Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

(1)

72

DAFTAR PUSTAKA

Ashiddiqie, Jimlly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta

BUKU

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Sinar

Grafika. Jakarta

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta.

Atmadja, I dewa Gede, 2015, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Setara Press. Malang.

Atmadja, I Dewa Gede, 2012, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang. Budiardjo, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. Isra, Saldi, 2013, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajawali Pers. Jakarta. Lubis, Solly, 2008, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung.

Nalle, Victor Imanuel W, 2013, Konsep Uji Materil, Setara Press, Malang.

Nasution, Kaka Alvian, 2014, Buku Lengkap Lembaga-Lembaga Negara, jogjakarta.

Panjaitan, Merphin, 2013, Logika Demokrasi, Permata Aksara, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Rajawali pers, Jakarta.

Soemitro, dkk , 1980 Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Gralia

Indonesia, Jakarta.

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


(2)

73

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara No.98 Tahun 2003. (LN 2003 No.98;TLN No.4316)

Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( LN 2009 No.123; TLN No.5043)

Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( LN 2014 No.182; TLN No.5568)

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan ( LN 2011 No.82; TLN No.5234)

Website

http://hukum.kompasiana.com/2013/10/07/amandemen-uud-1945-dan-uu-mk-terkait-kewenangan-mk-596515.html pada tanggal 15 maret 2015 pada pukul 16.00

pada tanggal

pada tanggal

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53ee058408a23/akhirnya--dpd-gugat-uu-md3 pada tanggal

Diakses dari : http://www.antaranews.com/berita/458382/dpd-optimistis-mk-kabulkan-judicial-review-uu-md3 pada tanggal


(3)

74

pada tanggal

Adika Akbarrudin, 2013, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen UUD 1945”, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 8 Nomor 1.

Karya Ilmiah Dan Lainnya

Akhmad Haris Supriyanto. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis. Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya. 2014.

Akhmad Haris Supriyanto, “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis” Artikel Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2014.

Salmon E.M. Nirahua, “Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Hukum, Volume 18, nomor 4 (Oktober, 2011)

I Dewa Gede Palguna, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Semarang.

Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia.

2009.

Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 (Oktober, 2010).


(4)

75

Risalah Sidang Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan

dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jakarta, 28 Januari 2003, Yogyakarta, 24 Maret 2003.

Yenny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Jurnal Lex Publica, Volume 1, nomor 1 (Januari, 2014).


(5)

33

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PUTUSAN

NOMOR 92/PUU-X/2012

A. Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang

Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Subjectum litis lebih dikenal sebagai pihak-pihak yang berperkara atau

bersengketa.55 Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 200356

sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No.06/PMK/2005 disebut bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang atau hak-hak yang

diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara.57

Dari Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 beserta

Penjelasan dapat diketahui bahwa perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil menjadi pemohon, asalkan dapat membuktikan bahwa dirinya sendiri-sendiri atau bersama-sama memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang di

55

Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 (Oktober, 2010), hlm 19. 56

Lihat Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003. 57

Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta. Sinar Grafika. 2010. Hlm 46.


(6)

34 Mahkamah Konstitusi.58

Dalam pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun

2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD 1945, permohonan pengujian diajukan oleh DPD yang diwakili oleh H. Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang merupaka anggota DPD dengan surat permohonan tanggal 14 Mei 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan diregistrasi Nomor 92/PUU-X/2012.

Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara

atau objek sengketa.59 kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis

perkaranya. Menurut ketentuan di dalam Pasal 30 Undang-Undang No.24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi60, wajib dibuat dengan uraian yang sangat

jelas, yaitu61

a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; :

b. Sengketa Kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Pembubaran partai politik;

d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau

e. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

58

Ibid, hlm 49. 59

Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 (Oktober, 2010), hlm 19. 60

Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara No.98 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No.4316.

61


(7)

35

perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam penjelasan permohonan pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012, bahwa objek yang menjadi kajian di dalam sidang adalah tentang pengujian Undang-Undang terhadap UUD. Pemohon menyatakan bahwa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 ini mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) dalam hal mengajukan Rancangan Undang-Undang dan Pasal 20 Ayat (2) & Pasal 22D Ayat (2) dalam hal membahas Rancangan Undang-Undang.

Pasal-pasal didalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 yang diuji dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah antara lain62

I. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang dianggap

bertentangan oleh Pemohon dengan Pasal 22D Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada pemohon untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang, yaitu :

:

a. Pasal 102 Ayat (1) huruf d yaitu :

“melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR”.

62


(8)

36 b. Pasal 102 Ayat (1) huruf yaitu :

“memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas Rancangan Undang tahun berjalan atau di luar Rancangan Undang-Undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional”.

c. Pasal 143 Ayat (5) yaitu : “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan

oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden”;

d. Pasal 144 yaitu :“Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden

diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR”; e. Pasal 147 Ayat (1), yaitu :

“Pimpinan DPR setelah menerima Rancangan Undang-Undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) memberitahukan adanya usul Rancangan Undang-Undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna”;

f. Pasal 147 Ayat (3) yang berbunyi:

“Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang usul dari DPR”.

g. Pasal 147 Ayat (4), yang berbunyi :

“Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang-Undang-Undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus”.

II. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang bertentangan

dengan Pasal 20 Ayat (2) dan Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada pemohon


(9)

37

untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang, yaitu63

a. Pasal 150 Ayat (3):

:

“Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

• Presiden, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR.

• DPR, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden”;

b. Pasal 147 Ayat (7): “Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum

menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembahasan Rancangan Undang-Undang tetap dilaksanakan”;

c. Pasal 150 Ayat (5): “Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan”;

d. Pasal 71 Huruf a: “membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden

untuk mendapat persetujuan bersama”;

e. Pasal 71 Huruf d: “membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana

dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;

f. Pasal 71 Huruf e:

“membahas Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”.

63


(10)

38

g. Pasal 71 Huruf f: “memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan

Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”;

h. Pasal 71 Huruf g: “membahas bersama Presiden dengan memperhatikan

pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden”;

i. Pasal 107 Ayat (1) huruf c:

“membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga”.

j. Pasal 150 Ayat (4) huruf a: “Penyampaian pendapat mini sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh Fraksi”;

k. Pasal 151 Ayat (1) huruf a: “penyampaian laporan yang berisi proses,

pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I”; l. Pasal 151 Ayat (1) huruf b: “pernyataan persetujuan atau penolakan dari

tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna”.

Di dalam persidangan pemohon yang diwakilkan oleh Ketua DPD Irman

Gusman menyampaikan opening statement64

64

Risalah Sidang Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

, yaitu terkait proses pembuatan undang-undang yang dianggap DPD hampir sama sekali tidak menyentuh DPD. DPD hampir tidak pernah mendapat kesempatan dalam menyentuh proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak, hajat hidup masyarakat daerah dan


(11)

39

DPD hanya menggunakan seluruh peluang kewenangan DPD yang serba terbatas dalam menjalankan tugas.

Irman Gusman juga menyampaikan telah mengupayakan semacam

perubahan konstitusional agar daerah lebih didengar. Walau ternyata pada akhirnya DPD harus berhadapan dengan kenyataan di mana resistensi pun terjadi dari kalangan politik membuat perjuangan perubahan konstitusional itu bergerak seperti yoyo, tarik ulur atau tampaknya banyak bergerak, tetapi sebenarnya yoyo statis di tempat yang itu-itu juga.65

DPD menyatakan segala upaya yang mungkin legal dan beradab telah

dilakukan secara kreatif agar undang-undang yang mengatur impelementasi kewenangan DPD sesuai dengan amanat konstitusi.66 Setelah terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, masih dianggap belum menyentuh mandat konstitusional yang digariskan ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law making process dibandingkan dengan UUD 1945.

B. Petitum dalam Perkara Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)

Petitum atau tuntutan dapat juga disebut dictum permohonan atau gugatan.

Petitum merupakan kesimpulan dari permohonan atau gugatan yang berisikan rincian satu persatu apa yang diminta atau dikehendaki untuk dihukumkan kepada

65

Ibid,.

66


(12)

40

para pihak, terutama kepada pihak Tergugat atau Termohon agar diputuskan oleh hakim.67

Kedudukan petitum merupakan syarat formal permohonan atau gugatan

yang bersifat mutlak dan jika tidak mencantumkan bagian ini, maka sebuah permohonan akan dianggap kabur dan dinyatakan tidak diterima oleh pengadilan. Memuat petitum di dalam sebuah permohonan diatur di dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan diatur lebih rinci pada Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang.68

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam sidang pengujian

Undang-Undang oleh Pemohon dan bukti-bukti terlampir, Pemohon mengajukan kesimpulan permohonan kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan putusan, yaitu:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. a. Menyatakan:

- Pasal 71 huruf d;

- Pasal 71 huruf e, sepanjang frasa “...sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;

- Pasal 71 huruf g, sepanjang kata “...memperhatikan”; - Pasal 102 ayat (1) huruf d, sepanjang frasa “...atau DPD”; - Pasal 102 ayat (1) huruf e;

67

Op, cit. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Hal 74. 68


(13)

41

- Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7); - Pasal 150 ayat (5);

-Penjelasan Umum, sepanjang kalimat “Kedudukan DPD dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut sampai pada pembahasan tingkat pertama dan tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan.”

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

b. Menyatakan:

- Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata “DPD”; - Pasal 43 ayat (2);

- Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa “...atau DPD”; - Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4);

- Pasal 68 ayat (5);

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;


(14)

42

a. Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat:

- Pasal 71 huruf a sepanjang tidak dimaknai bahwa, “membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden dan DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah untuk mendapat persetujuan bersama;” - Pasal 71 huruf f sepanjang tidak dimaknai bahwa, “menerima pertimbangan DPD atas Rancangan Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;”

- Pasal 107 ayat (1) huruf c sepanjang tidak dimaknai bahwa, “membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dengan pertimbangan DPD, bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;”

- Pasal 143 ayat (5) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disampaikan dengan surat pimpinan


(15)

43 DPR kepada pimpinan DPD dan Presiden;”

- Pasal 144 sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan pimpinan DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;”

- Pasal 146 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden;”

- Pasal 150 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “DPD berwenang mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah dan mengikuti seluruh kegiatan pembahasan apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dan DPR;” - Pasal 150 ayat (4) huruf a sepanjang kata “fraksi” tidak dimaknai “DPR;”

- Pasal 151 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR;

c. pendapat akhir dari Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; d. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang berkaitan


(16)

44

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;”

- Pasal 151 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah terkait, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;”

- Pasal 154 ayat (5) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya dengan alat kelengkapan DPD yang ditugaskan;”

b. Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat:


(17)

45

rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD;”

- Pasal 20 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah;”

- Pasal 21 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi;”

- Pasal 22 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR;” - Pasal 23 ayat (2) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;”

- Pasal 43 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD”.

- Pasal 65 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada seluruh tingkat pembahasan”.


(18)

46

memberikan penjelasan dan DPR memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau”

- Pasal 68 ayat (2) huruf d sepanjang tidak dimaknai, “Presiden memberikan penjelasan serta DPR dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berasal dari Presiden;”

- Pasal 68 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPD; b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPD;

c. DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan kewenangan DPD;”

- Pasal 68 ayat (4) huruf a sepanjang kata “fraksi” tidak dimaknai “DPR”;

- Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR;

c. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta


(19)

47

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;”

d. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi;

- Pasal 69 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;” - Pasal 70 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama DPR, Presiden dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;”

- Pasal 70 ayat (2) sepanjang tidak dimaknai bahwa, “Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;”


(20)

48

4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

5. Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pada dasarnya DPD mengajukan permohonan agar Mahkamah

memberikan tafsir atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi, DPD terlibat penuh dalam penyusunan program legislasi nasional seperti halnya presiden dan DPR. Rancangan Undang-Undang dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari presiden. DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang terkait dengan mandat konstitusionalnya bersama DPR dan presiden, mulai dari awal hingga akhir. Termasuk tahap persetujuan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembahasan RUU. Tafsir tersebut diperlukan agar DPD tidak menjadi objek talik ulur kepentingan dalam pembentukan undang-undang yang mengatur tentang DPD.

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)

Ketentuan dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Dan di dalam pasal 49 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu


(21)

49

paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan”69. Artinya, bahwa efek keberlakuannya bersifar prospektif ke depan, bukan ke belakang.70

Untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003, Mahkamah Konstitusi selama ini telah mentradisikan kebiasaan bahwa putusan dibacakan dengan dilengkapi oleh dua buah layar monitor lebar di dalam ruang sidang dan di luar ruang sidang, sehingga semua dapat mengikuti dengan seksama rumusan kalimat-kalimat putusan yang sedang dibacakan oleh majelis hakim dan salinan putusan langsung di bagikan kepada pihak-pihak dalam sidang Mahkamah Konstitusi, yaitu segera setelah sidang pleno pembacaan putusan selesai ditutup oleh ketua sidang.71

Setelah sidang pleno dinyatakan ditutup oleh ketua sidang dan para hakim

meninggalkan ruangan sidang, dengan diiringi pengumuman petugas agar hadirin berdiri. Para hakim akan meninggalkan ruangan, maka setelah mempersilahkan para hadirin duduk kembali, biasanya petugas langsung mengumumkan bahwa Panitera akan menyerahkan salinan putusan yang telah dibacakan kepada para pihak yang hadir. Biasanya pihak-pihak yang hadir adalah pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau staf sekretariatnya, Dewan Perwakilan Daerah atau staf sekretariatnya, dan pihak terkait atau kuasanya. Salinan putusan tersebut biasanya hanya naskah yang bersifat sementara. Semuanya mendapat satu naskah salinan sementara putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi.72

69

Op, cit. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Hlm 216. 70

Ibid, Hal 220. 71

Ibid,.

72


(22)

50

Salinan putusan yang dibagikan itu biasanya memang baru bersifat

sementara, karena kadang-kadang ketika dibacakan oleh hakim, ada beberapa bagian yang langsung dikoreksi di dalam persidangan, sedangkan naskah salinan yang sudah lebih dulu diperbanyak untuk kepentingan para pihak masih menggunakan naskah yang belum dikoreksi. Dalam hal demikian, dalam waktu secepatnya dalam tenggang waktu kurang dari tujuh hari sebagaimana dimaksud oleh Pasal 49, salinan naskah putusan yang telah direvisi akan disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan melalui petugas juru panggil. Dengan demikian, semua pihak yang terlibat atau terkait dengan perkara pengujian undang -undang yang telah diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dijamin mendapatkan pelayanan administrasi yang optimal, efektif, cepat, efisien, dan tanpa dibebani pembiayaan apapun. Dengan perkataan lain, upaya pembinaan administrasi pelayanan di Mahkamah Konstitusi dilakukan sesuai prinsip access to justice yang luas,efektif, dan efisien.73

Perkara pengujian undang-undang terkait erat dengan perkara yang

menggunakan undang-undang yang bersangkutan sebagai dasar penuntutan, gugatan, ataupun putusan di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Misalnya, Mahkamah Konstitusi sedang mengadili suatu pasal Undang-Undang, akan tetapi pasal Undang-Undang yang bersangkutan juga sedang dijadikan dasar untuk penuntutan seorang terdakwa di pengadilan negeri. Menurut ketentuan

Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 200374

73

Ibid.

bahwa “Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang

74


(23)

51

menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Pasal-pasal yang dimohon untuk dilakukan pengujian pada

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d, huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5).

Tetapi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim untuk diubah dan dikatakan

tidak memiliki kekuatan hukum tetap bahkan bertentangan dengan UUD pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 hanya Pasal 102 huruf a, huruf d, huruf e, dan huruf h, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 148, Pasal 150 ayat (2) huruf b dan Pasal 150 ayat (3)

Pada perkara Mahkamah Konstitusi nomor 92/PUU-X/2012, hakim telah

memutuskan hasil dari pengujian undang-undang nomor 27 Tahun 2009 terhadap undang-undang dasar. Amar putusan tersebut berisi75

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian; :

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

75


(24)

52

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Putusan ini diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh

sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh satu, bulan Februari, tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 15.20 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono dan Rizki Amalia sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 92/PUU-X/2012

tersebut menimbulkan konsekuensi atas kedudukan dan peran DPD, yaitu76

1. Rancangan Undang dari DPD setara dengan Rancangan Undang-Undang dari Presiden dan Undang-Undang-Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Rakyat. Terkait dengan pengajuan usul Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi memutuskan beberapa hal yaitu :

:

76

Yenny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Jurnal Lex Publica, Volume 1, nomor 1 (Januari, 2014), hlm 39.


(25)

53

a) kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan Rancangan Undang-Undang

b) DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas,

c) DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang diluar Prolegnas, dan

d) Usul Rancangan Undang-Undang DPD tidak menjadi usul Rancangan Undang-Undang Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat (bukan Fraksi-Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat).

3. Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut :

a) Pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan Rancangan Undang-Undang dari Presiden dan DPR.

b) Terhadap Rancangan Undang-Undang dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan.

c) Terhadap Rancangan Undang-Undang dari DPR, DPR diberikan ksempatan memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan.

d) Hal yang sama juga diperlakukan terhadap Rancangan Undang-Undang dari DPD yaitu DPD diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan


(26)

54

e) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPD harus diperlakukan sama dengan Rancangan Undang-Undang dari Presiden dan DPR.

f) Daftar Inventarisasi Masalah diajukan oleh masing-masing lembaga Negara (DPR, DPD, Pemerintah).


(27)

55

BAB IV

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD

NOMOR 17 TAHUN 2014

A.Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 menegaskan

bahwa DPD memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam proses legislasi atau lebih dikenal sebagai proses legislasi model tripartit, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan Presiden, yang setara sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I (kegiatannya adalah pengantar musyarawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini). Artinya, Mahkamah Konstitusi memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan Rancangan Undang-Undang tertentu dan membahasnya sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I. Pada Pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapat sebelum persetujuan atau pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat sampai sebelum tahapan persetujuan.77

77

Diakses dari


(28)

56

Model legislasi tripartit (tiga lembaga) dengan keikutsertaan DPD dalam

mekanisme legislasi terbagi atas tiga bagian, yaitu terkait dengan pembahasan prolegnas. Kedepan harus diatur dalam Undang-Undang dan Tata Tertib internal DPD mengenai badan atau panitia yang berwenang dalam pembahasan prolegnas, Panitia Perancang Undang- Undang DPD. Dalam pasal 276 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dapat diartikan bahwa DPD dalam melakukan pengajuan Rancangan Undang-Undang berdasarkan program legislasi nasional. DPD juga mendapat hak ikut dalam pembahasan bersama mengenai Prolegnas tidak hanya ikut membahas, namun juga memberikan kesepakatan atas Prolegnas.78

Lalu dalam pengajuan Rancangan Undang, Rancangan

Undang-Undang disampaikan beserta naskah akademik dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. Surat pengantar pimpinan DPD menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut dalam pasal 277 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.79

78

Akhmad Haris Supriyanto. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis. Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya. 2014. Hlm 16.

DPD juga dapat menyampaikan daftar inventarisasi masalah dari

Rancangan Undang-Undang dari DPR dan Presiden terkait otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

79


(29)

57

keuangan pusat dan daerah yang tertulis dalam pasal 278 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.80

Pembahasan bersama Rancangan Undang-Undang, yakni terkait

mekanisme pembahasan, menurut penulis dalam Pasal 170 mengenai pembicaraan tingkat I yang dilakukan dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah dan penyampaian pendapat mini , seharusnya bisa dijadikan rapat joint Committe atau dalam istilah parlemen bikameral adalah conference committe yang dijadikan forum untuk melakukan negosiasi dan musyawarah dalam menggabungkan Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan DPD. Dalam tingkat komisi, sejalan dengan hal tersebut Muhammad Ali Safa’at S.H., M.H mengatakan bahwa seharusnya sebelum mengadakan rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat harus menyatukan sikap terlebih dahulu di Internal komisi. Sehingga tidak terjadi lagi perbedaan pendapat antar fraksi ketika melakukan pembahasan bersama dengan Presiden dan DPD. Disamping itu, masing-masing pembahas harus memiliki proporsi jumlah yang sama, sehingga pembahasan tidak di dominasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan fraksi-fraksinya. dalam tingkat II mengenai penyampaian Pendapat Mini, maka penyampaian sikap ini harus dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat oleh pimpinan komisi / gabungan komisi / pansus / Baleg, bukan fraksi.81

80

Pasal 277 dan 278 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.

81


(30)

58

Pimpinan DPD bersama Tim Litigasi DPD menyosialisasikan proses

legislasi model tripartit sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi ihwal konstitusionalitas hak dan/atau kewenangan legislasi DPD yang memutuskan posisi DPD setara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, bahwa DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan rancangan undang-undang bidang tertentu dan membahas Rancangan Undang-Undang bidang tertentu sejak awal hingga akhir tahapan namun DPD tidak memberi persetujuan atau pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi undang-undang. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan Pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional.82

Ketua DPD Irman Gusman menyebut putusan MK tersebut mengubah

proses legislasi dari model bipartit (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden) ke model tripartit (Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan Presiden), utamanya mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang bidang tertentu. “Tidak seperti selama ini, tidak lagi fraksi Dewan Perwakilan Rakyat yang tampil. Mekanismenya disebut proses legislasi model tripartit. Prinsipnya mereka (fraksi Dewan Perwakilan Rakyat) setuju untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konsitusi. Tapi mengenai keterlibatan fraksi Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang, mereka tidak sepaham. Nah, kalau putusan Mahkamah Konstitusi itu benar-benar dilaksanakan, terjadilah reformasi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang. Mekanismenya lebih simpel atau

82

Diakses dari :


(31)

59

sederhana, sehingga diharapkan akan menghasilkan undang-undang yang jauh lebih banyak dan jauh lebih bermutu.”

Hak dan/atau kewenangan legislasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dan

DPD, seharusnya sama atau setara. “Ada pandangan politik yang menginginkan DPD kuat, tapi dikhawatirkan seperti negara federal. Ada juga pandangan politik yang tidak menginginkan begitu, karena mereka menganggap negara kesatuan Republik Indonesia jangan meniru negara federal, tapi merujuk negara unikameral. Akibatnya, rumusan pasal beserta ayat tentang DPD dalam konstitusi itu bersifat kompromi.”

B.Kedudukan Dan Peran Dewan Perwakilan Daerah Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014

Keberadaan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

yang mengatur kewenangan DPD dinilai masih mereduksi peran dan fungsi legislasi DPD. Karena aturan pada Pasal Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 masih ada yang tidak memberikan kewenangan kepada DPD untuk merancang, membahas setiap Rancangan Undang-Undang terkait daerah.

Berikut adalah perbandingan seberapa jauh Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara Nomor 92/PUU-X/2014, yakni:

Tabel 2. Perbandingan fungsi yang ada pada DPD dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.


(32)

Undang-60

Tahun 2009 diputus Mahkamah Konstitusi

Undang Nomor 17 Tahun 2014

1 Pasal 102 ayat (1) huruf a Badan Legislasi bertugas:

a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;

Pasal 105 ayat (1) huruf a

Badan Legislasi bertugas:

menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;

Pasal 102 ayat (1) huruf d

melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;

Pasal 105 ayat (1) huruf c

melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;


(33)

61 Pasal 102 ayat (1) huruf e

memberikan pertimbangan terhadap rancanganundang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi,gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;

Pasal 105 ayat (1) huruf d

memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;

Pasal 143 ayat (5)

Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Pasal 164 ayat (5)

Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Pasal ayat 144

Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.

Pasal 165 ayat (2)

Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan


(34)

62

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah diajukan kepada DPR dan pimpinan DPR menyampaikannya kepada pimpinan DPD

Pasal 146 ayat (1)

Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.

Pasal 166 ayat (2)

Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.

Pasal 147

(1) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1)

Pasal 166 ayat (4)

Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengirim surat kepada pimpinan


(35)

63 memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna.

DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang ditugasi mewakili DPD ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama Presiden.

Pasal 148

Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 168

Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 150 ayat (2) huruf b

Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:

b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD

Pasal 170 ayat (2) huruf c

Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a :

c. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPD;


(36)

64 Pasal 150 ayat (3)

Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.”

Pasal 170 ayat (3)

Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

a. Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR;

b. DPR jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden;

c. DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c;

d. DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau

e. DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam


(37)

65

Pasal 71 huruf c.

Sumber : Undang-Undang Nomor 27 Tahuh 2009 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Lewat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 92/PUU-X/2012 seharusnya

DPD telah memiliki kewenangan sesuai dengan UUD 1945, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Tetapi pada tabel perbandingan ini terlihat bahwa kedudukan DPD dalam proses legislasi di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 masih belum sepenuhnya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi nomor 92/PUU-X/2012.

Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, berdampak pada mekanisme hubungan antar lembaga perwakilan. Kehadiran Undang-Undang tersebut belum dapat mengatur secara konkrit fungsi legislasi DPD. DPD untuk memantapkan hubungan kerja dengan DPR berusaha melakukan Uji Materi Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal-Pasal yang mengatur Prolegnas, Pengajuan Rancangan Undang, dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia mendaftarkan permohonan

pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah ke Mahkamah Konstitusi Jumat, pada tanggal 15 Agustus 2014. Pendaftaran permohonan pengujian Undang-Undang tersebut diwakili oleh Tim Litigasi DPD RI yang


(38)

66

diketuai oleh I Wayan Sudirta (anggota DPD asal Propinsi Bali) didampingi oleh beberapa anggota DPD RI dan penasehat hukum.

DPD memohon pengujian Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 276

ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 165, Pasal 166, Pasal 71 c, Pasal 170 ayat (5), Pasal 72, Pasal 171 ayat (1), Pasal 249b, Pasal 174 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 281, Pasal 305, Pasal 307 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.83

DPD beralasan bentuk, format dan struktur Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tidak sesuai dengan yang ditentukan UUD 1945. Dimana sidang perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 tersebut dihadiri Gede Pasek Suardika, Intsiawati Ayus, Anang Prihantoro, Afnan Hadikusumo, Djasarmen Purba, Muhammad Mawardi, dan kuasa hukum, I Wayan Sudirta, Aan Eko Widiarto, dan Hestu Cipto Handoyo.84

I Wayan Sudirta menerangkan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini telah melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas Rancangan Undang-Undang. Dalam hal ini

83

Diakses dari :

84


(39)

67

DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.85

Menurut I Wayan Sudirta Undang-Undang ini bertentangan dengan UUD

1945 yang telah diberikan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. Dengan disetujuinya UU Nomor 17 Tahun 2014 ini, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap telah menghinakan putusan Mahkamah Konstitusi. ”Karena Dewan Perwakilan Rakyat yang membuat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat. Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodir, seharusnya tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodir, jelas DPD dirugikan.86

Alasan DPD mengajukan uji materiil karena Undang-Undang MPR,

DPRD, DPD dan DPRD bertentangan dengan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD RI untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang.

Ahli dan saksi DPD yang memberikan keterangan adalah Maruarar

Siahaan (mantan Hakim MK), Saldi Isra (akademisi), Yuliandri (Akademisi),

85 Ibid,.

86


(40)

68

Zainal Arifin Mochtar (Akademisi), Refly Harun (Akademisi) dan Ronald Rofiandri (Pegiat LSM).87

Refly Harun menilai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 telah

melawan atau melanggar putusan MK No.92/PUU-X/2012 yang memberi ruang bagi DPD untuk terlibat dalam setiap proses pembahasan Rancangan Undang-Undang terkait daerah. Menurut dia, DPD memiliki posisi yang setara dengan

Presiden dan DPR, merujuk Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.88

Refly Harun menjelaskan bahwa “DPD memiliki kewenangan yang setara

dengan DPR dan Presiden,” saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang diajukan DPD di ruang sidang Mahkamah Konstusi. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, kewenangan membahas setiap Rancangan Undang-Undang khususnya yang terkait daerah tidak mutlak hanya milik Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. “Dengan demikian DPD dapat mengikuti semua tingkat pembahasan Rancangan Undang-Undang yang diatur dalam undang-undang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan tersebut,”. DPD juga merupakan salah satu lembaga negara utama dalam sistem legislasi di Indonesia yang juga berfungsi menjalankan prinsip checks and balances. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu dinyatakan DPD memiliki kedudukan yang setara dengan MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, MA, dan BPK sesuai

87

Diakses dari

88

Diakses dari


(41)

69 konstitusi.89

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 masih belum sepenuhnya

mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi nomor 92/PUU-X/2012, sehingga DPD mendaftarkan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi. DPD berpendapat bahwa DPD menyandang kerugian kewenangan konstitusional akibat cacat materi muatan dari adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Dimana kerugiannya adalah dengan adanya undang-undang tersebut sehingga wewenang DPD sebagai lembaga negara untuk mengajukan dan membahas rancangan undang-undang tidak dapat menjalankan fungsi legislasi dengan baik.90

89

Ibid,

90


(42)

70

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan mengenai Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa Fungsi DPD yaitu DPD sebagai lembaga Negara memiliki kewenangan

dalam bidang pertimbangan dan pengawasan secara konstitusional, dengan kewenagan ini, DPD dapat berhasil memperjuangkan aspirasi daerah dan juga dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah walaupun sejumlah kalangan berpendapat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 telah mereduksi peran DPD

2. Fungsi Legislasi DPD diperkuat lewat putusan perkara Mahkamah Konstitusi

Nomor 92/PUU-X/2012 dengan permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian. Sehingga peran DPD telah kuat dalam proses pengajuan Rancangan Undang-Undang dan pembahasan Rancangan Undang-Undang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya


(43)

71

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

tidak mengakomodir seluruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang bersifat final dan mengikat. Ketika putusan tidak diakomodir, maka Undang-Undang tersebut masih bertentangan dengan UUD.

B.Saran

1. DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah seharusnya diberi kewenangan

dalam suatu Undang-Undang sesuai dengan aturan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dapat lebih aktif dan produktif dalam menjalankan fungsi konsultasi, pengawasan dan legislasinya.

2. DPD lebih menyuarakan lagi tentang kewenangan DPD dalam bidang legislasi

di tiap daerah sehingga masyarakat lebih mengenal wewenang DPD itu setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam bidang legislasi.

3. Lewat pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 di Mahkamah

Konstitusi, fungsi dan tugas DPD benar-benar disesuaikan dengan UUD 1945, dan memberi sanksi apabila terjadi lagi pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi.


(44)

18

BAB II

PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA

A.Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah

DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam bidang legislasi,

pertimbangan dan pengawasan. Secara konstitusional, DPD diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi daerah. Kewenangan DPD diatur dalam pasal 22C dan pasal 22D UUD 1945, dan sesungguhnya peluang dalam mengoptimalkan peran DPD masih ada. Kewenangan DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah29

DPD juga ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,

.

29


(45)

19

pendidikan dan agama30 dan terakhir dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.31

Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, fungsi DPD lainnya adalah

fungsi pertimbangan, dimana fungsi ini berkenaan dengan rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.32 I Dewa Gede Palguna juga mengatakan bahwa DPD juga memiliki fungsi konsultasi atau fungsi pertimbangan. DPD diberi wewenang untuk melakukan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terhadap rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.33

Pengaturan wewenang DPD dalam UUD 1945 diatur secara beriringan

dengan tugas DPD yang diatur dalam Pasal 224 sampai dengan Pasal 226 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Sebagai kelanjutan dari fungsi pertimbangan, DPD memiliki tugas dan wewenang dalam fungsi pertimbangan

30

Pasal 22 D Ayat (2) UUD Negara RI 1945. 31

Pasal 22 D Ayat (3) UUD Negara RI 1945. 32

Sri Soemantri Martosoewignjo, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jakarta, 28 Januari 2003, Yogyakarta, 24 Maret 2003, dan Semarang.

33

I Dewa Gede Palguna, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Semarang.


(46)

20

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 224 ayat (1) huruf d, yaitu34

Terkait fungsi pengawasan, Ruang lingkup fungsi pengawasan DPD

dilakukan terhadap menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak,pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, dengan demikian hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan akhir.

: “memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”

Terbatasnya ruang lingkup fungsi dan wewenang yang dimiliki DPD,

menyebabkan keberadaan DPD sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan subordinasi dari DPR.35 Hal pengawasan yang dimiliki DPD ini diatur pada pasal 224 Ayat (1) huruf f dalam

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, yaitu36

menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

:

34

Lihat Pasal 224 Ayat (1) huruf d pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 35

Salmon E.M. Nirahua,Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,Jurnal Hukum, Volume 18, nomor 4 (Oktober, 2011), Hal 14.

36


(47)

21

B.Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang Dasar, Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi

Legislatif mencerminkan suatu fungsi, yaitu legislate, atau membuat

Undang-Undang.37

Pengaturan dalam UUD 1945 sebelum amademen menegaskan bahwa

kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden. Hal ini diatur pada Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, yang menentukan sebagai berikut: “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Tetapi dalam pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amademen, juga menentukan bahwa “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dari ketentuan dua pasal ini, jelas terlihat bahwa kekuasaan membentuk undang-undang jelas berada di tangan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat hanya pada batas memberikan persetujuan. Namun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan undang-undang pada Presiden.

Badan tersebut mengutamakan unsur “berkumpul” untuk membicarakan masalah-masalah publik dan merundingkan, mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan tersebut, baik yang bersifat kebijakan maupun Undang-Undang yang mengikat seluruh masyarakat

38

Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI

yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai tanggal 19 Oktober 1999.

37

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm 315. 38


(48)

22

Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19

Oktober 1999. Pasca amandemen yang pertama, UUD 1945 terjadi perubahan

pada fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum amandemen pada UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan Undang-Undang.

Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan fungsi legislasi

tercantum dalam Pasal 20 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UUD 1945 yaitu: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pada Pasal 20A Ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan

membentuk undang-undang.39

Pasca Amandemen ketiga lahirlah lembaga baru yang bernama DPD.

Kewenangan DPD dimuat dalam Pasal 22D UUD 1945 dimana DPD mempunyai fungsi, tugas dan kewenangan dalam bidang legislasi, namun cakupan bidang legislasi dari DPD sebatas hanya yang berkaitan dengan daerah. Membaca dari

39


(49)

23

Pasal 22D UUD 1945, lembaga Perwakilan Rakyat pasca amandemen bukan merupakan lembaga perwakilan bikameral.40

Melihat kewenangan dalam Pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan

sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian bahwa menurut peneliti dari Australian National University bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi.41

Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat dapat dukungan dan diperkuat oleh DPD. DPD ini merupakan lembaga perwakilan penyalur aspirasi rakyat berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.42

DPD juga sebagai kekuatan politik penyeimbang Dewan Perwakilan

Rakyat di bidang legislatif. Keberadaan DPD di bidang legislatif sendiri sudah mempunyai arti penting. Walaupun perannya sebagai kekuatan politik penyeimbang, peran ini tetap bisa dilakukan secara politik. Misalnya saja dengan mengeluarkan keputusan-keputusan politik yang merespon kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat yang terkait dengan isu DPD.

40

Sardi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta. Rajawali Pers, 2013, Hlm. 254. 41

Ibid, 42


(50)

24

Kenyataannya DPD sama sekali tidak diberi kewenangan di bidang legislasi, dapat dikatakan DPD sebagai pemberi saran atau pertimbangan43. Fungsi legislasi DPD sangat lemah dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. DPD hanya diberikan kewenangan dalam bidang legislasi terkait dengan hal-hal yang bersifat kedaerahan, dan hanya sebatas bisa mengajukan dan ikut membahas namun tidak ikut pada saat pengambilan keputusan akhir dalam pembicaraan tingkat II. Kehadiran DPD tidak lain adalah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Posisi DPD dalam proses legislasi Rancangan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang dan memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada unsur keharusan dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang oleh DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap rancangan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah Pasal 16 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dimana perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.44

Hubungan Dewan Perakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di

bidang legislasi dalam sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia dari sisi

43

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta. 2005. Hlm 150.

44

Adika Akbarrudin, 2013, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen UUD 1945”, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 8 Nomor 1. Hlm 55.


(51)

25

yuridis dapat kita lihat dalam pengaturan UUD 1945. Seiring dengan perjalanan perubahan UUD 1945 eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat semakin kuat dalam sistem katatanegaraan Republik Indonesia dan dalam bidang legislasi, ini dapat dilihat dari perubahan Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat.45

UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen menyebutkan bahwa

kekuasaan membentuk Undang-Undang sudah berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden hanya diberikan hak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengaturan semacam ini dapat dilhat dalam Pasal 20 Ayat (1) seperti ditegaskan seagai berikut : “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang “. Sedangkan pasal 5 Ayat (1) juga dijelaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal ini, jelas tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang yang semula berada ditangan Presiden beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian amademen UUD Negara RI Tahun 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.46

Perubahan ini berakibat terhadap penguatan dominasi Dewan Perwakilan

Rakyat dalam proses legislasi setelah amademen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, seperti ditegaskan Pasal 20 Ayat (1) Namun, kekuasaan Presiden

45

Ibid, 46


(52)

26

dalam pembentukan undang- undang dibatasi. Presiden hanya diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 Ayat (1)) Disamping itu penguatan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan undang-undang, juga terlihat dengan adanya pasal tersendiri mengenai fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 Pasca

Amandemen.47

Dalam hal Pengundangan Undang-Undang yang tidak disahkan oleh

Presiden. Jika Rancangan Undang-Undang tidak disahkan oleh Presiden, dalam tenggang waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi suatu Undang-Undang dan wajib diundangkan.48 Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat (5) dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, apabila tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak Rancangan Undang-Undang disetujui maka Rancangan Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang.49

Pengaturan kewengan legislasi daerah pada UUD 1945 diatur lebih lanjut

pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimana Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur kedudukan DPD, karena Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur tentang kedudukan Majelis

47

Ibid,.

48

Sardi Isra, Op. Cit., Hal. 230. 49


(53)

27

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999.

Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 memiliki

beberapa kelemahan dalam aturan mengenai kedudukan fungsi legislasi DPD, yaitu pasal 41 huruf a yang berbunyi “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu”. Frasa “pengajuan usul” dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 menjadikan implikasi hukum yang berbeda dalam kedudukan fungsi legislasi DPD. Kata usul bisa diartikan bahwa usul Rancangan Undang-Undang dari DPD masih perlu dilakukan serangkaian proses atau mekanisme dalam internal lembaga Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadikannya sebagai Rancangan Undang-Undang. Selain itu dalam Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi “DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR”. Menjelaskan bahwa DPD hanya ikut pembahasan hanya sampai tingkat I.50

Menurut Saldi Isra bahwa sejumlah kalangan berpendapat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 telah membonsai peran DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang. Dan ini pelemahan-pelemahan yang ada pada

50


(54)

28

DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimuat dalam tabel berikut, yakni51 :

Tabel 1. pelemahan-pelemahan yang ada pada DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003.

Nomor Aturan Kelemahan

1 Pasal 41

DPD mempunyai fungsi:

a. mengajukan Usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengna bidang legislasi tertentu;

b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.

Dewan Perwakilan Daerah dianggap hanya “ikut” dalam pembahasan dan tidak ikut memutuskan

2 Pasal 42 Ayat (1)

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

Kata “dapat” membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif, Dewan Perwakilan Daerah tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan Rancangan Undang-Undang. Ayat selanjutnya dalam pasal ini membuat wewenang Dewan Perwakilan Daerah semakin kecil

51


(55)

29

3 Pasal 42 Ayat (2)

Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksuda pada Ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Ketentuan ini memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan kapan Dewan Perwakilan Daerah bisa diundang dan menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah di dalam peraturan internah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

4 Pasal 42 Ayat (3)

Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud pada Ayat (1) dengan Pemerintah

Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang

yang sesungguhnya dimulai.

5 Pasal 43 Ayat (1)

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya

Kata ikut memebahas Rancangan Undang-Undang membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif


(56)

30

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dilakukan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun oleh Pemerintah

6 Pasal 43 Ayat (2)

Dewan Perwakilan Daerah diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (1) bersama dengan Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang

yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah dengan memuatnya di dalam peraturan internal Dewan Perwakilan Rakyat.

7 Pasal 43 Ayat (3)

Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah, dan

Ketentuan ini merupakan elaborasi jauh dari ayat sebelumnya (di atas) sehingga semakin


(57)

31

Pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah atas Rancangan Undang-Undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga

mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah

8 Pasal 43 Ayat (4)

Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (3) dijadikan sebgai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah

Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah Sumber : Buku Pergeseran Fungsi Legislasi Oleh Saldi Isra

Dalam rezim yang sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,

yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak terlalu membahas mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan menyangkut DPD secara terperinci. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih tidak memberi kejelasan terhadap peran dari DPD, karena banyak celah-celah kosong yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatakan bahwa Prolegnas hanya disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat bidang legislasi. Pasal tersebut jelas tidak ada kata “Dewan Perwakilan Daerah” dalam pembuatan


(58)

32

Prolegnas. Artinya walaupun prolegnas yang berhubungan dengan kewenangan DPD, lembaga ini tetap tidak dapat menyusun prolegnas.52

Menjawab berbagai persoalan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sekaligus menggantikan Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan lahir juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 . Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, isi dalam Undang-Undang ini memuat tentang partisipasi DPD dalam proses legislasi, yaitu seperti pada pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa: “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/ atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.53

Menurut Saldi Isra, seharusnya untuk fungsi legislasi yang terkait dengan kewenangan DPD, pengaturannya bersifat Inter-chamber dan merupakan muatan peraturan di tingkat Undang-Undang. artinya seharusnya bahwa tata tertib yang terkait dengan fungsi kedua kamar tersebut dibuat bersama-sama oleh kedua lembaga legislatif tersebut. sehingga memungkinkan untuk menutup celah kewenangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang organiknya serta memaksimalkan koordinasi kedua lembaga tersebut.54

52

Akhmad Haris Supriyanto, “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis” Artikel Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2014, Hal.6. 53

Ibid, 54


(59)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi

arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern.2

Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi

ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun badan-badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki). Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787.

3

Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang

konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap

2

Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3


(1)

v

Utara, Fransisca Kosasih, Ibreina Saulisa, Nathan Romlen, Margaretha Sianturi, Betari Karlina dan Dyna Sri Wahyuni.

16. ... T eman-teman saya di departemen Hukum Tata Negara, Dyna Sri Wahyuni, Tri Yanto Yeremia, Ulan Elmas, Juanda Tampubolon, Benny Suryadi, Safrizal, Garry F.A.S, Herry P. Kaban, Tri Marilando, dan Farah Muriana.

17. ... S ahabat seperjuangan saya M. Virsa AKA (Nate Virsa Kailani) dan Rahmansyah Putra (Daytime lantern) atas dukungan dan semangat yang kalian berikan dan semoga setelah sarjana kita tetap sevisi dalam Anime dan Manga.

18. ... T eman-teman saya, Hadi Tampubolon, Tulus Nababan, Joshua Sinuhaji, Hendro Siboro, Irene, Cathlin Toinando, Milyardi, Citra, Elvira Fransisca, Raymond Saptahari, Erma, Daniel Sinaga, Novliana, Susi, Patricia Naomi, Dian Simangungsong, David, Rasyid, Ari Pareme, Kristy Emelia, Okta, Maruli Sinaga, Olivia Sirait, Rick Gamelia, Ezer Sembiring, Eko Sianga, Swandi, Monica Tarigan, Andreas Sinulingga, Mathias, Roland Barus, alumni Lowrey Musik, Band De’Traff, Tim Skripsi Malam dan teman-teman lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.


(2)

vi

19. ... P ara pegawai administrasi dan bagian tata usaha serta karyawan-karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

20. ... D an para pihak lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwat tulisan ini masih memiliki kekurangan, maka dari itu Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, serta praktisi dalam bidang Hukum Tata Negara.

Penulis

Tody Valery

DAFTAR ISI Halaman


(3)

vii

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. ... Latar Belakang ... 1

B. ... Rum usan Masalah ... 7

C. ... Tujua n Penulisan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. ... Keasl ian Penulisan ... 9

E. ... Tinja uan Kepustakaan ... 10

F. ... Meto de Penelitian ... 14

G. ... Siste matika Penulisan ... 16

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA ... 18

A. ... Kewe nangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah ... 18


(4)

viii

B. ... Kewe nangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi ... 21

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PUTUSAN NOMOR 92/PUU-X/2012 ... 33

A. ... Subje

ctum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang

Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia ... 33 B. ... Petitu

m dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia ... 39 C. ... Amar

putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012) ... 48

BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014 ... 55

A. ... Terci ptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia ... 55 B. ... Kedu

dukan Dan Peran Dewan Perwakilan Daerah Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014 ... ... 59


(5)

ix

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. ... Kesi mpulan ... 70 B. ... Saran

... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

ABSTRAK Tody Valery1 Nazaruddin **

* Yusrin Nazief***

Judul skripsi ini adalah “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD”. Yang melatar belakangi penulisan skripsi ini adalah dengan munculnya pengaturan hukum tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 .

Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah

bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 , bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang MD3 Nomor 27

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

x

Tahun 2009 dan bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normative dan yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data berupa putusan Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang dan penulis berhadapan langsung dengan objek penelitian.

Fungsi Legislasi DPD dalam peraturan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 diperkuat lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diputuskan pada tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas.

Sedangkan Fungsi Legislasi DPD pada Undang-Undang yang baru masih dianggap belum baik dari pihak DPD sendiri. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi terkait Fungsi Legislasi DPD.