Pemulangan dan Reintegrasi Sosial

24 Data Petugas UPPA 305 115 982 Unit PPA Perwira Bintara

5. Pemulangan dan Reintegrasi Sosial

Kendala terbesar dalam proses pemulangan adalah terbatasnya biaya yang tersedia dan masih belum terkoordinasi secara terpadu, yaitu biaya masih tersebar di beberapa instansi. Untuk dapat melakukan pemulangan, dibutuhkan proses panjang untuk menentukan instansi mana yang harus membiayai proses pemulangan tersebut. Selain itu, status keimigrasian dan penyelesaian masalah hukum di luar negeri juga berpengaruh pada cepat lambatnya proses pemulangan. Permasalahan lain adalah belum berjalannya kerjasama antar pemerintah daerah dalam pemulangan perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini menyebabkan banyak perempuan dan anak korban kekerasan dari luar negeri terlunta-lunta di daerah perbatasan transit, mereka tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena ketiadaan dana dan dokumen resmi. Pada tahun 2009 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memfasilitasi proses kerja sama bagi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, melalui kerja sama antar provinsi, yang melibatkan 10 provinsi. Permasalahan pemulangan korban kekerasan dari daerah debarkasi dan dari daerah penerima ke daerah asal sangat kompleks, mulai dari penyiapan keluarga sampai dengan penyiapan korban, sehingga membutuhkan biaya yang besar. Selanjutnya, pelayanan reintegrasi sosial juga sangat penting untuk dilakukan, karena melalui layanan inilah strategi pencegahan terjadinya pengulangan tindak kekerasan disusun baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Korban perlu diberdayakan supaya memahami apa yang telah terjadi pada dirinya dan bagaimana dapat mengakses pemenuhan hak-haknya sebagai korban. Sementara itu, keluarga korban 25 dan masyarakat sekitar perlu dilibatkan untuk mendorong keberlanjutan dari proses reintegrasi sosial ini. Hal lain yang turut menentukan keberhasilan dari pemulangan dan reintegrasi sosial ini adalah adanya program kemandirian usaha bagi korban. Dengan memiliki usaha sendiri, kerentanan korban untuk menjadi sasaran tindak kekerasan akan menjadi tertutup. Khusus untuk anak sebagai korban, belum tersedia catatan khusus dan monitoring apakah ketika reintegrasi ke dalam keluarga atau masyarakat, anak tersebut kembali mendapatkan pendidikan baik formal atau informal, misalnya dalam bentuk pelatihan keterampilan. Hal ini perlu ada penegasan karena korban berhak dilindungi dan kembali memperoleh akses ke pendidikan. Pelayanan yang diberikan oleh unit-unit pelayanan yang ada hingga saat ini untuk lima jenis layanan tersebut di atas, masih belum terkoordinasi dengan baik dan belum berjejaring secara terpadu.

6. Pencatatan dan Pelaporan