Metafora CINTA dalam Bahasa Angkola

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori-Teori yang Relevan
2.1.1 Teori Metafora Klasik
Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di
Injil ketika Adam dan Eva memakan buah terlarang (Kövecses, Palmer, dan
Dirven, 2003: 134). Peristiwa ini disebut metafora untuk memperoleh kesadaran.
Secara teoretis konsep metafora diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles
dalam bukunya Poetika (Verspoor, 1993: 8). Pandangan Aristoteles merupakan
pandangan klasik tentang metafora.
Pandangan klasik adalah pandangan pertama mengenai metafora. Dalam
pandangan klasik, metafora dipahami sebagai sejenis tambahan dekoratif pada
bahasa sederhana, yaitu alat retorika untuk memperoleh pengaruh tertentu (Saeed,
1997: 303). Metafora bukan bagian dari bahasa sehari-hari, melainkan bagian dari
bahasa puitis atau kesusastraan. Pendengar atau pembaca harus menafsirkan
maksud pembicara. Versi ancangan ini diadopsi pada teori bahasa harfiah.
Metafora menjadi titik tolak bahasa harfiah, yang dideteksi oleh pendengar
sebagai suatu anomali, yang kemudian menggunakan beberapa strategi berbahasa
untuk membangun makna yang dimaksudkan oleh pembicara.
Menurut Verspoor (1993: 8—9), metafora dalam pandangan Aristoteles

memiliki kekuatan dalam menekankan persamaan yang halus tetapi eksplisit di
antara dua hal yang umumnya tidak berkaitan. Seperti pada puisi, metafora yang
baik mengimplikasikan ciri-ciri persamaan intuitif dalam perbedaan. Aristoteles

Universitas Sumatera Utara

menganggap bahwa metafora adalah simile eliptis; artinya, metafora dari bentuk
“X adalah Y” dapat dialihkan secara langsung dengan simile dari bentuk “X
adalah seperti Y”. Pandangan Aristoteles tentang metafora ini berbasis pada ciri
objektif. Jadi, pengalihan metafora kepada simile mensyaratkan bahwa metafora
dapat mengurangi daftar persamaan di antara objek-objek.
Pandangan kedua tentang metafora dinamai pandangan romantis sebab
berhubungan dengan pandangan romantis tentang imajinasi pada Abad ke-18 dan
pada Abad ke-19 (Saeed, 1997: 303). Dalam pandangan romantis, metafora
berintegrasi dengan bahasa dan pikiran sebagai suatu cara untuk memahami dunia.
Dalam pandangan ini, metafora menjadi bukti tentang peran imajinasi dalam
membangun konseptualisasi dan pernalaran. Tegasnya, dalam metafora ini tidak
ditemukan perbedaan yang jelas antara bahasa harfiah dan bahasa figuratif.
Berdasarkan pendapat di atas, sekarang telah diterima secara luas bahwa
metafora tidak ditafsirkan sebagai simile (lihat Lakoff dan Johnson, 1980; Croft

dan Cruse, 2004; Kövecses, 2006; dan Sandström, 2006). Metafora mencakup
suatu pemetaan yang lebih kompleks antara ranah sumber dan ranah sasaran. Ahli
psikologi dan ahli bahasa berasumsi bahwa metafora merupakan alat yang penting
pada kognisi dan komunikasi sebab menawarkan cara-cara yang kurang akrab
dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang akrab dan, sebaliknya, cara-cara yang
akrab dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang kurang akrab.
Dalam linguistik kognitif, metafora ialah keadaan dua-arah (two-way
affair): dari metafora bahasa ke metafora konseptual, atau dari metafora
konseptual ke metafora bahasa. Contohnya, ahli bahasa kognitif menggunakan
kehadiran metafora yang berlimpah dan sistematis dalam bahasa sebagai dasar

Universitas Sumatera Utara

untuk mendalilkan keberadaan metafora konseptual yang menerangkan peralihan
dari bahasa ke pikiran.

2.1.2 Teori Metafora Konseptual
Konsep metafora mulai berkembang sejak terbitnya buku Metaphor We
Live By (1980) yang ditulis oleh George Lakoff bersama dengan koleganya, Mark
Johnson. Buku ini berperan dalam menginspirasi pengembangan paradigma

linguistik kognitif. Dalam buku ini diterangkan bahwa pemakaian bahasa
metaforis dapat menjadi sama dengan pemakaian bahasa dalam pernalaran praktis.
Ide keduanya diadopsi dan dielaborasi, antara lain, oleh Ronald W. Langacker,
Charles J. Fillmore, Len Talmy, Gilles Fauconnier, dan Zlotan Kövecses. Lakoff
dan Johnson (1980) dan para pengikutnya itu menunjukkan pentingnya metafora
bahasa dalam menggambarkan aspek mentalitas manusia, cara manusia dalam
memahami dan mengonseptualisasikan sesuatu (termasuk emosi).
Salah satu prinsip dasar dalam linguistik kognitif ialah bahwa pemakaian
bahasa dikuasai oleh suatu citra kompleks, gestalts, atau konfigurasi dan kognisi
yang mendasari pemakaian bahasa metaforis dapat menjadi sama seperti
pemakaian bahasa yang digunakan dalam pernalaran praktis (Palmer, 1996: 223).
Dalam linguistik kognitif, pikiran dipahami bukan sebagai fenomena satuan
(unitary phenomenon) (Kövecses, 2006: 5). Selain itu, kategori pikiran bukanlah
gambaran dari kategori dunia, atau realitas objektif. Justru dunia “diciptakan” atau
dibentuk oleh pikiran dengan cara-cara imajinatif. Hal ini meliputi proses kognitif
sebagai kategorisasi yang berbasis pada prototipe, menata pengetahuan berbasis
pada kerangka, dan memahami pengalaman melalui metafora (Kövecses, 2006:

Universitas Sumatera Utara


9—11). Dengan kata lain, pikiran—dalam linguistik kognitif—pada pokoknya
adalah harfiah dan figuratif.
Perlu dicatat bahwa dalam linguistik kognitif terdapat tiga hipotesis dasar
yang pada hakikatnya merupakan bentuk penolakan tokoh-tokoh linguistik
kognitif terhadap ancangan sintaksis dan semantik yang berpengaruh kuat pada
pada masa itu, yaitu tata bahasa generatif dan semantik keadaan-kebenaran.
Ketiga hipotesis itu ialah (1) bahasa bukanlah piranti kognitif yang mandiri, (2)
tata bahasa adalah konseptualisasi, dan (3) pengetahuan bahasa bersumber dari
pemakaian bahasa (Croft dan Cruse, 2004: 1—4).
Hipotesis pertama menerangkan bahwa representasi pengetahuan bahasa
sejatinya adalah sama dengan representasi struktur konseptual lain, dan proses
penggunaan pengetahuan itu tidak berbeda dengan kemampuan kognitif yang
digunakan manusia di luar ranah bahasa. Pada hipotesis kedua, proses kognitif
yang menguasai pemakaian bahasa, khususnya konstruksi dan komunikasi pada
makna bahasa, pada prinsipnya adalah sama dengan kemampuan kognitif lainnya.
Hipotesis yang ketiga menjelaskan bahwa kategori dan struktur dalam semantik,
sintaksis, morfologi, dan fonologi dibentuk oleh kognisi manusia tentang ujaran
khusus dalam kesempatan pemakaian yang khusus.
Penelitian ini menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber
dari ancangan linguistik kognitif. Ciri penting dari teori ini ialah pemanfaatan

aspek tertentu dari ranah sumber atau ranah sasaran yang berperan pada metafora.
Artinya, jika disarankan bahwa metafora konseptual dapat dinyatakan dengan A
ADALAH B, ini tidak berarti bahwa seluruh konsep A atau B tercakup—yang
dipilih hanyalah aspek tertentu. Lakoff dan Johnson (1980: 117) memberi ilustrasi

Universitas Sumatera Utara

pada metafora hipotesis seperti CINTA sebagai PERJALANAN, WAKTU sebagai
UANG, dan ALASAN sebagai PERANG. Pada metafora itu, fokus definisi ialah
tingkat ranah pengalaman dasar seperti cinta, waktu, dan alasan. Pengalaman ini
kemudian dikonseptualisasikan dan dibatasi dengan bertumpu pada ranah
pengalaman dasar seperti perjalanan, uang, dan perang.
Untuk memahami sebuah metafora, metafora itu hendaknya tidak dibaca
secara harfiah, tetapi dibaca secara figuratif. Kalau dipahami secara harfiah,
metafora dinilai melanggar norma interpretasi dan menghasilkan anomali
semantis sebab sebuah kalimat harus relevan dengan konteks. Begitu metafora
sudah dikenali akan tampak persamaan makna umum di antara kedua tipe makna
ini, yaitu makna harfiah dan makna figuratif. Relasi metaforis dibentuk oleh
pemetaan pada ranah sumber dan pada ranah sasaran. Makna yang baru, atau
makna figuratif, pada ranah sumber dapat dipahami dengan baik karena makna ini

dipetakan ke dalam ranah sasaran (makna harfiah). Singkatnya, peralihan sifat
sasaran kepada sumber telah menciptakan perspektif baru pada sumber.
Lebih jauh, metafora memiliki ciri kekovensionalan, kesistematisan,
asimetri, dan abstraksi (Saeed, 1997: 305—307; Sandström, 2006: 6—9). Ciri
kekonvensionalan memunculkan isu kebaruan pada metafora. Ciri kesistematisan
mengacu pada cara bahwa metafora tidak hanya menata butir perbandingan
tunggal; ciri ranah sumber dan ranah sasaran bergabung sehingga sebuah metafora
dapat diperluas, atau mempunyai logika internalnya sendiri. Ciri asimetri mengacu
pada cara bahwa metafora bersifat langsung. Metafora tidak membuat
perbandingan simetris antara dua konsep dalam menetapkan butir persamaan.
Metafora memancing pendengar untuk mengalihkan ciri sumber kepada ciri

Universitas Sumatera Utara

sasaran. Ciri abstraksi dikaitkan dengan asimetri. Metafora menggunakan sumber
yang lebih konkret.
Dalam penelitian ini, metafora cinta dianalisis dengan menggunakan
skema-citra. Tanpa penggunaan skema-citra sukar bagi siapa pun untuk
memahami pengalaman. Alasannya, karena pengalaman fisik manusia hadir dan
bertindak pada dunia—karena mencerap pengalaman, memindahkan tubuh,

mengerahkan dan mengalami daya, dan lain-lain—manusia membentuk struktur
konseptual dasar yang digunakan untuk menata pikiran melintasi rentang ranah
yang lebih abstrak. Johnson (1987), seperti dikutip oleh Saeed (1997: 308),
mengusulkan skema-citra sebagai suatu level struktur kognitif yang lebih primitif
yang mendasari metafora dan menyajikan hubungan sistematis antara pengalaman
badani dan ranah kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa skema-citra perseptual yang
diterapkan pada metafora cinta, yaitu skema WADAH, skema HUBUNGAN,
skema DAYA, dan skema SUMBER-JALUR-TUJUAN (Kövecses, 2006: 209—
211). Sebagai contoh, skema WADAH memiliki elemen struktural “interior”,
“batas”, dan “eksterior”. Logika dasar pada skema ini ialah bahwa segala
sesuatunya berada di dalam atau berada di luar wadah. Lebih jauh, jika B ada pada
A dan C ada pada B dapat disimpulkan bahwa C ada pada A. Misalnya, metafora
KEADAAN sebagai WADAH, HUBUNGAN PERSONAL sebagai WADAH, dan
BIDANG VISUAL sebagai WADAH.
Elemen struktural pada skema HUBUNGAN mencakup dua “entitas” dan
“hubungan” yang menyambungnya. Logika dasar skema ini meliputi keselarasan.
Maksudnya, jika A dihubungkan dengan B, B dihubungkan dengan A atau jika A

Universitas Sumatera Utara


dihubungkan dengan B, A dibatasi oleh B. Skema HUBUNGAN berguna sebagai
ranah sumber pada beberapa metafora. Misalnya, pada HUBUNGAN sebagai
SAMBUNGAN, kedua entitasnya dihubungkan dengan sambungan.
Skema SUMBER-JALUR-TUJUAN memiliki elemen struktural “sumber”,
“jalur”, “tujuan”, dan “arah”. Logika dasarnya ialah apabila seseorang pergi dari
A ke B, dia harus melewati setiap titik persimpangan yang menghubungkan A
dengan B. Metafora HIDUP sebagai PERJALANAN mengasumsikan skema
SUMBER-JALUR-TUJUAN.

Pemetaan

dan

submetafora

pada

metafora


kompleks ini ialah MAKSUD sebagai TUJUAN. Peristiwa kompleks juga
umumnya dipandang melibatkan keadaan awal (SUMBER), tahap tengahan
(JALUR), dan tahap akhir (TUJUAN).
Jelaslah bahwa skema-citra menyediakan pemahaman tentang dunia, baik
secara harfiah maupun secara figuratif. Dasar untuk konstruksi metaforis ini
terletak pada pengalaman dasar manusia yang membentuk skema citra dan
“menyajikan hubungan pengalaman badani dengan ranah kognitif yang lebih
tinggi seperti bahasa” (Saeed 2003: 353). Namun, dalam penggolongan makna
kata adakalanya diperlukan lebih dari satu skema (Kövecses, 2006: 211).

2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pada bagian ini ditinjau secara ringkas hasil-hasil penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan ini bertujuan untuk (1) mengetahui
model, arah, dan temuan yang telah dicapai dan (2) memanfaatkan hasil-hasil
penelitian yang ada, baik metode, model, konsep, maupun teori.

Universitas Sumatera Utara

Pertama, Siregar (2004), dalam penelitiannya yang berjudul “Metafora
Kekuasaan


dan

Metafora

melalui

Kekuasaan:

Melacak

Perubahan

Kemasyarakatan melalui Perilaku Bahasa”, membicarakan relasi kekuasaan dan
metafora secara terperinci. Boleh dikatakan bahwa penelitiannya merupakan
penelitian awal tentang metafora politik dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan teori Metafora Konseptual. Data penelitiannya secara umum adalah
data tulis,

tetapi


korpusnya

sangat

kaya,

luas,

dan

variatif.

Siregar

mengungkapkan kategorisasi metafora kekuasaan dalam bahasa Indonesia;
misalnya, POLITIK sebagai CAIRAN, POLITIK sebagai API, POLITIK sebagai
PERANG, dan sebagainya.
Tak dapat dibantah bahwa penelitian Siregar berhasil memperlihatkan cara
kerja teori Metafora Konseptual dalam menelaah fenomena kebahasaan. Model
penelitiannya diadopsi dan dikembangkan dalam penelitian ini. Di samping itu,
analisisnya yang sangat mendalam dan tuntas telah mengilhami penelitian yang
dilakukan, khususnya dalam penetapan kategorisasi MCBA dan pemetaannya
pada ranah sumber dan ranah sasaran.
Kedua, Silalahi (2005), dalam artikelnya yang bertajuk “Metafora dalam
Bahasa Batak Toba”, menyelidiki metafora KATA dalam bahasa Batak Toba.
Korpus datanya berasal dari bahasa lisan yang digunakan oleh masyarakat yang
tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kabupaten Toba Samosir. Sebagai
acuan analisis, dia menerapkan teori semantik kognitif.
Dalam penelitian ini, Silalahi berpendapat bahwa metafora KATA dalam
bahasa Batak Toba terdiri atas delapan tipe semantis, yaitu (1) KATA sebagai
BENDA, (2) KATA sebagai CAIRAN, (3) KATA sebagai HEWAN, (4) KATA

Universitas Sumatera Utara

sebagai MAKANAN, (5) KATA sebagai MANUSIA, (6) KATA sebagai
PERJALANAN, (7) KATA sebagai SENJATA, dan (8) KATA sebagai TUMBUHAN.
Silalahi tidak menyinggung pemetaan metafora untuk menunjukkan
korespondensi sistematis antara KATA dan berbagai acuannya dalam bahasa
Batak Toba. Dia menggunakan teori semantik kognitif sehingga penelitiannya
kurang relevan dengan penelitian MCBA mengingat perbedaan pada objek kajian.
Kontribusi penelitiannya terletak pada model analisis dan konsep metafora dalam
kerangka semantik kognitif. Hasil penelitiannya memperkaya wawasan dalam
mengkaji metafora cinta dalam bahasa Angkola.
Ketiga, Rajeg (2009), dalam artikelnya yang berjudul “Cintanya Bertepuk
Sebelah Tangan: Metaphoric and Metonymic Conceptualisation of LOVE in
Indonesian”, membicarakan konsep cinta dalam bahasa Indonesia. Untuk
menganalisis konsep cinta, dia menggunakan teori Metafora Konseptual yang
bersumber dari linguistik kognitif. Ada dua masalah yang menjadi fokus
pembahasannya, yakni (1) tipe-tipe metafora dan metonimi konseptual yang
membangun struktur konsep cinta dalam bahasa Indonesia dan (2) kaitan metafora
dan metonimi pada konsep cinta. Pada bagian hasil penelitian dikemukakan
bahwa tipe-tipe metafora konseptual yang menandai cinta adalah sebagai berikut:

CINTA ADALAH CAIRAN (PANAS) PADA SUATU WADAH;
CINTA ADALAH KESATUAN BAGIAN;
CINTA ADALAH IKATAN;
CINTA ADALAH API;
CINTA ADALAH KEGILAAN;
CINTA ADALAH MABUK;
CINTA ADALAH KEKUATAN (ALAM dan FISIK);

Universitas Sumatera Utara

CINTA ADALAH ATASAN SOSIAL;
CINTA ADALAH LAWAN;
CINTA ADALAH PERJALANAN;
OBJEK CINTA ADALAH DEWA/DEWI;
OBJEK CINTA ADALAH KEPEMILIKAN,
RASIONAL ADALAH (KE) ATAS, EMOSIONAL ADALAH (KE) BAWAH;
SADAR ADALAH (KE) ATAS, TIDAK SADAR ADALAH (KE) BAWAH.

Rajeg juga mengusulkan bahwa metonimi konseptual untuk konsep emosi
umumnya terdiri atas tipe dasar, yaitu (1) PENYEBAB EMOSI BAGI EMOSI dan
(2) DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Dari kedua tipe dasar ini, yang paling umum
ialah DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Tipe metonimi ini kemudian dibedakannya
atas dua jenis respon, yaitu (1) respon fisiologis (misalnya, MUKA MEMERAH
BERARTI CINTA) dan (2) respon tindakan/tingkah laku (misalnya, KEDEKATAN
SECARA FISIK BERARTI CINTA).
Penelitian Rajeg sangat menarik dan memberi inspirasi. Meskipun banyak
datanya kurang alamiah sebab umumnya bersumber dari data tulis, Rajeg
menganalisis tipe-tipe metafora cinta secara mendalam. Namun, dia tidak
membicarakan pemetaan metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran.
Akibatnya, tipe-tipe metafora cinta yang diusulkannya kurang didukung oleh
bukti-bukti teoretis yang memadai. Sebagai suatu kajian awal tentang metafora
cinta dalam bahasa Indonesia, tipe-tipe metaforanya dapat dijadikan sebagai titik
tolak untuk menganalisis metafora cinta dalam bahasa Angkola.
Keempat, Mulyadi (2010a), dalam artikelnya yang berjudul “Metafora
Emosi dalam Bahasa Indonesia”, membahas dua masalah pokok, yaitu (1) tipetipe metafora emosi dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan dari operasi verba

Universitas Sumatera Utara

gerakan dan (2) pemetaan elemen EMOSI dan elemen GERAKAN. Kedua
masalah itu kemudian dianalisisnya dengan menggunakan teori Metafora
Konseptual. Sebagian besar datanya diperoleh dari surat kabar dan majalah.
Dalam penelitiannya, Mulyadi menyimpulkan bahwa konseptualisasi
emosi dalam bahasa Indonesia pada dasarnya bersumber dari sembilan citra
metaforis, yaitu CAIRAN, BENDA, LAWAN, BINATANG BUAS, MUSUH
TERSEMBUNYI, BEBAN, TEMPAT, DAYA ALAMI, dan DAYA FISIK.
Pemetaan ranah-ranah pengalaman gerakan dan emosi pada metafora emosi ditata
atas dua skema dasar, yaitu skema WADAH dan skema RUANG. Dalam
pemetaan itu, persesuaian yang sistematis antara ranah sumber dan ranah sasaran
melibatkan gagasan daya dan gagasan kendali.
Penelitian Mulyadi menggunakan korpus data yang terbatas. Mungkin
karena luasnya cakupan metafora emosi, ia membatasi kajiannya pada verba
gerakan dan hanya mengacu pada lima jenis emosi dasar, yaitu gembira, sedih,
marah, takut, dan malu. Implikasinya ialah bahwa generalisasi yang dihasilkannya
tentang metafora emosi bahasa Indonesia masih bersifat tentatif. Meskipun
demikian, tipe-tipe metafora emosi dan pemetaan metafora emosi yang menjadi
objek penelitiannya sejalan dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu,
model dan metode analisisnya bermanfaat dalam penelitian ini.
Kelima, penelitian Nurismilida (2010) yang berjudul Metafora Bahasa
Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai
Kota Medan pada pokoknya menelaah bentuk, fungsi, dan makna metafora dalam
bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai, Kecamatan Medan
Denai. Dalam penelitian ini, beberapa konsep semantik struktural digunakannya

Universitas Sumatera Utara

secara eklektik untuk menganalisis masalah penelitian. Data penelitiannya
bersumber dari bahasa lisan.
Kajian Nurismilida memiliki perbedaan yang mendasar dengan penelitian
yang dilakukan. Konsep metafora dalam penelitian Nurismilida tidak bertalian
sama sekali dengan konsep metafora dalam penelitian ini. Penelitian Nurismilida
bertolak dari metafora struktural atau metafora klasik, dan bukan dari metafora
konseptual sebagaimana yang dianut dalam linguistik kognitif. Sekalipun
demikian, uraiannya tentang metafora struktural bermanfaat untuk menjelaskan
perkembangan metafora, khususnya pada fase klasik.

Universitas Sumatera Utara