BAB II STRUKTUR SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT KARO 2.1 Domisili Orang Karo - Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

BAB II STRUKTUR SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT KARO

2.1 Domisili Orang Karo

  Jauh sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Karo sudah bermukim dan mendiami sebagian besar daerah Sumatra Timur, wilayah ini belakangan kita kenal telah berubah menjadi Provinsi Sumatra Utara. Pada awalnya orang-orang Karo mendiami wilayah pegunungan yang kita kenal sebagai Dataran Tinggi Karo.

  Bentuk Dataran Tinggi Karo mirip sebuah kuali yang sangat besar, wilayahnya dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 sampai 1400 m di atas permukaan laut, terhampar disepanjang pegunungan Bukit Barisan serta terletak di antara koordinat 20 50’ L.U, 3 19’ L.S, 97 55’-98 38’B.T. Di antara gunung-gunungnya yang terkenal adalah : di sebelah Utara adalah Gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung ; di sebelah Selatan ada Gunung Sibuaten

   dan dari semuanya tersebut terdapat dua gunung berapi yaitu Gunung Sibayak dan Sinabung.

  Kondisi Geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dan dua Gunung Berapi, menjadikan wilayah ini subur oleh zat-zat yang berasal dari Gunung tersebut. Kondisi tanah yang subur memungkinkan masyarakat Karo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai petani dengan bercocok tanam. Hasil dari pengolahan pertanian dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

9 Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi dan Enterpreneurship Masyarakata Karo Pasca Revolusi, Medan : USU

  Press, 2004,hal. 29

  Kendati pada awalnya mendiami pegunungan yang memiliki kesuburan tanah yang memungkinkan menanam berbagai tanaman untuk kebutuhan hidup, namun ternyata hasil dari alam pegunungan itu saja tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup masyarakat Karo di Dataran Tinggi. Terdesak oleh kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi dengan mengandalkan hasil yang mampu diproduksi oleh wilayah tempat tinggalnya menyebabkan orang-orang Karo dari Dataran Tinggi turun ke daerah pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada awalnya interaksi yang dilakukan oleh orang-orang Karo dari gunung semata untuk melakukan barter terhadap kebutuhan yang tidak mampu dihasilkan, terutama garam. Lambat laun akhirnya interaksi ini membuat munculnya pemukiman baru sepanjang jalur pegunungan ke daerah pantai seiring perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk, sehingga secara evolutif mereka mulai menetap di sepanjang jalur pantai Barat kemudian ke Timur.

  Melalui proses yang panjang akhirnya orang-orang Karo gunung tersebar kebeberapa wilayah. Adapun akhirnya wilayah yang didiami oleh orang-orang Karo dimulai dari Sipispis sekitar Tebing Tinggi sebelah Utara menyusuri pantai sampai ke Langkat, kemudian ke Selatan daerah Kabupaten Karo sekarang, dan Tiga Lingga (Kabupaten Dairi sekarang) terus ke

   Simalungun Atas lalu menyambung kembali ke Sipispis. Termasuk di sepanjang Kali Alas dan

  Karo Baluren, jalan niaga ke pantai Barat sebelum jalur niaga ke pantai Timur ramai pada pertengahan abad ke 18.

  Gambaran tentang domisili orang Karo yang menyebar juga digambarkan oleh J.H Neuman dalam sebuah bukunya. Dikatakan oleh J.H Neuman adapun wilayah pemukiman mereka adalah sebagai berikut : 10 Tridah Bangun dan Hendri Chairuddin, Kilap Sumagan: Sebuah Biografi Slamat Ginting , Jakarta: Haji Mas

  Agung, 1994, hal. 8

  “wilayah yang didiami oleh suku-suku Karo dibatasi sebelah Timur oleh

  pinggiran jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu bila memasuki wilayah Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh Gunung Sinabung dan

   di sebelah Utara wilayah meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”

  Jadi masyarakat Karo, sebelum kedatangan Belanda sudah tersebar luas ke beberapa wilayah. Bukan hanya di Dataran Tinggi Karo yang kita kenal dengan Kabupaten Karo sekarang ini, namun menyebar luas ke wilayah lain yang disebut masyarakat Karo dengan Taneh Karo.

  

Taneh Karo bagi orang Karo mempunyai makna sebagai tanah yang didiami oleh orang-orang

Karo.

  Belakangan setelah merdeka dan dengan telah terstrukturnya wilayah dengan baik, maka domisili orang Karo sekarang ini berada pada beberapa wilayah pemerintahan sebagai berikut : a.

  Kabupaten Karo b. Kabupaten Dairi, yakni : Kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Tiga Lingga c. Kabupaten Deli Serdang, yakni : Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Namo Rambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan 11 Kecamatan Sibiru-biru.

  J.H. Neuman, Sejarah Batak Karo, Jakarta : Bharatara, 1972, hal. 13 d.

  Kabupaten Langkat, yakni : Kecamatan Batang Serangan, Kecamatan Bahorok, Kecamatan Selapin, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, Kecamatan Sungai Bingai, dan Kecamatan Stabat.

  e.

  Sebagian kecil Kabupaten Aceh Tenggara, yakni Kecamatan Lau Sigala-gala dan Kecamatan Simpang Simadan.

  f.

  Sebagian daerah Kotamadya Medan

2.2 Sistem Kekerabatan Suku Karo

  Indonesia yang terhampar luas dari Sabang hingga ke Merauke memiliki etnis dan budaya yang heterogen Setiap suku di Indonesia sudah tentu mempunyai kebudayaan masing-masing.

  Banyak para ahli yang telah mendefenisikan pengertian tentang kebudayaan. Seorang ahli kebudayaan yang bernama Van Peursen menyebutkan, “kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti misalnya : Agama,

   Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Tata Negara dan lain sebagainya”.

  Ahli lain yang bernama CH. Usman juga menyebutkan pendapatnya tentang kebudayaan. Ia menyebutkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil pemikiran dan usaha manusia yang dapat dikenali paling sedikit mempunyai tiga wujud, yakni : kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia, kemudian kompleks aktivitas yang dapat diamati sebagai interaksi manusia dalam masyarakat yang kemudian disebut sebagai sistem sosial serta wujud sebagai benda yang dapat

  

diraba, seperti misalnya bangunan dan peralatan.

  12 13 Tridah Bangun, Op.Cit.hal. 1 Ibid. hal. 2

  Terlepas dari banyaknya pendapat ahli yang memberikan pengertian dan pandangan dari kebudayaan, namun pada dasarnya bahwa kebudayaan itu merupakan hasil karya manusia yang sudah bisa diterima secara umum oleh masyarakat dan dipakai sebagai sebuah acuan. Budaya suatu kelompok masyarakat menunjukkan bagaimana tata cara dan tingkah laku mereka untuk

   mematuhi norma maupun kaidah-kaidah serta aturan-aturan konvensional yang telah berproses.

  Atau telah menjadi tradisi dalam kurun waktu yang lama dan diwariskan secara turun temurun, demikian juga tentang tinggi rendahnya budaya masyarakat, tercermin dalam materi-materi

   budaya mereka yang ada.

  Dari pemikiran-pemikiran ini dapat pula kita pahami bahwa masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan yang diterima oleh masyarakatnya untuk dipakai sebagai acuan hidup.

  Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut berupa sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini muncul erat kaitannya dengan keberadaan lima marga di masyarakat Karo. Adapun kelima marga tersebut adalah : Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin. Kelima marga ini masih memiliki masing-masing sub-marga tersendiri

  Walaupun suku Karo memencar secara meluas diberbagai wilayah dan tempat yang berbeda namun secara esensi budaya mereka sama. Salah satunya adalah sistem kekerabatan yang mengikat dan mempertautkan satu sama lain. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama merga silima, Rakut Sitelu dan tutur si waluh . Segala aspek dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Karo berkaitan dengan Marga.

  Selain merga silima seperti yang sudah disebutkan di atas, masyarakat Karo juga saling terikat satu sama lain dalam sebuah sistem yang dikenal dengan kekerabatan 14 15 Wara Sinuhaji, Op.Cit. hal. 31 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok: Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1980, hal. 88-89.

  Rakut Sitelu terdiri dari Senina, Anak Beru dan Kalimbubu.

1. Senina

  

Senina secara singkat dapat diartikan memiliki posisi yang sama (sekundulen). Namun

senina secara lebih luas lagi sebenarnya merupakan orang-orang yang mempunyai

  hubungan marga ataupun sub marga yang sama, yang mempunyai hubungan marga atau sub marga ibu juga sama yang disebut senina sepemeren, serta yang mempunyai marga ataupun sub marga istri yang sama yang disebut senina separibanen.

2. Anak Beru

  

Anak Beru pengertiannya dalam masyarakat Karo boleh diartikan sebagai pengambil dara

  atau anak perempuan. Namun anak beru secara lebih luas sebenarnya merupakan keluarga yang anak laki-lakinya sudah menikahi anak perempuan keluarga tertentu.

  Anak Beru terbagi ke dalam beberapa kelompok seperti: a.

   Anak Beru Ampu : yaitu pria yang menikahi anak perempuan dari satu keluarga.

  b.

   .Anak Beru Ipupus : yaitu anak dari saudara perempuan ayah kita ataupun anak

  dari turang (saudara perempuan) c.

   Anak Beru Cekoh Baka : yaitu anak dari anak beru ipupus yang menikahi anak pamannya.

  d.

   Anak Beru Cekoh Baka Tutup : yaitu anak dari Anak Beru Cekoh Baka yang menikahi anak pamannya.

  3.Kalimbubu Kalimbubu adalah posisi yang paling dihormati dalam sistem kekerabatan orang Karo,

  bahkan kalimbubu itu disebutkan juga sebagai Dibata ni Idah ( Tuhan Yang Terlihat). Kalimbubu inilah yang juga terkait dengan apa yang ada dalam kepercayaan suku Karo yang kita kenal dengan sebagai pemena. Kalimbubu mempunyai pengertian yang sangat luas dan terbagi atas beberapa kelompok namun secara umum boleh kita artikan sebagai keluarga yang anak perempuannya akan diambil anak beru menjadi menantu dirumahnya.

  Adapun beberapa kelompok kalimbubu adalah sebagai berikut : kalimbubu simada dareh,

  kalimbubu iperdemui, kalimbubu bapa, kalimbubu nini, kalimbubu tua, dan puang kalimbubu.

  Kemudian tutur si waluh. Tutur si waluh sendiri masih sangat berkaitan dengan adanya lima marga tersebut. tutur si waluh terdiri dari sembuyak, senina, separibanen, sipemeren, anak

  beru, anak beru menteri, kalimbubu dan puang kalimbubu.

2.3 Sistem Kepercayaan

  Jauh sebelum kedatangan agama-agama modern saat ini, masyarakat Karo telah memiliki religi sebagai sebuah kepercayaan. Adapun sistem kepercayaan tersebut dikenal dengan nama

  pemena atau perbegu.

  Pemena adalah budaya dalam bentuk kepercayaan sebaliknya kepercayaan adalah yang

  segala aspeknya terdiri dari budaya. Secara etimologis pemena berarti yang pertama. Sesuai dengan namanya pemena itu sendiri adalah sebuah kepercayaan yang pertama sekali ada dan dikenal oleh orang-orang Karo.

  Berkaitan dengan pemena, bahwa religi ini sering dikaitan dengan agama Hindu, namun terlepas dari itu semua, pada kehidupan masyarakat Karo pemena diterima dan diyakini penuh sebagai sebuah kepercayaan pada masyarakat Karo. Tidak pernah jelas kapan tepatnya aliran kepercayaan pemena masuk ke tengah-tengah kehidupan suku Karo serta belum pernah ditemukan bukti yang akurat menyebutkan bahwa aliran kepercayaan pemena ini dibawa oleh siapa, namun yang jelas bahwa pemena pernah menjadi kepercayaan suku Karo sebelum agama samawi atau Islam dan Nasrani berpengaruh dan merubah total kepercayaan mereka.

  Kepercayaan pemena merupakan kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan diluar kekuatan manusia, walau tidak terlihat namun bisa dirasakan. Kekuatan tersebut berasal dari

  

begu kuta dan begu jabu, bukan kepada Tuhan. Begu Kuta adalah roh-roh dari orang yang sudah

  meninggal di kampung yang ditempati masyarakat tersebut. Sedangkan Begu Jabu adalah roh- roh dari keluarga kita yang sudah meninggal dunia. Roh dari orang yang sudah meninggal tersebut dipercayai akan menjaga manusia yang masih hidup dalam melakoni perjalanan kehidupannya. Kekuatan terbesar diyakini berasal dari roh manusia yang meninggal karena suatu kejadian, tanpa melalui proses sakit terlebih dahulu. Dalam bahasa Karo roh ini disebut dengan begu mate sada wari.

  Manusia yang masih hidup, apabila ingin berhubungan dengan kekuatan roh-roh tersebut haruslah melalui seorang dukun, yang dikenal dengan sebutan Guru Sibaso. Melalui Guru Sibaso dilakukan ritual perumah begu (memanggil roh orang yang sudah meninggal). Perumah begu biasa dilakukan saat sehari setelah seseorang meninggal dunia atau bisa juga dilakukan pada saat-saat tertentu kalau memang dibutuhkan.

  Roh dari orang yang meninggal dipercaya masih hidup, dekat dengan manusia yang hidup, walaupun di alam yang sudah berbeda. Berawal dari kepercayaan ini, maka pada setiap perkampungan orang Karo, ada dibuat semacam tempat untuk meletakkan sesaji sebagai persembahan. Tradisi ini dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama ercibal. Tempat untuk memberi sesaji yang dibuat pada setiap perkampungan itu dinamai pajuh-pajuhen. Pajuh-

  

pajuhen biasanya dilakukan di bawah pohon beringin, dan dalam masyarakat Karo dikenal

  dengan nama batang jabi-jabi. Alasan mengapa pohon beringin dijadikan sebagai tempat pajuh-

  

pajuhen , karena pohon beringin disimbolkan sebagai kehidupan bahagia setelah kematian yang

  belakangan dikenal penganutnya sebagai surga. Akarnya sebagai tempat duduk menyandar (kundul-kundul), daunnya sebagai tempat jolah-jolah (ayunan). Simbol lain yang memakai tumbuhan adalah penyimbolan tentang kehidupan yang sangat menyiksa setelah kematian yang belakangan dikenal dengan sebutan neraka. Penyimbolan neraka dalam konteks kepercayaan ini memakai simbol pohon jeruk purut (rimo mukur).

  Dan bentuk lain dari adanya kepercayan orang-orang Karo akan kehidupan roh yang sudah meninggal adalah dengan membawakan makanan ke kuburan orang yang sudah meninggal, terutama pada hari keempat setelah seseorang meninggal dunia.

  Sementara kaitan pemena dengan sistem kekerabatan dalam suku Karo tersebut bisa terlihat dalam penempatan kalimbubu sebagai Tuhan yang dapat dilihat. Perlakuan istimewa tersebut dapat kita lihat saat seorang bayi lahir, maka harus dilakukan proses potong rambut yang dilakukan oleh kalimbubu dalam hal ini adalah mama (paman). Tradisi potong rambut oleh pamannya dimaksudkan agar si bayi tersebut dapat berkat dari pamannya, bukan dari Tuhan seperti yang diyakini agama modern saat ini. Terlihat jelas bahwa dalam pemena siapa yang diposisikan seperti Tuhan.

  Tradisi lain terlihat adalah saat musim panen tiba. Sebagai contoh, bila ada sebuah keluarga mempunyai tanaman padi, maka saat padi tersebut sudah dipanen, maka padi yang telah menjadi beras harus terlebih dahulu dibawa kerumah kalimbubu beserta lauknya yang biasanya adalah ayam. Tradisi ini juga dimaksudkan agar pada saat menanam padi berikutnya padi akan berbuah banyak karena diberkati oleh kalimbubu atau dalam bahasa karo dikenal dengan sebutan tuah kalimbubu.

2.4 Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepemilikan Tanah Pra-Kolonial

  Sebelum Belanda masuk ke Dataran Tinggi Karo, masyarakat Karo sudah mampu menjalankan kehidupan dengan aturan pemerintahan yang didasarkan atas aturan adat-istiadat.

  Sebuah desa biasa didirikan oleh satu marga tertentu. Marga yang mendirikan desa dikenal sebagai si manteki kuta. Pada saat marga tertentu membuka desa baru, biasanya turut serta membawa anak beru dan kalimbubu. Anak berunya tersebut dikenal dengan nama anak beru kuta.

  Dalam menjalankan roda pemerintahan, maka di sebuah desa pada masyarakat Karo akan dipimpin oleh yang pertama mendirikannya atau simanteki kuta. Pemimpin sebuah desa disebut juga dengan pengulu kuta. Pengulu kuta kemudian dibantu oleh anak beru kuta dan kalimbubu nya dalam melangsungkan jalannya roda pemerintahan sebuah desa.

  Apabila si pengulu kuta telah tutup usia, maka digantikan oleh putranya. Namun uniknya dalam masyarakat karo, ada sebuah aturan yang disebut dengan sintua-singuda (sulung-bungsu).

  Konsep sintua-singuda ini maksudnya adalah apabila ayah mereka yang merupakan pengulu

  

kuta telah tutup usia, maka tampuk pemerintahan akan diteruskan oleh putra yang paling tua dari

  

pengulu kuta tersebut, namun apabila anak tertua tersebut ada halangan yang menjadikan dia

  tidak dapat mengambil alih tampuk pemerintahan, maka yang menggantikannya bukan anak yang diurutan tengah. Yang menggantikan posisi yang seharusnya diduduk i oleh anak yang paling besar atau sulung adalah anak yang bungsu.

  Di posisi lain ada pula masyarakat yang tidak masuk ke dalam kategori keluarga simanteki

  

kuta. Mereka ini adalah orang-orang yang datang setelah desa dibuka. Kelompok ini terbagi atas

  dua, yakni ginemgem dan rayap derip. Kedua kelompok ini adalah rakyat biasa yang merupakan pendatang. Ginemgem adalah pendatang yang punya hubungan dengan kelompok simanteki kuta melalui proses perkawinan, sedangkan rayap derip merupakan pendatang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kelompok simanteki kuta.

  Pemerintahan diatur secara hirarki, mulai dari pemimpin dari simanteki kuta sampai rakyat biasa yakni kelompok ginemgem dan rayap derip. Sama halnya dengan masa sekarang, hukum dalam masyarakat Karo juga ada, namun tetap berdasar pada adat-istiadat. Pada tiap-tiap desa dibuat semacam balai yang dipakai untuk tempat bermusyawarah mengambil sebuah keputusan atau untuk membicarakan hukuman apa yang akan diberikan pada seorang penduduk desa yang melakukan kesalahan. Untuk memenuhi setiap kebutuhan bersama, misalnya pembuatan balai, maka anggarannya berasal dari hasil “patungan” seluruh penduduk. “patungan” biasa diambil dari hasil panen penduduk.

  Persoalan seputar kepemilikan tanah juga diatur berdasarkan adat-istiadat. Tanah dalam masyarakat Karo identik dengan marga artinya tanah dimiliki oleh marga-marga yang mendirikan masing-masing desa atau dalam skala lebih kecil yang mendirikan kesain. Kesain merupakan penyebutan bagi hunian yang lebih kecil dari desa. Desa adalah merupakan bentuk hunian dari kesain yang semakin berkembang.

  Tanah dimanfaatkan sebagai lahan untuk memproduksi segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk marga pendatang biasa diberi lahan oleh simanteki kuta dengan luas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pula. Tanah yang diberikan oleh

  

simanteki kuta pada masyarakat pendatang di luar kelompoknya dikenakan semacam sewa tanah

dan tidak di ijinkan untuk dibeli, tanah hanya untuk disewakan.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Peranan Dinas Perhubungan Terhadap Pelaksanaan Uji Laik Jalan Angkutan Umum Dan Angkutan Barang Ditinjau Dari Uu No. 22 Tahun 2009(Studi Pada Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat)

0 2 13

PERANAN DINAS PERHUBUNGAN TERHADAP PELAKSANAAN UJI LAIK JALAN ANGKUTAN UMUM DAN ANGKUTAN BARANG DITINJAU DARI UU NO. 22 TAHUN 2009 (Studi Pada Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat)

0 2 8

1. Peneliti Utama Nama : dr. Naek Silitonga NIP. : 140367598 GolPangkat : IIId Penata Tingkat I Jabatan : PPDS THT-KL FK USU Fakultas : Kedokteran Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Ilmu kesehatan THT Bedah Kepala Leher Waktu

0 0 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Sifat Fisik Kebisingan - Hubungan Kebisingan Dengan Pendengaran Pekerja ( Studi Kasus Diskotik A, B, C di Kota Medan )

0 1 28

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian - Pengertian 2.1.1 Pengertian Tekanan Udara - Analisis Pengaruh Curah Hujan Di Kota Medan

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Curah Hujan Di Kota Medan

0 0 7

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PARIWISATA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NO. 4 TAHUN 2014 TENTANG KEPARIWISATAAN A. Pengertian Usaha Pariwisata - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Ke

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Kepariwisataan(Studi Pemko Medan)

0 1 21

CHAPTER II REVIEW OF LITERATURE

0 1 9

Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

0 0 12