BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindakan “kekerasan” baik yang dilakukan perseorangan maupun yang

  dilakukan bersama-sama atau berkelompok, sangat mengganggu ketertiban masyarakat bahkan dapat meresahkan masyarakat. Tampaknya kesadaran akan menghargai hak asasi seseorang dan rasa mencintai sesama manusia semakin menipis atau pertumbuhannya tidak sebagaimana yang diharapkan sehingga perilaku “berbuat baik untuk sesama atau terhadap orang lain” sudah semakin tidak kelihatan.

  Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu organisasi sosial yang selalu

  

  bergerak dan berubah. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, konflik adalah bagian dari fitrah manusia sebagai elemen masyarakat yang selalu menuntut perubahan menyebabkan masyarakat tidak dalam kondisi yang stabil, terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi. Namun dilain pihak manusia dilahirkan dengan otonominya sendiri atas pikiran yang dimilikinya dituntut untuk bisa meneyelaraskannya dengan pihak lain. Berdasarkan fitrah tersebut maka masyarakat akan selalu memeperlihatkan konflik dan perubahan. Dalam pandangan ini konflik dalam masyarakat pada dasarnya merupakan suatu mekanisme yang mendorong masyarakat untuk berubah dan bergerak. Konflik dianggap sebagai suatu perubahan dalam sistem sosial. Konflik dan perubahan merupakan suatu siklus kehidupan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus. 1 Abd Ar Rahman Bin Muhammed Ibn Mukadimah, terjemahan Franz Rosenthal, ditelusuri

  

melalui http:/ /www.muslimphilosopy.com/ik/ Muqaddimah/ Chapter1/Ch_1_01.htm diakses pada

  Resolusi dalam konflik dipandang merupakan redistribusi atas kekuasaan atau kewenangan yang menjadikan konflik sebagai sumber perubahan sebagaimana dikemukakan diatas. Redistribusi peranan untuk mengatur merupakan bagian yang akan memicu bentuk konflik baru dalam perubahan tersebut. Dalam hal demikian maka redistribusi kekuasaan yang tergambar dalam kontrak sosial dalam pandangan ilmu hukum merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial yang menempatkan Negara sebagai pemegang hak menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini negara diinterpretasikan dalam diri aparat negara maupun aparat penegak hukum.

  Aparat penegakan hukum pada penerapan hukum agar benar-benar memikirkan dengan cermat penjatuhan hukuman sehingga dirasakan masyarakat hukuman tersebut telah setimpal dengan kesalahan pelaku. Penyelesaian perkara dengan cepat dan tepat sangat membantu penegakan ketertiban/ketentraman masyarakat serta terciptanya kepastian hukum. Aparat Penegak hukum terdiri atas Anggota kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Polisi merupakan aparatur negara yang bertugas mewakili negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum seperti yang tercantum dalam Pasal 2 undang-undang Republik Indonesia Nomor

  2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “ Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

  Polisi dan masyarakat adalah dua subjek sekaligus objek yang tak mungkin terpisahkan. Polisi lahir karena adanya masyarakat, masyarakat membutuhkan kehadiran polisi, guna menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan masyarakat itu sendiri. Demikianlah teori lahirnya polisi (politea, yunani kuno) sampai pada lahirnya teori kepolisian modern dewasa ini.

  Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan. Eksistensi kepolisian adalah lakon yang harus dijalankan sehubugnan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas asas Legalitas undang-undang yang karenanya merupakan kewewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar,

   pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.

   Pemaknaan akan pelindung, Pengayom, dan pelayan masyarakat bisa

  beragam dari berbagai tinjauaan, namun untuk kesamaan persepsi dan langkah bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan: Pelindung: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memeberikan perlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan damai.

  Pengayom: adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikan 2 bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan, dan nasehat

  Johan Andreas S, Skripsi, Peranan Kepolisian dalm pemberantasan minuman keras (miras) di wilayah hukum Polsek Medan Kota . (Medan : Fakultas Hukum USU, 2006), hal. 49 3 Barda Namawi Arief. Beberapa aspek kebijaksanaan penegakan dan pengembangan

  yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat guna terciptanya rasa aman dan tentram.

  Pelayan: adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdinya dilakukan secara bermoral, sopan, ramah dan porprosional.

  Pemaknaan dari peran pelindung, pengayom, dan pelayan seyogyanya tidak hanya tampil setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil POLRI berkaitan dengan tugasnya melainkan juga dalam perilaku kehidupannya sehari- hari.

  Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas pribadi masing-masing anggota POLRI, untuk bisa dilaksanakan secara sadar baik dan tulus. Pada intinya perilaku yang ditampilkan dapat berwujud : Sebagai pelindung : Berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan.

  Sebagai pengayom : Dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif dan edukatif.

  Sebagai pelayan : Layani masyarakat dengna kemudahan cepat, simpatik, ramah, sopan, serta pembebasan biaya yang tidak semestinya. Sebagai pengayom, Polri selalu simpatik dan ramah tamah. Disini ada tiga konsep policy Polri yang relevan, yatiu etis, open (tanggap) dan ojo dumeh.

  Sedangkan sebagai pengawas masyarakat, Polri harus tegas, berwibawa dan kalau perlu keras. Satu lagi konsep policy Polri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus

   sadar bahwa dirinya adalah sebagai “Crime Hunter”.

  Polri memang harus bertindak keras tetapi tidak bengis harus melakukan pelayanan yang efisien tetapi tidak mengharap apapun, tidak memihak pada kesatuan apapun (khusunya bidang politik) demi tegaknya azas kepolisian. Bagi kepolisian hal-hal ini merupakan falsafah pelaksanaan tugas yang bersifat

   universal sebagai standar minimum perilaku organisasi Polri.

  Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut : 1.

  Aspek ketertiban dan keamanan umum 2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan) 3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga masyarakat.

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan.

  Mengamati tugas yuridis kepolisian yang demikian luas tetapi luhur dan mulia itu jelas merupakan beban yang sangat berat. Kejahatan dalam era modernisasi di Indonesia membawa implikasi bagi kerja polisi. Yakni, polisi akan 4 Anton Tabah, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

  Utama, 1991), hal 97 lebih besar lagi tanggung jawabnya mengamankan masyarakat dari berbagai kejahatan. Bentuk pengamanan ini bukan hanya dituntut dengan cepatnya penyelesaian perkara, tapi tuntutan hak-hak asasi manusia.

  Namun berbicara mengenai hak asasi manusia memberikan dapat suatu persepsi beragam bergantung pada siapa hak asasi manusia itu ditujukan.

  Dalam sebuah forum, seorang personel POLRI mempertanyakan, mengapa hak asasi manusia hanya dikemukakan ketika tindakan polisi mengakibatkan jatuhnya korban di pihak masyarakat. Sebaliknya, ketika anggota polisi cedera bahkan tewas dalam tugas akibat dianiaya masyarakat, siapa yang akan katakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap si polisi? Implisit, personel Polri tersebut mengutarakan betapa tidak adilnya perlakuan publik terhdapa anggota Polri. Seolah, karena polisi mengenakan seragam, maka ia tidak lagi manusia. Karena telah kehilangan kemanusiaan, maka

   hak asasi manusia pun menjadi sesuatu yang tidak relevan bagi polisi.

  Kasus kekerasan yang menimpa anggota polisi semakin marak dan beragam. Ironis, kekerasan tersebut menimpa aparat yang justru bertanggung jawab menjaga ketertiban umum masyarakat.

   Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Kastorius Sinaga, melihat

  banyaknya aksi kekerasan kelompok masyarakat yang mengakibatkan polisi tewas tidak boleh dibiarkan, karena dapat menggangu instabilitas politik dan ketertiban nasional. Terlebih bisa menimbulkan preseden buruk bagi prose penegakan hukum di masyarakat.

6 Reza Indragiri Amriel, Polisi Manusia, Membentuk Polisi Santun dan Berempati,

  (Tanggerang Selatan:Serat Alam Media, 2014), hal. 43 7 Zul, “Kekerasan Pada Aparat Merusak Sistem Hukum”, http://rmol.co/read/2013/04/01/104643/Kekerasan-Pada-Aparat-Merusak-Sistem-Hukum, diakses

  Tindak kekerasan terhadap aparat penegak hukum sebagai kejahatan serius sebab, efeknya bisa menciptakan kerusakan pada sistem penegakan hukum nasional.

  Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus yang ada. Aparat kepolisian mendapatkan perlakuan kekerasan dari masyarakat mulai dari kekerasan yang mengakibatkan luka ringan sampai mengakibatkan kematian.

  Indonesia Police Watch (IPW)

   1.

  Kasus Briptu Ade Suharto Sindu, anggota Polsek Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang tewas saat berupaya mengamankan pencuri sepeda motor di Desa Grogol, Petakan Cirebon. merilis jumlah polisi yang tewas di seluruh

  Indonesia sepanjang tahun 2014. Ada 41 orang tewas dan 42 anggota Polri terluka dari berbagai kesatuan. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 lalu, yaitu 27 polisi tewas dan 72 polisi terluka. Beberapa contoh kasus diantaranya:

2. Anarkisme juga menimpa anggota satuan intel Poltabes Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Brigadir Rusdiansyah tahun 2011.

  3.

  19 November 2014, Briptu Jony Burnawin luka dibacok Raswin Piking (36) dan Rinto Samsi saat melintas di SDN Karanganyar, Empat Lawang, Sumsel. Anggota Polsek Ulu Musi itu dibacok kedua pelaku karena mengetahui dirinya tengah diintai korban untuk ditangkap dalam kasus pencurian. 8 Fransisco Rosarians, “Sudah 4 Polisi Ditembak di Jalan”,

  http://www.tempo.co/read/news/2014/08/17/064505029/Sebulan-Terakhir-Sudah-4-Polisi-

  4. Pada 2 Juli 2014, Briptu Afriadi tewas seketika dan Brigadir Syamsul luka parah akibat dikeroyok massa saat hendak menggerebek judi dadu di Terminal Pasar Youtefa, Jayapura, Papua. Selain dikeroyok keduanya ditikam berkali-kali.

  5. Kasus kekerasan juga menimpa Brigadir Ricardo Sitorus dan Brigadir Chris- tian Marko. Dua orang anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu tewas akhir Februari 2012 dianiaya dan dibakar massa di Desa Lau Bekri, Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatera Utara.

  6. Kasus kekerasan turut menimpa AKP. Andar Siahaan bersama rekan- rekannya pada tanggal 27 Maret 2013. AKP. Andar Siahaan tewas dianiaya oleh warga Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Paredamean, Kabupaten Simalungun, saat bertugas menangkap seorang tersangka yang tidak lain merupakan rekan dari para warga yang menganiaya tersebut.

  Selain daripada itu, masih banyak kasus serupa yang menimpa Aparat kepolisian yang menyebabkan cedera bahkan kematian yang justru dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak yang seyogyanya dilindungi oleh aparat kepolisian. Beberapa kasus diatas menjadi cerminan bagaimana keadaan masyarakat dewasa ini yang mulai memberikan perlawanan kepada Aparat penegak hukum.

  Perlindungan hukum yang ada masih belum dapat memayungi Aparat kepolisian dengan baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara.

  Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menjamin perlindungan seluruh masyarakat termasuk Aparat Kepolisian dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini memiliki sederet instrument hukum. Dalam Kitab Undang- undang Hukum pidana diatur mengenai Kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen bet lijf) dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atasa tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

  Selain itu ada juga beberapa ketentuan Standar operasional bagi Aparat Kepolisian dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu ada juga code of conduct atau kode etik profesi dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang menjadi koridor hukum bagi aparat kepolisian melakukan tugasnya di tengah masyarakat.

  Ada pula Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun peraturan ini hanya bersifat internal dan menitikberatkan pada perlindungan HAM bagi masyarakat tanpa mengatur secara lugas mengenai perlindungan bagi HAM Aparat Kepolisian itu sendiri.

  Dari beberapa instrumen hukum tersebut dapat dikatakan belum memberikan perlindungan hukum maksimal bagi Aparat kepolisian. Para personel polisi rentan rentan mengalami viktimisasi akibat benturan dengan masa maupun pelaku kejahatan.

  Sinergi antara aparat kepolisian sebagai penegak hukum dan masyarakat sebagai bagian dari penegakan hukum sangat diperlukan agar tercipta harmonisasi sehingga kedua belah pihak dapat menciptakan keamanan dan ketertiban yang masyarakat hakiki seperti yang dicita-citakan UU.

  B. Perumusan Masalah

  Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

  1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap aparat kepolisian sebagai korban kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia?

  2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisisan yang mengakibatkan kematian pada anak (Putusan Pengadilan Simalungun Nomor: 370/Pid.B/2013/PN.SIM.)? C.

   Tujuan Penulisan

  Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap aparat kepolisian dalam menjalan tugas dalam hukum pidana Indonesia

  2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian dalam putusan Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.

  D. Manfaat Penulisan 1.

  Manfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi

  Aparat Kepolisian sebagai objek kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat.

  2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya terhadap Anggota POLRI agar terhindar dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap mereka saat menjalankan tugas sesuai ketentuan UU.

  E. Keaslian Penulisan

  Penulisan Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor : 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.” adalah hasil pemikiran penulisan sendiri. Skripsi ini sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

  Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulisan sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian untuk skripsi ini adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

  F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana

  Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah

   manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

  Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan

   tersebut.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan

   oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.

   Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :

  “Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

  9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181 10 11 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur:Sinar Grafika, 2011), hal. 97 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama,

  2003, hal. 33 12 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).” Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat dirumuskan sebagai berikut

13 Jonkers merumuskan bahwa :

  : “Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”

14 Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari oleh Amir

  Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur, yaitu “Tindak pidana sebagaiperisitiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

   1.

  Subjek; : 2.

  Kesalahan; 3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan; 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

  5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya). 13 P.A.F. Lamintang, op.cit, hal. 182. 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 75

  Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatanmengenai perbuatannya sendiriberdasarkan asas legalitas (Principle of Legality) yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali ).

2. Pengertian Kekerasan

  Kekerasan dalam bahasa Inggris violence berasal dari bahasa Latin violentus yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan

  

  tanpa mengindahkan keabsahan. Pengguna atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukkan dalam rumusan kekerasan ini.

16 Wignyosoebroto. S, Makalah, Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah Terus Berubah.

  “Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa

  

  kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik tanpa prinsip. Hampir tiap menit terjadi kekerasan di dunia ini, baik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan dalam lingkungan, kekerasan dalam politik dan

  

  bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Menurut Wignyosoebroto : “Kekerasan adalah suatu tindakan, yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang beposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadan lemah) berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu”

  Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan amarah yang sudah tak

  

  tertahankan olehnya. Menurut Santoso : “Kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and

  battery ) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal

  yang melibatkan ancaman dan aplikasi actual kekuatan fisik pada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh 17 tindakan kolektif”

  http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan diakses tanggal 12 Januari 2015. Pada pukul 08:00 am. 18 Wignyosoebroto, loc.cit.

  Kekerasan menurut Pasal 89 KUHP adalah membuat orang menjadi pingsan

  

  atau tidak berdaya lagi (lemah). Penjelasannya sebagai berikut : Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya umpanya memberi minuman racun. Kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangya tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya.

  Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antar pribadi, di mana orang tidak bisa lagi duduk bersama memecahkan suatu masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak 20 Soesilo, KUHP serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor:Politeia, 190), hal.

  98 ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar dari semangat melindungi.

  Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia merupakan akibat dari dosa. Kita tinggal dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan.

  Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok yang diaanggapnya lemah, di mana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok, dan menyiksa.

3. Bentuk-bentuk Kekerasan dan akibat Kekerasan

  Kekerasan merupakan suatu istilah yang biasa diterjemahkan dari kata asing violence. Violence merupakan gabungan kata latin ‘vis’ yang berarti daya atau kekuatan dan kata ‘latus’ yang berasal dari kata ferre, yang berarti membawa kekuatan atau daya.

  Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan atau tekanan, desakan yang keras, sehingga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan atau tekanan. Secara teoritis kerusuhan yang dilakukan secara massal merupakan bentuk tindak kekerasan (la violencia di Columbia) yang dapat menjurus pada tindakan criminal atau kejahatan. “kekerasan” yang dilakukan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusuhan fisik maupun psikis adalah kekerrasan yang

   bertentangan dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.

  Untuk dapat digolongkan sebgai suatu kekerasan haruslah memuat atau menunjuk unsur-unsur tertentu, seperti tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, adanya ancaman atau tindakan nyata dan memiliki akibat kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian.

22 Selanjutnya Kadish mengklarifikasi kekerasan ini ke dalam 3 (tiga)

  bentuk kekerasan, yaitu: 1.

   Emotional and instrument violence 2. Random and individual violence 3. Collective violence

23 John Galtung memberikan pengertian kekerasan dalam arti yang sangat

  luas meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self-realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth).

  Dalam konteks ini, menarik sekali apa yang ditulis oleh Dorn Helder

24 Camara , yang mengenalkan Teori Teori kekerasan Spiral (spiral of violence)

  yang menggambarkan proses dari bekerjanyan 3 (tiga) bentuk kekerasan bersifat personal, instutisional, dan structural yaitu ketidakadilan, kekrsan pemberontakan 21 Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta. Krominologi, (Bandung:Eresco, 1992), hal.

  55 22 Kadish, Sanford H, Encyclopedia Of Crime and Justica, volume 4, (New York:Macmilian and Free Press, 1983), hal. 1619 23 I Marsana Windhu, Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal.

  64-65 24 Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Sebuah Terjemahan dari Judul asli “Spiral of sipil dan represi negara. Ketiganya saling terkait satu sama lain, artinya, kemunculan kekrasan satu menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.

  Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan, yaitu kekerasan nomor 1 (satu) sebgai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional.

  Ketidakadilan ini terjaddi sebgai akibat dari upaya kelompok elit nasional memepertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi “sub-human”, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebgai manusia normal.

  Menurut teori ini, kondisi “sub-human” ini selajutnya menciptakan ketegangan terus menerus di masyarakat, sehingga mendorong munculnya kekerasan nomor 2 (dua), yaitu pemberontakan di kalangan sipil. Dalam kondisi ini, manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka, naik yang langsung menderita tekanan structural itu maupun anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek “sub-human” itu, melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan untuk melawan ketidkaadilan. Ketika konflik, protes dan pemeberontakan itu menyembul di jalan- jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba melawan kekersan nomor 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan menggunakan cara-cara kekersan, sehingga muncul kekersan nomor 3. Yaitu

   represi penguasa. Bekerjanya tiga jenis kekersan itu menyerupai spiral, karenanya Dom H. Camara meneyebutkannya dengan Spiral kekerasan. Kekersan nomor 1 atau ketidakadilan mendorong pemebrontakan sipil atau kekersan nomor 2.

  Selanjutnya hal itu mengundang hadirnya represi negara atau kekerasan nomor 3. Ketika represi itu diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi ketidakadilan, kekersan nomor 1 sehingga terbentuklah Spiral Kekerasan

   (kekerasan menimbulkan kekersan lainnya).

4. Pengertian Aparat Kepolisian

   Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo :

  “Kepolisian adalah profesi unik, sehingga untuk merumuskan secara tuntas adalah pekerjaan yang tidak mudah. Ia merupakan perpaduan antara kekuatan dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang berdiri sendiri dan sering bersebrangan. Ia juga perpaduan antara kekerasan dan kelembutan.”

  Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana pada Sistem Peradilan Pidana di Sub Penyidikan. Dengan hal itulah antara tugas serta kewaijiban yang diemban oleh seorang Polisi sangatlah berat, karena antara satu dengan yang lainnya bertentangan dan kontradiktif, akan tetapi ikhwal manusia sebagai aparat penegak hukum yang melindungi serta mengayomi masyarakat harus lebih mengedepankan sikap profesionalisme dan humanisme yang tinggi dalam melayani masyarakat ke arah pelayanan yang prima dan optimal. 26 Ibid, hal. 14

  Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Penyelenggaraan fungsi Kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian dibidang teknis Kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan Kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

  Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi Kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi Polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.

  Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No. 2 Tahun 2002 pada Pasal 34 dan 35 kemudian di wujudkan melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik ini adalah merupakan perilaku dan moral bagi anggota Polri sebagai upaya pemulihan terhadap profesi Kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, pelayanan, pembinaan, perlindungan, pengayoman serta pencegahan dan penindakan terhadap suatu tindak pidana dan penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  Profesionalisme Polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila Polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya Polisi dalam menjalankan tugas. Tugas Polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan Polisilah terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan.

  Integritas professional Polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas Kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan Polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas Polisi sebagaimana berlaku universal. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya.

  Tiap-tiap komponen dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan atau diskresi tersebut, wewenang tersebut yang telah termaktub dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 sebagai acuan penyidik dalam mengambil langkah kebijakan untuk menangani perkara pidana. Diskresi diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan atau aspek yuridis maupun atas dasar aspek sosiologisnya.

  Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan berupa tindakan - tindakan Kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi penyidik. Pada tingkat penuntutan, adanya wewenang Jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.

  Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh Polisi itu sendiri terdapat hal-hal yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan.

  Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa:

  Pasal 1 butir (1) “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

  Pasal 2 “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum dibidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh Polisi.

5. Pengertian Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian

  Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tanggal 22-12-1953 menyatakan bahwa pegawai negeri ialah “adanya suatu pengangkatan oleh pemerintah, untuk melaksanakan jabatan umum yang merupakan sebgaian tugas peerintahan sendiri atau dari alat perlengkapannya”.

  Pengertian pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 356 adalah pengertian pegawai negeri menurut yurisprudensi tersebut diatas, yang diperluas menurut Pasal 92 KUHP, dan tidak menurut perluasan arti oleh UU No.

  31 Tahun 1999. Perluasan arti mengenai pegawai negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 ini hanyalah berlaku bagi penerapan ketentuan-ketentuan dalam UU tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja, dan tidak terhadap ketentuan hukum pidana selainnya. Ketentuan hukum pidana perihal penganiayaaan (Bab XX Buku II KUHP) dan Kekerasan bukan termasuk tindak pidana korupsi.

  Dengan demikian dapat anggota Polri merupakan pegawai negeri yang dimaksud

   tersebut.

  Macam penganiayaan terhadap pegawai negeri yang ketika menjalan tugasnya ini ada persamaan dan perbedaan dengan kejahatan melawan pejabat yang diatur dalam Pasal 212, yang rumusannya adalah:

  “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pejabat yang sedang mejalakna tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau permintaan pejabat itu memebrikan bantuan padanya, dipidana karena melwan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.”

  Bila rumusan itu dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: a.

  Perbuatan: melawan;

  b. 1) dengan kekerasan; Cara: 28 2) dengan ancaman kekersan;

  Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, c.

  Objeknya: 1) pejabat/pegawai negeri; 2) orang yang arena berkewwajiban UU membantu pejabat itu; 3)orang yang karena permintaan pejabat itu membantu padanya; d.

  Yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.

  Melawan adalah suatu perbuatan yang sifatnya menantang, memaksa dan menekan pada seorang (Aparat Kepolisian) yang bertentangan dengan kemauaan dan kehendak orang itu. Perbuatan ini bersifat abstrak, yang wujudnya akan lebih nyata bila dihubungkan dengan cara melakukannya, yakni dengan kekerasan dan ancaman kekerasan.

  Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut baik dilakukan oleh individu atau dilakukan dua orang bersama-sama atau lebih terhadap seorang Aparat Kepolisian tetapi tidak perlu orang tersebut mengetahui tentang Aparat kepolisian tersebut sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah.

G. Metode Penulisan 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normative atau penelitian hukum doctrinal dan dibantu dengan hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan dalam perkara tersebut. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-undangnan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi ini yaitu “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Mengakibatkan Kematian (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 370 /Pid.B/2013/PN.SIM.) 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder.

  Data sekunder diperoleh dari : a.

  Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang hukum Pidana.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang pidana kekerasan terhadap Aparat Kepolisian meliputi kasus dari pengadilan Negeri Simalungun (putusan Pengadilan Simalungun No. 370/Pid.B/2013/PN.SIM), buku- buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

  c.

  Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang berisi konsep- konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.

  3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhdap literatur- literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan negeri Simalungun. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain studi kepustakaan, penelitian juga melakukan studi lapangan dengan mewawancarai hakim pengadilan negeri Simalungun.

  4. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat dijawab permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

  Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut : Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

  Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan terhadap Aparat Kepolisian. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai bentuk dan klasifikasi kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan terhadap aparat kepolisian.

  Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas perlindungan hukum tentang aparat kepolisian dalam ketetuan hukum pidana di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap Aparat Kepolisian yang mengakibatkan kematian serta analisis kasus putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 370/Pid.B/2013/PN.SIM

  Bab IV : Dalam bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Paud, Tk Dan Posyandu Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Marelan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Stroke - Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA  - Pengaruh Penetapan Margin Murabahah terhadap Produk Pembiayaan kepemilikan Rumah di Bank Bukopin Syariah Medan

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 0 7

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kecamatan Gunung Maligas - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cahaya - Perancangan Dan Pembuatan Alat Pendeteksi Keberadaan Alfatokoferol Pada Paprika Hijau Dengan Menggunakan Sensor Warna TCS3200

0 0 29

BAB II PROFIL INSTANSI - Strategi Optimalisasi Pendapatan Dinas Pasar Dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah

0 0 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN - Analisis Perbandingan Anggaran Dan Realisasi Dana Dekonsentrasi Pada Dinas Pertambangan Dan Energi Provinsi Sumatera Utara

0 0 24