BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

  Dibandingkan dengan komoditi lainnya pada sub sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir [14]. Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, lebih dari 46% bekerja di sektor pertanian. Kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1911, dibawa oleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empat pohon sawit pertama dibawa dari Kongo, untuk kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannya dengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembangbiakan dari tanaman induk inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatera [1].

  Kelapa sawit merupakan tanaman pohon tropis yang terutama ditanam untuk menghasilkan minyak. Ditanam dan dipanen di daerah yang luas (3.000 sampai 5.000 ha) disekitar pabrik minyak sentral untuk memungkinkan penanganan industri yang pesat [15]. Seiring dengan berkembangnya industri sawit di Indonesia, luas areal perkebunan sawit juga semakin bertambah yang dirangkum dalam Tabel 2.1 berikut, mulai dari tahun 2009 sampai 2013.

Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia [16]

  Luas areal (ha) Tahun

  Total (ha)

  Perkebunan Besar Perkebunan Rakyat

  7.949.400

  2009 4.888.000 3.061.400

  8.548.900

  2010 5.161.600 3.387.300

  9.102.300

  2011 5.349.800 3.752.500

  10.133.300

  2012 5.995.700 4.137.600

  10.586.500

  2013 6.170.700 4.415.800 Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2012 perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Sumatera seluas 6.624.900 Ha diikuti oleh Kalimantan seluas 3.483.700 Ha, Sulawesi seluas 336.700 Ha, Papua seluas 108.500 Ha dan Jawa seluas 32.600 Ha [16, 17]. Gambar 2.1 berikut merupakan luas lahan sawit berbagai provinsi di Indonesia.

  381,5 38,46 789,4 1222,9 142,6

  2139,8 897,9 39,0 355,9 696,8 1126,5

  190,4 95,1 497,7 290,2 95,1

  898,2 160,6 60,6 50,7 19,9

  10,9

  3 Gambar 2.1 Luas Lahan Sawit (dalam 10 Ha) pada Tahun 2012 [16]

  Industri kelapa sawit berpotensi menghasilkan perkembangan ekonomi dan sosial yang signifikan di Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan memajukan pembangunan ekonomi [2, 17]. Salah satu hasil olahan kelapa sawit adalah Minyak Sawit Mentah (MSM) seperti Crude Palm Oil (CPO) dan Crude

  Palm Kernel Oil (CPKO) [18]. Minyak sawit merupakan minyak yang berasal

  dari proses ekstraksi tandan buah segar kelapa sawit. Dapat digunakan untuk konsumsi makanan maupun non konsumsi. Peningkatan permintaan untuk minyak sawit didorong oleh meningkatnya konsumsi minyak nabati karena perkembangan populasi manusia [19]. Tabel 2.2 berikut merupakan produksi minyak kelapa sawit dunia.

Tabel 2.2 Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia, dalam Jutaan Ton [20]

  2010/11 2011/12 2012/13 2014/15 Nov Des 2014/15 2014/15

  Indonesia 23,600 26,200 28,500 30,500 33,500 33,000 Malaysia 18,211 18,202 19,321 20,161 21,250 21,250 Thailand 1,832 1,892 2,135 2,150 2,250 2,250 Colombia 753 945 974 1,042 1,070 1,070 Nigeria 850 850 910 930 930 930 Lainnya 3,590 4,022 4,129 4,276 4,293 4,293

  Total 48,836 52,111 55,969 59,059 63,293 62,793

  !" ! ! # $!%! !& '

  Perkembangan pesat pada industri kelapa sawit setiap tahunnya telah memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan dengan dihasilkan sejumlah besar residu dar dari proses di pabrik kelapa sawit yang berasal da dari proses ekstraksi minyak sawit dari tandan buah segar di pabrik kelapa sawi sawit. Proses produksi pada industri sa stri sawit menghasilkan limbah padat dan cair. Limb Limbah padat terdiri dari tandan kosong osong buah, serat mesocarp buah dan cangkang kela g kelapa sawit, digunakan sebagai bahan bahan bakar untuk menghasilkan uap dan listrik di p di pabrik [3, 5].

  Limbah cair dihas dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit dari proses roses basah di dekanter. Limbah cair ini ini dikombinasikan dengan limbah dari air pendi pendingin dan sterilizer yang disebut ebut sebagai LCPKS [3]. Gambar 2.1 berikut m ut merupakan diagram alir proses ekstra ekstraksi minyak sawit pada industri kelapa sawit, d wit, dilengkapi dengan limbah yang dihas dihasilkan beserta sumbernya.

Gambar 2.2 Diagram A gram Alir Proses Ekstraksi Minyak Sawit dan Limbah imbah yang

  Dihasilkan [21] Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga sumber utama limbah cair yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit konvensional yaitu sterilizer kondensat, pemisah lumpur dan limbah hidrosiklon dengan

  3

  perbandingan sekitar 0,9 : 1,5 : 0,1 m [22, 23]. Produksi 1 juta ton minyak sawit mentah membutuhkan 5 juta ton tandan buah segar (TBS). Rata rata pengolahan 1 juta ton TBS di Pabrik Kelapa Sawit menghasilkan 230.000 ton tandan kosong buah (TKS) dan 650.000 ton LCPKS sebagai residu [20].

  ! !#' (' # !" ! ! # $!%! !& '

  LCPKS adalah suspensi koloid berwarna kecoklatan yang mengandung 95 96% air, 0,6% minyak dan 0,7% lemak, dan 4 5% dari total padatan, memiliki konsentrasi COD yang tinggi karena memiliki jumlah karbon rendah (8 20) dari asam amino dan asam lemak yang terlarut, mengandung padatan dan minyak, bersifat asam, mengandung bahan organik tinggi yang tidak beracun karena tidak ada bahan kimia yang ditambahkan selama proses ekstraksi minyak dan mengandung zat hara yang cukup untuk tanaman [4, 24, 25]. Adanya kandungan COD yang tinggi, menyebabkan LCPKS berpotensi menjadi polutan, namun karena kandungan organiknya juga tinggi, maka LCPKS dapat diuraikan secara biologis.

Gambar 2.3 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) [26]

  Karakteristik LCPKS dapat berbeda untuk operasi yang berbeda setiap harinya dari pabrik pabrik industri kelapa sawit, tergantung pada teknik pengolahan, usia atau jenis buah, iklim dan kondisi pengolahan kelapa sawit [21].

Tabel 2.3 berikut merupakan karakteristik LCPKS secara umum.

  • –N) mg/l 4 – 80 Total P mg/l 90 – 140 Total K mg/l 260 – 400 Total Ca mg/l 1.000 – 2.000 Total Mg mg/l 250 – 350

  Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton)

  6 m 3 ton bahan baku

  Debit Limbah Maksimum

  20 0,12 pH 6,0 – 9,0

  250 1,5 COD 500 3,0 TSS 300 1,8 Minyak dan Lemak 30 0,18 Amonia Total (sebagai NH

  5

  BOD

  Parameter Kadar Maksimum (mg/l)

Tabel 2.3 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) [23, 27]Tabel 2.4 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit [29]

  LCPKS merupakan limbah yang sangat polutan. Limbah cair yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan polusi berupa ancaman besar bagi daerah sekitar aliran sungai dan badan air serta menimbulkan bau busuk pada daerah sekitar pabrik, ditambah dengan nilai BOD yang tinggi dan pH yang rendah, menyebabkan LCPKS sangat sulit untuk diolah dengan metode konvensional [28]. Oleh karena itu, dibutuhkan pengolahan sebelum LCPKS dibuang ke lingkungan. Tabel 2.4 berikut merupakan baku mutu limbah cair industri minyak sawit yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan.

  Sistem pengolahan LCPKS pada dasarnya terdiri dari proses anaerobik dan proses aerobik. Tiga sistem pengolahan yang paling umum digunakan adalah kolam stabilisasi, digester tangki terbuka dengan aerasi diperpanjang, dan digester tangki tertutup yang menghasilkan biogas dan sistem aplikasi tanah [28]. Sistem kolam stabilisasi adalah metode anaerob konvensional yang paling sering digunakan untuk pengolahan LCPKS [4].

  3

  Minyak dan Lemak mg/l 6.500 15.000 Total nitrogen mg/l 500 – 900 Ammoniacal nitrogen(NH

  Biochemical Oxygen Demand (BOD) mg/l 20.000 – 60.000 Chemical Oxygen Demand (COD) mg/l 40.000 120.000 Total Solids (TS) mg/l 30.000 – 70.000 Total Suspended Solids (TSS) mg/l 15.000 – 40.000 Volatile Solids (VS) mg/l 9.000 – 72.000

  Parameter Satuan Nilai pH – 4 – 6 Suhu °C 60 – 80

3 N)

  • * )

  Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi diolah di instalasi pengolahan air limbah. Untuk penanganannya perlu dibangun kolam limbah dengan kapasitas yang dapat menampung limbah cair dengan kapasitas olah pabrik brondolan sawit/jam. Tahapan proses pengolahan air limbah terdiri atas: (1) eoling Pond, (2) Kolam Pendingin, (3) Primary Anoerbic Pond, (4)

  Secondary Anaerobic Pond dan (5) Aeration Pond. Waktu tinggal limbah pada

  kolam keseluruhan adalah 109 hari, maka perluasan kolam limbah harus dilakukan sejalan dengan pengembangan kapasitas produksi [30].

  Pengolahan secara konvensional ini membutuhkan waktu yang lama dan lahan yang luas, sedangkan LCPKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik kelapa sawit dituntut untuk menangani limbah ini melalui peningkatan teknologi pengolahan (end of pipe) [31]. Peningkatan permintaan konsumen minyak sawit berbanding lurus dengan produksi pabrik kelapa sawit sehingga berakibat pada peningkatan LCPKS yang mengandung konstituen biodegradable atau dapat diuraikan secara biologis dengan rasio BOD/COD sebesar 0,5 [32].

  Biogas atau biometana adalah pilihan yang efisien untuk mencegah dan mengurangi polusi serta memberikan energi yang berkualitas tinggi untuk bahan bakar kendaraan, pembangkit listrik, dan pemanas [33]. Komposisi biogas bervariasi sangat tergantung pada bahan organik dan proses biologis yang digunakan [34]. Tabel 2.5 berikut merupakan karakteristik biogas secara umum.

Tabel 2.5 Karakteristik Biogas [6, 35, 36]

  Parameter Komposisi Metana (CH )

  50 75% Karbon dioksida (CO ) 30 – 40% 2 Nitrogen (N ) 2 0,4 – 1,2%

  • 4
  • – Oksigen (O )
  • 2 0,4% Hidrogen Sulfida (H S) 2 0,02 – 0,4%

      3 Kandungan Energi 6,0 – 6,5 kWh/m

      3 Kesetaraan Bahan Bakar 0,60 – 0,65 liter minyak/m udara Batas Ledakan

      6 – 12% biogas di udara Temperatur Nyala 650 – 750 °C Tekanan Kritis

      75 – 89 bar Parameter Komposisi Temperatur Kritis

    • –82,5 °C
    • 3 Densitas Normal 1,2 kg/m 1 Massa Molar 16,043 kg/kmol Salah satu keuntungan utama dari produksi biogas adalah kemampuan untuk mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga, dengan menggunakannya sebagai substrat untuk proses digestasi anaerobik [9]. Secara umum, bahan baku substrat untuk pembuatan biogas harus mengandung tiga jenis makromolekul yaitu karbohidrat, protein dan lipid [37]. Kandungan karbohidrat, protein, senyawa nitrogen, lipid dan mineral yang tinggi dalam LCPKS menjadikan LCPKS sebagai substrat yang baik untuk biokonversi melalui berbagai proses bioteknologi [38]. Jika substrat untuk proses digestasi anaerobik terdiri atas campuran homogen dari dua atau lebih jenis bahan baku (misalnya lumpur kotoran hewan dan limbah organik dari industri makanan), proses ini disebut o digestion dan umum digunakan dalam pembuatan biogas [9]. Tabel 2.6 berikut merupakan potensi biogas yang dihasilkan oleh beberapa substrat.

      Tabel 2.6 Potensi Biogas yang Dihasilkan oleh Beberapa Substrat [42]

        Biogas Komposis Biogas Komponen

        3

        (m /kg VS) (CH : CO )

        4

        2 Karbohidrat 0,38 50 : 50

        Lemak 1,00 70 : 30 Protein 0,53 60 : 40

      • + Beberapa spesies mikroba telah dikenal karena kemampuan mereka untuk

        memecah bahan organik yang ada dalam limbah dengan memproduksi suatu produk bernilai tambah [38]. Biogas merupakan produk gas dari proses digestasi anaerobik, yaitu proses biokimia dimana bahan organik yang kompleks terurai dalam ketiadaan oksigen dengan memanfaatkan aktivitas berbagai jenis mikroorganisme [39]. Selama proses tersebut, bahan organik diubah terutama untuk menjadi metana (CH ), karbon dioksida (CO ), dan biomassa. Nitrogen

        4

        2

        dilepaskan dari senyawa organik dan dikonversi menjadi amonia [40]. Proses anaerobik digunakan untuk mengolah limbah cair dengan kandungan organik yang tinggi (BOD>500mg/l), bertujuan untuk pengolahan lebih lanjut dari lumpur primer dan sekunder dari pengolahan air limbah konvensional [41]. Gambar 2.4 berikut merupakan skema digester anaerobik dengan sistem atch dan kontinu.

      Gambar 2.4 Skema Digester Anaerobik (A) Batch dan (B) Kontinu [42]

        Terdapat beberapa keuntungan dari proses digestasi yaitu mampu mengolah limbah dengan kandungan senyawa organik yang tinggi, tidak membutuhkan peralatan aerasi, investasi energi rendah dan jumlah lumpur yang dihasilkan jauh lebih rendah dari proses aerobik [43]. Gambar 2.5 berikut merupakan tahapan proses digestasi anaerobik.

      Gambar 2.5 Tahapan Proses Digestasi Anaerobik [44]

         , -$ ( ( +

        Hidrolisis adalah tahapan ekstraseluler enzim dimediasi yang melarutkan partikulat dan substrat yang tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme anaerobik [40]. Pada hidrolisis terjadi degradasi bahan organik dan senyawa dengan berat molekul tinggi seperti lipid, polisakarida, dan protein menjadi molekul kecil dan substrat organik terlarut (misalnya, glukosa asam lemak pasir, asam amino), yang cocok untuk digunakan sebagai sumber energi dan sel karbon [45]. Senyawa yang terbentuk selama hidrolisis digunakan selama tahapan asidogenesis.

        !"#"$"$ %idrolisis Polisakarida

        Reaksi yang terjadi adalah [9]: enzim selulosa, selobiase, xilanase, amilase                   →

        Polisakarida monosakarida Polisakarida adalah senyawa yang mengandung rantai gula terkait.

        Polisakarida yang umum adalah selulosa, hemiselulosa, pati, pektin, dan glikogen. Hidrolisis selulosa hasil dalam pembentukan selobiosa (dua molekul glukosa yang saling berhubungan) dan glukosa. Pati dan glikogen dipecah menjadi unit glukosa, dan beberapa gula yang berbeda terbentuk dari hemiselulosa dan pektin. Organisme yang aktif dalam proses biogas selama hidrolisis polisakarida termasuk berbagai kelompok bakteri dalam, misalnya, Bacteriodes genera,

        Clostridium, dan Acetivibrio [42].

      2.4.1.2 Hidrolisis Protein

        Reaksi yang terjadi adalah [9]: enzim protease        →

        Protein asam amino Protein adalah rantai asam amino yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi. Asam amino adalah produk primer akhir hidrolisis protein dan peptida.

        Selain asam amino, dekomposisi glikoprotein juga memproduksi berbagai karbohidrat. Organisme proteolitik dalam proses biogas antara lain, genera

        Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bifidbacterium [42].

        !"#"$") Hidrolisis Lemak

        Reaksi yang terjadi adalah [9]: enzim lipase       →

        Lemak asam lemak, gliserol Umumnya lemak terdiri dari gliserol (alkohol) dan asam lemak yang berbeda, yang semuanya dirilis oleh biodegradasi. Enzim yang memecah lemak disebut lipase. Sebagian besar lipase diketahui diproduksi oleh mikroorganisme aerobik aerobik atau fakultatif. Mikroorganisme anaerobik yang banyak mengeluarkan lipase antara lain, genus Clostridium [42].

        ( ,-. / ( ( +

        Selama asidogenesis, produk hidrolisis diubah oleh bakteri asidogenik menjadi substrat untuk metanogen [9]. Bahan molekul kecil dan substrat organik terlarut didegradasi menjadi VFA (misalnya asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam suksinat, asam laktat dan lain lain), alkohol, ammonia, CO dan H

        2

        2

        [42]. Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen (70%) serta menjadi VFA dan alkohol (30%) [9]. Pada tahapan ini, mikroorganisme asidogenesis menyediakan substrat yang penting bagi mikroorganisme asetogenesis dan mikroorganisme metanogenesis. Banyak mikroorganisme yang berbeda, aktif selama tahap ini lebih dari pada tahap lain. Mikoorganisme pada tahap ini sama dengan tahap hidrolisis, namun organisme lain juga aktif, misalnya Enterobacterium, Bacteriodes,

        Acetobacterium, Eubacterium, Clostridium, Ruminococcus, Butyribacterium, Propionibacterium, Lactobacillus, Streptococcus, Pseudomonas, Desulfobacter, Micrococcus, Bacillus dan Escherichia. Para anggota fakultatif kelompok ini juga

        membantu melindungi metanogen yang sensitive terhadap oksigen dengan mengkonsumsi jejak oksigen yang dapat masuk dalam umpan [42, 46].

      • + ) ( '-. / ( (

        Produk dari asidogenesis, yang tidak dapat langsung diubah menjadi metana oleh bakteri metanogen, diubah menjadi substrat metanogen selama asetogenesis [9]. Asetogenesis merupakan tahapan dimana asam organik yang lebih tinggi dan zat zat lain yang dihasilkan oleh asidogenesis selanjutnya dicerna oleh asetogen untuk menghasilkan asam asetat, CO dan hidrogen yang dapat

        2 digunakan oleh metanogen untuk produksi metana [46].

        VFA dengan rantai karbon lebih panjang dari dua unit, dan alkohol dengan rantai karbon lebih panjang dari satu unit, dioksidasi menjadi asetat dan hidrogen [9]. Konversi substrat menjadi asetat mengikuti reaksi berikut [47]: Reaksi sintrofik asetogenik:

      • Propionat + 3H O → asetat + HCO + H + 3H
        • 2

        3

        2

      • Butirat + 2H O → 2 asetat + H + 2H
        • 2

        

      2

      • Propionat + 2HCO → asetat + 3 format + H •

        3

      • Butirat + 2HCO → 2 asetat + 2 format + H •

      3 Reaksi homoasetogenik:

      • Laktat → 1 ½ asetat + ½ H •
      • Etanol + HCO → 1 ½ asetat + H O + ½ H •

        3

        2 Metanol + ½ HCO → ¾ asetat + H O

      • 3

        2

      • 4H + 2HCO + H → asetat + 4H O •

        2

        3

        2

      yntrophomonas, Syntrophus, Clostridium, dan Syntrobacter adalah

        contoh genus dari mikroorganisme yang dapat melakukan oksidasi anaerobik yang bersintrofik dengan mikroorganisme untuk menguraikan gas hidrogen. Banyak organisme ini dikenal sebagai asetogens, yaitu selain gas hidrogen dan karbon dioksida mereka juga membentuk asetat sebagai produk utama [42].

      • + + '!/-. / ( (

        Metanogenesis adalah tahapan mengubah senyawa antara menjadi produk akhir yang lebih sederhana, terutama CH dan CO oleh dua kelompok

        4

        2

        mikroorganisme metanogen: kelompok pertama mengkonversi asetat menjadi metana dan karbon dioksida (methanogen aceticlastic) dan kelompok kedua menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan CO sebagai akseptor untuk

        2

        menghasilkan metana ( methanogen hydrogenotrophic). Sekitar 72% dari metana yang dihasilkan dalam pencernaan anaerobik adalah dari asetat; dan 28% dari metana berasal dari hidrogen [6, 45]. Reaksi yang terjadi yaitu [47]:

      • 2

        Hidrogen : 4 H + CO → CH + 2 H O

        2

        4

        2 Asetat : CH COOH → CH + CO

      • 3

        4

        2

      • 3

        Metanol : 4 CH OH → 3 CH + CO + 2 H O

        4

        2

        2 Metanogenesis merupakan tahapan kritis dalam seluruh proses pencernaan

        anaerobik, karena merupakan reaksi biokimia yang paling lambat [9]. Saat ini hanya ada dua kelompok yang diketahui dari metanogen yang memecah asetat yaitu - ethanosaeta dan Methanosarcina, sementara yang memecah gas hidrogen yaitu Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan

        Methanobrevibacter [42].

        Tiga kelompok bakteri yang berbeda (fermentasi, asetogenik dan metanogen) terlibat dalam proses digestasi anaerobik dan bakteri ini secara luas berbeda satu sama lain dalam fisiologi dan kebutuhan gizi. Ketika substrat mudah terhidrolisis seperti pati terlarut diperlakukan anaerob, proses ini memiliki masalah pada tingkat pembebanan yang tinggi karena ketidakseimbangan antara asam dan pembentukan metana [48]. Untuk mengatasi masalah ini, banyak upaya telah dilakukan untuk memisahkan proses menjadi dua tahap yang berbeda yang pertama untuk tahap hidrolisis dan asidogenesis sedangkan tahap kedua untuk metanogenesis. Proses digestasi anaerobik dua tahap dapat digambarkan sebagai berikut:

      Gambar 2.6 Digestasi Anaerobik Dua Tahap [46]

        Ide dari proses digestasi anaerobik dua tahap pada awalnya diusulkan oleh Pohland dan Ghosh (1971). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan biodegradasi anaerob melalui pemisahan yang terkendali dari reaksi utama [46]. Pada proses digestasi dua tahap, substrat dimasukkan ke dalam reaktor tahap pertama, cairan yang mengandung senyawa antara, terutama VFA secara terus menerus dikeluarkan dan dimasukkan ke reaktor tahap kedua yaitu tahap metanogen. Dengan cara ini, kondisi masing masing tahap dapat dioptimalkan, kemudian senyawa antara seperti VFA yang dapat menghambat kelompok mikroorganisme dalam konsentrasi tinggi, terus menerus dapat dicuci dari reaktor tahap pertama [49]. Mikroorganisme yang terkait dengan hasil tahap pertama memiliki tingkat pertumbuhan dan aktivitas tertinggi, maka reaktor asidogenik akan selalu lebih kecil dari reaktor metanogen [46]. Tujuan dari proses digestasi anaerobik dua tahap tidak hanya untuk lebih mendegradasi limbah, tetapi juga untuk mengekstrak energi lebih bersih dari sistem [50].

        Penelitian JE Hernandez dan RGJ Edyvean, 2011 [51] menggunakan . o

        stage (asidogenesis dan metanogenesis) anaerobic digestion (TSAD) yang

        dibandingkan dengan single stage anaerobic digestion (SSD) untuk mengolah air limbah sintetis yang terkontaminasi fenol. Kedua sistem dioperasikan dalam

        batch dilution dan semi kontinu pada 35°C. TSAD memiliki produksi biogas

        lebih besar, pada reaktor asidogenesis lebih mudah terjadi penguraian tanpa hambatan oleh akumulasi fenol (sampai 1.450 mg/l). Reaktor asidogenesis juga mencegah penghambatan pembentukan biogas di tahap kedua (metanogen), dengan menghambat fenol dan dihasilkan asam organik dengan cepat. Sistem ini meningkatkan produksi biogas dan memungkinkan kontrol yang lebih baik dari tahap asidogenesis dan metanogen.

        Penelitian Noha et al, 2012 [50] mengevaluasi proses digestasi anaerobik satu tahap dan dua tahap untuk produksi biometana dan biohidrogen menggunakan thin stillage, hal ini dilakukan untuk menilai dampak dari memisahkan tahap asidogenesis dan metanogenenesis pada digestasi anaerobik.

        Thin stillage merupakan produk sampingan dari produksi etanol, ditandai dengan

        TCOD yang tinggi mulai dari 122 g/l dan TVFA mulai dari 12 g/l. Dihasilkan metana maksimum sebesar 0,33 L CH /g COD pada proses dua tahap

        4 added

        sementara proses satu tahap mencapai hasil maksimum hanya sebesar 0,26 L CH /g COD . Pemisahan tahap pengasaman meningkatkan TVFA untuk rasio

        4 added

        TCOD dari 10% pada thin stillage mentah menjadi 54% karena konversi karbohidrat menjadi hidrogen dan VFAs. Perbandingan dari dua proses berdasarkan hasil akhir energi menunjukkan bahwa peningkatan terbesar 18,5% pada keseluruhan untuk menghasilkan energi dicapai dengan menggunakan digestasi anaerobik dua tahap.

        Penelitian Prawit et al, 2014 [52] menggunakan reaktor UASB yang dioperasikan pada kondisi termofilik dan digunakan untuk menyelidiki proses anaerobik dua tahap untuk memproduksi hidrogen dan metana secara kontinu dari skim lateks serum (SLS). Reaktor tahap pertama untuk memproduksi hidrogen dioperasikan dengan umpan 38 g VS/L SLS dengan variasi HRT dari 60, 48, 36, dan 24 jam. Produksi yield hidrogen optimum adalah 2,25±0,09 L H /L SLS

        2

        dicapai pada HRT 36 jam. Effluent yang mengandung asetat diumpankan ke reaktor UASB kedua untuk produksi metana pada HRT 9 hari dan dihasilkan konversi metana 6.41±0.52 L CH /L SLS. Efisiensi removal bahan organik yang

        4

        diperoleh dari proses dua tahap ini adalah 62%. Penelitian ini menunjukkan bahan bakar gas bernilai tinggi dalam bentuk hidrogen dan metana dapat berpotensi dihasilkan dengan menggunakan proses anaerobik dua tahap terus menerus, di mana bahan organik yang tersedia secara bersamaan terdegradasi.

        1

      2 Proses digestasi anaerobik harus dipantau untuk memastikan keberhasilan

        dari proses ini. Beberapa parameter yang penting dalam proses digestasi anaerobik yaitu:

        1 ! ! ' . ('!( /! - # 2.6.1.1 pH

        pH merupakan parameter penting dalam pemantauan dan pengendalian digestasi anaerobik [6]. Proses anaerobik sangat sensitif terhadap pH. Dalam kebanyakan kasus, degradasi anaerobik bahan organik dicapai paling efisien pada pH netral. Namun, banyak juga yang dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah atau lebih tinggi [51]. Pembentukan metana berlangsung pada kisaran pH 5,5 8,5, dengan pH optimum untuk metanogenik adalah 7,0 8,0 [9]. pH mengontrol fraksi VFA terdisosiasi yang dianggap bebas menembus membran sel mikroorganisme. Setelah menyerap membran, asam lemak internal terpisah sehingga menurunkan pH sitoplasma dan mempengaruhi metabolisme bakteri [6]. Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk metana [54]. Mikroorganisme asidogenik dapat tumbuh dan terus menghasilkan asam pada pH rendah (5 6) [53]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional biokimia pada proses anaerob yaitu [40]: 1) Hidrolisis, biasanya optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.

        2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4. 3) Asetogenesis/hidrogen memanfaatkan metanogen, optimal antara pH 6,5 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 5.

        4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 6.

        !"/"$"! &alinitas

        Alkalinitas adalah ukuran dari jumlah alkali (dasar) zat dalam proses biogas. Semakin tinggi alkalinitas, semakin besar kapasitas buffer dalam proses, yang akan menstabilkan nilai pH. Alkalinitas terutama terdiri dari ion bikarbonat yang berada dalam keseimbangan dengan karbon dioksida. Karbon dioksida dan ion karbonat juga berkontribusi terhadap alkalinitas. Dekomposisi substrat kaya nitrogen dengan proporsi yang tinggi protein dan asam amino dapat meningkatkan alkalinitas, karena amonia dirilis dapat bereaksi dengan karbon dioksida terlarut membentuk amonium bikarbonat. Berikut merupakan reaksi dari karbon dioksida dalam kesetimbangan dengan asam karbonat dan karbonat [42]:

      • 2 +

        CO + H O ↔ H CO ↔ HCO + H ↔ CO + 2H

        2

        2

        2

        3

        

      3

        3 Kapasitas buffer sering disebut sebagai alkalinitas. Kapasitas buffer

        sebanding dengan konsentrasi bikarbonat. Kapasitas buffer adalah metode yang dapat diandalkan untuk mengukur ketidakseimbangan digester. Peningkatan kapasitas buffer yang rendah, paling baik dilakukan dengan mengurangi organic

        loading rate, meskipun pendekatan yang lebih cepat adalah penambahan basa

        kuat atau garam karbonat untuk menghilangkan karbon dioksida dari ruang gas dan mengubahnya menjadi bikarbonat, atau bikarbonat dapat ditambahkan secara langsung [6]. Nilai alkalinitas tinggi (2000 4000 mg/l menggunakan CaCO )

        3

        sering diperlukan untuk memastikan pH mendekati netral selama kandungan CO

        2

        tinggi (30 50%). Tingkat alkalinitas yang dibutuhkan jarang tersedia pada air limbah influen, tetapi dapat dihasilkan oleh degradasi protein dan asam amino [45] juga bisa ditingkatkan menggunakan penambahan senyawa kimia. Tabel 2.7 berikut merupakan bahan kimia yang biasa digunakan sebagai penyangga.

      Tabel 2.7 Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga [36]

        Bahan Kimia Formula Kation Penyangga

      • Sodium bikarbonat NaHCO Na

        3

      • Potassium bikarbonat KHCO K

        3

      • Sodium karbonat Na CO Na

        

      2

        3

      • Potassium karbonat K CO K

        2

        3 2+

        Kalsium karbonat CaCO Ca

        3 2+

        Kalsium hidroksida Ca(OH) Ca

        2 4+

        Anhydrous ammonia (gas) NH NH

        3

      • Sodium nitrat NaNO
      • 3 Na

          Parameter yang lebih sensitif untuk memantau digester dan mengukur stabilitas proses adalah VFA/rasio alkalinitas, ketika rasio ini kurang dari 0,35 0,40 (setara asam asetat/setara CaCO ) proses ini dianggap beroperasi

          3 menguntungkan tanpa resiko pengasaman [6].

          !"/"$") emperatur

          Temperatur merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh karena mengontrol aktivitas semua mikroorganisme. Umumnya, kenaikan suhu menyebabkan peningkatan laju reaksi biokimia dan enzimatik dalam sel menyebabkan tingkat pertumbuhan meningkat. Namun, di atas suhu tertentu yang merupakan karakteristik dari masing masing spesies, hal ini menjadi penghambat dan menjadi tahap kematian mikroorganisme seperti protein dan komponen struktural sel menjadi denaturasi. Terdapat tiga kondisi temperatur yang memungkinkan mikroorganisme anaerobik berkembang, yaitu mesofilik dengan temperatur optimum pada 30 37°C, termofilik dengan temperatur optimum 55 60°C dan psikropilik dengan temperatur optimum pada 15 20°C

          ( ambient) [46]. Gambar 2.7 berikut merupakan tingkat pertumbuhan relatif mikroorganisme anaerobik.

        Gambar 2.7 Tingkat Pertumbuhan Relatif Mikroorganisme Metanogen [9]

          Kondisi psikropilik sebagian besar terdapat di lingkungan, sementara kondisi mesofilik dan termofilik sebagian besar dalam sistem rekayasa [40]. Dalam prakteknya, temperatur operasi dipilih dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan dan temperatur proses yang diperlukan dapat disediakan oleh ruangan atau menggunakan sistem pemanas pada digester [9]. Enzim berkembang dalam mikroorganisme setelah penyesuaian yang dapat mentolerir perubahan suhu. Akibatnya ada mikroorganisme yang dapat tumbuh di lebih dari satu rentang suhu. Digestasi anaerobik mesofilik dan termofilik lebih banyak digunakan daripada psikropilik karena laju reaksi tinggi pada rentang suhu tersebut. Namun, suhu psikropilik sering terjadi berdasarkan kondisi iklim setempat dan penting untuk meningkatkan proses dalam kondisi ini [53].

        2.6.1.4 Pengadukan

          Proses start up anaerobik sering berlangsung 2 4 bulan. Start up memiliki potensi untuk gagal dimana bioreaktor tidak bekerja dengan baik dan biogas tidak dapat diproduksi. Untuk menghindari masalah ini, ke dalam reaktor hidrolisis dan reaktor metanogenesis sering diinokulasikan lumpur anaerobik dari reaktor fermentasi lainnya. Pencampuran dalam reaktor harus dilakukan dengan sangat hati hati [36]. Kontak antara bahan organik dan mikroorganisme dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pencampuran, yang menyebabkan kinerja reaktor yang lebih tinggi [46]. Hal ini terutama penting bagi mikroorganisme hidrolitik untuk membuat kontak yang baik dengan berbagai molekul bahwa mereka harus mencerna dan enzim mereka dapat didistribusikan di seluruh area permukaan besar dalam substrat. Pengadukan juga mencegah bahan dari terakumulasi di bagian bawah tangki digestasi dan mengurangi risiko berbusa [42].

          !"/"$"0 Kebutuhan Nutrisi

          Nutrisi sangat dibutuhkan dalam proses anaerobik. Nutrisi yang paling penting bagi bakteri adalah karbon dan nitrogen, tapi dua elemen ini harus disediakan dalam rasio yang tepat. Jika tidak, amonia dapat terbentuk ke tingkat yang dapat menghambat mikroorganisme. Rasio karbon/nitrogen (C/N) tergantung pada daya cerna dari sumber karbon dan nitrogen [44]. Nutrisi yang memadai tersedia apabila menggunakan limbah yang kompleks untuk diolah. Penambahan nutrisi diperlukan ketika mengolah limbah industri yang kekurangan unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor. Umumnya kebutuhan nutrisi untuk nitrogen, fosfor, dan sulfur masing masing berada di kisaran 10 13; 2 2,6; dan 1 2 mg per 100 mg biomassa. Untuk mempertahankan aktivitas maksimum metanogen, sangat diinginkan nilai konsentrasi fasa cair nitrogen, fosfor, dan belerang masing masing 50, 10 dan 5 mg/l [45].

          Kandungan metana dari campuran biogas tergantung pada keadaan oksidatif karbon dalam senyawa yang terdapat dalam bahan baku. Bahan baku juga harus seimbang terhadap rasio karbon dan nitrogen (C:N = 20:30), karena mikroorganisme menggunakan karbon dan nitrogen pada kisaran rasio ini. Terlepas dari C dan N, elemen lain juga penting untuk pertumbuhan mikroorganisme anaerob. Sebagai contoh, Ni (terlibat dalam sintesis koenzim F430), Fe (konstituen pembawa elektron), Mg (menstabilkan membran sel), Ca (menstabilkan dinding sel dan memberikan kontribusi bagi stabilitas termal dari endospora), Co (komponen vitamin B ), Zn (konstituen dari beberapa enzim) dan

          12

          sebagainya. Jika elemen ini tidak terkandung dalam bahan baku, mereka harus diberikan karena ketidakhadiran mereka berkorelasi dengan penurunan efisiensi [53].

          !"/"$"/ olatile Fatty Acid (VFA4

          VFA merupakan senyawa intermediet yang dihasilkan selama tahapan asidogenesis dengan rantai karbon hingga enam atom [9]. VFA dapat digunakan sebagai indikator stabilitas proses fermentasi metana [55]. Ketidakstabilan proses digestasi anaerobik akan menyebabkan akumulasi VFA di dalam digester yang menyebabkan penurunan nilai pH. Namun, akumulasi VFA akan tidak selalu dinyatakan dengan penurunan nilai pH, karena terdapat kapasitas buffer pada digester yang berasal dari biomassa yang terkandung di dalamnya [9]. Jika pH tinggi, digester dapat bekerja dengan konsentrasi VFA yang tinggi hingga beberapa g/l. Tetapi efisiensi pengolahan akan rendah [56]. Akumulasi VFA mencerminkan pemisahan kinetik antara pembentuk asam dan konsumen serta ciri khas yang disebabkan oleh hidrolik atau organik overloading, variasi suhu tiba tiba, adanya senyawa toksik atau penghambat dan beberapa faktor lainnya. Asam asetat biasanya terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari yang lainnya dalam VFA selama proses digestasi anaerobik, sedangkan asam propionat dan butirat menjadi penghambat aktivitas metanogen [6]. VFA dengan konsentrasi tinggi sering dikaitkan dengan efek toksisitas dan inhibisi [46]. Tabel 2.8 berikut merupakan kandungan dari VFA pada proses digestasi anaerobik.

        Tabel 2.8 Kandungan VFA yang Umum Terdapat pada Proses Digestasi Anaerobik

          [46]

          Asam Format HCOOH Asam Asetat CH COOH 3 Asam Propionat CH CH COOH 3 2 Asam Butirat CH CH CH COOH 3 2

        2

        Asam Valerat CH CH CH CH COOH 3 2

        2

        2 Asam Heksanoik CH CH CH CH CH COOH 3 2

        2

        2 2 Asam Heptanoik CH CH CH CH CH CH COOH 3 2

        2

        2 2 2 Asam Oktanoik CH CH CH CH CH CH CH COOH 3 2

        2

        2 2 2 2 1 ! ! ' % !( -/!$

        2.6.2.1 Beban Organik (Organic Loading Rate4

          Beban organik merupakan parameter operasional yang penting, yang menunjukkan berapa banyak bahan kering organik dapat dimasukkan ke dalam digester, per volume dan satuan waktu, sesuai dengan persamaan [9]:

          B = m × c / V (2.1)

          R R

          3 Keterangan: B = Beban organik (kg/hariRm ) R

          m = Massa substrat umpan per satuan waktu (kg/hari) c = Konsentrasi bahan organik (%)

          

        3

        V = Volume digester (m ) R

          Produksi gas akan meningkat dengan beban organik sampai tahap ketika metanogen tidak bisa bekerja cukup cepat untuk mengkonversi asam asetat menjadi metana. Beban oeganik berhubungan dengan konsentrasi substrat dan HRT, sehingga keseimbangan yang baik antara kedua parameter harus diperoleh untuk operasi digester yang baik. HRT pendek akan mengurangi waktu kontak antara substrat dan biomassa [25].

          !"/"!"! (HRT4 %ydraulic Retention Time

          HRT adalah rata rata interval waktu ketika substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi dengan volume digester dan volume substrat umpan per satuan waktu, sesuai dengan persamaan:

          HRT = V / V (2.2)

          R

          Keterangan: HRT = Hydraulic Retention Time (hari)

          

        3

        V = Volume digester (m ) R

          3 V = Volume substrat umpan per satuan waktu (m /hari)

          Menurut persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang mati pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme direproduksi. Tingkat duplikasi bakteri anaerob biasanya 10 hari atau lebih. Sebuah HRT singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, tapi hasil gas yang lebih rendah. Hal ini sangat penting untuk menyesuaikan HRT dengan tingkat degradasi spesifik dari substrat yang digunakan [9].

        3 Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap

          proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient dengan produk yang diharapkan berupa VFA yang pada tahapan berikutnya dapat dikonversi menjadi biogas. Maka pada penelitian ini yang dikaji adalah jumlah VFA yang akan dikonversi menjadi biogas pada proses digestasi anaerobik dua tahap. Beberapa penelitian yang berhasil menghitung volume biogas dari VFA ditunjukkan pada Tabel 2.9.

        Tabel 2.9 Volume Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk

          Peneliti Total VFA (mg/L) Volume Biogas (L/L·hari) A.K Kivaisi dan M. Mtila [57] 2.058,85 1,70

          Rongpin Li et al [58] 4.020,00 3,97 Cavinato et al [59] 6.896,48 6,00

          Pada penelitian ini, total pembentukan VFA tertinggi diperoleh pada variasi pH 5,5 dengan jumlah 8.287 mg/L. Melalui Tabel 2.9 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.

          8 ! Produksi Biogas "

        6 Linear (Produksi Biogas)

          5 !(

          4 -. y = 0,0009x + 0,1043

          ( #

          2

        • -,

          2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 -' !$ 4* .5

        Gambar 2.8 Konversi Total VFA menjadi Biogas [57, 58, 59]Gambar 2.8 menunjukkan grafik linearisasi pembentukkan biogas dari

          VFA dengan persamaan garis lurus: y = 0,0009 x + 0,1043 dengan y merupakan produksi biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan tersebut maka jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA tertinggi pada penelitian ini adalah: y = 0,0009 x + 0,1043

          = (0,0009) (8.287) + 0,1043

          3

          3

          = 7,56 liter biogas/liter LCPKS hari = 7,56 m biogas/m LCPKS hari

        3 Ekivalensi 1 m biogas terhadap * iquefied Petroleum Gas (LPG) adalah sebesar

          0,465 kg. Sehingga

          , ,

          = ×

          3

          = 3,52 kg LPG/m LCPKS Harga LPG industri adalah Rp 11.767/kg [60] sehingga: , . . Harga biogas yang dihasilkan = ×

          3

          = Rp. 41.419,84/m LCPKS

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Pengaruh Pelaksanaan PenyuluhanDalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib PajakUntuk Memenuhi Kewajiban Perpajakan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

0 0 15

Respons Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max .L Merill) Terhadap Pemberian Abu Vulkanik Sinabung dan Pupuk Kandang Ayam

0 0 26

Respons Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max .L Merill) Terhadap Pemberian Abu Vulkanik Sinabung dan Pupuk Kandang Ayam

0 1 8

Respons Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max .L Merill) Terhadap Pemberian Abu Vulkanik Sinabung dan Pupuk Kandang Ayam

0 0 13

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 6

PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME (HRT) DAN pH PADA PROSES ASIDOGENESIS LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) MENGGUNAKAN TEMPERATUR 45 C

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karateristik Visual - Kajian Karakteristik Visual Koridor Jalan K. H. Zainul Arifin Medan

0 2 16

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

0 0 7