BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Ukuran Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Terhadap Proses Komposting Menggunakan Pupuk Organik Aktif (POA) di Dalam Komposter Menara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) MENJADI KOMPOS

  Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara luas yang mana data total areal perkebunan kelapa sawit dan produksinya dari tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada tahun 2010, menurut BPS, total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.548.828 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 22.496.857 ton. Sebanyak 16.291.856 ton dari produksi CPO ini diekspor ke beberapa negara Asia seperti Jepang, India, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa negara lainya [3].

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi CPO, dan Kernel di

  Indonesia dari tahun 2006-2010 [3] Tahun Luas Areal (ha) Produksi CPO (ton) Produksi Kernel (ton) 2006 6.284.960 16.569.927 3.428.700

  2007 6.853.916 17.796.374 4.017.477 2008 7.333.707 19.400.794 4.379.963 2009 8.548.828 21.390.326 4.829.123 2010 8.774.694 22.496.857 5.077.818

  Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat, oleh karena itu dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat, Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi kompos tersebut adalah Limbah TKKS dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). Sebagai gambaran, apabila sebuah pabrik kelapa sawit mengolah sekitar 100 ton dari tandan buah segar (TBS) setiap hari menjadi crude palm oil (CPO), selama proses berlangsung akan dihasilkan limbah (residu) baik dalam bentuk padat dan cair. Limbah padat, terutama dalam bentuk TKKS dihasilkan sebanyak 27% dari TBS yang diolah, sedangkan

  3 limbah cair dalam bentuk LCPKS yang dihasilkan lebih dari 500 kg (sekitar 0,5 m ).

  Kebanyakan kedua limbah ini dibuang selama pengolahan, oleh karena itu dengan memanfaatkan teknologi pengomposan, suatu pabrik yang mengolah TBS 100

  3

  ton/hari dan limbah yang dihasilkan sebanyak 27 ton TKKS dan 50 m POME, maka akan menghasilkan produk kompos sebanyak 27 ton/hari [4]. Limbah sebanyak ini semuanya dapat diolah menjadi kompos hingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah yang cukup besar [8].

Gambar 2.1 memperlihatkan diagram alir proses pengolahan kelapa sawit dari aktivitas produksi pabrik kelapa sawit yang menghasilkan limbah dalam jumlah yang

  besar.

  Tandan Buah segar (TBS) Steam Sterilization

  Limbah Cair Perontokan Tandan Kosong Kelapa sawit (Threser)

  Buah inti sawit yang terpisah dari tandan Proses pemisahan Fiber dan cangkang Minyak

  Clarifier Effluent Fiber (serabut) Cangkang Pemecahan

  Crude Palm Oil (CPO) (Cracking) shell (kulit) Kernel

  Kernel oil mill PKO PKM

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [10]

  Selama ini TKKS kebanyakan tidak dimanfaatkan dan biasanya hanya dibuang langsung ke tanah, padahal akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena TKKS masih mengandung minyak yang dapat merusak kandungan hara dari tanah [11]. Menurut Hayawin et al, TKKS memiliki kandungan beberapa unsur dan mineral yang tinggi dan cocok diolah kembali menjadi suatu produk olahan yang baru. Oleh karena itu, maka TKKS dapat dimanfaatkan sebagai kompos. TKKS yang apabila dibuang ke tanah secara langsung akan mengalami proses terdekomposisi dalam waktu yang lama untuk menjadi kompos [8]. Pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku pembuatan kompos akan memberi keuntungan selain dalam pengurangan jumlah limbah sebanyak 50 % dari volume, juga dapat membantu petani disekitar perkebunan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan menggunakan kompos TKKS [7].

  

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN

PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

  TKKS terdiri dari 45 - 50 % selulosa dan memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [12]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok rotary untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna coklat kering dengan bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17-30 cm dan lebar 25-35 cm. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung ; 42,8 %

  C, 2,90 % K

2 O, 0,80% N, 0,22 % P

  2 O 5 , 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara

  lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton Tandan Kosong sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 Kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP [15]. Pada gambar 2.2 memperlihatkan bentuk dari TKKS yang akan digunakan.

Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [10]

  TKKS umunya dijadikan mulsa dengan cara penumpukkan di sekitar pohon kelapa sawit. Padahal cara ini tidak akan menciptakan produk kompos organik yang bermutu, karena nilai C/N masih tinggi. Pengomposan adalah penurunan rasio atau perbandingan antara karbon dan nitrogen dengan singkatan nilai C/N. Bahan organik dapat diserap tanah adalah mempunyai C/N yang sama dengan tanah ialah sekitar 10

  • – 12 oleh karena itu, limbah sawit (cair dan padat) yang mempunyai nilai C/N tinggi harus diturunkan [13].

  Keunggulan tandan TKKS jika dijadikan kompos meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: 1. Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan.

  2. Membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

  3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman.

  4. Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah.

  5. Dapat diaplikasikan pada sembarang musim.

  

2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent Biogas

Pengolahan Lanjut Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

  Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap. Pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi. Pupuk organik cair dapat diklasifikasikan atas pupuk kandang cair, biogas, pupuk cair dari limbah organik, pupuk cair dari limbah kotoran manusia, dan mikroorganisme efektif [14].

  Pupuk dalam bentuk cair ada yang bersifat organik dan ada pula yang bersifat anorganik. Kelebihan pupuk organik cair dibanding pupuk anorganik cair yaitu dapat mampu menyediakan hara secara cepat. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan pupuk kimia anorganik cair antara lain kurang efisien, karena pupuk ini tidak memiliki bahan pengikat sehingga saat diaplikasikan di lapangan banyak yang terbuang. Larutan pupuk anorganik yang jatuh ke permukaan tanah akan larut dan tercuci saat hujan dan unsur N menguap pada suhu cukup tinggi [14].

  Effluent biogas adalah keluaran dari instalasi biogas yang merupakan by

product dari sistem pengomposan anaerob yang bebas bakteri patogen dan dapat

  digunakan sebagai pupuk untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman. Effluent mengandung unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, dan unsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn [14]. Effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman dapat meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburan tanah.

  Menurut Junus, effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna (digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak mengandung unsur P.

  

2.3 PROSES PENGOMPOSAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN

2.3.1 Kompos

  Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [15]. Kompos dari limbah padat organik semakin penting di seluruh dunia, dalam kerangka terpadu manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari penimbunan [16].

  Pengomposan merupakan sarana mengubah berbagai limbah organik menjadi produk yang dapat digunakan secara aman dan menguntungkan sebagai pupuk hayati dan lingkungan tertentu untuk bertahan hidup dan fungsi. Mereka membutuhkan jumlah yang cukup makro dan mikro-nutrisi, oksigen, dan air. Organisme ini mengalami tingkat pertumbuhan yang optimal hanya dalam suhu tertentu dan rentang pH [17].

  Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B.. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO), serta panas yang menghasilkan uap air (H

2 O). Oleh karena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan perubahan warna serta bau.

  Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [18].

2.3.2 Proses Pengomposan Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia.

  Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses tahap pematangan. Pada gambar 2.3 menunjukan perubahan suhu yang terjadi akibat pertumbuhan mikroba selama berlangsungnya proses pengomposan.

Gambar 2.3 Perubahan Suhu dan Pertumbuhan Mikroba Selama Proses Pengomposan [18]

  Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat

  o

  hingga mencapai 70

  C. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan. Mikroba

  

mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif

  pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik

  • menjadi NH , CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan
oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur- angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-50 % dari bobot awal tergantung kadar air awal [18]. Skema sederhana dari proses pengomposan dapat dilihat pada gambar 2.4.

  Uap Air, Panas, CO , NO, gas lain 2 Bahan Baku Oxygen Produk Akhir

  Karbon, Nitrogen, Inorganics, Air, Bahan

  • – bahan Microorganisme, Tumpukan organik, Pathogens, benih Pencampuran Curing Kompos mikroorganisme gulma , mikroba yang

  anorganik menguntungkan

Gambar 2.4 Skema Proses Pengomposan [12]

  Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan blower untuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsung dari proses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalam reaktor tertutup. Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [19].

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

  Proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu, kadar air, karbon nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan baku [20]

  Menurut Tchobanoglous, Untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol. Berikut ini

  2.3.2.1 Nutrisi Carbon (C), nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado, menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman.

  2.3.2.2 Rasio C/N C/N adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [21]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen, menurut Insam dan Bertoldi pada tahun 2001, digunakan dalam sintesa protein. Nitrogen juga digunakan sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri mengandung 7-11% nitrogen dalam berat kering, sedangkan fungi mengandung 4-

  6% nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, pebandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [22].

  Saat proses pengomposan, perbandingan C/N dari waktu ke waktu pengomposan akan terus mengalami penurunan seiring dengan aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik yang ada dalam gundukan kompos. Pada awal pengomposan banyak nitrogen yang digunakan untuk sintesa protein sebagai bentuk aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan material organik.

  2.3.2.3 Ukuran Partikel Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju

  Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction, dan bulk density.

  Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasnya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8 - 2 inci [19].

  2.3.2.4 Temperatur Suhu adalah indikator proses yang baik. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10 - 40

  C) dan termofilik (di atas 40

  C) . Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 C dan

  65 C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [19].

  Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5

  • – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada windrow turun 10
  • – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [23].

  2.3.2.5 pH Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8

  • – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7
  • – 8 [23]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [15].

  Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [19]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50

  • – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [23].

  Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50%. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai

  

water holding capacity , hal ini sesuai dengan pernyataan dari Agricultural Analytical

pada tahun 2008. Services Laboratory The Pennsylvania State University

  2.3.2.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi adalah kelembaban dan nilai C/N. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengoahan air limbah. Pencampuran dengan bahan lain menyebakan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.

  2.3.2.8 Pengadukan Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 - 60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4

  • – 5 kali [23]. Menurut Schloss et al, pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan dalam penelitiannya setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [24].

2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK

  Industri kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia apabila mampu mampu menciptakan produk dari olahan limbahnya, seperti pembuatan produk kompos. Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [7]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME kepengolahan air limbah.

  Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME . Dimana penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS karena dengan memotong dan merobek TKKS dapat menyulitkan, dan limbah cair yang disemprotkan mudah tercuci dari tumpukan. Prosesnya dilakukan dengan metode open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 m dan lebar 40 m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke- 10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53

  C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50 C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50

  C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 º C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan dipertahankan di atas 10 % . Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P

2 O 5 0,6 %; K 2 O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20.

  Penelitian yang dilakukan oleh Hayawin et al. mengenai vermicomposting dari TKKS dengan tambahan POME. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kualitas nutrisi kompos yang dihasilkan dari TKKS dan POME dengan menggunakan epigeic cacing tanah Eisinia fetida. Vermicompos merupakan penguraian bahan organik menjadi kompos dengan bantuan cacing. Prosesnya TKKS diparut menjadi bahan berserat longgar (panjang

  ≈ 3,68 mm, lebar ≈ 165,45 μm) menggunakan mekanik thermo refiner, Pengomposan dilakukan pada enam unit dengan dimensi panjang 14 cm, lebar 12 cm dan tinggi 7 cm. Setiap

  vermicomposter

vermicomposter diisi dengan komposisi TKKS dan POME yang berbeda. Setelah 15

  hari TKKS dan POME dicampur pada masing

  • – masing unit vermicomposter dengan komposisi yang telah ditentukan, lalu ditambahkan 5 gr Eisinia fetida pada masing

  

vermicomposter dan kelembapan substrat dipertahankan sekitar 80 ± 10 dengan

  memercikan air ke bahan. Semua sampel dianalisa jumlah karbon organik (TOC), total kjeldhal nitrogen (TKN), jumlah kalium (TK), jumlah kalsium total (TCA), total potassium (TP), pH dan rasio C/N. Adapun hasil yang diperoleh setelah pengomposan yaitu rasio C/N dari enam buah vermicomposter mengalami penurunan disetiap waktunya, nilai pH meningkat secara bertahap selama proses

  vermicomposting dan tetap dalam kisaran 7,9

  • – 8,5. Sedangkan nilai TKN, TP dan
TK tertinggi dan perbandingan komposisi yang baik untuk pengomposan diperoleh pada rasio 50% TKKS + 50 % POME.

  Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al. adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp., Scytalidium sp., Chaetomium sp., dan

  

Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp), sedangkan untuk kondisi anaerobik

bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp).

  TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silinder, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter, kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke masing

  • –masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70%, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80%. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob waktu pengomposan gagal diselesaikan dalam waktu 90 hari. Suhu awal pengomposan semua tumpukan 28 C dan mengalami peningkatan setelah 2 hari, pada kondisi aerobik berkisar 49-59 C dan kondisi anaerobik berkisar 31-34

  C, pH yang diperoleh untuk kedua kondisi selama pengomposan adalah 7,50

  • – 8,60. Jumlah pertumbuhan mikroba untuk kondisi aerobik meningkat setelah 15 hari pengomposan dan kemudian secara bertahap menurun dan konstan sampai akhir pengomposan, sedangkan untuk kondisi anaerobik pertumbuhan mikroba tidak mengalami perubahan pada saat pengomposan sedangkan bahan organik, karbon
organik yang terkandung serta rasio C/N untuk semua tumpukan dan kondisi secara bertahap menurun selama waktu pengomposan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Samsu et al. mengenai pengaruh dari POME

  

3

anaerobic sludge yang berasal dari 500 m closed anaerobic methane ddigested tank

  dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses pengomposan. POME

  

anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini

  memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok composter dengan POME anaerobic sludge, rasio tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunkan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67

  C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos.

2.5 STANDAR KUALITAS KOMPOS INDONESIA

  Standar kualitas kompos di Indonesia merujuk pada SNI 19-7030-2004 tentang parameter kualitas kompos seperti yang ditampilkan pada tabel 2.2. Regulasi tersebut diperlukan sebagai pembatasan produk limbah (kompos) yang didesain sebagai perubah tanah organik atau pupuk. Standar kualitas kompos menurut SNI dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2. Standar Kualitas Kompos [25]

  No Parameter Satuan Minimum Maksimum

  • 1 Kadar Air %

  50

  2 Temperatur Temperatur air

⁰C

tanah

  3 Warna Kehitaman

  4 Bau Berbau tanah

  5 Ukuran partikel mm 0,55

  25

  6 Kemampuan ikat %

  58 air

7 pH 6,8 7,49

  

8 Bahan asing % * 1,5

UnsurMakro

  9 Bahan organik %

  27

  58

  • 10 Nitrogen % 0,40

  11 Karbon % 9,80

  32

  12 Pospor

  • % 0,10

  13 C/N rasio

  10

  20

  • 14 Kalium % 0,20 UnsurMikro

  15 Arsen mm/kg *

  13

  16 Kadmium mm/kg *

  3

  • 17 Kobal mm/kg

  34

  • 18 Kromium mm/kg 210

  

19 Tembaga mm/kg 100

*

  

20 Merkuri mm/kg * 0,8

  21 Nikel mm/kg

  62

  

22 Timbal mm/kg 150

  23 Selenium mm/kg *

  2

  

24 Seng mm/kg * 500

Unsur lain

  • 25 Kalsium % 25,50

  • 26 Magnesium % 0,60

  

27 Besi % * 2,00

  28 Alumunium % 2,20 *

  

29 Mangan % 0,10

* Bakteri

  

30 Fecal Coli MPN/gr 1000

  31 Salmonella sp MPN/4 gr

  3

2.6 KEMTANGAN KOMPOS

  Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sekarsari, terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.3:

Tabel 2.3. Parameter Kematangan Kompos [26]

  Parameter Indikator Suhu Stabil Ph Alkalis Perbandingan C/N <20

  • -1 Laju Respirasi <10 mg g kompos Warna Coklat Tua Bau Earthy (bau tanah)

2.7 PEMANFAATAN KOMPOS

  Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

  1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

  a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisem akan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah.

  b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya.

  Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :  Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)  Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo) c. Memperbaiki struktur tanah Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat.

  Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun tanah yang gembur amat baik bagi tanaman.

  d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori- pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding

  ) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan

  capacity

  kompos

  2. Aspek Ekonomi

  a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

  b. Mengurangi volume/ukuran limbah

  c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya d.Proses pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah.

  3. Aspek Lingkungan

  a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah b. Tidak menimbulkan masalah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia ternyata berpengaruh buruk, tidak hanya meracuni tanah dan air saja, tetapi juga meracuni produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pupuk urea terbuat dari senyawa hidrokarbon yang juga digunakan untuk kendaraan bermotor. [26].

2.8 POTENSI EKONOMI

  Penelitian kompos ini dapat diterapkan dalam skala home industry ataupun dalam

skala pabrik. Namun pada potensi ekonomi ini akan dihitung pada skala home industry

dengan pengolahan TKKS sebanyak 1.500 kg/hari. Dimana bahan baku TKKS yang

digunakan berasal dari PKS Sei Mangke PTPN III dan POA yang berasal dari plant biogas

LP2M Biogas USU, serta lokasi pembuatan kompos dilakukan pada LP2M USU. Rincian

biaya ditunjukan dalam tabel 2.4 berikut

Tabel 2.4 Rincian Biaya Pembuatan Kompos

  No Jenis Biaya Jumlah Satuan @Harga (Rp) Biaya (Rp)

  1 TKKS 1500 Kg 200 300.000

  2 Transportasi 1500 Kg 333 500.000

  3 Pekerja

  2 Orang Harian 50.000 100.000 Total

  900.000 Dari rincian biaya pembuatan kompos diatas, maka total biaya pembuatan kompos kg/hari adalah : Rp. 900.000 / 1.500 kg = Rp 600 /kg Dari pengolahan 1 kg TKKS menghasilkan ± 0,8 kg kompos, sehingga dari pengolahan 1.500 kg TKKS akan menghasilkan kompos sebanyak 1.500 kg x 0,8 = 1.200 kg/hari Harga 1 kg kompos TKKS yang dijual dipasaran adalah Rp 1.000/kg [2], maka dapat dihitung besar harga penjualan adalah sebagai berikut: 1.200 kg x Rp. 1.000 = Rp. 1.200.000 Sehingga keuntungan yang didapat perharinya adalah : Harga total penjualan Rp. 1.200.000 Biaya operasi Rp. 900.000

  Rp. 300.000 Maka total keuntungan penjualan kompos perhari adalah Rp. 300.000

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Akuntabilitas Pelayanan Publik Dalam Pembuatatn Surat Izin Usha Warung Internet di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan

0 0 28

Akuntabilitas Pelayanan Publik Dalam Pembuatatn Surat Izin Usha Warung Internet di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan

0 0 11

Kajian Yuridis Terhadap Koperasi Apabila Berubah Menjadi Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang - Kajian Yuridis Terhadap Koperasi Apabila Berubah Menjadi Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Analisis Dampak Konversi Perkebunan Karet ke Kelapa Sawit pada Masyarakat Desa Batang Kumu Tahun 2014

0 2 23

Analisis Dampak Konversi Perkebunan Karet ke Kelapa Sawit pada Masyarakat Desa Batang Kumu Tahun 2014

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Kreativitas, Aktivitas, dan Ruang bagi Manusia - Kajian Potensi Industri Kuliner dalam Membentuk Lingkungan Kreatif (Studi Kasus : Kawasan Jalan Mojopahit Kecamatan Medan Petisah)

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Kemiskinan - Analisis Potensi Ekonomi dan Jumlah Penduduk Miskin Terhadap Pendapatan Perkapita Kabupaten Samosir

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Potensi Ekonomi dan Jumlah Penduduk Miskin Terhadap Pendapatan Perkapita Kabupaten Samosir

0 0 11