Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern.2

Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun badan-badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki). Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787.

3

Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap

2

Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3


(2)

2

kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak sewenang-wenang”. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.4

Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power) dikenal dengan nama “Trias Politika” dari Montesquieu yang merupakan seorang filsuf Perancis. Nama atau Istilah “Trias Politika” itu diberikan oleh Imanuel Kant yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori “Trias Politika” adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial.

5

Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir.6

Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19457

4

I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1.

dapat dikatakan bahwa teori pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori “Trias Politika”. Hal ini terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya “check and balances” antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung

5

Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7.

6

Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95. 7

Penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi UUD 1945.


(3)

3

melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8

Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Keuangan dan Bank Indonesia (Bank Sentral) dan Komisi mandiri lainnya. Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada hukum9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu Lembaga Negara.10

Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan Daerah11

8

Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96.

, hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari

9

Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128. 10

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11


(4)

4

tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal 22D UUD 1945.12

Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif.14

Pasal 22D Ayat (1)

Dalam UUD 1945, kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu:

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 22D Ayat (2)

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

12

Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71. 13

Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21. 14


(5)

5

Pasal 22D Ayat (3)

Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini merupakan dasar atau rujukan lebih lanjut tentang DPD. Pengaturan DPD masih memerlukan rincian lebih lanjut dalam bentuk Undarng-Undang sebagaimana diamanatkan dari UUD 1945 itu sendiri.15

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 22D UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 16 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 200917

Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan dari

tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

15

Op. Cit. Solly Lubis. Hukum Tata Negara . hal 94. 16

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Nomor 92 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4310). Untuk seterusnya penulisan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan disingkat menjadi MPR, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi DPRD.

17

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (Lembaran Negara Tahun Nomor 123 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043).


(6)

6

Undang tersebut dianggap tidak sesuai oleh DPD dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tentang ketentuan kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang, baik kewenangan dalam proses pengajuan Rancangan Undang-Undang dan kewenangan dalam proses pembahasan Undang-Undang-Undang-Undang.

DPD ingin memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal kedudukan mengajukan dan membahas proses Rancangan Undang-Undang. Permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini melahirkan sebuah babak baru bagi DPD untuk memperjelas dan mempertegas hak konstitusionalnya sebagai lembaga Legislatif di Indonesia. Dan akhirnya lewat Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 92/PUU-X/2012 ini, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangan DPD khususnya kedudukan DPD dalam pembentukan Undang-Undang.

Putusan ini ditetapkan pada tanggal 27 Maret 2013 dan putusan ini merubah arah politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memperkuat posisi lembaga DPD dan mengubah fungsi dari DPD sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi lembaga yang setara dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan peraturan perUndang-Undangan khusunya di konteks kepentingan daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan pengujian tersebut DPD berhak atau berwenang untuk mengusulkan


(7)

7

rancangan Undang-Undang tertentu terkhusus dalam lingkup urusan daerah yaitu menyusun program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD bahkan ikut membahasnya dari tahap awal hingga di tahap akhir tetapi DPD tetap tidak memberi persetujuan atau pengesahan sebuah rancangan Undang-Undang.

Lalu di dalam kehidupan legislatif Indonesia, muncul Undang-Undang baru mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menjadi Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang-Undang-Undang yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 maka perlu dilakukan penelitian untuk menilai seberapa jauh kesesuaian isi atau kesesuaian substansi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam rumusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD18

B. Perumusan Masalah

dan seberapa jauh Undang-Undang ini mengacu pada UUD.

Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, maka sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang yang diuraikan dalam penulisan perumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 ?

18

Undang-Undang MD3 yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran Negara 5568).


(8)

8

2. Bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009?

3. Bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui fungsi Legislasi Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012

2. Untuk mengetahui Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

3. Untuk mengetahui seberapa jauh kesesuaian isi atau substansi putusan Mahkamah Konstitusi dalam rusmusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis


(9)

9

sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai tugas dan kewenangan DPD di Indonesia. Jadi secara teoritis manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang DPD sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan Fungsi Legislasi selain daripada Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Secara Praktis

Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terkhusus untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbang pemikiran ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari penempatan hukum tata negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum di Indonesia, dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law). Dan penulisan ini diharapkan mampu membantu pembaca untuk mengetahui tentang perkembangan fungsi legislasi di Indonesia terkhusus tentang DPD.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan Penulis, “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

10

sepengetahuan penulis bahwa topik permasalahan ini merupakan isu yang menghangat pembahasannya dalam masyarakat. Penulisan skripsi ini oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasannya ke arah Fungsi Legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tersebut. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipetanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sejarah DPD Sebagai Lembaga Negara

DPD Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukan DPD, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini pada masa itu.19

Keberadaan Lembaga DPD sesungguhnya sudah lama terpikirkan sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagasan ini sudah pernah dikemukakan oleh Moh.

19

Kaka Alvian Nasution. Buku Lengkap Lembaga-Lembaga Negara . jogjakarta. 2014. Hlm 107-108 .


(11)

11

Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota DPD berasal dari setiap provinsi sebanyak 4 orang. Dengan demikian, jumlah anggota DPD saat ini seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.20

Pemikiran dari Moh. Yamin yang menggambarkan roh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah berkembang maju atau dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998, dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga DPD, yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan.

Dilihat dari sejarah politik Indonesia modern, sebenarnya keberadaan

20


(12)

12

lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah gagasan atau ide baru, karena sebelumnya Indonesia pernah memiliki senat semasa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Keberadaan senat ini dibentuk karena bentuk negara Indonesia saat itu adalah negara federasi, dan pada saat itu struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), selain keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga ditentukan keberadaan Senat yang diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97.21

21

Konstitusi Republik Serikat Bab II Pasal 80-97 dan Bab II Pasal 98-121 .

Setiap senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. Pasca dibentuknya Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Golongan dan Utusan Daerah.Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu sejak awal UUD 1945 menganut prinsip “semua harus terwakili” yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (politocal representation), perwakilan teritorial atau perwakilan daerah dan perwakilan fungsional yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI. Dalam


(13)

13

perkembangannya keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis, bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya menjadi bagian dari agenda reformasi, dimana struktur kelembagaan MPR dirubah melalui proses amandemen terhadap UUD 1945.22

2. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi selain diatur di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, turut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 200323 junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi24

22

Fathudin Kalimas. “DPD (DPD) dalam Kontruksi Ketatanegaraan Indonesia” . 2012. Diakses dari :

. Salah satu diantara beberapa syarat diatur dalam peraturan-peraturan tersebut diatas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. UUD 1945 sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara. Sehingga peraturan perUndang-Undangan yang lebih rendah tidak

23

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

24

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 (Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2011 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).


(14)

14

boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi.25

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis.26

Metode dapat diartikan sebagai jalan atau suatu cara untuk mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ; 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.27

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perUndangan yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan melakukan penelitian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan bahan hukum

25

Kompas. 2013. Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK? . Diakses dari :

26

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali pers, 2006, hal 7. 27


(15)

15

yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Impelentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD”.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lain.28

Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah Implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dan akibat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

3. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perUndang-Undangan, buku-buku, majalah,

28

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Jakarta: Gralia Indonesia, 1980, hal 9.


(16)

16

surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam proses legislatif yang ada. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari penelitian. Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik suatu kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :


(17)

17

mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA, terdiri dari pembahasan mengenai : Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan DPD di Indonesia dan kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi

BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD NOMOR 27 TAHUN 2009 DI LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI , yang terdiri dari : Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang di Indonesia, petitum dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)

BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014, yang secara khusus membahas tentang : Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia , Kedudukan Dan Peran DPD Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014.


(1)

12

lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah gagasan atau ide baru, karena sebelumnya Indonesia pernah memiliki senat semasa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Keberadaan senat ini dibentuk karena bentuk negara Indonesia saat itu adalah negara federasi, dan pada saat itu struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), selain keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga ditentukan keberadaan Senat yang diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97.21

21

Konstitusi Republik Serikat Bab II Pasal 80-97 dan Bab II Pasal 98-121 .

Setiap senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. Pasca dibentuknya Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Golongan dan Utusan Daerah.Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu sejak awal UUD 1945 menganut prinsip “semua harus terwakili” yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (politocal representation), perwakilan teritorial atau perwakilan daerah dan perwakilan fungsional yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI. Dalam


(2)

13

perkembangannya keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis, bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya menjadi bagian dari agenda reformasi, dimana struktur kelembagaan MPR dirubah melalui proses amandemen terhadap UUD 1945.22

2. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi selain diatur di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, turut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 200323 junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi24

22

Fathudin Kalimas. “DPD (DPD) dalam Kontruksi Ketatanegaraan Indonesia” . 2012. Diakses dari :

. Salah satu diantara beberapa syarat diatur dalam peraturan-peraturan tersebut diatas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. UUD 1945 sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara. Sehingga peraturan perUndang-Undangan yang lebih rendah tidak

23

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

24

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 (Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2011 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).


(3)

14

boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi.25

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis.26

Metode dapat diartikan sebagai jalan atau suatu cara untuk mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ; 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.27

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perUndangan yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan melakukan penelitian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan bahan hukum

25

Kompas. 2013. Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK? . Diakses dari :

26

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali pers, 2006, hal 7.

27


(4)

15

yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Impelentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD”.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lain.28

Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah Implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dan akibat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

3. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perUndang-Undangan, buku-buku, majalah,

28

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Jakarta: Gralia Indonesia, 1980, hal 9.


(5)

16

surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam proses legislatif yang ada. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari penelitian. Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik suatu kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :


(6)

17

mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA, terdiri dari pembahasan mengenai : Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan DPD di Indonesia dan kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi

BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD NOMOR 27 TAHUN 2009 DI LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI , yang terdiri dari : Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang di Indonesia, petitum dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)

BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014, yang secara khusus membahas tentang : Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia , Kedudukan Dan Peran DPD Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014.


Dokumen yang terkait

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 3 88

MEKANISME PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG UNDANG SECARA TRIPARTIT ANTARA DPR, DPD DAN PRESIDEN, PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012.

0 4 19

PENDAHULUAN MEKANISME PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG UNDANG SECARA TRIPARTIT ANTARA DPR, DPD DAN PRESIDEN, PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012.

1 7 30

PENUTUP MEKANISME PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG UNDANG SECARA TRIPARTIT ANTARA DPR, DPD DAN PRESIDEN, PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PUU-X/2012.

0 4 9

SISTEM PEMILIHAN PIMPINAN DPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD : PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH.

0 0 105

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 0 2

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 0 15

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92 Puu-X 2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 0 4