DESKRIPSI LATAR DAN FUNGSINYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(1)

ABSTRAK

DESKRIPSI LATAR DAN FUNGSINYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Oleh

RIA ANGGRAENI

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Tujuan penelitian ini untuk memerikan deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian adalah novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis teks.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi latar dengan pendekatan realistis menggunakan diksi dan bahasa kiasan berdasarkan beberapa kategori. Kategori yang dimaksud meliputi (1) pemahaman denotasi dan konotasi, (2) penggunaan


(2)

Ria Anggraeni kata abstrak dan kata konkret, (3) penggunaan kata umum dan khusus, (4) penggunaan kata popular dan kajian, (5) penggunaan kata yang mengalami perubahan makna, (6) penggunaan kata serapan dari bahasa asing dan daerah, dan (7) penggunaan personifikasi. Deskripsi latar dengan pendekatan impresionistis menggunakan diksi dan bahasa kiasan berdasarkan beberapa kategori. Kategori yang dimaksud meliputi (1) pemahaman denotasi dan konotasi, (2) penggunaan kata abstrak dan kata konkret, (3) penggunaan kata umum dan khusus, (4) penggunaan kata popular dan kajian, (5) penggunaan kata serapan dari bahasa asing dan daerah, (6) penggunaan personifikasi, dan (7) penggunaan simile. Deskripsi latar dengan pendekatan menurut sikap penulis menggunakan diksi dan bahasa kiasan berdasarkan kategori (1) penggunaan kata abstrak dan kata konkret, (2) penggunaan kata umum dan khusus, (3) penggunaan kata yang mengalami perubahan makna, (4) penggunaan personifikasi, dan (5) penggunaan simile.

Deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas ini juga berfungsi sebagai metafora dan atmosfer. Implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sastra di SMA dapat berupa rancangan skenario pembelajaran menganalisis deskripsi latar dalam cuplikan novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata. Novel Cinta di Dalam Gelas layak dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMA karena sudah memenuhi kriteria dalam pemilihan bahan ajar ditinjau dari (1) aspek kebahasaan, (2) aspek psikologis, dan (3) aspek latar belakang kebudayaan.


(3)

(4)

DESKRIPSI LATAR DAN FUNGSINYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(Skripsi)

Oleh

RIA ANGGRAENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Cover Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata ... 170

2. Biografi Andrea Hirata ... 171

3. Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada Tingkat SMA Kelas XI Kurikulum 2013 ... 177

4. Bahan Ajar Pembelajaran Mengidentifikasi Deskripsi Latar dalam Cuplikan Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata ... 180

5. Korpus Data Pendekatan Realistis ... 189

6. Korpus Data Pendekatan Impresionistis ... 200

7. Korpus Data Pendekatan Menurut Sikap Penulis ... 215


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Tabel Indikator Deskripsi Latar ... 38 2.2 Tabel Indikator Pemilihan Bahan Ajar Pembelajaran Sastra di SMA ... 46


(9)

(10)

(11)

(12)

MOTO

“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum

mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri .

…”

(Q.S Ar-

Ra’d : 11)

“Sesungguhnya sesudah kesulitaan itu ada kemudahan.”

(Q.S. Al-Insyirah: 5)

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal

yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka

menyukainya atau tidak.

(Aldous Huxley)


(13)

PERSEMBAHAN

Terutama segala sembah sujud syukur Alhamdulillah kepada Allah subhanahuwataala atas taburan cinta dan kasih sayang-Nya. Yang telah membekaliku dengan kekuatan, ilmu, serta kemudahan hingga akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat diselesaikan dengan baik. Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang sangat kukasihi dan kusayangi.

1. Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini untuk kedua orang tuaku tercinta, Ibunda Musriyanti dan Ayahanda Suiswanto yang telah memberikan segala kasih sayang, mendidikku dengan penuh cinta, selalu memberiku dukungan, motivasi, dan mendoakanku dengan ketulusan hati untuk keberhasilanku menggapai cita-cita serta selalu menanti keberhasilanku.

2. Adikku Endah Kumala Sari tiada yang paling mengharukan saat bersama. Meski pun kita sering bertengkar tapi hal itu lah yang selalu menjadi warna yang tak akan bisa tergantikan. Terima kasih atas doa dan bantuannya selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat kupersembahkan.

3. Keluarga besarku yang selalu menanti keberhasilanku.

4. Bapak dan Ibu dosen serta staf Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan almamater tercinta yang mendewasakanku dalam berpikir, bertutur, dan bertindak serta memberikan pengalaman yang tak terlupakan.


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pagelaran pada 28 Mei 1993 dengan nama Ria Anggraeni. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Suiswanto dan Musriyanti.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah Sekolah Dasar Negeri 1 Campang kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus diselesaikan pada tahun 2004. Pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Mathla’ul Anwar Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus diselesaikan pada tahun 2007. Pendidikan di Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus diselesaikan pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis pernah melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gunung Agung kecamatan Gunung Agung Kabupaten Tulang Bawang Barat dan pernah melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1 Gunung Agung Tulang Bawang Barat tahun 2013.


(15)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rab semesta alam, puji syukur atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam kepada nabi Murabbi terbaik umat Islam yakni Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat, para tabiin dan orang-orang yang senantiasa mengikuti ajaran dan sunnahnya. Atas izin Allah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Deskripsi Latar dan Fungsinya dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pendidikan Universitas Lampung.

Penulis telah banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, sebagai rasa hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum., selaku pembimbing I dan pembimbing akademik sekaligus juga ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, penulis ucapkan banyak terima kasih selama ini telah membimbing serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran memberikan motivasi, saran, dan nasihat yang amat berharga bagi penulis.


(16)

2. Drs. Ali Mustafa, M.Pd., selaku pembimbing II atas, terima kasih kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi.

3. Dr. Munaris, M.Pd., selaku dosen penguji yang telah memberi saran dan kritik yang sangat bermanfaat.

4. Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung.

5. Dr. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan FKIP Universitas Lampung. 6. Seluruh dosen dan staf di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP

Universitas Lampung yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan yang berguna.

7. Teruntuk ayahanda Suiswanto dan ibunda Musriyanti serta adikku Endah Kumala Sari yang senantiasa memberikan doa, dukungan, kesabaran, dan kasih sayangnya yang tidak pernah berhenti untuk penulis.

8. Seseorang yang mengasihiku Safrudin, S.Pd. yang senantiasa menemaniku dalam suka dan duka memberiku semangat, dukungan, doa, serta menanti keberhasilanku.

9. Guru-guru SD, MTs, dan MA yang telah tulus ikhlas memberikan berbagai ilmu pengetahuan serta nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi penulis. Tanpa bekal berbagai ilmu pengetahuan dari Bapak dan Ibu penulis tidak sampai keperguruan tinggi ini.

10.Rekan-rekan angkatan 2010, Zusi Ardiana, Eka Rahmatul Fitriyani, Dona Ratnasari, Yuni Setiawati, Ade Anggraini K.D., Kalisa Eviyana, Sukesi Hermansyah, Novala Rokhmatarofi, Siti Andaria, Devita Sari, Mutiara


(17)

Dini, Arifah Nur Isnaini, Nuraini, Juwiza Andriani, Andika Putri, Janatun Naim, Rengga Pinaris, Teguh, Arifal Paslah, Ramanda Saputra, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan yang kalian berikan selama ini.

11.Semua teman-teman seperjuangan FKIP Batrasia 2010, adik-adik dan kakak-kakak tingkat.

12.Teman-teman KKN dan PPL di SMA Negeri Gunung Agung Tulang Bawang Barat, Diana Novratilova, Didi Rahmadi, Nia Wahyuningtiyas, Ruly Mardani, Wayan Adnyana, Wirawan Dwi Admanto, Yudi Setiawan dan Zulkarnain.

13.Teman-teman Asrama Maria 2, Ana, Mala, Wulan, Novel, Wiwin, Dewi, Okta, Yuyun, Lili, Eli, Lidia, Pia, Vera, Tika, dan Dewi. Terima kasih atas dukungan kalian.

14.Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tetapi yakinlah selalu ada ruang di hatiku untuk mengingat jasa-jasa kalian.

Semoga Allah subhanahuwata’ala membalas setiap kebaikan yang kita lakukan dengan kebaikan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bandarlampung, Desember 2014 Penulis,


(18)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian atau data penelitian ini berupa deskripsi latar. Adapun yang dibahas pada bab pendahuluan ini adalah latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian. Berikut ini penjelasan mengenai hal-hal tersebut.

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah terlepas dari bahasa. Hal ini disebabkan bahasa selalu digunakan manusia berdasarkan kebutuhannya, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, alat berkomunikasi, alat integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat melakukan kontrol sosial. Bahasa sebagai media komunikasi sangat dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman, hal ini ditunjukan bahwa bahasa dapat berubah-ubah mengikuti waktu dan kemauan masyarakat. Pada dasarnya bahasa sebagai alat komunikasi terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan merupakan bahasa yang diucapkan secara langsung oleh alat ucap manusia untuk


(19)

berkomunikasi dengan sesama. Sedangkan bahasa tulisan merupakan bahasa yang menggunakan media lain untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.

Bahasa juga sangat erat kaitannya dengan sastra karena bahasa merupakan unsur penting dalam dunia sastra. Bahasa digunakan sastrawan sebagai media untuk menyampaikan ide atau gagasannya kepada masyarakat luas. Dalam dunia sastra,

bahasa dapat dikatakan sebagai “jembatan” yang menghubungkan sastrawan dan

masyarakat luas. Salah satunya menggunakan deskripsi atau pemerian yang memberikan perincian dari sebuah objek agar pembaca dapat membayangkan sesuatu yang digambarkan oleh seorang penulis.

Deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha penulis untuk memberikan perincian-perincian tentang objek yang sedang dibicarakan. Dalam deskripsi, penulis memindahkan kesan-kesannya, memindahkan hasil pengamatan dan perasaannya kepada para pembaca; ia menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada objek tersebut. Sasaran yang ingin dicapai oleh seorang penulis deskriptif adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya imajinasi pada para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri objek tadi secara keseluruhan sebagai yang dialami secara fisik oleh penulisnya (Keraf, 1982: 93).

Bila ditinjau dari tujuan dan maksud, deskripsi mempunyai pertalian dengan narasi. Tetapi sebagai alat, deskripsi mempunyai hubungan pula dengan ketiga bentuk retorika yang lain. Eksposisi, argumentasi, dan narasi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tulisan yang bulat dan komplit; sebaliknya deskripsi(sugestif) tidak dapat berdiri sendiri. Deskripsi hanya bisa menjadi alat bantu bagi pemaparan (eksposisi), pengisahan (narasi), dan argumentasi. Ia hanya


(20)

merupakan bagian yang kecil yang dipergunakan oleh ketiga bentuk tulisan lainnya untuk lebih mengkonkritkan pokok pembicaraan (Keraf, 1982: 98).

Bila kita perhatikan deskripsi lebih sering muncul bersamaan dengan narasi, dibandingkan dengan bentuk-bentuk tulisan lainnya. Dalam narasi baik cerita fiksi maupun nonfiksi, deskripsi digunakan untuk menyiapkan dasar atau melatar belakangi sebuh peristiwa dan adegan-adegan yang timbul dalam sebuah rangkaian suatu cerita. Dengan adanya latar belakang ini mempengaruhi pula hati serta perasaan dan suasana di sekitarnya.

Sebuah tulisan berbentuk narasi seperti, novel (narasi fiksi) tidak akan pernah terlepas dari sebuah unsur latar yang dideskripsikan oleh penulisnya. Latar merupakan salah satu poin penting dalam unsur intrinsik yang memiliki pengaruh kuat terhadap jalannya cerita. Kekuatan deskripsi latar dalam sebuah novel mampu membuat novel menjadi lebih hidup. Itulah sebabnya dalam narasi penulis selalu menyertakan deskripsi-deskripsi latar secara cermat dan menarik, baik secara khusus dalam sebuah alenia, baik dijalinkan dengan jalannya pengisahan itu sendiri.

Seorang penulis yang baik tidak akan pernah merasa puas dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Oleh sebab itu, deskripsi menghendaki sebuah objek pengamatan tepat dan cermat. Bahkan dalam membuat deskripsi atas sebuah objek yang fantastis, penulis harus menyajikan perincian-perincian sedemikian rupa dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman faktual sehingga tampak bahwa obyek fantastis tadi benar-benar hidup dan nyata. Jadi, dalam menggarap atau membuat deskripsi yang baik, dibutuhkan dua hal yang


(21)

sangat penting pertama, kesanggupan berbahasa dari seorang penulis, yang kaya akan sebuah nuasa dan bentuk; kedua, kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan.

Andrea Hirata adalah seorang novelis muda yang baru menapaki dunia sastra di Indonesia, ia telah berhasil merebut perhatian para penikmat sastra di Indonesia. Andrea Hirata lahir di Belitung, Bangka Belitung pada tanggal 24 Oktober 1982. Andrea Hirata telah menghasilkan tetralogi novel, yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov. Selain tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata juga menghasilkan karya lain, yaitu Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas yang terbit tahun 2010. Novelnya yang berjudul Cinta di Dalam Gelas mengisahkan sebuah perjuangan seorang perempuan yang telah tertindas oleh kaum laki-laki (suaminya), yang direpresentasikan oleh pengarang pada sosok Enong atau Maryamah dan permainan catur.

Sebagai sosok yang lahir dan tumbuh di Belitung, maka tak heran jika Andrea Hirata mengetahui persis gambaran Pulau Balitung baik secara geografi, ekonomi maupun sosial. Hal ini berhubungan erat dengan kemampuannya mendeskripsikan Pulau Balitung sebagai latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas. Dalam novel tersebut, Andrea Hirata mampu membuat para pembacanya seolah ikut bermain dan menikmati segala realitas hidup yang dialami tokoh-tokoh Cinta di Dalam Gelas. Kalimat demi kalimat saling mengait menggambarkan dengan detail dan ‟hidup‟ kondisi sosial masyarakat Pulau Belitung. Hal ini menunjukan kemampuan Andrea Hirata dalam mendeskripsikan objek-objek dalam karyanya. Andrea Hirata mampu menyajikan realita menjadi sebuah cerita yang menarik


(22)

yang dibalut dengan metafora dan deskripsi yang kuat, seperti film ketika memotret lanskap dan budaya.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik menjadikan novel Cinta di Dalam Gelas sebagai objek penelitian dengan meneliti deskripsi pada unsur latar dalam novel tersebut dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Ruang lingkup penelitian peneliti batasi pada unsur latar. Latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1994: 216). Latar terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu tempat, waktu, dan lingkungan sosial-budaya. Kehadiran ketiga unsur tersebut saling mengait, saling mempengaruhi dan tidak sendiri-sendiri walaupun secara teoritis memang dapat dipisahkan dan diidentifikasi secara terpisah (Nurgiyantoro, 1994: 249-250). Latar berhubungan langsung serta memengaruhi pengaluran dan penokohan sehingga posisi latar novel menjadi penting.

Dalam sebuah novel kita juga dihadapkan dengan dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahannya. Namun, hal ini kurang lengkap, sebab tokoh dan segala pengalamannya itu memerlukan rung lingkup, tempat dan waktu. Sebagai mana halnya dengan kehidupan manusia dalam dunia nyata, fiksi selain membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga membutuhkan latar. Hal ini karena keberadaan dan karakter seorang tokoh tidak akan pernah terlepas dari latar atau waktu dan tempat tokoh bertindak.

Latar merupakan tumpuan yang konkret dan sangat jelas suatu kejadian yang terdiri dari unsur tempat, waktu, dan lingkungan sosial budaya si tokoh dalam


(23)

sebuah novel. Latar tempat adalah gelanggang berlangsungnya peristiwa-peristiwa latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya sebuah peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi dan latar sosial menyarankan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat setempat yang diciptakan dalam novel. Dengan penggambaran latar yang sedemikian rupa, maka latar mampu membangkitkan image dalam benak pembaca mengenai peristiwa tertentu atau kisah-kisah dalam sebuah novel. Dengan demikian, deskripsi latar dalam sebuah novel begitu penting untuk membuat novel memiliki identitas peristiwa yang jelas dan terlihat nyata. Hal ini menjadikan novel Cinta di Dalam Gelas memiliki keunikan sendiri karena berlatar Pulau Belitung yang jarang digunakan oleh penulis lainnya. Selain itu, Andrea Hirata sebagai pengarang novel Cinta di Dalam Gelas merupakan “putra daerah” asli Melayu dari Pulau Balitung sehingga mampu menyajikan dengan ril gambaran Pulau Belitung sebagai latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas.

Berkaitan dengan pembelajaran sastra di SMA, salah satu karya sastra yang diajarkan di SMA adalah novel. Karya sastra yang akan digunakan sebagai bahan ajar unsur-unsur intrinsik harus melalui proses pemilihan. Hal itu disebabkan semakin meningkatnya perkembangan karya sastra yakni semakin banyak karya sastra dengan kisah atau cerita yang beragam. Perlu diingat bahwa tidak semua karya sastra, khususnya novel baik untuk dibaca. Hal itu disebabkan tidak semua novel mengandung nilai pendidikan, agama, moral, sosial, dan budaya. Karya-karya sastra yang akan digunakan sebagai bahan ajar unsur-unsur intrinsik harus memiliki manfaat, misalnya manfaat bagi pendidikan, seperti membantu meningkatkan keterampilan berbahasa dan lain-lain.


(24)

Kajian yang dilakukan oleh peneliti ini sejalan dengan Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMA. Kompetensi Inti (KI) terdiri atas empat kompetensi. Keempat kompetensi tersebut yaitu (1) kompetensi yang berkenaan dengan sikap keagamaan (Kompetensi Inti 1), (2) kompetensi yang berkenaan dengan sikap sosial (Kompetensi Inti 2), (3) kompetensi yang berkenaan dengan pengetahuan (Kompetensi Inti 3), dan (4) kompetensi yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan (Kompetensi Inti 4). Keempat kompetensi tersebut menjadi acuan dari Kompetensi Dasar (KD) dan harus dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif. Kompetensi Inti 1 dan 2 dikembangkan secara tidak langsung, yakni pada waktu peserta didik belajar tentang Kompetensi Inti 3 dan 4. Pada Kompetensi Inti 3 dan 4, Kompetensi Dasar terbagi atas dua aspek, yaitu (1) kemampuan berbahasa dan (2) kemampuan bersastra.

Adapun Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Kelas XI pada Silabus Kurikulum 2013 di tingkat SMA yang berkaitan dengan kajian yang dilakukan oleh peneliti yaitu Kompetensi Inti 3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban, terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah dan Kompetensi Dasar (Kemampuan Bersastra) 3.9 Menganalisis pelaku, peristiwa, dan latar dalam novel yang dibaca. Dalam penelitian ini, peneliti memusatkan pada salah satu unsur intrinsik saja, yaitu deskrisi latar.


(25)

Berdasarkan dengan tujuan penelitian ini, yaitu memerikan deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata, peneliti berharap peserta didik mampu memahami wacana deskripsi dalam novel, khususnya pada unsur latar. Novel Cinta di Dalam Gelas sebagai sebuah fenomena di kalangan pembaca sastra (novel) Indonesia telah dikenal dengan kentalnya deskripsi yang dibuat oleh sang penulis, salah satunya yaitu deskripsi sebagai latar. Tak salah rasanya jika saya sebagai peneliti tertarik untuk menjadikan novel ini sebagai objek penelitian yang nantinya dapat dijadikan novel rujukan bagi para guru dan siswa untuk menambah wawasannya dan meningkatkan kemapuannya dalam memahami wacana deskripsi pada unsur latar sebuah novel.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA?”. Adapun rincian masalah utama tersebut sebagai berikut.

1. Bagaimanakah deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata?

Berdasarkan rumusan masalah poin satu (1) di atas, masalah tersebut dapat diperinci lagi menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut.

i. Bagaimanakah pendekatan dalam deskripsi latar pada novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata?

ii. Bagaimana diksi dan kiasan dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata, sebagai deskripsi latar?


(26)

iii.Bagaimanakah unsur-unsur latar yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata?

2. Bagaimanakah fungsi latar sebagai metafora dan atmosfer dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata?

3. Bagaimanakah implikasi novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata pada pembelajaran sastra di SMA?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah memerikan deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Adapun rincian dari tujuan utama penelitian ini adalah.

1. Memerikan deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

i. Memerikan pendekatan dalam deskripsi latar yang terdapat pada novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

ii. Memerikan diksi dan kiasan dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata, sebagai deskripsi latar.

iii.Memerikan unsur-unsur latar yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

2. Memerikan fungsi latar sebagai metafora dan atmosfer dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

3. Memerikan implikasi novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata pada pembelajaran sastra di SMA.


(27)

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoretis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian di bidang kesastraan, serta bermanfaat terhadap perkembangan ilmu bahasa dalam kajian unsur intrinsik novel khususnya pada bidang deskripsi unsur latar dalam karya sastra.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi yang sangat bermanfaat untuk berbagai kepentingan, khususnya di bidang analisis unsur intrinsik novel, dan diharapkan dapat membantu peneliti-peneliti lain dalam usahanya menambah wawasan yang berkaitan dengan analisis unsur intrinsik novel. Selanjutnya bagi guru Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu tambahan bahan pembelajaran menganalisis unsur intrinsik dalam karya sastra khususnya novel.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup sebagai berikut.

1. Sumber data penelitian ini dibatasi pada unsur intrinsik novel khususnya deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

2. Data penelitian ini adalah deskripsi latar yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan disajikan teori-teori yang digunakan peneliti dalam memerikan deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dan implikasinya pada pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Teori tersebut berkenaan dengan pengertian novel, deskripsi, definisi deskripsi latar, pendekatan dalam deskripsi, diksi dan kiasan, pengertian latar, unsur-unsur latar, fungsi latar serta pembelajaran sastra (novel) di Sekolah Menengah Atas (SMA). Mengenai teori-teori tersebut akan peneliti jelaskan sebagai berikut.

2.1Pengertian Novel

Sastra adalah suatu seni yang dibuat atau diciptakan berdasarkan pada standar bahasa kesusastraan. Standar bahasa kesusastraan yang dimaksudkan tersebut yaitu penggunaan atau pengungkapan kata-kata yang indah dan imajinatif. Kesusastraan sendiri adalah karya seni yang pengungkapannya baik dan diwujudkan dengan bahasa yang baik. Sastra menggunakan bahasa sebagai medium dan mempunyai efek positif terhadap kehidupan manusia agar mudah dimengerti oleh masyarakat.


(29)

Dalam dunia kesastraan kita mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Untuk mempertegas keberadaan genre prosa, kita sering dipertentangkan dengan genre puisi, hal ini disebabkan bahasa yang digunakan oleh keduanya hampir sama, namun dengan mudah dapat dikenali dari konvensi penulisnya (Nurgiantoro, 1994: 1). Prosa dalam dunia kesusastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif, hal ini dikarenakan fiksi merupakan sebuah karya naratif yang tidak menyarankan kebenarannya dalam sejarah (Abram dalam Nurgiantoro, 1994: 2).

Istilah fiksi ini sering digunakan sebagai pertentangan realitas yaitu sesuatu yang ada dan benar terjadi di kehidupan nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada atau tidaknya bukti dalam sebuah karya sastra dapat kita buktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dan karya nonfiksi. Tokoh, pristiwa dan tempat dalam karya fiksi bersifat imajinatif sedangkan dalam karya nonfiksi bersifat faktual.

Novel (Inggris: novel) berasal dari bahasa Itali novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, yang kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟ (Abrams dalam Nurgiantoro, 1994: 9). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiantoro, 1994: 9-10).

Dilihat dari segi panjangnya cerita, novel lebih panjang dari pada novelet. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai


(30)

permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiantoro, 1994: 11). Novel adalah suatu cerita fiktif dalam menceritakan para tokoh, gerak, serta kesederhanaan hidup yang nyata yang representatif dalam alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut (Tarigan, 1985: 164).

Virginia Wolf mengatakan bahwa “sebuah roman atau novel terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak- gerik manusia” (Lubis dalam Tarigan, 1985: 164). Novel adalah “sebuah roman, pelaku-pelaku dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka bergerak dari sebuah adegan ke sebuah adegan yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain” ( H.E. Batos dalam Tarigan, 1985: 164).

Novel adalah hasil kesusastraan yang berbentuk prosa yang menceritakan suatu kejadian luar biasa dan dari kejadian itu lahirlah satu konflik suatu pertikaian yang merubah nasib mereka (Lubis, 1994: 161). Novel adalah cerita dan cerita digemari manusia, dengan bahasa yang denotatif kepadatan makna gandanya sedikit, jadi novel mudah dimengerti, dibaca dan dicerna (Sumarjo, 1999: 11).

Berdasarkan pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa fiksi, yang menceritakan kehidupan prilaku dari lahir hingga wafat dan mengambarkan kejadian atau peristiwa yang terjadi secara kompleks dengan memuat unsur tema, amanat, penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan mengandung nilai-nilai kehidupan.


(31)

2.2Deskripsi

Teks deskripsi merupakan hasil pengamatan serta kesan-kesan penulis tentang objek suatu pengamatan. Dengan demikian, adanya deskripsi maka seorang pembaca dapat membayangkan sesuatu yang digambarkan, gambaran ini dapat berupa sesuatu yang nyata atau fiksi. Deskripsi sering dikaitkan dengan wacana naratif dan dalam sebuah wacana naratif sering terdapat deskripsi tempat, orang, benda ataupun suasana. Oleh karena itu, adanya deskripsi maka pembaca lebih mampu membayangkan apa yang diceritakan dan imajinasi pembaca akan menjadi lebih hidup. Demikian pula dalam teks argumentasi, teks eksplikatif, dan instruktif sering digunakan deskripsi cara untuk menjelaskan sesuatu.

Deskripsi adalah suatu wacana yang mengemukakan representasi atau gambaran tentang suatu atau seseorang, yang biasanya ditampilkan secara rinci (Zaimar, 2009: 35). Kata deskripsi berasal dari kata Latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu hal. Sebaliknya kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemeriaan, yang berasal dari kata peri-memerikan yang berarti „melukiskan sesuatu hal‟ (Keraf, 1982: 93).

Dalam deskripsi penulis memindahkan kesan-kesannya, memindahkan hasil pengamatan dan perasaannya kepada para pembaca, ia menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada obyek tersebut. Sasaran yang ingin dicapai oleh seorang penulis deskripsi adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya daya khayal (imaginasi) pada para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri obyek tadi secara keseluruhan sebagai yang dialami secara fisik oleh penulisnya (Keraf, 1982: 93).


(32)

Bila seseorang mengatakan bahwa pohon itu sangat rindang, maka pernyataan itu menjelaskan pada kita bahwa indra pengelihatannya mencerap pohon itu dengan sifat atau ciri-ciri khusus yang biasa disebut „rindang‟. Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan seperti musik itu sangat merdu. Bunga itu semerbak baunya, kopi itu terlalu pahit, atau kursi itu terlalu kasap. Pernyataan-pernyataan itu berturut-turut mengungkapkan kepada kita betapa cerapan indra pendengar, indra penciuman, indra perasa, dan indra peraba.

Walaupun pernyataan itu sudah dapat dinamakan deskripsi, namun deskripsi yang masih bersifat kasar dan terlalu umum. Dikatakan kasar dan umum karena belum sanggup menciptakan sugesti dan interpretasi dalam diri tiap pembaca tentang ciri-ciri, sifat, atau hakekat dari objek yang dideskripsikan itu. Mengapa pohon itu disebut „rindang‟? betapa taraf kerindangan pohon itu? Berapa jumlah cabang -cabangnya, dan berapa panjang daun-daunnya? Bagaimana pula peranan dedaunan yang terdapat pada pohon itu, sehingga seluruhnya dapat menciptakan sebatang pohon yang „rindang‟? (Keraf, 1982: 95-96).

Seorang penulis yang baik tidak akan merasa puas dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Sebab itu deskripsi menghendaki sebuah objek pengamatan yang cermat dan tepat. Bahkan dalam membuat deskripsi atas sebuah objek yang fantastis, penulis harus menyajikan perincian-perincian sedemikian rupa dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman faktualnya sehingga tampak bahwa objek fantastis tadi benar-benar hidup dan ada.

Dapat disimpulkan dalam menggarap sebuah deskripsi yang baik dituntut dua hal, Pertama, kesanggupan berbahasa dari seorang penulis yang kaya akan nuansa dan


(33)

bentuk. Kedua, kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan. Dengan kedua persyaratan tersebut seorang penulis sanggup menggambarkan objeknya dalam rangkaian kata-kata yang penuh arti dan tenaga sehingga mereka yang membaca gambaran tersebut dapat menerimanya seolah-olah mereka menyaksikannya.

Semi (1993: 42) menyatakan beberapa ciri tanda penulisan atau karangan deskripsi, sebagai berikut.

a. Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek.

b. Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivitas.

c. Deskripsi disampaikan dengan gaya memikat dan dengan pilihan kata (diksi) yang menggugah.

d. Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang dapat didengar, dilihat, dan dirasakan sehingga objek pada umumnya benda, alam, warna, dan manusia.

e. Organisasi penyampaian lebih banyak menggunakan susunan paparan terhadap suatu detail.

Pilihan kata yang tepat dapat melahirkan gambaran yang hidup dan segar di dalam imajinasi pembaca. Perbedaan-perbedaan yang sangat kecil dan halus dari apa yang dilihatnya dengan mata, harus diwakili oleh kata-kata yang khusus. Meskipun demikian semua perbedaan yang mendetail yang dicerapnya melalui pancaindranya itu harus bersama-sama membentuk kesatuan yang kompak tentang objek tadi (Keraf, 1982: 97).


(34)

Bila ditinjau dari tujuan dan maksud, deskripsi mempunyai pertalian dengan narasi, tetapi sebagai alat, deskripsi mempunyai hubungan pula dengan ketiga bentuk retorika yang lain. Eksposisi, argumentasi, dan narasi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tulisan yang bulat dan komplet; sebaliknya deskripsi (sugestif) tidak dapat berdiri sendiri. Deskripsi hanya bisa menjadi alat bantu bagi pemaparan (eksposisi), pengisahan (narasi), dan argumentasi. Ia hanya merupakan bagian yang kecil yang dipergunakan oleh ketiga bentuk tulisan lainnya untuk lebih mengkonkretkan pokok pembicaraan (Keraf, 1982: 98).

Bila diperhatikan frekuensi munculnya deskripsi, maka lebih sering ia muncul bersama-sama narasi, daripada dengan bentuk-bentuk tulisan lainnya. Dalam narasi, rekaan atau bukan rekaan (fiksi dan non fiksi), deskripsi dipakai untuk menyiapkan dasar atau latar belakang dari peristiwa-peristiwa, adegan-adegan yang timbul dalam kerangka jalannya cerita. Latar belakang ini dapat memengaruhi pula perasaan hati seseorang dan suasana sekitarnya.

2.3Deskripsi Latar

Kata deskripsi berasal dari kata Latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu hal. Sebaliknya kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemeriaan, yang berasal dari kata peri-memerikan yang berarti

„melukiskan sesuatu hal‟ (Keraf, 1982: 93). Dalam deskripsi penulis

memindahkan kesan-kesannya, memindahkan hasil pengamatan dan perasaannya kepada para pembaca, ia menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada obyek tersebut. Sasaran yang ingin dicapai oleh seorang penulis deskripsi adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya daya


(35)

khayal (imaginasi) pada para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri obyek tadi secara keseluruhan sebagai yang dialami secara fisik oleh penulisnya (Keraf, 1982: 93).

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas, tumpu, yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 1994: 216).

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa deskripsi latar merupakan pemindahan kesan-kesan, hasil pengamatan dan perasaan mengenai latar atau landasan tumpu yang menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya sebuah peristiwa yang digambarkan seorang penulis sebuah cerita dalam suatu wacana atau cerita. Ia menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada latar tersebut agar tercipta daya khayal (imajinasi) pada para pembaca. Dalam sebuah deskripsi latar diharapkan pembaca dapat membayangkan seolah-olah mereka dapat melihat sendiri latar yang secara keseluruhan dapat dilihat oleh penulis deskripsi tersebut. Hal ini didukung oleh Nurgiantoro (1994: 243-144) mengemukakan sebagai berikut.

“Deskripsi latar berupa jalan beraspal yang licin, sibuk, penuh kendaraan yang ke sana ke mari, suara bising mesin dan klakson, ditambah pengapnya udara bau bensin, adalah mencerminkan suasana kehidupan perkotaan. Dalam latar yang bersuasana seperti itulah cerita (akan) berlangsung. Deskripsi latar yang berupa rumah tua, terpencil, tak terawatt, digelapkan oleh rimbunnya pepohonan, diselingi suara-suara jangkrik, mencerminkan suasana misteri yang menakutkan. Dengan membaca deskripsi latar yang menyaran pada suasana tertentu, membaca akan dapat memperkirakan suasana dan arah cerita yang ditemui.”


(36)

2.4Pendekatan dalam Deskripsi

Setiap tulisan dengan mempergunakan corak deskripsi, harus mempunyai tujuan tertentu. Dalam seluruh tulisan itu, semua daya upaya dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan karangan itu, atau secara efektif menyampaikan amanat yang terkandung dalam karangan itu. Upaya yang pertama-tama dapat dipergunakan adalah cara penyusunan detail-detail dari obyek itu. Selain cara penyusunan isi, penulis juga harus memperlihatkan pula sebuah segi lain yaitu pendekatan (approach), yaitu bagaimana caranya penulis meneropong atau melihat barang atau hal yang akan dituliskan itu. Sikap mana yang diambilnya agar dapat menggambarkan obyeknya itu secara tepat sehingga maksudnya itu dapat dicapai (Keraf, 1982: 104).

2.4.1 Pendekatan Realistis

Cara pertama yang bisa dipergunakan adalah pendekatan secara realistis. Dalam pendekatan yang realistis penulis berusaha agar deskripsi yang dibuatnya terhadap obyek yang diamatinya itu, harus dapat dilukiskan seobyektif-obyektifnya, sesuai dengan keadaan yang nyata yang dapat dilihatnya. Perincian-perincian, perbandingan antara satu bagian dengan bagian yang lain, harus dipaparkan sedemikian rupa sehingga tampak seperti dipotret. Pendekatan yang realistis dapat disamakan dengan kerjanya sebuah alat kamera yang diharapkan sebuah obyek, dan berusaha untuk mengambil gambar dari obyek tadi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kamera itu tidak memberikan penilaian mana yang penting dan mana yang kurang penting, tetapi apa saja yang berada di depan lensanya seluruhnya direkam dalam gambar yang dibuatnya. Satu-satunya unsur subyektif


(37)

yang terdapat pada gambar sebuah foto adalah pilihan tempat oleh juru kamera, serta penggunaan bayangan, dan cahaya dalam kameranya. Semua segi yang lain tetap seperti keadaan yang sebenarnya ( Keraf, 1982: 104).

Penggunaan pendekatan yang realistis, tidak perlu berarti bahwa deskripsi itu akan kehilangan segi-segi sugestifnya. Kesan dan sugesti harus secara tepat menjadi dasar dari deskripsi, dan pengarang tidak boleh dibawa hanyut oleh arus emosinya. Sebaliknya, sebuah deskripsi yang fiktif dapat pula mempergunakan sebuah pendekatan yang realistis. Persoalan realistis atau tidak, sama sekali tidak tergantung dari fiktif atau tidak fiktifnya objek deskripsi (Keraf, 1982: 106).

Berikut adalah contoh kutipan deskripsi yang menggunakan pendekatan realistis.

“Sinar matahari menyorot pada lengannya yang coklat, sedang topi pandannya membentuk bayangan lonjong pada mukanya, dan menjatuhkan diri dengan kumis jarang. Ia duduk bersandar pada tembok toko, dan di depannya di atas tampak teronggok salak dan jambu batu. Sebuah koyak besar menganga pada pada daerah lutut dan sebuah koyak lagi membuat gelambir pada ujung celananya. Kain sarungnya yang hitam kusam terlempang pada bahu. Setengah mengantuk ia melihat lalu-lintas trotoir dan jalan raya. Di sebelah-menyebelahnya berderet pedagang kelontong kain jadi, dan di seberang jalan di muka warung dan toko bertebar pedagang buah, yang kalau dia bandingkan dengan dagangannya sendiri ia merasa kecil. Karena dagangan mereka bernas-bernas, ranum-ranum, berseri dan besar-besar. Sedangkan dagangannyakusam kuyu dan kecil-kecil.

Ia tersentak bangun dari kantuk ketika mendengar debum pintu mobil yang ditutup persis di depannya. Seorang nyonya necis yang bersanggul besar sedang melangkah meninggalkan mobil itu dan langak-longok untuk menyeberang. Sampai di seberang ia membungkuk di muka dagangan papaya yang ditempeli etiket dari kertas merah. Nampak ia menawar-nawar sekejap, lalu membuka dompet, dan seorang laki-laki yang rupanya sopirnya menyambut dua buah papaya yang diulurkan pedagang. Sekarang si nyonya beringsut dan membungkuk di muka dagangan duku dan pisang. Nampak ia menawar sekejap pula, dan ia si pedagang menimbang.”

(“Menerobos Kebalauan”, Wildan Jatim, Kompas , 29 Desember 1970 dalam Keraf, 1982: 106-107)


(38)

Persoalan deskripsi hanya dapat dihubungkan dengan persoalan apakah deskripsi detail-detail itu secara objektif atau tidak, dengan tidak mempersoalkan apakah objeknya itu faktual atau tidak, apakah semua yang ada dihadapannya dilukiskan secara lengkap atau tidak (Keraf, 1982: 107).

2.4.2 Pendekatan Impresionistis

Cara pendekatan yang kedua adalah pendekatan secara impresionis yaitu semacam pendekatan yang berusaha menggambarkan sesuatu secara objektif. Apa yang dimaksud subjektif sama sekali tidak berarti bahwa pengarang itu membuat seenaknya terhadap detail-detail yang dicerapnya (Keraf, 1982: 108).

Dalam deskripsi yang sujektif, penulis lebih menonjolkan pilihannya dan interpretasinya. Sebab itu disamping memilih sudut atau titik yang paling baik untuk menangkapi objeknya, penulis harus mengadakan seleksi yang cermat atas bagian-bagian yang diperlukan, kemudian berusaha memberikan cahaya, bayangan, dan warna sesuai dengan apa yang diinterpretasikannya. Walaupun dikatakan bahwa ia mendeskripsikan kesan umum tentang benda itu, ia masih harus bertolak dari keadaan yang nyata, dari kenyataan-kenyataan yang diseleksi secara cermat (Keraf, 1982: 109).

Berikut adalah contoh kutipan deskripsi yang menggunakan pendekatan impresionistis.

“Kenapa aku terharu melihat wajahnya yang keriput. Banyak wajah keriput seperti itu, tapi tidak banyak menggugah emosiku. Tapi kali ini wanita tua itu benar-benar membuatkan simpati dan ingin sekali berbuat sesuatu untuknya.

Lalu bagaimana? Ia kelihatan tidak membutuhkan apa-apa kecuali kulit mukanyaa yang berkerut-kerut menimbulkan rasa haru yang manis.


(39)

Aku mendekat dan mencoba tersenyum kepadanya. Tapi sekali ia tak butuh kebaikan hati seseorang. Ia hanya melihat kepadaku dengan tatap kosong tanpa merobah posisi maupun perubahan pada wajahnya.

Aku tidak putus asa.

Kuperhatikan terus. Ia seorang perempuan sekitar 70 tahun umurnya. Gemuk dan berkulit bersih. Berpakaian rapih dan tampak terpelihara dengan baik. Lalu apa kerjanya di tempat seperti ini. Sendirian lagi.

Ketika aku melihat kakinya, tersenyum. Sandal yang dipakai berlain-lain. Sebelah kiri sandal lelaki dan sebelah kanan sandal perempuan . dan anehnya masih baru keluaran Bata. Mencuri pikirku. Tidak mungkin.ia terlalu tua untuk hal-hal seperti itu. Dan aku tersenyum kecut ketika melihat sandal jepitku yang sering tertinggal bila melewati tanah becek.

Dan tiba-tiba seperti mendapat tegoran,nenek itu melihat ke kakinya. Lalu, seperti mendapat hadiah ulang tahun, beliau melonjak-lonjak kegirangan.”

(“Orang Tua”, Zulidahlan, Kompas, 12-1-1971 dalam Keraf, 1982:109)

Fakta-fakta yang dipilih oleh penulis harus dipertalikan dengan efek yang ingin dipertalikan. Pembaca harus disiapkan untuk menciptakan sebuah kesan yang menonjol, suatu sikap tunggal dan sebuah perasaan khusus. Singkatnya, walaupun deskripsi dia atas bertolak dari kenyataan (relitas), tetapi realitas-realitas itu sudah dijalin dan diikat dengan pandangan-pandangan yang subjektif dari penulisnya. Detail-detail yang tidak ada hubungannya dengan pokok persoalan akan mengganggu konsentrasi pembaca, karena detail-detail semacam itu akan membantu pembaca menuju kepada efek yang ingin ditimbulkannya. Sebab itu, semua hal yang kiranya dapat menimbulkan pertentangan atau berlawanan dengan efek yang tunggal tadi harus dilenyapkan, harus diabaikan (Keraf, 1982: 110).

2.4.3 Pendekatan Menurut Sikap Penulis

Cara pendekatan yang ketiga yang dapat dipergunakan adalah bagaimana sikap penulis terhadap obyek yang dideskripsikan itu. Penulis dapat mengambil salah satu sikap : masa bodoh, bersungguh-sungguh dan cermat, mengambil sikap seenaknya, atau mengambil sikap bersifat irasionis.


(40)

Semua sikap ini bertalian dengan tujuan yang akan dicapainya, serta sifat obyek dan orang yang mendengar atau membaca deskripsinya. Dalam menguraikan sebuah persoalan, penulis mungkin mengharapkan agar pembaca merasa tidak puas terhadap suatu keadaan atau tindakan, atau penulis menginginkan agar pembaca juga harus merasakan persoalan yang tengah dibahas merupakan masalah yang sangat gawat dan serius. Penulis dapat juga membayangkan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sehingga para pembaca dari mula sudah disiapkan dengan sebuah perasaan yang kurang enak, suatu perasaan yang suram tentang masalah yang dihadapinya.

Sikap yang diambil seorang penulis banyak sedikitnya akan dipengaruhi oleh suasana yang terdapat pada saat itu. Tiap tulisan atau pokok pembicaraan selalu timbul dalam situasi yang khusus. Situasi tadi akan memungkinkan penulis atau pembicara menentukan sikap mana yang harus diambilnya agar tujuannya dapat tercapai (Keraf, 1982: 111).

Berikut adalah contoh kutipan deskripsi yang menggunakan pendekatan menurut sikap penulis.

“Demikianlah pagi tadiaku harus menjalankan pemeriksaan dan perawatan yang terakhir. Baru saja aku masuk ruangan pemeriksaan, terlihhat olehku bahwa orang yang harus kurawat itu tak lain tak bukan dari makhluk yang ku lihat di Pasar Baru minggu yang lalu. Aku agak terperanjat. Tapi sebagai kewajiban aku harus melakukannya.

Aku pandang dia lama-lama. Sekarang ia payah betul, terlentang-lentang di atas meja periksa dengan mulut terbuka hidung menonjol ke atas. Selagi ia sengsara terlunta-lunta ia tak berguna bagi masyrakat, bahkan hanya sebagai gangguan dan rintangan bagi keindahan alam yang sudah mewah, sebagai noda di tengah kepermainan bayangan keduniaan. Tapi rupanya, setelah ia berguna. Kebetulan pula berguna bagiky sebagai bahan pengetahuan yang akan berguna pula bagi peri kemanusiaan di belakang hari. Siapakah yang akan menyangka, bahwa makhluk yang telah tak tentu bentuknya ini mempunyai nilai sebagai manusia selama hidupnya, setelah kurus kering begini, masih sanggup juga memberikan bakti kepada manusia. Juga kepada si kaya-raya, si hartawan yang


(41)

sewaktu-waktu terpaksa juga meminta pertolongan dokter, yang mendapat pengetahuan berkat mayat, si nista tadi. Tapi hal ini tak akan pernah terkhayalkan oleh mereka, bahkan terpikirkan sedikit juga.

Sebagai biasa kami harus memeriksa laporan-laporan tentang riwayat penyakit si sakit ini dulu.ternyata di sana di lampirkan bahwa makhluk ini didapati di bawah jembatan jalan Nusantara oleh polisi dalam keadaan sakit keras. Dalam keadaan pingsan ia dibawa ke rumah sakit. Jadi asal-usulnya, serta riwayat penyakitnya tak mungkin kami nyatakan.”

(“Diagnosa”, Kamal Mahmud, GTA Jld. 2.hal. dalam Keraf, 1982: 114-115)

2.5Diksi dan Kiasan

Bila dalam pendekatan dipersoalkan bagaimana penulis melihat dan meneropong persoalan yang tengah digarapnya, sikap mana yang harus diambilnya dalam menghadapi hadirinnya atau bagaimana mengolah materinya, maka diksi (pilihan kata) dan bahasa kiasan merupakan jawaban atas pertanyaan alat manakah yang paling baik untuk membuat deskripsi itu. Setiap orang menginginkan agar materi yang dilukiskannya dengan kata-kata harus bisa dirasakan hidup, harus memiliki tenaga untuk menciptakan daya imaginasi pada setiap pembaca atau pendengar (Keraf, 1982: 115-116).

Deskripsi yang segar dan hidup, yaitu deskripsi yang dapat membuka imajinasi dan menimbulkan kesan yang mendalam, hanya bisa dicapai dengan memperlihatkan semua hal itu bersama-sama, memerhatikan perpaduan yang harmonis antara metode, pendekatan, sikap, pilihan kata, dan bahasa kiasan (Keraf, 1982: 116).

2.5.1 Diksi

Penempatan kata-kata yang digunakan oleh seorang penulis dalam karangannya dilakukan tidak secara asal atau sembarangan, tetapi dipilih dan dipilah agar informasi yang ingin disampaikan lebih mengena atau tepat sasaran. Banyak kata yang dimiliki oleh suatu bahasa, termasuk bahasa Indonesia, bentuknya berbeda,


(42)

tetapi memiliki kemiripan makna. Kata-kata yang dimiliki itu sering disebut kata bersinonim. Di samping itu, dalam setiap bahasa juga terdapat beberapa kata yang ketika digunakan terkesan biasa-biasa saja dan ada yang terkesan atau mengandung emosi. Menghadapi hal yang demikian ini, seorang penulis dituntut untuk mampu menggunakannya agar kalimatnya efektif. Pemilihan, dan penempatan kata ketika seorang sedang berbahasa itulah yang disebut diksi (Fuad, 2006: 72).

Topik pilihan kata ini menyangkut hal-hal yang ada hubungannya dengan penggunaan/penempatan kata dalam suatu kalimat. Berkaitan dengan pemilihan kata ini, yang perlu diperhatikan adalah hal-hal berikut (Fuad, 2006: 74).

a. Pemahaman Denotasi dan Konotasi

Di antara kata-kata yang ada dalam bahasa Indonesia, ada yang hanya mendukung satu konsep atau satu objek saja. Di samping itu, juga ada sejumlah kata yang menimbulkan asosiasi atau kesan tambahan pada membaca atau pendengarnya (Fuad, 2006: 74).

Konsep dasar yang didukung oleh suatu kata (makna konseptual, makna referensi) disebut makna denotasi, sedangkan nilai rasa atau gambaran tambahan yang ada pada masyarakat, di samping makna denotasi, disebut makna konotasi. Nilai rasa yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu kata bermacam-macam dan bervariasi. Ada kata yang bernilai tinggi, baik, sopan, lucu, biasa, rendah, kotor, porno, sakral, dan lain-lainnya. Dari kata-kata yang dipilih oleh sang penulis dan dari golongan masyarakat mana mereka itu (Fuad, 2006: 75-76).


(43)

b. Penggunaan Kata Abstrak dan Kata Konkret

Kata-kata abstrak ialah kata-kata yang mempunyai referen berupa konsep, misalnya, kata kemanusiaan, demokrasi, kecerdasan, kemakmuran, dan kasih sayang. Kata-kata konkret ialah kata-kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati, misalnya, lengan, patung, pensil, dan Suzuki (merek motor). Apabila dibandingkan, kata-kata abstrak lebih sulit dipahami atau diungkapkan daripada kata-kata kontrek (Fuad, 2006: 76).

Kata-kata mana, abstrak atau konkret, yang tepat dipakai dalam suatu tulisan keilmuan? Hal itu bergantung kepada jenis dan tujuan penulisannya. Jika penulis ingin mendeskripsikan suatu fakta, hendaknya lebih banyak menggunakan kata-kata konkret. Sebaliknya, jika ingin membuat klasifikasi atau generalisasi, penulis dapat banyak menggunakan kata-kata abstrak. Umumnya, suatu uraian dimulai dengan kata yang abstrak kemudian dilanjutkan dengan penjelasan-penjelasannya yang berupa kata-kata konkret (pola deduktif) (Fuad, 2006: 76).

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Kata-kata umum dan khusus dibedakan atas ruang lingkup pemakaiannya. Makin luas ruang lingkup suatu kata, makin umum sifatnya. Sebaliknya, makin sempit ruang lingkup suatu kata akan semakin khusus sifatnya (Tim Pengembang, 2006: 79).

Makin umum suatu kata makin banyak kemungkinan salah paham atau adanya perbedaan tafsir antara penulis dan pembacanya. Dapat dikatakan, bahwa makin khusus yang dipakai/ditulis oleh seseorang, semakin kecil adanya salah tafsir dari pihak pembacanya. Dapat dikatakan bahwa makin khusus kata yang dipakai/ditulis oleh seseorang, semakin kecil adanya salah tafsir dari pihak


(44)

pembaca. Termasuk ke dalam kata-kata khusus, antara lain, nama diri seperti Anto, Hetty, Wini, Rakhman, Megawati, nama-nama geografi seperti Aceh, Jawa, Cilegon, Bandar Lampung, dan kata-kata indra seperti manis, asin, asam, pahit, dengung, desis, silau. (Fuad, 2006: 80).

d. Penggunaan Kata-Kata Populer dan Kajian

Kata populer ialah kata-kata yang dipergunakan pada berbagai kesempatan dalam komunikasi sehari-hari di kalangan semua lapisan masyarakat, misalnya kata-kata kamar, harga, sayur, batu, rumah, pergi, membawa, kecil, murah, dan kata asin. Sebagian besar kata-kata suatu bahasa berupa kata-kata populer. Adapun yang dimaksud kata kajian ialah kelompok kata yang hanya dikenal dan dipergunakan dalam lingkungan terbatas serta dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja, misalnya makro, mikro, transfer, momentum, paper, tesis, dan volume. Biasanya, kata-kata tersebut dipakai oleh para ilmuwan dalam makalah atau perbincangan ilmiah di lingkungan mereka. Kata-kata kajian juga dipakai oleh kelompok-kelompok profesi tertentu. Jenis kata-kata ini banyak yang berupa kata serapan dari bahasa asing, misalnya, dari bahasa Inggris, Latin, Yunani, dan Jerman (Fuad, 2006: 81).

e. Penggunaan Kata yang Mengalami Perubahan Makna

Makna kata dalam suatu bahasa dapat mengalami perubahan atau pergeseran. Perubahan ini, yang dalam bahasa inggris disebut linguistic change, atau kode change, dapat meluas, dapat juga menyempit, dan kadang-kadang bergeser. Adanya perubahan makna dalam suatu bahasa sulit diamati atau diprediksi sebab perubahan tersebut di samping memang menjadi sifat hakiki pada setiap bahasa


(45)

yang hidup. Perubahan atau pergeseran itu berlangsung dalam waktu yang relative lama sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai wakturelatif sangat terbatas (Chaer dkk., 1995: 178 dalam Fuad, 2006: 82).

Perubahan makna dapat meluas (broadening), yaitu makna suatu kata yang ada sekarang lebih dari satu, misalnya, kata/singkatan KKN. Kata ini semula hanya dikenal di lingkungan perguruan tinggi atau mahasiswa dengan makna „Kuliah Kerja Nyata‟. Selanjutnya,kata tersebut dapat dimaknai juga „korupsi‟, kolusi dan nepotisme‟, juga ada yang memaknai „kiri kanan nuntun‟ (nada sisnis yang ditunjukan kepada seseorang yang ke mana pun beraktivitas selalu dituntun), ada pula yang memaknai kono kene neken (bahasa jawa) „dimana saja ada tanda tangan yang berkaitan dengan uang‟, (nada sinis yang ditunjukan kepada seseorang atau kelompok yang banyak penghasilan di luar gaji pokoknya) (Fuad, 2006: 82-83).

f. Penggunaan Kata Serapan dari Bahasa Asing dan Daerah

Dalam proses pengembangannya, bahasa mana pun di dunia ini selalu terjadi peminjaman dan penyerapan unsur-unsur bahasa atau kosakata dari bahasa luar/asing. Hal itu dapat terjadi tidak lain karena adanya kontak antara bangsa yang satu dengan lainnnya atau karena kemajuan teknologi. Yang dimaksud dengan kata asing dalam hal ini ialah unsur-unsur bahasa yang berasal dari bahasa asing yang masih dipertahankan bentuk aslinya/keasingannya karena belum beradaptasi dengan bahasa Indonesia, misalnya, kata option, reshuffle, shuttle cock, dan l’exploitation de I’lhomme par I’homme, sedangkan yang dimaksud kata-kata atau unsur-unsur serapan ialah kata-kata/bentuk-bentuk bahasa asing yang telah disesuaikan dengan wujud struktur bahasa Indonesia. Kata-kata


(46)

semacam ini dalam proses fonologi, morfologi, dan penulisannya diperlakukan seperti kata-kata bahasa Indonesia (asli). Banyak di antara kata-kata serapan ini sudah tidak terasa lagi keasingannya, misalnya, kata buku, impor, ekspor, proklamasi, politik, logis, asosiasi, ekonomi, telepon, teknik, sampel, madrasah, asma Allah, hokum, khotbah, hibah, sodakoh, mahar, dan lain-lainnya. Dalam pemakaian sehari-hari, kata-kata/istilah serapan itu sudah tidak dirasakan lagi keasingannya. Penulis merasa seperti menggunakan kata-kata bahasa sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Mereka tidak memperhatikan lagi bahwa di antara kata-kata yang mereka gunakan itu merupakan unsur serapan dari bahasa Latin, Portugis, Inggris, Jerman, Arab, India, dan Cina (Fuad, 2006: 85-86).

Adanya bahasa asing dalam bahasa Indonesia yang begitu banyak, terutama bahasa Inggris, adalah sebuah kenyataan. Hal itu sudah cukup lama disadari oleh para perencana bahasa Indonesia dalam bukunya Politik Bahasa Nasional I. terhadap kenyataan itu,, mereka sepakat berpendapat bahwa 1) sebagai warga masyrakat dunia, bangsa Indonesia memerlukan pemakaian bahasa-bahasa asing tertentu, terutama bahasa Inggris, sebagai alat perhubungan antarbangsa, 2) buku-buku dan sarana lain yang memungkinkan bahasa Indonesia mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber untuk kepentingan pengembangan bahasa asing, dan 3) bahasa asing yang dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi modern dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber untuk kepentingan pengembangan bahasa nasional, terutama di dalam pengembangan tata istilah (depdikbud, 1993: 24 dalam fuad, 2006: 87). Artinya, penyerapan terhadap bahasa asing, terutama bahasa Inggris, tidak lain dalam upaya mengembangkan dan


(47)

memperkaya kosakata bahasa Indonesia/bahasa nasional, khususnya di bidang bahasa Indonesia keilmuan (Depdikbud, 1993: 23 dalam Fuad, 2006:88).

Di samping kosakata yang berasal dari bahasa asing, bahasa Indonesia juga menyerap kosakata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa serumpun. Adanya penyerapan tersebut memang sudah diantisipasi dengan adanya aturan bahwa sumber istilah bahasa Indonesia itu asa tiga (Depdikna, 1993: 422-423), yaitu kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa serumpun, dan kosa kata bahasa asing. Kosakata yang berasal dari bahasa Indonesia menjadi prioritas pertama, seandainya tidak ada atau tidak ditemukan pada kosakata bahasa serumpun, termasuk bahasa daerah, sebagai prioritas kedua. Apabila pada tingkat prioritas kedua ini pun tidak ditemukan, baru mencari ke sumber bahasa asing.

2.5.2 Kiasan

Persoalan kedua yang sebenarnya masih tercakup dalam pilihan kata, tetapi dalam arti yang lebih sempit atau khusus adalah bahasa figuratif atau bahasa kiasan. Salah satu bentuk kiasan yang paling umum adalah metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan yang terjadi karena pemindahan arti. Sebuah kata yang lama dipakai dengan arti yang baru. Metafora tidak lain dari pada suatu proses pemindahan arti yang biasanya dikenakan kepada suatu benda tertentu, dikenakan juga pada benda-benda lainnya.

Metafora yang baik harus menimbulkan interpretasi. Imajinasi akan menjadi lebih hidup karena daya interpretasi yang dimiliki metafora itu. Sebuah metafora dapat dikatakan segar dan hidup karena beberapa alasan. Pertama, tidak merupakan bahasa klise, ia merupakan ciptaan dari penulis itu. Kedua, metafora-metafora itu


(48)

memiliki tenaga untuk menimbulkan daya imajinasi yang kuat sehingga dapat menghidupkan deskripsi yang diadakan oleh penulis, dan ketiga, metafora tersebut masih sanggup menampung beban sikap hidup dewasa ini (Keraf, 1982: 122).

Berbicara mengenai metafora seolah-olah hanya ada satu corak metafora. Dalam statistika masih dibedakan bermacam-macam metafora atau bahasa kiasan sesuai dengan sifat atau maksudnya, yang terpenting diantaranya adalah persamaan (simile) dan personifikasi (penginsanan) (Keraf, 1982: 126).

a. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam perbandingan, tetapi perbandingan yang menggambarkan sebuah benda mati, seolah-olah benda mati itu bertindak dan berpikir sebagai manusia. Personifikasi adalah deskripsi dari objek-objek yang tidak bernyawa atau binatang, yang diberikan perbandingan-perbandingan sebagai manusia yaitu, bertindak, berpikir, berkata, dan merasa sebagai manusia. Binatang-binatang dapat bernyanyi gembira, bermusyawarah, melompat dan menari, sedih dan gembira seperti manusia.

Personifikasi dalam hubungan ini harus dibedakan dari personifikasi yang diciptakan sebagai sebuah bentuk narasi atau pengisahan, seperti halnya dengan dongeng-dongeng, legenda, dan sebagainya. Personifikasi sebagai alat dalam deskripsi adalah semata-mata merupakan alat untuk menggambarkan sebuah objek yang tak bernyawa atau binatang dengan sifat-sifat insani, supaya lebih hidup, lebih segar, dan dapat memberikan kesan atau interpretasi tertentu (Keraf, 1982: 127).


(49)

b. Simile

Persamaan atau simile adalah semacam bahasa kiasan yang biasanya mempergunakan kata-kata: umpama, seperti, dan sebagai. Dengan mempergunakan kata-kata tadi simile membuat suatu perbandingan langsung dengan objeknya. Dengan mengadakan perbandingan langsung tadi, seharusnya sugesti dan imaginasi yang terkandung dalam persamaan itu jauh lebih hidup dan konkrit. Dalam kenyataannyapersamaan itu biasanya kehilangan sifat sugestinya, karena waktu dan frekuensi pemakaian, serta ketidaksanggupannya untuk menampung sikap hidup yang baru, kecuali dalam konteks di mana untuk pertama kali ia gunakan. Persamaan berikut, walaupun bersifat deskriptif, sudah kehilangan daya sugestinya karena terlalu sering dipakai: hitam seperti arang, keras seperti baja, tinggi seperti langit, manis seperti gula, wajahnya seperti bulan purnama, dan sebagainya (Keraf, 1982: 126).

2.6Pengertian Latar

Secara harfiah, kata latar memang merupakan sebuah konsep yang tidak dapat kita jelaskan dengan mudah. Sehingga banyak ahli sastra yang memiliki pandangan berbeda mengenai konsep latar. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pengertian latar.

Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan dunia, dunia dalam kemungkinan sebuah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja hal ini kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat, dan waktu sebagaimana halnya kehidupan manusia di alam nyata (Nurgiantoro, 1994:


(50)

217). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas, tumpu, yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 1994: 216).

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realitis, dokumenter dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wellek dan Wern dalam Budianta, 2002: 86). Latar adalah tempat dan masa terjadi peristiwa, artinya sebuah cerita harus jelas di mana dan kapan berlangsungnya suatu kejadian (Sumardjo, 1984: 53).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai pengertian latar peneliti mengacu pada pendapat Nurgiantoro yang menyatakan bahwa latar sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

2.7Unsur-Unsur Latar

Latar merupakan landasan tumpu sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penutur atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita. Mengenai unsur latar cerita penulis mengutip pendapat dari Nurgiantoro (1994:227) yang membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat waktu dan sosial. Ketiga unsur ini meskipun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.


(51)

a. Latar Tempat

Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tertentu saja memiliki karakteristik sendiri yang membedakan dengan yang lain. Ketidaksesuaian deskripasi antara keadaan tempat secara realistis dengan yang terdapat di dalam karya fiksi novel, terutama jika pembaca mengenalinya, hal itu akan menyebabkan karya yang bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh ada dan terjadi, yaitu di tempat dan waktu yang diceritakan itu.

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, hari, minggu, tahun dan sebagainya. Tetapi ada juga pengarang yang tidak menentukan secara jelas tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, Tahun Baru, dan sebagainya yang akhirnya akan mengacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan bergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru identik dengan 1 Muharam.


(52)

c. Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup komplek. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir, dan sikap. Di samping itu latar sosial berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, dan atas.

Jika untuk mengangkat latar tempat ke dalam karya fiksi pengarang perlu menguasai medan, hal itu juga berlaku untuk latar sosial. Jadi, ini mencakup unsur tempat, waktu, dan sosial budaya sekaligus. Di antara ketiga unsur latar sosial memiliki peranan yang cukup menonjol. Hal ini karena deskripsi latar harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan.

Latar sosial dapat menggambarkan suasana kedaerahan dan warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Selain itu dapat diperkuat juga dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Selain penggunaan bahasa daerah, penamaan tokoh juga berhubungan dengan latar sosial. Nama-nama seperti Pariyem, Cokrosento, Sri Sumarah, dan Sestrakusuma identik dengan nama-nama Jawa. Sebaliknya nama-nama seperti Wayan, Made, Ktut, dan I Gede termasuk nama-nama untuk orang Bali yang tentunya belatar sosial Bali pula.


(53)

2.8 Fungsi Latar

Latar sebagai unsur intrinsik sastra selain sebagai bagian cerita yang tidak bisa dipisahkan juga memiliki fungsi yang lain, yakni sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita. Fungsi latar yang dimaksud adalah latar sebagai metafora dan latar sebagai atmosfer (Nurgiantoro, 1994: 241).

a. Latar Sebagai Metafora

Penggunaan istilah metafora merupakan suatu perbandingan yang berupa sifat keadaan dan suasana. Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengekspresikan berbagai keperluan, manusia banyak menggunakan metafora. Ekspresi yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk metafora daripada langsung.

Deskripsi latar yang melukiskan sifat, keadaan, dan suasana tertentu berfungsi metaforik terhadap suasana internal tokoh. Dalam sebuah karya fiksi kadang-kadang dapat dijumpai adanya detail-detail deskripsi latar yang berfungsi sebagai suatu proyeksi keadaan internal tokoh. Jadi deskripsi latar mencerminkan keadaan batin seorang tokoh.

Unsur latar pada karya tertentu biasanya banyak detail-detail deskripsi latar yang berfungsi metaforik. Deskripsi latar tersebut khususnya yang menyangkut hubungan alam tidak hanya mencerminkan suasana internal tokoh, tapi menujukan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Misalnya lokasi geografis suatu tempat yang terpencil sekaligus menunjukan sangat sederhananya hidup yang nyaris mendekati keprimitifan masyarakat penghuninya. Sebagai metaforik


(54)

lokasi yang terpencil dan terisolasi menyebabkan lokasi tersebut sulit dibangun dan disadarkan keterbelakangan, kenaifan, kebodohan, dan keterbelakangan.

b. Latar Sebagai Atmosfer

Fungsi latar selanjutnya adalah latar untuk menciptakan atmosfer. Atmosfer fiksi merupakan suatu hal yang lebih berhubungan dengan apa yang disarankan dari hal yang lebih berhubungan dengan apa yang disarankan dari sesuatu yang dinyatakan. Atmosfir sering dibatasi sebagai udara yang dihirup pembaca ketika memasuki dunia rekaan. Fungsi ini berupa deskripsi kondisi lataryang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana cerita, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya. Suasana yang tercipta itu tidak dideskripsikan secara langasung. Namun, pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingi diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi dan kepekaan emosionalnya (Nurgiantoro, 1994: 234).

Deskripsi latar yang berupa jalan beraspal yang licin, sibuk, penuh kendaraan yang lalu lalang, suara bising mesin, suara klakson, dan pengapnya udara bau bensin adalah mencerminkan suasana kehidupan perkotaan. Dalam latar yang seperti itulah cerita akan lebih hidup. Dengan membaca deskripsi latar yang menyaran pada suasana tertentu pembaca dapat menginterpretasikan suasana dan arah cerita yang akan ditemuinya.

Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar penyituasian. Tahap awal (perkenalan) cerita seperti dikemukakan diatas pada umumnya berupa latar penyituasian, meskipun hal itu juga bisa terdapat ditahap yang lain. Namun, perkembangan cerita menuntut adanya penyituasian yang berbeda adanya situasi


(55)

tertentu yang mampu membawa pembawa ke dalam cerita, akan menyebabkan pembaca terlibat secara emosional. Hal ini penting sebab dari sinilah pembaca secara emosional akan tertari, bersimpati, meresapi, dan menghayati secara intensif. Jadi atmosfir cerita adalah emosi dominan yang merasuki pembaca dan berfungsi mendukung elemen-elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang memersatukan. Atmosfir dapat ditimbulkan dengan deskripsi detil-detil, irama tindakan, tingkat kejelasan, kemasukakalan, berbagai peristiwa, kualitas dialog, dan bahasa yang digunakan (Nurgiantoro, 1994: 245).

Tabel 2.1 Indikator Deskripsi Latar

Indikator Deskriptor

Pendekatan dalam Deskripsi a. Pendekatan Realistis b. Pendekatan Impresionistis c. Pendekatan Menurut Sikap Penulis

Diksi dan Kiasan a. Diksi

b. Kiasan

a. Pendekatan realistis merupakan pendekatan secara realistis, penulis berusaha agar deskripsi yang dibuatnya terhadap obyek yang diamatinya itu, harus dapat dilukiskan seobyektif-obyektifnya, sesuai dengan keadaan yang nyata yang dapat dilihatnya.

b. Pendekatan Impresionistis merupakan pendekatan yang berusaha menggambarkan sesuatu secara subyektif. Apa yang dimaksud dengan subjektif sama sekali tidak berarti bawha pengarang itu membuat seenaknya terhadap detail-detail yang dicerapnya

c. Pendekatan menurut sikap penulis merupakan bagaimana sikap penulis terhadap obyek yang dideskripsikan itu. Penulis dapat mengambil salah satu sikap : masa bodoh, bersungguh-sungguh dan cermat, mengambil sikap seenaknya, atau mengambil sikap bersifat irasionis.

a. Diksi merupakan pemilihan dan penempatan kata ketika seorang sedang berbahasa.


(56)

Unsur-Unsur Latar a. Latar Tempat

b. Latar Waktu

c. Latar Sosial

Fungsi Latar

a. Latar Sebagai Metafora

b. Latar Sebagai Atmosfer

Bahasa figuratif yang paling umum adalah metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan yang terjadi karena pemindahan arti.

a. Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

b. Latar waktu merupakan latar yang berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

c. Latar sosial merupakan latar yang menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. a. Latar sebagai metafora merupakan fungsi

latar sebagai suatu perbandingan yang berupa sifat keadaan dan suasana. Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengekspresikan berbagai keperluan.

b. Fungsi latar sebagai atmosfer merupakan fungsi untuk menciptakan suatu hal yang lebih berhubungan dengan apa yang disarankan dari hal yang lebih berhubungan dengan apa yang disarankan dari sesuatu yang dinyatakan.

2.9Pembelajaran Sastra di SMA

Pembelajaran sastra adalah suatu pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia dan merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Salah satu tujuan tersebut yakni membentuk manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas.

Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan pendekatan berbasis teks. Teks yang dimaksud yaitu teks sastra dan teks nonsastra. Teks sastra terdiri atas teks naratif dan teks nonnaratif. Contoh teks


(57)

naratif yakni cerita pendek dan prosa, sedangkan contoh teks nonnaratif seperti puisi.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 mengisyaratkan suatu pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran secara lebih intens, kreatif, dan mandiri. Peserta didik dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran. Dalam pendekatan ini, keberhasilan akan tampak apabila peserta didik mampu melakukan langkah-langkah saintifik. Langkah-langkah tersebut meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Langkah-langkah tersebut merupakan satu kesatuan dan saling berkaitan.

Melalui pendekatan saintifik, guru dapat membangkitkan keingintahuan peserta didik akan sebuah karya sastra. Karya sastra dihidupkan dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran akan menjadi menarik, menantang, serta memotivasi peserta didik untuk terus menggali yang ada dalam suatu karya sastra.

Adapun salah satu tujuan pembelajaran sastra adalah menuntut peserta didik untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam suatu karya sastra yang diajarkan. Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang diajarkan dalam suatu pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, suatu pembelajaran dapat ditunjang dengan penggunaan media dan bahan ajar yang layak. Salah satu media dan bahan ajar yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra adalah novel.


(1)

3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dalam menganalisis deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata adalah sebagai berikut.

1. Membaca novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata secara keseluruhan dan cermat.

2. Merumuskan masalah yang diteliti.

3. Mencari teori yang sesuai dan mendukung tujuan penelitian.

4. Menganalisis deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dengan teknik analisis teks.

5. Memerikan deskripsi latar novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

6. Menganalisis fungsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dengan teknik analisis data.

7. Menentukan layak atau tidaknya pemerian deskripsi latar dan fungsinya dalam novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata sebagai bahan ajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) terkait dengan kurikulum 2013 dan implikasinya pada pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). 8. Menarik simpulan dari analisis yang telah dilakukan.

9. Memberikan saran.

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis teks, yaitu dengan cara membaca novel yang akan diteliti secara cermat. Teknik analisis teks ini berfungsi untuk memerikan dan mengidentifikasi


(2)

deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata yaitu berupa penggalan-penggalan novel yang mengacu pada deskripsi latar.

Dalam mengumpulkan dan menganalisis data peneliti melakukan tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Membaca dengan teliti keseluruhan novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata.

2. Mengidentifikasi data deskripsi latar.

3. Memberi kode pada penggalan-penggalan novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata yang mengandung data deskripsi latar.

4. Mengumpulkan data yang terdapat dalam novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata sesuai dengan teori deskripsi.

5. Menganalisis penggalan-penggalan novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata yang mengandung data deskripsi latar.

6. Mengklasifikasikan dan memerikan deskripsi latar yang telah ditemukan yaitu berdasarkan pendekatan dalam deskripsi, unsur-unsur latar, diksi dan kiasan serta fungsinya sebagai metafora dan atmosfer.

7. Menyajikan hasil analisis dari deskripsi latar yang telah ditemukan dalam novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa simpulan dan saran bagi pembaca. Berikut adalah simpulan dari penelitian ini dan juga saran bagi pembaca.

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata, peneliti menyimpulkan sebagai berikut.

1. Deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata menggunakan tiga pendekatan, kemudian agar deskripsi latar tersebut terasa lebih hidup dan nyata digunakan pula diksi dan bahasa kiasan, serta menggunakan tiga unsur latar. Berikut penjelasannya.

i. Pada novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata digunakan tiga pendekatan dalam mendeskripsikan latar. Ketiga pendekatan tersebut, yaitu (1) pendekatan realistis, (2) pendekatan impresionistis, dan (3) pendekatan menurut sikap penulis.

ii. Diksi yang digunakan pada pendekatan realistis yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata berupa (1) pemahaman denotasi dan konotasi, (2) penggunaan kata abstrak dan kata konkret, (3) penggunaan kata umum dan khusus, (4) penggunaan kata-kata kajian dan popular, (5)


(4)

penggunaan kata yang mengalami perubahan makna, (6) penggunaan kata serapan dari bahasa asing dan daerah. Bahasa kiasan yang digunakan pada pendekatan realistis yang terdapat dalam novel ini, yaitu penggunaan personifikasi.

Diksi yang digunakan pada pendekatan impresionistis yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata berupa (1) pemahaman denotasi dan konotasi, (2) penggunaan kata abstrak dan kata konkret, (3) penggunaan kata umum dan khusus, (4) penggunaan kata-kata kajian dan popular, (5) penggunaan kata yang mengalami perubahan makna, (6) penggunaan kata serapan dari bahasa asing dan daerah. Bahasa kiasan yang digunakan pada pendekatan impresionistis yang terdapat dalam novel ini, yaitu (1) penggunaan personifikasi dan (2) penggunaan simile.

Diksi yang digunakan pada pendekatan menurut sikap penulis yang terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata berupa (1) penggunaan kata abstrak dan kata konkret, (2) penggunaan kata umum dan khusus, (3) penggunaan kata yang mengalami perubahan makna, (4) penggunaan kata serapan dari bahasa asing dan daerah. Bahasa kiasan yang digunakan pada pendekatan menurut sikap penulis yang terdapat dalam novel ini, yaitu (1) penggunaan personifikasi dan (2) penggunaan simile. iii.Unsur-unsur latar yang digunakan dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya

Andrea Hirata meliputi tiga unsur latar, yaitu (1) latar tempat, (2) latar waktu, dan (3) latar sosial.

2. Fungsi latar sebagai metafora dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata menggambarkan tentang sifat, keadaan, dan suasana batin tokoh.


(5)

Suasana yang digambarkan yaitu, suasana batin tokoh saat sedang kesal, jengkel, ceria, gembira, tenang, bosan, rindu, panik, dan kecewa. Fungsi latar sebagai atmosfer dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata mampu menciptakan suasana menegangkan, ceria, sedih, muram, dan mencekam.

3. Novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata dapat diimplikasikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMA dilihat dari bahan ajar dan rancangan skenario pembelajaran memahami dan mengidentifikasikan deskripsi latar dalam novel Cinta di Dalam Gelas. Kelayakan tersebut didasarkan pada tiga kriteria pemilihan bahan ajar, yaitu (1) aspek kebahasaan, (2) aspek psikologi, dan (3) aspek latar belakang kebudayaan.

5.2Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata, peneliti menyarankan sebagai berikut.

1. Guru bidang studi mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat menggunakan kutipan novel Cinta di Dalam Gelas sebagai contoh dalam pembelajaran sastra yang berkenaan dengan unsur intrinsik khususnya deskripsi latar. Hal ini disebabkan novel Cinta di Dalam Gelas layak dijadikan salah satu alternatif bahan ajar berdasarkan kriteria pemilihan bahan ajar sastra.


(6)

Dokumen yang terkait

TOKOH MELAYU DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

3 41 81

PERSPEKTIF GENDERANDREA HIRATA : TINJAUAN Perspektif Gender Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 12

PENDAHULUAN Perspektif Gender Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 3 12

PERSPEKTIF GENDER DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: TINJAUAN SASTRA FEMINIS DAN IMPLEMENTASINYA SEBAGAI BAHAN Perspektif Gender Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai

8 27 17

BAHASA FIGURATIF NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: KAJIAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM Bahasa Figuratif Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 6 15

TINJAUAN PUSTAKA Bahasa Figuratif Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMP.

0 5 29

BAHASA FIGURATIF NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: KAJIAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI Bahasa Figuratif Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran

3 24 27

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 11

PENDAHULUAN Aspek Budaya Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 2 31

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 2 19