Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit Perbankan Terhadap Suami atau Istri Terkait Dengan Jaminan Harta Bersama (Studi Pada PT. Bank Mandiri, Tbk Cabang Imam Bonjol Medan)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
A. Pengertian Perjanjian
Tentang Perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam buku III dengan
judul “Perihal Perikatan”. Dalam buku III juga diatur tentang hukum yang tidak
bersumber dari perjanjian atau persetujuan, seperti perikatan yang timbul dari
perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan yang timbul dari
pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwaarneming).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.” 11 Kamus
Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi
persetujuan yang telah dibuat bersama”. Perjanjian berasal dari kata dasar “janji”
yang diberi awal “per” dan akhiran “an” yang secara etimilogi perjanjian
disebutkan sebagai kata yang menyatakan kesediaan atau kesanggupan untuk
berbuat, persetujuan antara kedua belah pihak, syarat, ketentuan, tangguh,
penundaan waktu dan batas waktu.12

11


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka. 2005) hlm. 458.
12
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000), hlm.120.

14
Universitas Sumatera Utara

15

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih” 13.
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu
luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga,
tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri

sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga
mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan
hukum ini tidak ada unsur persetujuan. 14
Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di
mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. 15
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum
di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih 16
Salim HS menyatakan bahwa Perjanjian adalah "hubungan hukum antara
subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana

13

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007), hlm. 363
Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 2005), hlm. 89. (Selanjutnya disebut Mariam I).
15
R.Subekti, Op.Cit, hlm. 36
16

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta,
1987) hlm. 49
14

Universitas Sumatera Utara

16

subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang
lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.” 17
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut
Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu”. 18Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan
nama undang-undang.
Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang
lahir dari “undang-undang”.Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi
lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUH

Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan
orang.Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu
perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu
perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan
dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

B. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit

merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutang piutang
(perjanjian pinjam-pengganti).Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok
17

Salim, HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008) hlm. 27. (Selanjutnya disebut Salim HS I)
18
R.Subekti., Op.cit., hlm 1


Universitas Sumatera Utara

17

serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya
pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum
antara keduanya.
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak
nasabah.Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit
merupakan

perjanjian

yang

tergolong

dalam

jenis


perjanjian

pinjam

pengganti.Meskipun demikian, namun perjanjian kredit tetap merupakan
perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, yangmana
objek perjanjiannya berupa uang. 19
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian itu mengandung
elemen-elemen sebagai berikut :
1. Adanya pihak-pihak, setidak-tidaknya harus ada dua orang, inilah yang
disebut sebagai subyek dalam konsep hukum.
2. Adanya persetujuan diantara para pihak itu, inilah yang disebut sebagai
konsensus.
3. Adanya obyek berupa benda yang diperjanjikan.
4. Adanya tujuan yang hendak dicapai bersifat kebendaan yakni menyangkut
harta kekayaan
5. Ada bentuk tertentu, apakah itu lisan atau tulisan. 20


19

Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis
(Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 62.
20
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996)
hlm 78

Universitas Sumatera Utara

18

Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian didefinisikan sebagai :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika kita perhatikan
dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata,
Perjanjian tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan
seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu
perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib
berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi
tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih
orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga
terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika
ada suatu perbuatan nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara
fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah
kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil.
Dalam khasanah hukum, perjanjian dikenal beberapa asas yang menjadi
dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu
perjanjian.Umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat
dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai

Universitas Sumatera Utara

19


alat bukti. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan
hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding)
Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit
berarti ia percaya akan kemampuan pihak debitur pada masa depan akan mampu
memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik itu berupa uang, barang
atau jasa. Noah Websten, sebagaimana dikutip Munir Fuady mengartikan kata
“kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu
sendiri berarti “kepercayaan”. 21
Dengan demikian, walaupun kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam
tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap
mengandung usaha “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit tidak hanya
sekedar kepercayaan.

C. Hukum Jaminan
Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur
yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan
itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang
seorang debitur terhadap seorang kreditur. Ringkasnya hukum jaminan adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. 22
Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang

mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang
(pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
21

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang Tahun 1998,
Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 128
22
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2007), hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

20

yang berlaku saat ini. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak
kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur.Sedangkan yang
menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan. 23
Sedangkan menurut Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan
adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara
pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan

untuk mendapatkan fasilitas kredit. 24
Dari pendapat-pendapat perumusan pengertian hukum jaminan di atas
dapat disimpulkan inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima
jaminan atau kreditur sebagai pembebanan suatu utang tertentu atau kredit dengan
suatu jaminan (benda atau orang tertentu).
Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung di dalam
perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan
hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan
hukum jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa
peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan).
Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan

23

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 3.
24
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara

21

hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
pembebanan utang suatu jaminan.
2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum
antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur).
Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai
(benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan
sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
Ketentuan hukum jaminan kredit dapat dijumpai dalam Buku II
KUHPerdata yang mengatur mengenai Hukum Kebendaan. Dilihat dari
sistematika KUHPerdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari
Hukum Kebendaan, sebab dalam Buku II KUHPerdata diatur mengenai
pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang
memberikan kenikmatan dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal Buku II KUHPerdata yang mengatur
mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan
Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232.
Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah Pasal 8 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta

Universitas Sumatera Utara

22

kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Jaminan pemberian kredit menurut Pasal 8 ayat (1) adalah bahwa
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.Untuk memperoleh keyakinan
tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari
nasabah debitur.
Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil resiko apabila
debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan
kredit yang telah dikucurkan.Dengan adanya jaminan, apabila debitur tidak
mampu membayar maka debitur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang
telah diberikannya. 25
Jadi, untuk mengurangi resiko pada jaminan pemberian kredit dalam arti
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan

oleh

bank.Untuk

memperoleh

keyakinan

tersebut

sebelum

memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama tehadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur.
D. Jaminan Kredit
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu
:Zekerheid atau Cautie. Zekerheid atau Cautie mencakup secara umum cara-cara
25

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010), hlm.67.

Universitas Sumatera Utara

23

Kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping penanggungan jawab
umum Debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga
dengan agunan, istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 UndangUndang 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan,Agunan adalah: 26 Jaminan tambahan diserahkan nasabah
Debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.
Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan
Pemberian Kredit, yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank
atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menentukan bahwa :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank
umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Jaminan artinya adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima oleh
Debitur dari Kreditur. Menurut UU Perbankan yang berlaku saat ini sangat
menekankan pentingnya suatu jaminan dalam memberikan kreditnya dalam
rangka pendistribusian dana nasabah yang sudah terkumpul olehnya, serta untuk
menggerakkan roda perekonomian. Yang sangat dipertimbangkan adalah jaminan
26

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya ditulis UU Perbankan.

Universitas Sumatera Utara

24

khusus di luar jaminan pada umumnya sebagaimana yag diatur dalam ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata, dimana dinyatakan bahwa segala kebendaan milik
Debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari akan
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.
Dengan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berarti seluruh harta benda
milik Debitur menjadi jaminan hutangnya bagi Kreditur, dalam hal Debitur tidak
dapat memenuhi kewajiban membayar hutangnya kepada Kreditur, maka harta
benda milik Debitur akan dijual dimuka umum dan hasil penjualan tersebut
dipergunakan untuk melunasi hutangnya kepada Kreditur, dalam hal Kreditur
lebih dari satu maka harus dibagi secara perimbangannya dengan piutangnya
masing-masing terhadap ketentuan tersebut dapat juga Kreditur mendapat
perlakuan khusus yaitu diutamakan sesuai dengan Pasal 1132 KUHPerdata
asalkan diperjanjikan terlebih dahulu. Bahwa yang dimaksud dengan jaminan
kredit adalah pihak Debitur untukmendapatkan kepercayaan dari Kreditur yang
akan mengucurkan dana, dimana dana tersebut setelah ada pada Debitur akan
dikembalikan lagi pada Kreditur dengan cara mengangsur/mencicil dalam suatu
waktu yang telah ditentukan guna untuk menjamin angsuran tersebut pihak
Debitur memberikan sesuatu sebagai jaminan pada Kreditur yang apabila Debitur
tidak lagi mampu membayar angsurannya, Kreditur dapat mengambil pelunasan
dengan cara menjual jaminan tersebut.
Terdapat dua tempat pengaturan tentang dasar hukum jaminan yaitu (1)
dalam KUHPerdata dan Di luar KUHPerdata. Mengenai pengaturan yang terdapat
dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II KUHPerdata yang berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

25

jaminan yaitu yang masih berlaku sampai dengan sekarang ini adalah tentang
pengaturan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUHPerdata
dan yang berkaitan dengan Hipotik diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal
1232 KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur mengenai Hipotik ini meliputi : (1)
Ketentuan umum (2) Pembukuan-pembukuan Hipotik serta cara pembukuan , (3)
Pencoretan pembukuan (4) Akibat-akibat Hipotik terhadap pihak ketiga yang
menguasai benda yang tidak dibebani. (5) hapusnya Hipotik (6) Pegawai yang
ditugaskan menyimpan Hipotik, tanggung jawab mereka dan publikasi register
umum, pengaturan tentang Hipotik ini hanya berlaku untuk Kapal Laut yang
beratnya 20 M3 Keatas dan pesawat Udara. Sedangkan mengenai hak atas tanah
tidak berdasarkan KUHPerdata lagi akan tetapi didasarkan pada ketentuan UUHak
Tanggungan.
Mengenai pengaturan Hukum Jaminan di luar KUHPerdata :
1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum DagangStb.1847b Nomor 23 yang
mengatur kaitannya dengan jaminan dalam Pasal 314 sampai Pasal 316
KUHD yang berkaitan dengan pembebanan Hipotik pada Kapal Laut.
2. Dalam Undang-Undang Pokok Agrariadimana yang berkaitan dengan
jaminan yaitu dalam Pasal 51 berbunyi : Hak Tanggungan dapat
dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan
tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 UUPA sedangkan Pasal 57 berbunyi :
selama Undang- Undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal
51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan

Universitas Sumatera Utara

26

mengenai Hipotik tersebut dalam KUHPerdata dan Creditverban tersebut
dalam S.1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190.27
3. Undang-Undang Hak Tanggungan.15 Undang-Undang ini mencabut
berlakunya Hipotik sebagaimana yang diatur dalam buku KUHPerdata,
sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai tanah dan ketentuan
mengenai Crediverban dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan S.1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkreditan,
sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia. 28
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 16, ada tiga
pertimbangan lahirnya UU Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia ini
yaitu : (1). Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas
dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan, (2). Jaminan Fidusia
sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada
yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan Perundang-Undangan secara
lengkap dan konperhensif. (3) Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat
lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta
mampu memberikan perlindungan bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu
dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut
perlu didaftarkan pada kantor Pendaftaran Fidusia. 29

27

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
29
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

28

Universitas Sumatera Utara