuntungan dari teknologi baru (re-enginering) d.
Membagi risiko usaha e. Menggunakan sumber-sumber yang ada untuk aktivitas yang lebih strategis
2. Lima taktikal (keuntungan jangka pendek) a.
Mengurangi dan mengendalikan biaya-biaya operasional b. Membuat tersedianya dana-dana modal c. Menghasilkan pemasukan dana tunai d. Sumber daya tidak perlu tersedia secara internal e. Pemberdayaan fungsi yang sulit diatur di luar kendali 3. Lima alasan transformasional (perubahan) a.
Membawa solusi baru kepada nasabah lebih cepat b. Reaksi untuk mempersingkat daur hidup produk c. Mengindentifikasikan ulang hubungan dengan penyedia jasa dan rekan 19 bisnis 20 Chandra Suwondo, Op.Cit., hlm 11-12 Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing,
( Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm 4-5 21 22 Ibid, hlm 5 Ibid, hlm 6 d.
Mengungguli pesaing e. Masuk ke pasar-pasar yang baru dengan risiko kecil
Permasalahan praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia tentunya berbeda-beda antarperusahaan. Ada perusahaan yang menjalankan sesuai dengan ketentuan dan ada pula yang mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Secara umum, permasalahan terjadi karena perusahaan berusaha untuk membuat/mempertahankan status buruh menjadi kontrak PKWT dan outsourcing dengan memanfaatkan kelemahan undang-undang, sementara buruh berusaha untuk menjadi buruh tetap PKWTT dan melihat usaha perusahaan sebagai pelanggaran ketentuan undang-undang.
Alasan perusahaan berusaha menghindari status hubungan kerja tetap antara lain adalah agar:
1. Perusahaan dapat lebih mudah menghentikan karyawan yang dianggap tidak produktif;
2. Perusahaan tidak perlu membayar biaya pesangon ketika menghentikan karyawan;
3. Perusahaan dapat lebih efisien mengelola karyawannya karena tidak perlu mengurusi berbagai tunjangan karyawan seperti tunjangan kesehatan, THR, 4. Di tengah gejolak ekonomi & politik yang tidak stabil, sangat mudah dan murah jika sewaktu-waktu perlu diperlukan perampingan karyawan
23 Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada
Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013
Beberapa permasalahan biasanya yang terjadi dimana buruh menuding perusahaan telah melanggar ketentuan adalah sebagai berikut:
1. Jenis pekerjaan tertentu yang bisa menggunakan sistem kerja kontrak
(PKWT) Jenis pekerjaan yang bisa menggunakan PKWT sesuai ketentuan adalah pekerjaan yang sekali selesai, yang bersifat sementara, atau musiman. Contoh pekerjaan ini adalah proyek konstruksi dimana pekerjaan berakhir setelah proyek jadi. Dalam prakteknya, banyak perusahaan yang menggunakan PKWT juga untuk pekerjaan yang bersifat rutin/tetap.
2. Perpanjangan jangka waktu PKWT. Ketentuan menyebutkan bahwa jangka waktu PKWT paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Atau dapat juga dilakukan pembaharuan kontrak 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam prakteknya, perusahaan melakukan perpanjangan masa kontrak lebih dari dua kali dan bahkan belasan kali tetapi status karyawan tetap PKWT. Selain itu, perusahaan juga memanfaatkan ketentuan jeda waktu 30 (tiga puluh) hari untuk bisa melakukan pembaharuan kontrak sehingga masa kerja karyawan dimulai kembali dari nol (tidak memperhitungkan masa kerja kontrak sebelumnya). Hal-hal ini menjadi sebab terdapat karyawan yang telah bertahun-tahun bekerja di suatu perusahaan tetapi tetap berstatus kontrak.
Berjalannya sistem kerja kontrak dan outsourcing tentunya bukan karena tanpa alasan. Sebagaimana disebutkan di bagian latar belakang, praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing dimulai dengan adanya kebijakan perbaikan iklim investasi. Tujuan awalnya adalah memperbaiki daya saing perusahaan yang tengah dilanda krisis dengan mengurangi cost terkait tenaga kerja.
Dari tujuan awal tersebut, dapat diperkirakan bahwa kebijakan sistem kerja kontrak dan outsourcing akan lebih menguntungkan pihak perusahaan karena itulah tujuan awalnya. Meskipun kemudian muncul pendapat bahwa
outsourcing juga diperlukan untuk melindungi buruh dengan menciptakan
lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, dampak positif bagi perusahaan adalah penurunan biaya, meningkatnya kemampuan bersaing, dan meningkatnya keuntungan perusahaan. Sedangkan dampak bagi buruh sebagian besar (jika tidak
seluruhnya) negatif adalah sebagai berikut: 1.
Tidak ada kepastian pekerjaan Sesuai dengan jenisnya, PKWT (termasuk PKWT yang berada dalam sistem outsourcing) merupakan pekerjaan sementara sehingga buruh hanya dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu saja. Keterbatasan jangka waktu ini menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian bagi buruh karena buruh dapat sewaktu- waktu diberhentikan dan harus kembali mencari pekerjaan. 24
tanggal 18 Februari 2014 25 Tjandraningsih, Indrasari. dkk. 2010. Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung: Laporan Penelitian. AKATIGA-FSPMI-FES
2. Kesejahteraan dan perlindungan kerja kurang Umumnya, ketentuan mengenai upah dan kesejahteraan untuk buruh kontrak PKWT adalah sesuai dengan kontrak yang dibuat, dimana pembuatan kontrak dilakukan dengan posisi buruh yang lebih lemah dibandingkan perusahaan. Oleh karena itu, umumnya upah/tunjangan yang diterima oleh buruh kontrak lebih rendah dari buruh tetap dan buruh outsourcing lebih rendah dari buruh kontrak. Selain itu, perusahaan juga banyak yang tidak mengikutsertakan karyawan kontrak dan outsourcing-nya dalam program perlindungan sosial (jamsostek).
3. Tidak mendapat kompensasi bila di-PHK Buruh kontrak tidak berhak mendapatkan kompensasi jika masa kerja telah berakhir atau mengalami PHK (sebelum masa kontrak habis) kecuali ada perjanjiannya. Hal ini berbeda dengan buruh tetap yang berhak mendapat kompensasi (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak) saat di PHK.
4. Terhambat untuk berserikat Buruh kontrak dan outsourcing umumnya jarang menjadi anggota serikat buruh karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan (karena berstatus outsourcing, takut di PHK, takut tidak diperpanjang kontrak, dilarang perusahaan). Selain itu, hubungan buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyalur dan bukan dengan perusahaan pengguna, sementara serikat buruh basisnya adalah perusahaan dengan siapa buruh membuat perjanjian.
5. Banyaknya biaya dan potongan penghasilan oleh perusahaan outsourcing
Perusahaan outsourcing juga mencari keuntungan dengan perannya sebagai penyalur buruh ke perusahaan. Hal ini biasanya dilakukan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh yang ingin disalurkan dan adanya potongan-potongan penghasilan sehingga penghasilan yang diperoleh buruh
outsourcing menjadi semakin rendah.
6. Terjadi stratifikasi sosial di perusahaan Dengan pemberlakuan outsourcing, di perusahaan akan terdapat 3 (tiga) kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing.
Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan dan membawa efek stratifikasi dan jarak sosial di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing yang berimplikasi terhadap solidaritas dan kesadaran bersama sebagai buruh.
7. Terjadi diskriminasi usia dan status perkawinan Perusahaan cenderung mempekerjakan buruh berusia muda dan untuk perekrutan buruh outsourcing baru mensyaratkan buruh yang berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang dengan alasan produktivitas. Memilih buruh berstatus lajang membawa efek semakin sulitnya buruh yang sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan.
8. Mematikan karir buruh Buruh kontrak dan outsourcing memiliki masa kerja kontrak yang terbatas dan sering berpindah-pindah sehingga masa kerja pun seringkali dimulai lagi dari nol. Hal ini membuat peluang karyawan untuk meningkatkan status dan karir sangat sulit.
H. Outsourcing pada Jasa Perbankan Indonesia
Seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan tingginya tingkat persaingan, mendorong semakin kompleks dan beragamanya kegiatannya usaha bank. Hal ini kemudian menyebabkan bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
Untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan pokoknya tersebut, maka bank melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain.
Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya. Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga.
Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business ) atau kegiatan usaha pendukung usaha bank.
26 diakses tanggal 17 Februari 2014
Kategori penunjang suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call
center , aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative),
penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat inti (core business) seperti, account officer,
analis kredit, customer service, customer relation, teller, pekerjaan pemasaran,
analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching.
Salah satu alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan peraturan ini dilakukan karena pada kenyataannya banyak dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti teller dan customer service.
Alasan perbankan melakukan outsourching karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja dengan hasil yang didapatkannya.
Peraturan PBI yang baru ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melindungi tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu 28 Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada
Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013 29 Ibid.
perbankan. Namun, melalui telaah konsep syariah dalam bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan unsur-unsur (maqashid
syariah) dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan
sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang berasal dari outsourching juga harus diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai
outsourcing memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan.
Demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia
No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember 2011. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Bank Indonesia pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP).
Penerbitan PBI outcourcing pada UU Ketenagakerjaan.
Latar belakang dari terbitnya PBI outcourcing ini sendiri, sebagaimana tercantum dalam bagian konsiderans adalah Bank Indonesia merasa perlu menetapkan pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan outcoursing, mengingat: 30 Bank Indonesia, Ringkasan Eksekutif Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah
Ketidakjelasan Ekonomi Global. Laporan perekonomian Indonesia 2011, hlm 34 31 Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013 32 Bank Indonesia, Op.Cit., Konsiderans
1. Kegiatan usaha bank yang semakin kompleks dan beragam akibat semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan.
2. Diperbolehkannya bank untuk melakukan outcourcing yang tidak lain agar bank dapat lebih focus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundang- undangan yang berlaku.
PBI outcoursing ini memberikan dasar hukum yang tegas bagi bank untuk dapat melakukan outcoursing, sejalan dengan diperbolehkannya suatu perusahaan ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (1) PBI bahwa “Bank dapat melakukan outcoursing kepada perusahaan penyedia jasa”
Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kegiatan outcoursing hanya diperbolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan atau dugaan kata lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan non core.
Di bidang perbankan sendiri, bank kemudian menterjemahkan kegiatan
core dan non core ini dengan persepsi yang berbeda-beda. Melihat hal ini, Bank
Indonesia kemudian merasa perlu untuk memberikan suatu pengaturan khusus bagi perbankan terkait penggunaan tenaga outcoucing agar bank-bank memiliki kesamaan persepsi mengenai pelaksanaan kegiatan outcoucing yang sesuai dengan perbankan. Hal lain yang mendasari penerbitan PBI outcourcing ini ialah, sebagaimana dalam penjelasan umum PBI outcourcing, potensi meningkatnya risiko yang dihadapi bank akibat kegiatan outcourcing. Selain itu, kejelasan atas 33 Indonesia (b), Op. Cit., Pasal 66 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 66 ayat (1) tanggung jawab bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut, serta aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan menajemen risiko dalam kegiatan outcourcing yang diiiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah ini diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan.
PBI outcourcing merupakan PBI yang memberikan landasan pengaturan umum bagi bank yang melakukan outcourcing dan memberikan aturan yang lebih ketat jelas dan tegas mengenai kewajiban bank menerapkan prinsip kehati-hatian. Dan manajemen risiko dalam kegiatan outcourcing. Terkait cukupan dari PBI
outcourcing ini ialah hubungan antara bank dengan perusahaan penyedia jasa. Di
dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) PBI outcourcing, ditegaskan bahwa PBI ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang. PBI ini membagi pengaturan mengenai kegiatan outcourcing dalam perbankan kedalam beberapa bagian, mulai dari ketentuan umum, kegiatan outcourcing itu sendiri, penerapan prinsip kehati-hatian dan manejemen risiko, pelaporan kepada Bank Indonesia serta sanksi yang dikenakan oleh Bank Indonesia apabila bank.
Bank yang telah melakukan alih daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut
34 35 Bank Indonesia, (a) Op.Cit., Penjelasan Umum PBI Outcourcing 36 Ibid diakses tanggal 27 Januari 2014
1. Menghentikan alih daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama satu tahun sejak diberlakukannya PBI.
2. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari satu tahun tetapi tidak lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan alih daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.
3. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan perjanjian alih daya paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.
4. Menyusun dan menyampaikan laporan rencana aksi (action plan) dalam rangka penyesuaian alih daya sebagaimana dimaksud pada poin-poin di atas