BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Status Fungsional - Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Status Fungsional 1.1.

  Definisi Status Fungsional Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care (perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik.

  Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri, pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu.

1.2. Jenis-jenis pengukuran status fungsional

  Saltzman dalam Ropyanto (2011) menjelaskan status fungsional dapat dikaji melalui pengkajian fungsional dengan menggunakan alat ukur untuk mendapatkan gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kemampuan, dan kebutuhan individu terhadap perawatan,

  8

  8 memonitor perubahan sepanjang waktu, serta untuk pantauan pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat ukur status fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index of

  Independence in Activities of Daily Living (IADL) , Functional Independent Meassure (FIM) , Indeks Barthel.

  1.3. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada pasien stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada pasien stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi penyakit, dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support, kelelahan, kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia perkembangan, dan jenis ketergantungan yang dialami.

  1.4. Status fungsional pada pasien stroke Abraham Maslow menjelaskan lima hirarki kebutuhan dasar manusia

  (five hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow dalam Asmadi (2008) menjelaskan bahwa kebutuhan yang sangat primer yang dibutuhkan oleh manusia adalah kebutuhan fisiologis.

  Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang harus dipenuhi untuk memelihara homeostatis biologis dan kelangsungan kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Asmadi, 2008).

  Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting, makan, minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan maupun berpindah tempat (Junaidi, 2011).

  Status fungsional pada pasien stroke dapat diukur salah satunya adalah dengan menggunakan Indeks Barthel sebagai istrumen untuk mengukur kategori ketergantungan kemampuan fungsi yang dialami. Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan disalah satu atau kedua anggota ekstremitas atas (tangan) pasti mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan fisiologis, makan. Gangguan makan pada pasien stroke tidak hanya dapat berakibat pada sistem pencernaan dan energinya tetapi dapat berakibat juga dengan penurunan konsentrasi atau penurunan kognitif pasien. Orang terdekat pasien seperti perawat maupun keluarga harus memperhatikan gizi yang terkandung dalam makanan pasien, maupun diet yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke (Sutrisno, 2007).

  Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang hingga ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh dengan menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol, penyikat gigi, dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari kotoran, keringat, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang dapat menempel di kulit (Ropyanto, 2011).

  Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri yang perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju dapat dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit terlebih dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang terdekat seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga pasien stroke dapat terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan fisik yang dialami (Ropyanto, 2011).

  Kebutuhan fisiologis seperti eliminasi urin BAK dan BAB atau aktivitas toileting pada pasien stroke dapat dibantu oleh perawat maupun keluarga. Namun, apabila pasien stroke masih dalam ketegori ketergantungan ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien untuk beraktivitas toileting mandiri dapat dilakukan tanpa bantuan. Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan dalam aktivitas toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan sehingga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan perawat maupun keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan yang bergizi dengan serat yang tinggi untuk membantu memperlancar eliminasi (Ropyanto, 2011).

  Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus dapat memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk melakukan pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh.

  Keteraturan dalam mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat meningkatkan status fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh secara instan, tetapi diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran (Ropyanto, 2011).

1.5. Pengukuran status fungsional pasien stroke dengan Indeks Barthel

  Penelitian ini menggunakan Indeks Barthel untuk mengkaji status fungsional pasien stroke. Indeks barthel merupakan instrumen pengukuran status fungsional yang digunakan pada dewasa yang sedang dalam perawatan klinis maupun dalam area rehabilitasi (Loretz, 2005 dalam Ropyanto, 2011). Indeks Barthel ini merupakan skala yang dinilai berdasarkan observasi oleh tenaga kesehatan, dapat diambil dari catatan medis pasien, maupun pengamatan langsung (Sugiarto, 2005).

  Domain dalam instrumen ini meliputi makan, berpindah tempat, kebersihan diri, aktivitas toileting seperti mengontrol defekasi dan berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, dan berpakaian. Kemampuan untuk makan diberikan tiga aspek penilaian yaitu skor 0 tidak mampu makan sendiri apabila pasien tidak mampu secara total dan membutuhkan bantuan keseluruhan untuk melakukan seluruh aktivitas makan seperti penyiapan makanan, memegang sendok dan piring, dan menyuapi makanan kedalam mulut, dan pasien yang menggunakan NGT (nasogastric tube). Skor 5 diberikan kepada pasien yang hanya membutuhkan beberapa bantuan dalam aktivitas makan, seperti penyiapan makanan, memegang piring, memotong makanan menjadi bagian kecil- kecil dan pasien dapat melakukan sebagian seperti menyuapi sendiri kedalam mulut. Skor 10 diberikan kepada pasien yang secara keseluruhan mampu melakukan aktivitas makan secara mandiri, tidak membutuhkan bantuan.

  Mandi terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0 diberikan kepada pasien yang secara total tidak mampu mandi sendiri, membutuhkan keseluruhan bantuan seperti melepas baju, menggunakan sabun, shower

  

puff , air, mencuci rambut, tidak mampu nenegang gayung, tidak mampu

  mengguyur air ke badan, tidak mampu menggosok dan membersihkan badan. Sementara skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan mandiri, yaitu mampu melakukan sebagian dengan bantuan atau keseluruhan aktivitas mandi.

  Perawatan diri terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0 diberikan pada pasien yang membutuhkan bantuan dalam melakukan perawatan diri seperti berhias, menyisir rambut, mencuci muka, menyukur jenggot, kumis, menggosok gigi, dan menggunakan bedak. Skor 10 diberi pada pasien yang mampu secara mandiri tanpa bantuan dalam melakukan perawatan diri.

  Aktivitas selanjutnya yaitu berpakaian dengan 3 kategori penilaian, yaitu skor 0 diberikan kepada pasien yang tidak mampu secara keseluruhan dalam berpakain, mengenakan dan melepaskan pakaian, menggunakan tali sepatu, membuka dan menutup reksleting, kancing, dan penyiapan pakaian. Skor 5 diberikan pada pasien yang membutuhkan sebagian bantuan dalam berpakaian, seperti kesulitan mengenakan pakaian dibagian yang mengalami kelumpuhan namun sebagian lagi pasien mampu melakukannya. Skor 10 diberikan kepada pasien yang mampu secara mandiri melakukan seluruh aktivitas dalam berpakaian mulai dari penyiapan pakaian, sampai dengan menggunakan pakaian dan merapikannya sendiri.

  Mengontrol anus dalam domain Bowel (BAB) mempunyai tiga kategori penilaian, antara lain skor 0 inkontinensia yaitu tidak mampu mengendalikan fungsi pengeluaran feses dan flatus. Pasien yang menggunakan enema, pencahar dan menggunakan diaper juga diberikan skor 0. Pasien dengan kemampuan kadang-kadang atau yang bersifat insidental diberikan skor 5, dan pasien yang dapat mengontrol pengeluaran atau kontinensia diberikan skor 10.

  Mengontrol kandung kemih mempunyai tiga kategori penilaian antara lain skor 0 atau inkontinensia yang tidak mampu mengendalikan pengeluaran urin dan yang menggunakan kateter atau yang menggunakan

  diaper . Skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan insedental,

  sementara skor 10 diberikan pada pasien yang kontinen, dapat mengontrol pengeluaran urin tanpa menggunakan kateter.

  Kategori penilaian dalam penggunaan toilet meliputi tidak mampu yang diberikan skor 0 yaitu pasien yang membutuhkan bantuan total dalam menggunakan toilet meliputi melepas dan menggunakan celana, pakaian dalam, menyiram wc, membersihkan area genital, berjalan ke toilet, beranjak ke atau dari kloset. Skor 5 diberikan pada pasien yang hanya sebagian membutuhkan bantuan seperti membersihkan area genitalia, sebagian aktivitas lain dalam penggunaan toilet mampu dilakukan. Skor 10 diberikan pada pasien dengan kemampuan mandiri dalam penggunaan toilet tanpa bantuan.

  Berpindah dari tempat tidur ke kursi atau ke kursi roda dan sebaliknya memiliki empat kategori penilaian yaitu skor 0 pada pasien yang tidak mampu karena tidak memiliki keseimbangan, skor 5 pada pasien yang membuthkan banyak bantuan (bantuan mayor) lebih dari satu orang, dan pada pasien yang dapat duduk. Skor 10 diberikan jika pasien hanya membutuhkan sedikit bantuan baik verbal maupun fisik, sedangkan pasien yang dapat berpindah secara mandiri tanpa bantuan diberikan skor 15.

  Aktivitas pergerakan atau mobilisasi dalam batas yang telah ditentukan memiliki empat kategori penilaian, yaitu skor 0 yang tidak mampu melakukan mobilisasi atau <5 meter. Skor 5 jika pasien mampu mandiri mobilisasi > 5 meter dan pasien yang menggunakan kursi roda.

  Skor 10 jika pasien mampu berjalan dengan bantuan verbal atau fisik satu orang < 5 meter, dan skor 15 pada pasien yang mampu mobilisasi berjalan mandiri tanpa bantuan orang > 5 meter atau pasien yang mampu berjalan sendiri dengan tongkat.

  Aktivitas terakhir yaitu naik dan turun tangga memiliki tiga kategori penilaian yaitu skor 0 jika pasien tidak mampu secara total dalam menaiki atau menuruni tangga, skor 5 jika pasien mampu menuruni dan menaiki tangga dengan bantuan orang secara verbal atau fisik atau dengan menggunakan tongkat atau berpengangan. Skor 15 diberikan jika pasien mampu secara mandiri tanpa bantuan apapun dalam menuruni dan menaiki tangga. Terdapat lima skala penilaian, berupa mandiri (81-100), ketergantungan ringan (61-80), ketergantungan sedang (41-60), ketergantungan berat (21-40), dan ketergantungan total (0-20).

2. Konsep Diri 2.1.

  Definisi konsep diri Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang membuat individu mengetahui dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Kozier, Glenora, dan Berman serta koleganya (2004) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran psikologis individu meliputi persepsi atau ide pribadi yang kompleks, penampilan, keyakinan, dan kepercayaan yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bertindak.

  Definisi lain dari konsep diri menurut Potter dan Perry (2005) merupakan citra subjektif dari percampuran yang kompleks antara perasaan, sikap, dan persepsi bawah sadar maupun sadar, mencakup bagaimana individu mengetahui dirinya dan seluruh aspek dalam kehidupannya, yang bergantung pada aspek psikologis dan spiritualnya serta memberikan kita pedoman dan acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain.

  Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan hal yang sangat penting ada dalam diri individu, yang merupakan citra mental individu terhadap dirinya sendiri mencakup bagaimana individu memandang dan menilai dirinya berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta mempengaruhi individu dalam berinteraksi dan beraktivitas dalam kehidupan sosial.

  2.2. Perkembangan konsep diri pada masa dewasa awal hingga dewasa akhir Potter dan Perry (2005) menjelaskan mengenai perkembangan konsep diri dewasa awal yang berusia 20-40 tahun memiliki hubungan yang intim dengan keluarga dan orang-orang lain, memiliki perasaan yang stabil dan positif mengenai diri, dan mengalami keberhasilan transisi peran, serta meningkatnya tanggung jawab. Konsep diri pada masa ini akan tetap terus berkembang, yang dapat diidentifikasi dari nilai, sikap, dan perasaan tentang diri. Konsep diri merupakan kreasi sosial, penghargaan, dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial yang ditetapkan.

  Perkembangan konsep diri pada masa dewasa madya yang berusia 40-60 tahun mengalami proses penerimaan terhadap setiap perubahan penampilan dan ketahanan fisik, mengevaluasi ulang tujuan hidup dan merasa nyaman dengan penuaan, serta menunjukkan perhatian dengan penuaan, memberikan pelajaran dan pengalaman yang berharga bagi individu lain, serta menghargai bahwa masa lalu dan pengalaman mereka sendiri adalah valid dan sangat bermakna. Konsep diri terus berkembang hingga individu menjadi lansia. Konsep diri semasa lansia atau dewasa akhir dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup, bercermin pada hidup, meninjau kembali keberhasilan, dan kekecewaan. Konsep diri pada masa lansia atau dewasa akhir sangat dipengaruhi oleh status kesehatan.

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

  Stuart dan Laraia (2001) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain teori perkembangan, significant

  other (orang terdekat atau terpenting), dan self perception (persepsi diri

  sendiri). Kozier, Glenora, Berman dan koleganya (2004) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri individu adalah tumbuh kembang, keluarga dan budaya, stresor, pengalaman dari kegagalan dan keberhasilan, serta penyakit, trauma, dan pembedahan.

  2.4. Komponen konsep diri Konsep diri terdiri dari 4 komponen menurut Potter dan Perry

  (2005), meliputi gambaran diri (body image), harga diri (self-esteem), peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity), sedangkan Stuart dan Sundeen (1991) membagi konsep diri menjadi 5 komponen yaitu, gambaran diri (body image), ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem), peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity), 2.4.1.

  Gambaran diri (body image) Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa gambaran diri merupakan sikap individu terhadap tubuhnya mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan, dan potensi tubuh saat ini, masa lalu, dan masa mendatang secara berkelanjutan dan dipengaruhi dengan pengalaman baru individu.

  Gambaran diri merupakan persepsi, perasaan, sikap, dan pengalaman tentang tubuh individu termasuk pandangan tentang maskulinitas, dan feminimitas, kegagahan fisik, daya tahan, dan kapabilitas. Gambaran diri merupakan hal pokok dan dinamis karena tubuh individu sering berubah seiring dengan usia, persepsi, dan pengalaman-pengalaman baru yang diterima oleh individu dan dapat berubah dalam beberapa jam, hari, minggu, atau bulan, bergantung pada stimulus eksternal pada tubuh dan perubahan aktual dalam penampilan, struktur, dan fungsi (Potter dan Perry, 2005).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri menurut Potter dan Perry (2005), yaitu : 1.

  Faktor internal Pandangan pribadi tentang karakteristik mengenai kemampuan fisik, pertumbuhan kognitif, perkembangan hormonal, dan usia.

2. Faktor eksternal

  Pandangan dan persepsi orang lain terhadap individu serta nilai kultural dan sosial.

  Perubahan gambaran diri juga dipengaruhi oleh stresor yang dialami individu. Stresor yang mempengaruhi gambaran diri menurut Potter dan Perry (2005), yaitu: 1.

  Perubahan penampilan, struktur, atau fungsi bagian tubuh Amputasi, perubahan penampilan wajah karena kecelakaan, mastektomi, kolostomi, ileostomi, hemiplegia, paraplegia, kelumpuhan, operasi plastik dan lain-lain dapat mengakibatkan stresor pada gambaran diri.

  2. Penyakit kronis Penyakit jantung, stroke, ginjal, kanker, dan lain-lain yang mencakup perubahan fungsi yang mengakibatkan tubuh tidak lagi pada tingkat yang optimal dan mengakibatkan efek yang signifikan pada gambaran diri individu.

  3. Perubahan hormonal dan perkembangan fisik Kehamilan, penuaan, dan menopause merupakan hal yang normal dialami individu. Namun, hal ini dapat mengakibatkan perubahan pada gambaran diri individu yang bergantung pada penerimaan individu.

  4. Efek pengobatan dan terapi Kemoterapi, terapi radiasi, dan hemodialisa yang pada umumnya menyebabkan perubahan pada penampilan seperti mengalami kerontokan rambut, kulit kusam, dan timbul bintik kehitaman dikulit mejadi stresor bagi gambaran diri individu.

  Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan gambaran diri positif menunjukkan sikap bersyukur dengan perubahan fisik yang terjadi, tetap menyukai, dan tidak menyalahkan Tuhan atas kondisi yang dialami. Individu dengan gambaran diri negatif menunjukkan penolakan untuk menyentuh bagian tubuh yang berubah, ketidaknyamanan yang terus menerus dirasakan akibat perubahan fisik yang terjadi, merasa tidak menarik akibat perubahan tubuh, sering mengeluh dan mengkritik diri sendiri, memiliki pandangan negatif, depersonalisasi, serta menolak menerima penjelasan perubahan tubuh.

2.4.2. Ideal diri (self-ideal)

  Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan ideal diri merupakan persepsi individu tentang perilaku individu berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu yang dipengaruhi oleh norma, kebudayaan, keluarga, dan ambisi. Faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri antara lain faktor spiritualitas, kecenderungan individu dalam menetapkan ideal pada batas kemampuannya, faktor sosial, kultural, dan budaya yang mempengaruhi, ambisi dan keinginan yang kuat untuk bisa lebih dan mencapai keberhasilan yang menyangkut harga diri individu, serta perasaan cemas, kebutuhan yang realistis, dan keinginan untuk menghindari kegagalan.

  Ideal diri mempermudah individu dan berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu saat mengahadapi konflik atau kondisi yang mengancam sehingga, tercapailah keseimbangan fisik dan mental. Ciri-ciri individu yang mempunyai ideal diri yang realistis menurut Stuart dan Sundeen (1991), antara lain: 1.

  Semangat untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan individu memiliki perasaan berharga.

  2. Tidak ingin bergantung terhadap orang lain dan tidak menyalahkan orang lain maupun Tuhan terhadap perubahan yang terjadi walaupun tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

3. Giat dalam bekerja dan berusaha, serta tidak mudah menyerah.

  Penetapan ideal diri sebaiknya harus cukup tinggi tetapi realistis agar memacu individu untuk menggapainya. Namun, individu yang tidak dapat memenuhi ideal diri sesuai standar dan kriteria yang ditetapkan (tidak realistis) mengakibatkan harga diri rendah, merasa lebih buruk dari yang lain, dan menyebabkan individu tidak berdaya (Keliat, 2000).

  2.4.3. Harga diri (self-esteem) Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa harga diri adalah bentuk penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan mempertimbangkan dan menganalisa seberapa jauh perilaku individu sesuai dengan ideal diri. Apabila ideal diri berupa cita-cita harapan keinginan tercapai, akan langsung menghasilkan perasaan berharga didalam diri. Jika individu berhasil maka memiliki harga diri yang tinggi, namun apabila individu selalu gagal mengakibatkan individu memiliki harga diri yang rendah.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri menurut Poter dan Perry (2005) yaitu:

  1. Harga diri dipengaruhi oleh ideal diri.

  Ideal diri yang dibentuk dari aspirasi, tujuan, nilai-nilai, dan budaya serta standar perilaku individu. Individu yang hampir memenuhi ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi, sementara individu yang mempunyai variasi yang luas terhadap ideal diri dan sulit untuk dicapai individu menyebabkan harga diri yang rendah.

  2. Evaluasi diri.

  Evaluasi diri pribadi maupun evaluasi dari orang lain mempengaruhi harga diri individu. Evaluasi diri yang baik mengakibatkan peningkatan harga diri dan individu akan mempertahankannya, namun evaluasi diri yang buruk menyebabkan penurunan harga diri.

  3. Harga diri dipengaruhi oleh sejumlah kontrol yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup.

  Banyak stresor yang mempengaruhi harga diri, yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi harapan orang tua atau orang dicintai, kritik yang tajam, hukuman yang tidak konsisten, persaingan atar saudara, kekalahan berulang, ketidakberhasilan dalam pekerjaan, kegagalan dama berhubungan, penyakit, pembedahan, kecelakaan, perubahan lain dalam kesehatan mempengaruhi harga diri individu. Semakin besar kejadian yang menganggu individu semakin besar pula penurunan harga diri yang terjadi (Potter dan Perry, 2005).

  Stuart dan Sundeen (1991) menjelakan beberapa perilaku individu dengan harga diri rendah, yaitu mengkritik diri sendiri dan orang lain, putus asa, kecewa, malu, menarik diri dari interaksi sosial, tertekan dan merasa tidak berguna, penurunan produktivitas, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, merasa bersalah, mudah tersinggung, pandangan yang pesimis, dan memiiki rasa khawatir berlebihan. Individu dengan harga diri tinggi mempunyai keyakinan yang tinggi, berserah pada Tuhan, dan timbul kepercayaan diri yang kuat.

  2.4.4. Peran diri (self-role) Peran diri mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas, dan kebiasaan yang didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Peran diri merupakan label individu yang mempunyai berbagai peranan didalam kehidupan yang terintegrasi dalam pola fungsi individu (Potter dan Perry, 2005).

  Definisi peran diri menurut Stuart dan Sundeen (1991) merupakan serangkaian pola perilaku ynag diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Peran dibagi menjadi 2 yaitu peran yang telah ditetapkan dan peran yang diterima. Peran yang ditetapkan seperti peran menjadi orangtua, anak, ibu, ayah dan lain-lain, sementara itu, peran yang diterima (dipilih individu) seperti peran menjadi pelajar, peran menjadi pekerja swasta, atau pekerja negeri, dan lain-lain.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam menyesuaikan diri dengan peran yang dilakukan menurut Stuart dan Sundeen (1991) yaitu: 1.

  Kejelasan perilaku dan penghargaan yang sesuai dengan peran.

  2. Respon yang tetap dan konsisten terhadap peran yang dilakukan.

  3. Kesesuaian dan keseimbangan antar semua peran.

  4. Keselarasan budaya dan harapa terhadap peran.

  5. Dukungan orang terdekat terhadap peran yang dilakukan.

  6. Pemisahan situasi yang menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran.

  Setiap individu memiliki lebih dari satu peran dan memungkinkan untuk mengalami gangguan peran diri. Gangguan peran diri atau stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dengan nilai dan keinginan individu, dan peran berlebih. Perilaku individu dengan gangguan peran atau peran yang tidak memuaskan menunjukkan ketidakpuasan individu terhadap peran yang sedang dilakukannya, mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran, kegagalan menjalankan peran yang baru, ketegangan menjalankan peran yang baru (Potter dan Perry, 2005).

  Stuart dan Sundeen (1991) menambahkan perilaku yang timbul apabila individu mengalami peran diri yang tidak memuaskan seperti perasaan tidak mampu, gagal, putus asa, apatis, dan kurang bertanggung jawab. Sementara itu, individu yang dapat beradaptasi dengan berbagai peran dan puas terhadap peran yang dilakukan akan lebih meningkatkan perasaan berharga, dihormati, mempunyai ambisi, semangat yang kuat, dan ingin terus meningkatkan kualitas dalam peran yang sedang dilakukan.

  2.4.5. Identitas diri (self-identity) Identitas diri merupakan perasaan internal mengenai individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari individu sepanjang waktu dan dalam berbagai hal, yang menunjukkan individu berbeda dan terpisah dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik (Potter dan Perry, 2005). Rasa identitas terjadi secara kontinu timbul dan dipengaruhi oleh situasi sepanjang hidup. Individu dengan rasa identitas yang kuat akan merasa terintegrasi bukan terbelah.

  Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa individu dengan identitas diri yang jelas dilihat dari perilaku dan karakteristik seperti individu mengenal dirinya secara terpisah dan berbeda dengan orang lain, dan menyadari keunikan masing masing, tetap bangga menjadi diri sendiri, mengenali dan menyadari jenis seksualnya, sadar akan hubungannya masa lalu, saat ini, dan masa mendatang, tetap berkarya, mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan direalisasikan, mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya, menghargai, mengakui, dan tetap percaya diri terhadap berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai, dan perilaku secara harmonis.

  Identitas diri dipengaruhi oleh stresor sepanjang hidup, stresor tersebut adalah stresor kultural, stresor sosial, dan stresor personal. Individu yang tidak dapat mengatasi dan tidak mampu beradaptasi dengan stresor yang terjadi akan membuat individu mengalami gangguan identitas diri.

  Gangguan identitas diri atau individu yang memiliki identitas diri yang tidak jelas ditunjukkan dengan perilaku ketidakpastian memandang diri sendiri, penuh keraguan, menunjukkan individu tidak mampu untuk mengambil keputusan, perilaku tidak percaya diri, menganggap diri tidak sempurna, ketergantungan, kepribadian yang bertentangan, masalah interpersonal, mempunyai perasaan yang hampa (mengambang), kerancuan gender, tingkat ansietas yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain (Stuart dan Sundeen, 1991).

2.5. Klasifikasi konsep diri

  Potter dan Perry (2005) membagi konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, bergantung pada kekuatan individu dari komponen konsep diri. Konsep diri positif merupakan hal yang esensial bagi kesehatan mental dan fisik. Individu yang memiliki konsep diri positif memiliki respon yang adaptif terhadap suatu masalah yang dihadapi, individu dapat menyelesaikan masalah secara jujur dan realistis dan mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya atau disebut dengan aktualisasi diri.

  Konsep diri positif sangat baik dalam mendukung perkembangan psikologis individu, meningkatkan interaksi atau hubungan yang lebih baik dengan orang lain, menurunkan risiko gangguan fisik dan gangguan jiwa, serta membuat individu dapat beradaptasi terhadap berbagai stresor yang dapat menurunkankan kualitas hidup (Kozier et al., 2004).

  Individu yang memiliki konsep diri yang sehat berarti memiliki kepribadian yang sehat pula. Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa individu yang memiliki konsep diri positif ditunjukkan melalui citra tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realistis dan semangat untuk menggapainya, harga diri yang tinggi, performa peran yang memuaskan, dan rasa identitas yang jelas.

  Individu yang memiliki konsep diri negatif berarti memiliki respon yang maladaptif terhadap masalah yang dihadapi, memiliki citra tubuh yang negatif, ideal diri yang tidak realistis, harga diri rendah, peran yang tidak memuaskan, dan identitas diri yang tidak jelas. Konsep diri negatif yang dialami menyebabkan individu tidak percaya diri, menarik diri, dan merasa tidak mampu untuk melakukan segala sesuatu, tidak dapat mencapai tujuan dan harapan hidupnya. Individu dengan konsep diri negatif dapat juga ditunjukan dari perasaan putus asa, tidak menyukai diri sendiri, mengkritik diri sendiri, sering mengalami perasaan kecewa, bahkan hingga menurunkan energi dan semangat menjalani hidup (Stuart dan Sundeen, 1991).

2.6. Rentang respon konsep diri

  Adaptif Maladaptif Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kekacauan Depersonalisasi diri positif rendah identitas

  Skema 2. Rentang respon konsep diri (Stuart dan Sundeen, 1991) Keterangan: 1.

  Respon adaptif apabila saat menghadapi masalah, individu dapat beradaptasi dan dapat menyelesaikannya, atau individu memiliki konsep diri positif dan meningkat memiliki aktualisasi diri yang baik.

  2. Respon maladaptif apabila saat menghadapi masalah, individu tidak dapat beradaptasi dan gagal dalam menyelesaikan masalah, atau individu memiliki konsep diri negatif dengan adanya harga diri rendah, mengalami kekacauan identitas, bahkan hingga mengalami depersonalisasi (tidak mengenal diri sendiri, tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain, merasa asing dengan diri sendiri).

2.7. Konsep diri pada pasien stroke

  Konsep diri merupakan hal yang dimiliki oleh setiap individu baik individu yang sehat maupun individu yang sakit. Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Individu yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik dapat meningkatkan konsep diri, dan sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap kondisi fisiknya dan kondisi kesehatannya, tidak percaya dengan kesembuhan dapat mempengaruhi konsep diri menjadi negatif (Potter dan Perry, 2005).

  Individu dengan konsep diri positif dapat terjadi karena individu dapat berpikir realistis, dapat menerima sakit yang dirasakan, lebih bersikap optimis, penuh percaya diri, yakin sembuh, mampu menghargai dirinya, dan mampu memandang aspek positif dari kondisi yang sedang dialami. Hal ini dapat terjadi karena koping efektif yang dimiliki, terdapat dukungan sosial (sistem support) yang didapat oleh keluarga, sahabat, rekan sekerja, dan sebagainya, selain itu individu juga memiliki tingkat spiritualitas yang baik, sehingga individu mudah menerima, bahkan memiliki pemikiran yang positif tentang Tuhannya, mengganggap sakitnya merupakan cobaan dan ujian yang harus dilalui, serta individu juga mempunyai motivasi yang kuat untuk sembuh, hal ini yang menjadi dasar individu sehingga individu semangat walaupun dalam kondisi sakit yang dirasakan (Young, 2007).

  Individu dengan konsep diri negatif dapat terjadi karena individu hanya terpusat pada titik kelemahannya (penyakit), tidak memiliki motivasi dan semangat yang kuat untuk sembuh, koping tidak efektif untuk menghadapi masalah (penyakit), individu justru putus asa dengan penyakit yang dialaminya, memandang dirinya lemah, tidak berdaya, tidak berguna untuk hidup, selalu berpikir negatif, tidak dapat berbuat apa-apa, kehilangan daya tarik terhadap hidup, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya dukungan sosial dari orang terdekat, selain itu tingkat spiritualitas yang kurang baik, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dialami (Young, 2007).

  Stroke merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi mendadak (tiba-tiba) pada peredaran darah otak yang mengalami gangguan berupa terhentinya suplai darah arteri ke otak yang dapat mengakibatkan defisit neurologis dan gangguan fungsi yang diakibatkan oleh iskemik dan pecahnya pembuluh darah (Kemenkes, 2010). Kondisi neurologis yang timbul akibat stroke tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan tergantung pada lokasinya. Secara fisik pasien stroke sering mengalami kelemahan fungsi tubuh antara lain kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan sensorik), perubahan mendadak status mental (delirium, letargi, stupor atau koma), afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan atau kesulitan memahami ucapan), disatria, gangguan penglihatan atau diplopia, vertigo, mual, muntah atau nyeri kepala (Arif et al., 2000).

  Setiap perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya stresor yang mempengaruhi konsep diri. Perubahan fisik yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan gambaran diri, harga diri, identitas diri, peran diri, dan ideal diri juga terpengaruh. Secara psikologis individu dengan stroke mengalami suatu “kehilangan” yang sangat besar dan berharga dalam hidupnya, yakni “kehilangan” untuk bergerak dan bekerja, kegagahannya, kekuatan anggota tubuhnya, kemandiriannya untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari, dan keterampilannya (Wicaksana dalam Huda, 2013).

  Hal tersebut menyebabkan individu merasa tidak percaya diri dengan keadaan dan kondisi yang sedang dialami dan mempengaruhi konsep diri dalam kehidupannya. Individu dengan penyakit stroke tidak hanya mengalami gangguan gambaran diri karena perubahan fisik yang terjadi, individu juga memiliki perasaan takut, cemas dengan kondisinya, marah, bahkan hingga depresi mungkin dapat terjadi. Individu merasa tidak berguna dengan keterbatasan fisik dan gerak yang dialaminya, terjadi perubahan peran seperti kepala rumah tangga yang terbatas melakukan pekerjaan dan hubungan sosial tidak seperti dulu sebelum sakit, dan berkurangnya kemampuan kognitif (Potter dan Perry, 2005).

  Seseorang dengan penyakit stroke yang menerima dan merasa mampu dengan kondisinya dapat menjadikan dirinya lebih semangat untuk menjalani kehidupan dan berjuang untuk sembuh, dan sebaliknya individu yang tidak mampu dan tidak menerima kekurangan dan keadaan yang sedang dialami, akan semakin memperburuk kondisinya, baik kondisi fisik maupun kondisi psikologis. Sangat penting bagi penderita stroke memiliki konsep diri yang positif demi kesembuhan, mencegah terjadinya gangguan psikologis seperti depresi, demi kelangsungan hidup dimasa depan yang penuh harapan (Sutrisno, 2007).