Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh
Tumbuhan kubis (Brassica oleracea) bentuk capitata merupakan
tumbuhan dari famili Brassicaceae atau Cruciferae (Majeed, 2004). Bentuk
capitata menghasilkan kubis ungu maupun kubis putih. Kubis ungu dapat ditanam
di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900
mm dan umur panen berbeda-beda berkisar dari 90 hari sampai 150 hari. Kubis
dapat diperbanyak dengan biji atau setek tunas (Dalimartha, 2000).
2.1.2 Morfologi
Tumbuhan kubis mempunyai daun berbentuk bulat, oval, sampai lonjong,
membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, antara
lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Awalnya
daunnya berlapis lilin tumbuh lurus, daun-daun berikutnya tumbuh membengkok,
menutupi daun-daun muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti
ditandai dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada
kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar malai
bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun kecil-kecil, mahkota
tegak, berwarna kuning. Buahnya polong berbentuk silindris, panjang 5-10 cm,
berbiji banyak. Biji berdiamater 2-4 mm, berwarna coklat kelabu dan berakar
serabut (Dalimartha, 2000).
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Taksonomi tumbuhan
Sistematika tumbuhan kubis ungu (Majeed, 2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Capparales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Brassica
Spesies
: Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra
2.1.4 Nama lain
Tumbuhan kubis ungu mempunyai nama lain dari berbagai negara,
diantaranya: Rode Kool (Belanda), Suitkool (Afrika), Chou Cobus (Prancis),
Kopfkohl (Jerman), Purple / Red Cabbage (Inggris) (Heyne, 1987).
2.1.5 Khasiat dan penggunaan
Tumbuhan kubis ungu digunakan sebagai pewarna alami di berbagai
produk, mempunyai serat diet yang cukup tinggi dalam membantu pencegahan
kanker kolon, kolesterol, diabetes dan obesitas. Mengonsumsi jus kubis ungu juga
dapat membantu memperbaiki lapisan lambung dan mengobati ulkus (Draghici,
2013). Jus kubis ungu dibuat dengan cara mencuci ¼ bagian kubis segar sampai
bersih, bilas dengan air matang, lalu potong – potong seperlunya. Jus kubis
tersebut, lalu sarinya diminum (Dalimartha, 2000).
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap khasiat kubis ungu antara
lain, ekstrak metanol sebagai uji toleransi glukosa darah dan toksisitas akut
(Islam, et al., 2015), ekstrak etanol sebagai antiplatelet (Putri, et.al., 2014), ekstrak
8
Universitas Sumatera Utara
metanol sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Rokayya, et.al., 2013), ekstrak
metanol sebagai antihiperglikemik dan analgesik (Daud, et.al., 2015).
2.1.6 Kandungan Kimia
Kubis ungu memiliki kandungan karbohidrat, protein, glikosida,
flavonoid, fenol (Shama, et.al, 2012), air, lemak, karbohidrat, serat, kalsium,
fosfor, besi, natrium, kalium, vitamin (A, C, E), beta karoten, antosianin (pemberi
warna merah-ungu) (Dalimartha, 2000).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.
Dengan
diketahuinya
mempermudah
senyawa
pemilihan
aktif
pelarut
yang
dengan
dikandung
cara
simplisia
ekstraksi
yang
akan
tepat
(Ditjen POM., 2000).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Ditjen POM., 1979). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk
mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat
pengobatan (Syamsuni, 2006). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan
dalam berbagai penelitian antara lain yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
9
Universitas Sumatera Utara
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan
remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau
campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana,
tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari
secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup,
biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan
saring (Ditjen POM, 1979).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah suatu proses penyarian simplisia menggunakan alat yang
disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan
terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan. Prosesnya terdiri dari
tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan / penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Ditjen
POM., 2000).
Prosedur perkolasi yaitu basahi 10 bagian simplisia atau campuran
simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian
cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3
jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali di
tekan hati-hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai
menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup
perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1
ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga se-
10
Universitas Sumatera Utara
lalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian
perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan
cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam
bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk, terlindung dari cahaya.
Enap tuangkan atau saring (Ditjen POM., 1979).
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi
menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM., 2000).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel
(Ditjen POM., 2000).
3. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C (Ditjen POM., 2000).
4. Infudasi
Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM., 2000).
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM., 2000).
11
Universitas Sumatera Utara
2.3 Toksisitas
Uji toksisitas merupakan suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk
melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap
suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat
memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek
toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI., 2014).
1. Uji toksisitas akut oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan
dalam waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik
dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas. Tujuan uji
toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal yang dapat
12
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya,
memperoleh nilai LD50 suatu bahan/sediaan, serta penentuan penggolongan
bahan/ sediaan dan pelabelan (BPOM RI., 2014).
2. Uji toksisitas subkronis oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral
adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90
hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor
mortis (kaku) segera diotopsi, dan organ serta jaringan diamati secara
makropatologi dan histopatologi.
Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup
diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia
klinis dan histopatologi. Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk
memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji
toksisitas akut; informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang
tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL);
13
Universitas Sumatera Utara
dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut
(BPOM RI., 2014).
3. Uji toksisitas kronis oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas
subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan. Tujuan
dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah
pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, untuk
menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji
toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh
informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi,
biokimia klinis dan histopatologi (BPOM RI., 2014).
2.4 Hati
Hati adalah salah satu organ pencernaan terbesar dan terletak di posisi
sangat strategis. Semua nutrien dan cairan yang diserap dari usus masuk kehati
melalui vena porta hepatis, kecuali produk lemak kompleks, yang masuk dan
diangkut oleh pembuluh limfe (Eroschenko, 2013).
2.4.1 Anatomi hati
Hati terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma,
beratnya kira-kira 1,5 kg atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Oleh
ligament falsiformis hati dibagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Pada lobus
kanan terdapat juga lobus kaudatus dan lobus kuadratus (Irianto, 2004). Warnanya
14
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh
adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).
Gambar 2.1. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior
Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati
(hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang
arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2009).
2.4.2 Fisiologi hati
Selain merupakan organ parenkim yang paling besar, hati juga mempunyai
beberapa fungsi. Fungsi utama hati yaitu (Irianto, 2000):
1.
Memproduksi protein plasma (albumin, fibrinogen, protrombin; juga
memproduksi heparin, yaitu suatu antikoagulan darah).
2.
Fagositosis mikroorganisme dan eritrosit dan lekosit yang sudah tua dan
rusak.
3.
Pusat metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Bergantung kepada
keperluan tubuh, ketiganya dapat saling terbentuk.
4.
Pusat detoksifikasi zat yang beracun di dalam tubuh. Contoh: NH 3 + yang
15
Universitas Sumatera Utara
beracun diubah menjadi urea yang relatif tidak beracun pada Daur Krebs –
Urea di dalam sel hati.
5.
Memproduksi cairan empedu
6.
Merupakan gudang penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe);
vitamin A, D, E, K, B12, glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh, misalnya pestisida DDT.
Hati mempunyai
tiga kelompok penting:
sintesis, ekskresi dan
penyimpanan. Energi dan zat-zat gizi yang didapat dari makanan harus diproses
dan kemudian disimpan, disebar atau diubah bentuknya oleh hati. Hati merombak,
mendetoksikasi dan mengubah metabolit-metabolit primer dan pertengahan untuk
ekskresi, penyimpanan atau untuk dipakai lagi (Widmann, 1989).
2.4.3 Histologi hati
Hati manusia memiliki maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel
hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid, yang merupakan
cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid
dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem
monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing
lain dalam darah sehingga hati merupakan salah satu organ penting dalam
pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik. Selain cabang-cabang vena
porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga
terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu
yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli, yang berjalan ditengah
lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit dieksresi ke dalam
16
Universitas Sumatera Utara
kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin
besar hingga menjadi duktus koledokus (Price dan Wilson, 2003).
2.4.4 Patologi hati
Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset
pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan
(Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara
(reversible) dan tetap (irreversible) (Wicaksono, 2002). Sel akan mengalami
perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa
disebut degenerasi. Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis dan
degenerasi lemak. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang
disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang
bersifat toksik (Cheville, 1999).
Degenerasi lemak (fatty changes atau steatosis) adalah penimbunan
abnormal dari trigliserida dalam sel parenkim. Penyebabnya adalah toksin,
malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan anoksia. Timbunan trigliserida
dalam sel hati dapat disebabkan defek dari mulai masuknya asam lemak dalam
hati sampai keluarnya lemak dari hati sebagai lipoprotein. Dimana bentuk jaringan
hati sudah tidak teratur, vakuola-vakuola lemak besar dan kecil dalam sitoplasma
sel hati, inti sel terdesak ke tepi, stroma jaringan ikat yang menebal atau fibrosis
(pembentukan jaringan ikat fibrosa oleh sel-sel fibrolas dan fibrosit) pada daerah
saluran portal yang masuk ke dalam lobulus hati, membentuk pseudo lobul.
Dinamakan pseudo lobul karena merupakan lobus yang tidak mempunyai vena
sentral atau lobus palsu (Sudiono, 2001).
17
Universitas Sumatera Utara
Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di
intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan
membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan
terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air
masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon
awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal
dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999).
Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga
terjadi kematian sel. Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau
berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak
dapat melanjutkan metabolisme. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan
menjadi lebih padat (piknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan
kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati
adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).
2.4.5 Aminotransferase
Sebagai enzim yang mengkatalisis perpindahan reversibel satu gugusan
amino dari asam amino ke asam alfa-keto. Transminase merupakan jenis enzim
intraseluler yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan asam amino. Enzim
transminase terdapat di dalam sel-sel beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal,
dan pankreas. Kedua enzim
yang paling sering diukur ialah alanin
aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST). Asam amino ikut
serta dalam banyak reaksi dan amino transferase tersebar luas. Hati merupakan
pusat sintesis protein dan penyaluran asam amino kedalam jalur-jalur biokimia
lain sangat banyak mengandung enzim aminotransferase. Hanya sel-sel hati yang
18
Universitas Sumatera Utara
memiliki konsentrasi ALT yang tinggi, walaupun ginjal, jantung dan otot bergaris
mengandung ALT dalam jumlah sedang. Kadar ALT menjadi petunjuk yang lebih
sensitif ke arah kerusakan hati karena sangat sedikitnya kondisi bukan hati
berpengaruh terhadap kadar ALT dalam serum (Widmann, 1989). Kadar ALT
normal pada tikus yaitu 35-80 U/L (Research Animal Resource, 2009).
Pemeriksaan enzim-enzim pada berbagai penyakit dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel
2.1
Kondisi-kondisi yang
aminotransferase.
berhubungan
dengan
peningkatan
Penyakit
Petunjuk Lain
Nilai sangat tinggi (20 atau lebih kali
normal)
Antigen virus dan antibodi terhadap
a. Hepatitis oleh virus
virus
b. Hepatitis toksis
Riwayat pemakaian obat, pemaparan
sehubungan dengan anestetika.
Nilai meningkat sedang (biasanya 310 kali normal)
a. Mononucleosis infectiosa
Antibodi heterofil; antibodi terhadap
EBV
b. Hepatitis kronik aktif
Kadar turun naik, turun oleh steroid
c. Obstruksi saluran empedu ALP meningkat
ekstrahepatik
d. Sindrom Reye
Amonia dalam serum tinggi
e. Cholestatis intrahepatic
ALT lebih tinggi dari AST
ALP sangat tinggi
f. Infark miokard
AST jauh lebih tinggi dari ALT
Nilai tidak atau sedikit meningkat (1-3
kali normal)
a. Pankreatitis
Lipase dan amilase meninggi
b. Hati melemak oleh alkohol
GGT biasanya meninggi
c. Sirosis Laennec
Fungsi sintesis merendah; hipertensi
portal
d. Infiltrasi granulomatous atau AST biasanya lebih tinggi dari ALT
oleh tumor
e. Sirosis biliar
ALT sangat tinggi; antibodi terhadap
mitokondria.
(Widmann, 1989).
19
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh
Tumbuhan kubis (Brassica oleracea) bentuk capitata merupakan
tumbuhan dari famili Brassicaceae atau Cruciferae (Majeed, 2004). Bentuk
capitata menghasilkan kubis ungu maupun kubis putih. Kubis ungu dapat ditanam
di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900
mm dan umur panen berbeda-beda berkisar dari 90 hari sampai 150 hari. Kubis
dapat diperbanyak dengan biji atau setek tunas (Dalimartha, 2000).
2.1.2 Morfologi
Tumbuhan kubis mempunyai daun berbentuk bulat, oval, sampai lonjong,
membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, antara
lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Awalnya
daunnya berlapis lilin tumbuh lurus, daun-daun berikutnya tumbuh membengkok,
menutupi daun-daun muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti
ditandai dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada
kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar malai
bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun kecil-kecil, mahkota
tegak, berwarna kuning. Buahnya polong berbentuk silindris, panjang 5-10 cm,
berbiji banyak. Biji berdiamater 2-4 mm, berwarna coklat kelabu dan berakar
serabut (Dalimartha, 2000).
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Taksonomi tumbuhan
Sistematika tumbuhan kubis ungu (Majeed, 2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Capparales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Brassica
Spesies
: Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra
2.1.4 Nama lain
Tumbuhan kubis ungu mempunyai nama lain dari berbagai negara,
diantaranya: Rode Kool (Belanda), Suitkool (Afrika), Chou Cobus (Prancis),
Kopfkohl (Jerman), Purple / Red Cabbage (Inggris) (Heyne, 1987).
2.1.5 Khasiat dan penggunaan
Tumbuhan kubis ungu digunakan sebagai pewarna alami di berbagai
produk, mempunyai serat diet yang cukup tinggi dalam membantu pencegahan
kanker kolon, kolesterol, diabetes dan obesitas. Mengonsumsi jus kubis ungu juga
dapat membantu memperbaiki lapisan lambung dan mengobati ulkus (Draghici,
2013). Jus kubis ungu dibuat dengan cara mencuci ¼ bagian kubis segar sampai
bersih, bilas dengan air matang, lalu potong – potong seperlunya. Jus kubis
tersebut, lalu sarinya diminum (Dalimartha, 2000).
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap khasiat kubis ungu antara
lain, ekstrak metanol sebagai uji toleransi glukosa darah dan toksisitas akut
(Islam, et al., 2015), ekstrak etanol sebagai antiplatelet (Putri, et.al., 2014), ekstrak
8
Universitas Sumatera Utara
metanol sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Rokayya, et.al., 2013), ekstrak
metanol sebagai antihiperglikemik dan analgesik (Daud, et.al., 2015).
2.1.6 Kandungan Kimia
Kubis ungu memiliki kandungan karbohidrat, protein, glikosida,
flavonoid, fenol (Shama, et.al, 2012), air, lemak, karbohidrat, serat, kalsium,
fosfor, besi, natrium, kalium, vitamin (A, C, E), beta karoten, antosianin (pemberi
warna merah-ungu) (Dalimartha, 2000).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.
Dengan
diketahuinya
mempermudah
senyawa
pemilihan
aktif
pelarut
yang
dengan
dikandung
cara
simplisia
ekstraksi
yang
akan
tepat
(Ditjen POM., 2000).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Ditjen POM., 1979). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk
mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat
pengobatan (Syamsuni, 2006). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan
dalam berbagai penelitian antara lain yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
9
Universitas Sumatera Utara
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan
remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau
campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana,
tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari
secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup,
biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan
saring (Ditjen POM, 1979).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah suatu proses penyarian simplisia menggunakan alat yang
disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan
terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan. Prosesnya terdiri dari
tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan / penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Ditjen
POM., 2000).
Prosedur perkolasi yaitu basahi 10 bagian simplisia atau campuran
simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian
cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3
jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali di
tekan hati-hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai
menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup
perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1
ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga se-
10
Universitas Sumatera Utara
lalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian
perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan
cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam
bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk, terlindung dari cahaya.
Enap tuangkan atau saring (Ditjen POM., 1979).
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi
menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM., 2000).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel
(Ditjen POM., 2000).
3. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C (Ditjen POM., 2000).
4. Infudasi
Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM., 2000).
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM., 2000).
11
Universitas Sumatera Utara
2.3 Toksisitas
Uji toksisitas merupakan suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk
melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap
suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat
memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek
toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI., 2014).
1. Uji toksisitas akut oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan
dalam waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik
dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas. Tujuan uji
toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal yang dapat
12
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya,
memperoleh nilai LD50 suatu bahan/sediaan, serta penentuan penggolongan
bahan/ sediaan dan pelabelan (BPOM RI., 2014).
2. Uji toksisitas subkronis oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral
adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90
hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor
mortis (kaku) segera diotopsi, dan organ serta jaringan diamati secara
makropatologi dan histopatologi.
Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup
diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia
klinis dan histopatologi. Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk
memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji
toksisitas akut; informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang
tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL);
13
Universitas Sumatera Utara
dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut
(BPOM RI., 2014).
3. Uji toksisitas kronis oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas
subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan. Tujuan
dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah
pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, untuk
menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji
toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh
informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi,
biokimia klinis dan histopatologi (BPOM RI., 2014).
2.4 Hati
Hati adalah salah satu organ pencernaan terbesar dan terletak di posisi
sangat strategis. Semua nutrien dan cairan yang diserap dari usus masuk kehati
melalui vena porta hepatis, kecuali produk lemak kompleks, yang masuk dan
diangkut oleh pembuluh limfe (Eroschenko, 2013).
2.4.1 Anatomi hati
Hati terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma,
beratnya kira-kira 1,5 kg atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Oleh
ligament falsiformis hati dibagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Pada lobus
kanan terdapat juga lobus kaudatus dan lobus kuadratus (Irianto, 2004). Warnanya
14
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh
adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).
Gambar 2.1. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior
Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati
(hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang
arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2009).
2.4.2 Fisiologi hati
Selain merupakan organ parenkim yang paling besar, hati juga mempunyai
beberapa fungsi. Fungsi utama hati yaitu (Irianto, 2000):
1.
Memproduksi protein plasma (albumin, fibrinogen, protrombin; juga
memproduksi heparin, yaitu suatu antikoagulan darah).
2.
Fagositosis mikroorganisme dan eritrosit dan lekosit yang sudah tua dan
rusak.
3.
Pusat metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Bergantung kepada
keperluan tubuh, ketiganya dapat saling terbentuk.
4.
Pusat detoksifikasi zat yang beracun di dalam tubuh. Contoh: NH 3 + yang
15
Universitas Sumatera Utara
beracun diubah menjadi urea yang relatif tidak beracun pada Daur Krebs –
Urea di dalam sel hati.
5.
Memproduksi cairan empedu
6.
Merupakan gudang penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe);
vitamin A, D, E, K, B12, glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh, misalnya pestisida DDT.
Hati mempunyai
tiga kelompok penting:
sintesis, ekskresi dan
penyimpanan. Energi dan zat-zat gizi yang didapat dari makanan harus diproses
dan kemudian disimpan, disebar atau diubah bentuknya oleh hati. Hati merombak,
mendetoksikasi dan mengubah metabolit-metabolit primer dan pertengahan untuk
ekskresi, penyimpanan atau untuk dipakai lagi (Widmann, 1989).
2.4.3 Histologi hati
Hati manusia memiliki maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel
hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid, yang merupakan
cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid
dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem
monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing
lain dalam darah sehingga hati merupakan salah satu organ penting dalam
pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik. Selain cabang-cabang vena
porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga
terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu
yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli, yang berjalan ditengah
lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit dieksresi ke dalam
16
Universitas Sumatera Utara
kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin
besar hingga menjadi duktus koledokus (Price dan Wilson, 2003).
2.4.4 Patologi hati
Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset
pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan
(Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara
(reversible) dan tetap (irreversible) (Wicaksono, 2002). Sel akan mengalami
perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa
disebut degenerasi. Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis dan
degenerasi lemak. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang
disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang
bersifat toksik (Cheville, 1999).
Degenerasi lemak (fatty changes atau steatosis) adalah penimbunan
abnormal dari trigliserida dalam sel parenkim. Penyebabnya adalah toksin,
malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan anoksia. Timbunan trigliserida
dalam sel hati dapat disebabkan defek dari mulai masuknya asam lemak dalam
hati sampai keluarnya lemak dari hati sebagai lipoprotein. Dimana bentuk jaringan
hati sudah tidak teratur, vakuola-vakuola lemak besar dan kecil dalam sitoplasma
sel hati, inti sel terdesak ke tepi, stroma jaringan ikat yang menebal atau fibrosis
(pembentukan jaringan ikat fibrosa oleh sel-sel fibrolas dan fibrosit) pada daerah
saluran portal yang masuk ke dalam lobulus hati, membentuk pseudo lobul.
Dinamakan pseudo lobul karena merupakan lobus yang tidak mempunyai vena
sentral atau lobus palsu (Sudiono, 2001).
17
Universitas Sumatera Utara
Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di
intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan
membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan
terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air
masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon
awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal
dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999).
Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga
terjadi kematian sel. Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau
berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak
dapat melanjutkan metabolisme. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan
menjadi lebih padat (piknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan
kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati
adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).
2.4.5 Aminotransferase
Sebagai enzim yang mengkatalisis perpindahan reversibel satu gugusan
amino dari asam amino ke asam alfa-keto. Transminase merupakan jenis enzim
intraseluler yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan asam amino. Enzim
transminase terdapat di dalam sel-sel beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal,
dan pankreas. Kedua enzim
yang paling sering diukur ialah alanin
aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST). Asam amino ikut
serta dalam banyak reaksi dan amino transferase tersebar luas. Hati merupakan
pusat sintesis protein dan penyaluran asam amino kedalam jalur-jalur biokimia
lain sangat banyak mengandung enzim aminotransferase. Hanya sel-sel hati yang
18
Universitas Sumatera Utara
memiliki konsentrasi ALT yang tinggi, walaupun ginjal, jantung dan otot bergaris
mengandung ALT dalam jumlah sedang. Kadar ALT menjadi petunjuk yang lebih
sensitif ke arah kerusakan hati karena sangat sedikitnya kondisi bukan hati
berpengaruh terhadap kadar ALT dalam serum (Widmann, 1989). Kadar ALT
normal pada tikus yaitu 35-80 U/L (Research Animal Resource, 2009).
Pemeriksaan enzim-enzim pada berbagai penyakit dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel
2.1
Kondisi-kondisi yang
aminotransferase.
berhubungan
dengan
peningkatan
Penyakit
Petunjuk Lain
Nilai sangat tinggi (20 atau lebih kali
normal)
Antigen virus dan antibodi terhadap
a. Hepatitis oleh virus
virus
b. Hepatitis toksis
Riwayat pemakaian obat, pemaparan
sehubungan dengan anestetika.
Nilai meningkat sedang (biasanya 310 kali normal)
a. Mononucleosis infectiosa
Antibodi heterofil; antibodi terhadap
EBV
b. Hepatitis kronik aktif
Kadar turun naik, turun oleh steroid
c. Obstruksi saluran empedu ALP meningkat
ekstrahepatik
d. Sindrom Reye
Amonia dalam serum tinggi
e. Cholestatis intrahepatic
ALT lebih tinggi dari AST
ALP sangat tinggi
f. Infark miokard
AST jauh lebih tinggi dari ALT
Nilai tidak atau sedikit meningkat (1-3
kali normal)
a. Pankreatitis
Lipase dan amilase meninggi
b. Hati melemak oleh alkohol
GGT biasanya meninggi
c. Sirosis Laennec
Fungsi sintesis merendah; hipertensi
portal
d. Infiltrasi granulomatous atau AST biasanya lebih tinggi dari ALT
oleh tumor
e. Sirosis biliar
ALT sangat tinggi; antibodi terhadap
mitokondria.
(Widmann, 1989).
19
Universitas Sumatera Utara