Topik utama edisi 4 b

From integrated coastal management (ICM) to sustainable coastal planning
Pendekatan baru dalam Penguatan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terintegrasi
Oleh : Redaksi Butaru
Kontribusi Pengelolalaan (Manajemen) Wilayah Pesisir yang Terintegrasi (ICM) dalam
30 tahun terakhir, sudah berhasil menangani permasalahan dasar wilayah pesisir di
Australia . Namun, menurut laporan dari The National State of Environment dan
beberapa laporan lainnya, tekanan urbanisasi tetap kian meningkat.
pesisir Australia sedang mengalami tekanan yang besar oleh manusia. Menurut data
statistik, 86% penduduk Australia tinggal di daerah pesisir (Natural Resource
Management Ministerial Council 2006, hal.44). Tekanan-tekanan ini termasuk
meningkatnya jumlah penduduk dan pergeseran demografis, industri pariwisata dan
berkembangnya industri baru, termasuk akuakultur, penurunan jumlah habitat di air dan
kualitas air dan perkiraan dampak dari perubahan iklim (Natural Resource Management
Ministerial Council 2006, CES 2008a). Diambil dari National State of Environment
Reports (DEST 1996, Environment Australia 2001, DEH 2006), semakin jelas bahwa
tekanan ini menambah beban di wilayah pesisir. The Australian State of the Environment
Committee menyatakan, “Tidak ada isu baru sejak tahun 2001. Namun ada kebutuhan
yang mendesak untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan yang walaupun sangat
kecil namun bersifat menerus dan kumulatif,” (DEH 2006, hal.49). Maka dapat
disimpulkan bahwa diperlukan adanya ‘pembaruan dalam sistem pemerintahan, dari
pendekatan yang jangka pendek dan sektoral menuju pendekatan yang lebih sistematik,

terintegrasi, dan terencana dalam pengelolaan dan pemantauan’ (DEH 2006, hal.102).
Urbanisasi Wilayah Pesisir Australia

Wilayah pesisir Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi yang signifikan yang
menyebabkan perubahan dalam demografi spasial dan bentuk lingkungan hidup. State of
the Environment Report tahun 2006 (DEH 2006) memperkirakan lebih dari 86 persen
penduduk Australia tinggal di wilayah pesisir dan meramalkan akan terjadi migrasi
internal yang telah terjadi selama 10 tahun belakangan (2001 – 2011) (lihat Peta 1).
Seperti yang tergambar pada Peta 1, pertumbuhan penduduk terdapat pada pantai timur
Australia antara Sydney dan Brisbane, juga pada kota-kota satelit Melbourne dan bagian
selatan Perth di Australia Barat. Migrasi penduduk ke daerah pesisir telah menciptakan
‘perubahan muka laut’ dan telah menjadi topik diskusi publik dan akademik (Salt 2001,
Burnley & Murphy 2004, Hugo 2004, Smith & Doherty 2006, Gurran et al. 2008).
Burney & Murphy (2004) menyatakan, “The movement of Australians from metropolitan
cities to non-metropolitan parts of the country has been the focus by social scientists
since the mid 1970s. Around then, for the first time in the 20th century, the demographic
dominance of the large cities appeared to be on the wane and country areas seemed to be
on the verge of a demographic and economic renaissance. We refer to this as a ‘sea
change’.” (Burnley & Murphy 2004, p.ix) Namun pernyataan di atas tidak hanya tertuju
pada kawasan pesisir, tapi juga berlaku untuk semua perubahan pemanfaatan ruang.

Ditekankan pula bahwa perubahan di Australia sebagian besar terjadi di pesisir timur
bagian selatan,
pada kota-kota satelit, dan sebagian di pesisir Australia
Selatan dan Australia Barat. erlu diketahui bahwa migrasi
ke wilayah pesisir tidak hanya datang dari kota-kota
metropolitan, namun juga pada kota-kota nonmetropolitan.
Smith & Doherty (2006) pada latar belakang makalah
untuk National State of Environment Report 2006
mempelajari lebih jauh tentang konsep perubahan muka
laut dengan menitikberatkan kepada ‘tekanan-tekanan’
yang ada seperti: pertumbuhan penduduk pesisir,
pariwisata, perubahan dan variasi iklim, dan pengaturan
tata kelola pemerintahan. Smith & Doherty (2006, hal.10)
menyatakan bahwa suburbanisasi wilayah pesisir
menimbulkan dua jenis tekanan, yang pertama tekananan
‘langsung’ yang terjadi pada lingkungan hidup sebagai akibat pembangunan pesisir dan,
yang ke dua, tekanan ‘terus-menerus’ akibat pengelolaan pengembangan kota seperti air
pembuangan.

Tekanan dan Dampak terhadap Wilayah Pesisir

Seperti yang sudah diketahui, tekanan
sudah terjadi di wilayah pesisir. The
National State of Environment Report
menegaskan bahwa tekanan terhadap
pengembangan pesisir terus meningkat.
Karena itu, diadakan tiga studi kasus dan
dua focus group yang menyoroti:
urbanisasi wilayah pesisir akibat
perubahan demografis dan sosial
(wilayah Geelong); perubahan iklim di
Pesisir Victoria dengan perkiraan
kenaikan permukaan laut, gelombang
badai (storm surge), berkurangnya curah
hujan, serta meningkatnya suhu udara
(Gippsland dan wilayah Geelong) dan
perubahan penggunaan tanah pesisir
termasuk pohon desalinasi dan wind
farm (lihat table). Selain dampakdampak yang sudah disebutkan di atas,
The Victorian State of the Environment
Report juga menemukan banyak dampak

terhadap lingkungan lainnya, termasuk:
pertumbuhan penduduk rata-rata yang
pesat di pesisir Victoria (mendekati
dengan laju pertumbuhan Melbourne);
modifikasi ektensif terhadap vegetasi
dan estuari, yang berdampak terbesar
kepada lahan di atau dekat dengan
permukiman
pesisir;
sulitnya
mendapatkan data yang akurat dan konsisten karena wilayah pesisir sudah banyak yang
berubah; dan perubahan iklim yang berdampak serius pada wilayah dan masyarakat
pesisir (CES 2008a, hal.46). Dampak-dampak ini juga disorot pada studi kasus (Geelong,
Gippsland, Point Nepean) dan diungkapkan di dalam diskusi kelompok terarah (focus
group discussion/FGD) (CD 2007, rear cover). Victorian Commissioner for
Environmental Sustainability. Ketidakmampuan penulis makalah dalam menyimpulkan
dampak pada kasus Geelong, Gippsland dan Point Nepean, secara tidak langsung sudah
membuktikan kerusakan pesisir.

Perencanaan Pesisir di Australia

Perencanaan pesisir di Australia telah berkembang
menjadi satu sistem pengaturan pemerintahan yang
kompleks
dan
melibatkan
semua
tingkat
pemerintahan. Tekanan ‘kembar’ dari pertumbuhan
perkotaan dan proyeksi dampak perubahan iklim
sedang menguji sistem ini dengan cara yang belum
ada presedennya. Pada level nasional, the EPBC Act
1999 menyediakan penilaian regional untuk area
tertentu termasuk pertumbuhan perkotaan di wilayah
pesisir. Perkembangan terbarunya adalah penyusunan
kerangka kebijakan nasional (National Resources
Management Ministerial Council 2006) yang
menunjukkan langkah awal pemerintah Australia
dalam menangani masalah tekanan ‘kembar’ ini.
Namun, kebijakan tersebut kurang tepat karena tidak
menangani masalah adaptasi terhadap perubahan

iklim untuk pengelolaan pertumbuhan urbanisasi
yang pesat. Perencanaan laju pertumbuhan perkotaan
di Australia adalah wewenang pemerintah daerah
dengan delapan sistem perencanaan yang berbeda di
masing-masing negara bagian. Perencanaan pesisir
hanya berdasarkan riset setempat dan pengembangan dari agenda riset nasional.
Hubungan antara perencanaan untuk urbanisasi pesisir di tingkat lokal dan perencanaan
untuk proyeksi dampak perubahan iklim masih lemah dan membutuhkan kebijakan yang
lebih banyak perhatian dan penelitian di masa depan. Hal ini dikarenakan perbedaan
perencanaan dan manajemen tanah publik dan swasta, perbedaan pendekatan disiplin
ilmu untuk perencanaan perkotaan dan pengelolaan sumber daya alam yang rumit, yang
sampai pada batas tertentu, menjadi signifikan jika diatur oleh antar institusi pemerintah.
Contohnya adalah, Pemerintah Australia memiliki departemen terpisah untuk menangani
masalah pengelolaan sumber daya, perubahan iklim dan permukiman perkotaan. Ini juga
terjadi pada tingkat negara bagian karena tidak adanya kebijakan nasional tentang
perencanaan pesisir dan perkotaan yang meliputi semua dimensi, dan sampai saat ini
belum ada kebijakan yang layak untuk pengelolaan pesisir yang terintegrasi di Australia.
Pengelolaan Pesisir yang Terintegrasi
Pengelolaan pesisir yang terintegrasi telah menjadi dasar dari pengelolaan pesisir di
Australia sejak tahun 1970-an. Pengelolaan pesisir yang terintegrasi (ICM) telah

mendapatkan respon yang lebih terkoordinasi untuk pengelolaan sumber daya melalui
program manajemen sumber daya. Tantangan Australia selanjutnya adalah pendekatan
ICM yang lebih holistik untuk rencana pesisir Australia yang strategis (meliputi sosial,
ekonomi, dan lingkungan) dalam mempertimbangkan dan melintasi batas yuridiksi

tradisional seperti kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, dan kewajiban pemerintah.
Namun, bukan berarti penerapan konsep ICM ini tidak memiliki keterbatasan. Beberapa
kritik menyatakan tata kelola pemerintahan dan keterlibatan masyarakat masih fokus
pada proses manajemen adaptif lainnya. Ada beberapa kata kunci yang muncul dari
kedua literatur tersebut dalam hal kebijakan publik utama, yang terus menghambat
keberhasilan ICM, yaitu: tidak adanya proses perencanaan jangka panjang untuk wilayah
pesisir; tidak terintegrasinya kebijakan nasional dan regional juga aksi lokal;
ketidakmampuan untuk menanggapi dampak lingkungan akibat pertumbuhan perkotaan
wilayah pesisir; adanya tantangan baru perubahan iklim yang membutuhkan kebijakan
perkotaan dan pesisir yang terintegrasi; dan tidak adanya komitmen politik dalam
penerapan ICM ketika ada tekanan pengembangan yang signifikan. Sementara itu, pada
skala nasional, ada tiga batasan yang perlu diperhatikan, yaitu: tidak adanya koordinasi
manajemen pesisir antara tiga level pemerintahan dan antar negara bagian; tidak adanya
kebijakan nasional yang efektif untuk perlindungan pesisir dan perencanaan perkotaan;
dan tidak adanya sistem yang terintegrasi untuk perencanaan penggunaan lahan (baik

lahan publik maupun swasta) yang terfokus dalam pengelolaan lingkungan di wilayah
pesisir.
Temuan dalam Studi Kasus
Dalam studi kasus yang dilakukan, ditemukan beberapa isu yang menjadi isu utama
dalam penataan ruang wilayah pesisir. Isu- isu ini, jika ditangani dengan tepat, akan
menjadi kunci sukses pelaksanaan perencanaan wilayah pesisir. Isu yang pertama adalah
partisipasi masyarakat, yang ke dua adalah warisan budaya dan masyarakat adat, yang ke
tiga adalah pengelolaan lahan public yang terintegrasi, dan yang terakhir adalah
pendidikan mengenai lingkungan hidup. Isu pertama atau partisipasi masyarakat ialah hal
terpenting dan menjadi kunci keberhasilan segala perencanaan wilayah termasuk wilayah
pesisir. Namun jika tidak ditangani dengan tepat, partisipasi masyarakat dapat menjadi
faktor penghambat. Pada tahap awal perencanaan, partisipasi masyarakat terkesan seperti
penghambat jalannya proses penyusunan rencana tata ruang. Kerap kali masyarakat tidak
percaya dengan pengembangan baru karena khawatir akan merusak lingkungan. Maka
dengan partisipasi masyarakat, pihak perencana (dalam hal ini pemerintah)
berkesempatan untuk menjelaskan rencana jangka panjang dari pengembangan wilayah
tersebut, dan sebaliknya masyarakat setempat berkesempatan untuk terlibat langsung
dalam proses perencanaan itu.
Dengan demikian, masyarakat merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung
rencana tersebut. Dalam perencanaan pesisir ditemukan perlunya perubahan signifikan

dalam sistem pengelolaan pesisir yang dapat memfasilitasi masyarakat sekitar dan
membantu secara positif guna mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Perlindungan dan
pengelolaan warisan budaya dan masyarakat adat menjadi isu yang ke dua. Perencanaan
di wilayah pesisir menitikberatkan pada perlindungan warisan budaya dan hak- hak
masyarakat adat di wilayah tersebut. Perlindungan warisan budaya dan hak-hak
masyarakat adat menjadi salah satu isu penting dalam perencanaan wilayah pesisir.
Selanjutnya adalah isu yang ke tiga, yaitu tentang pengelolaan lahan yang terintegrasi.
Kerjasama yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat

dibutuhkan dalam pengelolaan lahan publik. Namun dalam penerapan hal ini ada dua isu
utama, yaitu: pertama, integrasi kebijakan atas kepemilikan lahan dan batas pasang-surut
air laut, dan yang ke dua adalah dukungan kepada pemerintah daerah dalam menangani
tekanan sosio-ekonomi. Selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan rencana pesisir
dalam rencana tata ruang yang lain. Hal ini sangat penting, terutama dari aspek
pengelolaan lingkungan. Pendididkan lingkungan hidup, isu ke empat, juga merupakan
hal penting dalam penyusunan tata ruang pesisir. Hal ini penting dalam pelibatan
pemangku kepentingan terutama dengan masyarakat suku asli, karena dengan pendidikan
lingkungan hidup yang baik, dapat dipastikan penerapan rencana tata ruang pesisir bisa
maksimal.
Penerapan Teori ICM dalam Perencanaan

Wilayah pesisir dikelola oleh banyak pihak, termasuk pemerintahan yang multilevel
(pusat/nasional dan daerah; provinsi dan kabupaten) karena wilayah pesisir tidak mutlak
berada dalam suatu wilayah administratif. Dalam proses perencanaan tata ruang Point
Nepean, terjadi banyak masalah kompleks yang melibatkan multilevel dan multisektor
dalam pemerintahan. Maka diperlukan political will yang kuat dari pemerintah terlibat,
dan harus dipastikan bahwa political will ini “diwariskan” kepada pemerintahan yang
akan dating, karena rencana tata ruang berlaku jangka panjang, maka dari itu dibutuhkan
komitmen jangka panjang. Pada pelaksanaannya, dibentuk tim ad-hoc untuk memantau
jalannya proses penyusunan rencana pesisir. Namun tim pemantau ini tidak boleh
berhenti hanya dalam proses perencanaan. Harus ada lembaga yang kuat dan legal dalam
pemantauan penerapan perencanaan pesisir. Lembaga ini harus berupa lembaga lintas
sektor dan terdiri dari perwakilan masyarakat.

Kesimpulan dari Studi Kasus
Dari proses perencanaan pesisir pada studi kasus di atas,
ada beberapa kesimpulan yang bias kita pelajari, antara
lain: kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah
sangatlah penting dalam kesuksesan penataan ruang
pesisir terintegrasi; proses partisipasi masyarakat adalah
hal yang sangat penting dalam proses penyusunan

perencanaan pesisir, karena dengan demikian masyarakat
memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap rencana
tata ruang tersebut; pelibatan masyarakat adat dan
penyertaan kebijakan lokal dalam perencanaan dapat
memastikan keberlanjutan dan kesuksesan penerapan
perencanaan; pemanfaatan ruang publik yang terintegrasi
menjadi komponen utama untuk pengertian dampak
potensial dalam urbanisasi, turisme, dan perubahan iklim
dalam wilayah pesisir; pendidikan lingkungan hidup menjadi sangat penting untuk
keberlanjutan dan penerapan rencana penataan ruang; dan yang tearkhir, kerjasama antar
level pemerintahan dapat meningkatkan kesuksesan implementasi rencana tata ruang

pesisir. Selain itu, dari diskusi kelompok juga ditemukan beberapa implikasi dalam
penerapan ICM. Beberapa yang harus dicermati adalah:
(1) Harus adanya kesepakatan hasil. Hal ini dapat dilihat jika ada rencana jangka
panjang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Walaupun ada kerjasama nasional
untuk pendekatan yang terintegrasi dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan
strategi wilayah pesisir Victoria dan pernyataan strategi wilayah setempat, tidak
pernah ada kesepakatan resmi antar pemerintah pusat, negara bagian dan lokal
dalam urbanisasi dan perubahan iklim wilayah pesisir. Dalam kata lain, tidak ada
perencanaan wilayah pesisir.
(2) Harus ada peningkatan dalam proses partisipasi masyarakat. Peserta diskusi
kelompok menyatakan bahwa masyarakat merasa kecewa karena tidak
maksimalnya pelibatan masyarakat.
(3) Adanya kebutuhan untuk lebih menghubungkan perencanaan pesisir dan
manajemen dengan sistem perencanaan kota dan regional.
(4) Harus adanya tata kelola wilayah pesisir.
(5) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan monev dalam jangka panjang.
Menuju Perencanaan Pesisir yang Berkelanjutan
Dari temuan penelitian tadi, maka perencanaan pesisir yang berkelanjutan didasarkan
pada lima langkah dan enam prinsip yang dapat mendukung kesepakatan antar
pemerintah untuk perencanaan pesisir di Victoria dan (diharapkan) nasional. Temuantemuan dampak, isu, dan implikasi ICM juga perlu dinyatakan. Lima langkah ini
termasuk memperluas teori ICM menjadi berbasis hasil dan wilayah dalam
pendekatannya untuk pengelolaan dan perencanaan wilayah pesisir. Dalam konteks
perubahan iklim, pendekatan yang lebih adaptif dan sistematis telah terbentuk. Sementara
dibutuhkan partisipasi masyarakat yang lebih intensif pada proses penyusunan rencana
tata ruang pesisir. Instrumen utama untuk perubahan adalah kesepakatan antar tiga level
pemerintahan pada perencanaan pesisir yang berkelanjutan yang didukung oleh enam
prinsip.
Prinsip-prinsip ini termasuk: hasil yang disepakati dan pembagian lingkungan pesisir
untuk memfasilitasi integrasi horisontal dan vertikal; pendekatan sistematis dan adaptif
untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan perencanaan perkotaan serta menarik
kesimpulan dari pengalaman dan pengetahuan dari dua disiplin ilmu tersebut;
memasukan hasil kesepakatan bersama dan pendekatan adaptif terhadap implementasi
perencanaan perkotaan dan wilayah; tata kelola pemerintahan wilayah untuk
mengintegrasikan hasil kebijakan dan partisipasi masyarakat; peningkatan kapasitas
sumber daya manusia untuk perencanaan pesisir yang berkelanjutan termasuk di
dalamnya riset antar disiplin ilmu dan pendidikan masyarakat dan monitoring dan
evaluasi jangka panjang. Maka dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari pengembangan
jaringan pesisir dan dampak perubahan iklim akan menjadi kontributor utama untuk
memfasilitasi komitmen politik yang kuat untuk mengimplementasikan perencanaan
pesisir yang berkelanjutan. Tapi kembali lagi, keseriusan parlemen nasional saat ini

dalam menanggapi perubahan iklim dan dampak lingkungan pada masyarakat pesisir,
akan menjadi ujian terpenting komitmen tersebut.
REFERENSI :
Integrated Caustal Management to Coastal Sustainability Planning, Barbara J Norman,
Phd . Australia