Pornografi dan pornoaksi bahaya laten bagi pendidikan anak dan remaja

PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI BAHAYA LATEN
BAGI PENDIDIKAN ANAK DAN REMAJA1

PENDAHULUAN
Pergaulan bebas di kalangan remaja saat ini adalah buah dari globalisasi dan maraknya
pornografi dan pornoaksi di berbagai media. Selain televisi, banyak konten-konten pornografi
yang dapat diakses anak-anak usia dini dan remaja baik melalui majalah, media online (internet)
hingga cakram padat (video) dan ponsel. Meningkatnya teknologi informasi dan telekomunikasi,
membuat pornografi merajalela di dunia maya. Kondisi ini telah melahirkan budaya prilaku seks
bebas, pelanggaran seksual dan penyimpangan seksual yang tidak lagi mengindahkan normanorma agama. Perilaku seks bebas ini menunjukkan rusaknya moral remaja yang berimbas pada
aborsi dan pelacuran. Bahkan penyakit menular pun tak terhindarkan sebagai akibat dari
pergaulan bebas.
Upaya melawan dampak buruk globalisasi yang salah satunya adalah penyebaran
pornografi, memerlukan kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah, Ormas Islam, seperti MUI,
NU, Muhammadiyah, cendekiawan maupun sekolah, orang tua dan rakyat sipil. Semua kalangan,
harus bersatu memikul tanggung jawab dalam mengatasi masalah semacam ini. Karena
persoalan pornografi, tidak cukup hanya dilawan dengan dakwah, ceramah, dan tabligh saja.
Usaha pemerintah meredam maraknya pornografi dan pornoaksi dilakukan dengan
menerapkan undang-undang (UU) Nomor 44/2008 tentang Pornografi dan pornoaksi yang
sudah disahkan DPR, namun belum optimal diimplementasikan. Karena Pemerintah belum
membuat peraturan pemerintah (PP) untuk memperkuat keberadaan UU anti pornografi dan

pornoaksi. PP itu penting sebagai tindakan preventif melindungi masyarakat dari bahaya
pornografi dan pornoaksi.
Ormas Islam dan MUI harus memiliki sikap yang sama dan membuat pernyataan
bersama agar pemerintah bisa bersikap tegas terhadap pornografi. Hal ini merupakan langkah
penting sebagai wujud kepedulian dan perlindungan terhadap masyarakat dari kehancuran moral.
Jika masih juga belum ada ketegasan dari pemerintah dalam menangani pornografi yang
mengakibatkan kerusakan moral, Ormas, MUI dan masyarakat harus aktif menolak semua hal
yang berbau pornografi. Bahkan unjuk rasa dan seruan moral lainnya menjadi sejumlah pilihan.
Tulisan singkat ini akan memaparkan secara ringkas dampak pornografi dan pornoaksi
terhadap pergaulan remaja yang mengarah kepada pergaulan bebas, sikap permisif dan seksual
disoriented. Penulis juga memaparkan pandangan agama dalam hal pergaulan dan hubungan seks
yang illegal atau seksual disoriented. Peran pemerintah dan MUI dan Ormas dalam
menanggulangi pornografi dan dampaknya juga disinggung secara singkat.
Pengaruh Pornografi Dan Pornoaksi Terhadap Anak Dan Remaja
Saat ini, anak-anak usia dini dan remaja banyak terpapar konten-konten pornografi dan
pornoaksi. Pornografi dan pornoaksi menggempur anak-anak lewat berbagai medium. Belasan
televisi swasta menyuguhkan berbagai acara yang menjurus ke arah pornografi dan pornoaksi
bahkan ada acara dangdut erotis yang penonton di barisan depannya adalah anak-anak.
Televisi-televisi itu seakan sedang bersaing menghancurkan moral bangsa dengan
menyuguhkan tayangan yang jauh dari nilai-nilai pendidikan moral. Mereka seakan berlombalomba untuk menghancurkan moral anak bagsanya sendiri. Komunikasi penyiaran Indonesia

1

Dr Faizah Ali Syibromalisi MA. Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan Dan Anak MUI DKI Jakarta.

(KPI) nampaknya belum mampu mengontrol media massa di Indonesia, terutama
televisi.akibatnya anak-anak dengan mudahnya mengakses dan mengonsumsi berbagai tayangan
yang kental berisi pornoaksi dan pornografi.
Selain televisi, banyak konten-konten pornografi yang dapat diakses anak-anak usia dini
dan remaja baik melalui media online (internet) hingga cakram padat (video). Di internet, situssitus porno masih berkeliaran meski Kementrian Kominfo sudah menyensor penyedia internet.
Pornografi juga marak lewat telepon genggam yang sekarang sudah jadi barang lazim dipegang
anak SD dan sekolah menengah.
Buku pelajaran pun tidak kebal pornografi. Banyak temuan materi buku pelajaran sekolah
dasar yang menyenggol pornografi. Ada soal buku-buku di perpustakaan yang berbau
pornografi, kemudian ada lembaran kerja sekolah yang memasukkan foto artis porno tenar.
hingga materi yang menjurus ke pornoaksi. Singkat kata, pornografi itu ada dimana-mana. Sudah
barang tentu situasi demikian ini sangat mengkhawatirkan orang tua dan para pendidik.
Dengan demikian pornografi bisa dikatakan sebagai bahaya laten. Siswa sekolah dasar
pada awalnya memang belum mengerti konten pornografi dalam LKS, buku pelajaran, atau buku
cerita di perpustakaan itu. Tapi ironisnya, buku-buku sejenis ini pada akhirnya menjadi pintu
pembuka bagi mereka menuju ke dunia pornografi.

Oleh sebab itu pornografi harus diberlakukan sebagai situasi darurat bagi pendidikan di
Indonesia. Karena bila orang tua dan masyarakat bersikap acuh tak acuh dan permisif, kebiasaan
mengonsumsi barang-barang berbau mesum akan mengubah perilaku siswa bersangkutan. Dari
satu siswa, pornografi dengan cepat menyebar ke siswa lainnya. Kemudian satu generasi muda
yang sudah bersikap permisif dalam soal pornografi, dengan mudahnya mereka akan menjadi
remaja yang menganut aliran seks bebas. Setelah mengenal seks bebas, tidak mustahil mereka
akan bersinggungan dengan praktik aborsi, pelacuran atau menikah terpaksa karena hamil diluar
nikah. Hasil survey Badan Pusat Statistik 2012, menunjukan angka kehamilan remaja pada usia
15-19 tahun mencapai angka 48 dari 1.000 kehamilan.
Ada dampak lain dari hubungan seks di luar nikah yang dilakukan secara tidak aman,
yakni menyebabkan infeksi atau penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Dari data
Kemenkes tahun 2013, terdapat ODHA remaja berusia 15-19 tahun berjumlah 147 orang, terdiri
dari 79 orang HIV dan 68 orang dengan AIDS. Tanpa kita sadari, tapi bisa dibayangkan, sekitar
sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, muatan pornografi di buku sekolah dasar itu sudah jadi
pemicu utama dari penyakit social yang menghancurkan moral bangsa.
Pornografi Dan Pedofilia
Pemberitaan mengenai kasus pedofilia2 yang terungkap secara serentak, seperti di
sekolah mahal JIS dan pelaku sodomi Emon di sukabumi, sungguh mengejutkan dan menambah
miris keadaan generasi bangsa ke depannya. Seolah-olah tidak ada satu pun tempat yang aman
lagi bagi anak kita dari tindak kejahatan. Bahkan, di lembaga pendidikan sekalipun.

Kasus pedofilia yang dikatakan sebagai kasus kejahatan luar biasa ini harus dilihat dari
berbagai sisi, karena permasalahan ini muncul sebagai suatu akibat. Artinya, memang ada sebab2

Dalam kamus Bahasa Indonesia ada empat pengertian yang terkait homoseks yaitu: Homoseks adalah
hubungan seks dengan pasangan sejenis, homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin
yang sama. homoseksualisme adalah paham homoseksual, dan homoseksualitas adalah kecenderungan untuk tertarik
kepada orang lain yang sejenis. ( Anton Mulyono, 2007). Istilah lain yang digunakan untuk mengartikan perilaku
homoseks adalah sodomi,yang dalam istilah kedokteran berarti hubungan seks melalui anus, yakni hubungan seks
yang sering dihubungkan dengan orang-orang yang homoseks, gay dan waria. Sedangkan pedofilia adalah perilaku
sodomi dimana korbannya adalah anak yang masih kecil.

sebab yang memicu terjadinya perilaku bejat ini. Sehingga permasalahan ini tidak akan bisa
dituntaskan, jika faktor penyebab atau sumber masalahnya belum terselesaikan.
Sebab-sebab pedofilia bisa dilihat dari sisi pemicunya dan juga pelakunya. Jika berbicara
mengenai sisi pemicunya maka kita akan berbicara mengenai lingkungan. Lingkungan senantiasa
dipengaruhi oleh aturan yang ada serta pemahaman-pemahaman dan adat istiadat yang
melingkupinya. Jika kita perhatikan dengan seksama, perilaku pedofilia muncul karena dua
faktor. Pertama karena adanya budaya permisif dilingkungan masyarakat yang mengatas
namakan hak asasi manusia, bahwasanya setiap orang berhak untuk memenuhi hasrat seksualnya
dengan cara apapun yang memuaskan dirinya sendiri, karena hak tersebut termasuk hak asasi.

Faktor kedua tersebarnya konten-konten pornografi baik di media cetak, televisi, internet dan
ponsel, sehingga bisa di akses dengan mudahnya oleh siapapun. Media cetak terus-menerus
menyebarkan gambar-gambar porno yang memicu munculnya hasrat seksual. Sinetron maupun
film menayangkan gambaran pergaulan yang serba bebas tanpa mengindahkan batasan norma
dan agama. Sehingga, saat hasrat seksual tersebut muncul, maka pemenuhannya bisa dengan
cara apa pun dan medianya bisa dengan siapa pun. Dengan cara homo, lesbi, sodomi maupun
pedofilia. Karena dalam kondisi sudah seperti ini maka orang tidak lagi berpikir mengenai
norma, nilai, atau aturan yang mengikatnya.
Jika dilihat dari sisi pelaku, pemenuhan hasrat seksual yang menyimpang ini tidak lahir
sebagai suatu kelainan yang tidak bisa disembuhkan atau faktor bawaan. Namun, terjadi sebagai
perilaku pengulangan. Artinya, pelaku tersebut tadinya normal, namun pernah menjadi korban.
Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa para korban saat ini, di masa depan jika menghadapi
rangsangan yang sama, akan berubah menjadi pelaku. Hal ini tentunya meninggalkan
kekhawatiran tersendiri. Perlu adanya pendampingan untuk melakukan recovery terhadap anakanak yang menjadi korban agar kelak tidak berubah menjadi „monster pedofilia‟
Ajaran agama sebagai Tindakan Preventiv melawan pornografi
Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk, dan mendesain
penciptaan manusia sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Dalam rangka
menjaga kesinambungan eksistensi manusia dimuka bumi ini maka manusia diberikan hasrat
seksual yang merupakan fitrah bagi setiap manusia. Hubungan seks antar manusia berlainan jenis
adalah fitrah dan Sunnatullah, apabila dilakukan di atas koridor-koridor akhlak dan etika yang

baik yaitu hubungan seks dalam payung pernikahan yang suci.
Pergaulan bebas yang menyebabkan hubungan seks diluar koridor perkawinan dianggap
zinah dan itu adalah perbuatan yang sangat buruk (fashisyah) dan pelakunya berdosa besar.
Karena agama telah melarang mendekatinya apalagi melakukannya, terlebih lagi melakukan
penyimpangan seksual seperti homo, lesbi dan sodomi.
Menurut pakar Andrologi dan seksologi, Wimpie Pangkahila, seseorang berpotensi menjadi
homoseks karena beberapa faktor, diantaranya gangguan psikoseksual pada masa kanak-kanak,
faktor biologis (kelainan otak dan genetik), faktor sosio kultural dan faktor lingkungan.3
Keberadaan faktor-faktor di atas yang membuat seseorang bisa melakukan penyimpangan seks,
tidak serta merta membenarkan perbuatan homoseksual itu sendiri, atau mengatakan bahwa
menjadi gay atau lesbi adalah kodrat atau takdir, atau melegalkannya atas nama hak asasi
3

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan homoseks terbentuk karena faktor
biologis masih merupakan pendapat yang kontroversi. Psikolog Dadang Hawari bahkan mengatakan bahwa faktor
utama penyebab homoseksualitas adalah lingkungan.

manusia. Karena manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya. Dengan akalnya seharusnya manusia dapat mengendalikan dorongan-dorongan
hasratnya, mengatasi tuntutan-tuntutan biologisnya sesuai dengan tuntunan agamanya, bukan

dengan perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt. Allah telah menurunkan
kitab suci dan mengutus Rasul yang telah menjelaskan hukum-hukumnya secara jelas, tentang
perbuatan baik dan buruk tentang pahala dan dosa yang akan diperhitungkan dan dimintakan
pertanggung jawabannya kelak di akhirat.
Melakukan perzinahan dan tindakan seksual yang menyimpang, lahir dari gejolak dan
dorongan yang bersifat instingtif atau gharizah. Gejolak ini timbul karena ada rangsangan. Untuk
itu cara mencegah aktivitas seksual menyimpang tersebut adalah dengan menjauhi dan
menghilangkan semua hal yang memiliki rangsanga-rangsangan terkait dengannya. Yaitu
dengan mencegah, melarang dan menghentikan pornografi dan pornoaksi baik di media cetak,
TV maupun dunia maya.
Apalagi terkait dengan film-film yang memamerkan dan
mempromosikan penyimpangan seksual. Hal ini sesuai perintah Allah swt. yang melarang
penyebaran al-fahisyah dikalangan orang mukmin, Allah berfirman:
Yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui. (QS. An-Nur [24] 19)
Antisipasi terhadap seks bebas dan penyimpangan seksual juga telah disabdakan
Rasulullah. Ia bersabda:” Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, jangan pula
perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan seorang laki-laki
dalam satu selimut, begitu juga perempuan jangan tidur dengan perempuan lainnya dalam satu

selimut”. (HR Muslim). Karena Laki-laki yang melihat aurat laki-laki atau perempuan melihat
aurat sesama perempuan bisa terangsang. Ini adalah bibit dari penyimpangan seksual, apalagi
kalau tidur dalam satu selimut. Islam sangat menjaga hal ini terbukti dengan perintah
memisahkan kamar tidur anak baik dengan orang tua maupun dengan saudara kandungnya yang
perempuan sejak anak berumur tujuh tahun atau sebelum mencapai usia baligh. Islam juga
melarang penampilan laki-laki yang meniru perempuan dan perempuan yang berpenampilan
meniru laki-laki (HR. Bukhari). Rasulullah juga menganjurkan berpuasa bagi orangyang
menghadapi rangsangan seksual tapi belum mampu berumah tangga.
Dalam al-Qur‟an Allah SWT berfirman;“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendakalah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS Annur [24]:
30).
Cara lain menghindari pornografi dan pornoaksi adalah dengan menanamkan budaya
malu pada anak. Budaya malu sebagai bagian dari keimanan harus terus di hidupkan dan dijaga.
Setiap orang harus mempunyai rasa malu. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan)
guna menghindarkan diri dari kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa
malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu
sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari
dirinya. Ibarat kendaraan, remnya sudah blong atau tidak dapat berfungsi lagi. "Jika engkau tidak
tahu malu lagi, perbuatlah apa saja yang engkau kehendaki." (HR Bukhari dan Muslim).

Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah hilang dari dalam diri seseorang, segala
perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji,
seperti, menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabukmabukan, melakukan tindakan seksual menyimpang dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai

oleh nafsu. Hilangnya rasa malu pada diri seseorang merupakan awal datangnya bencana pada
dirinya.
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian malu kepada Allah
dengan malu yang sebenar-benarnya. Para sahabat berkata, kami malu kepada Allah,
alhamdulillah. Rasul bersabda, bukanlah malu kepada Allah seperti itu, namun malu kepada
Allah dengan mempergunakan mata pada tempatnya, juga perut, banyak merenungi musibah dan
mati. Dan, barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat hendaklah meninggalkan
kemegahan dunia. Barang siapa yang telah melakukan hal tersebut, ia telah malu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya malu.” (HR Tirmidzi).
Peran Pemerintah Dan MUI Menyetop Pornografi
Membayangkan dampak pornografi dan pornoaksi sebagaimana tersebut diatas
seharusnya membuat kita prihatin dengan kondisi generasi muda Indonesia. Karena tanpa dijejali
pornoaksi dan pornografi pun generasi muda Indonesia, sudah sangat sakit akibat kemajuan
teknologi dan globalisasi yang tak selamanya memberi implikasi positif, tapi juga merusak etika
kehidupan berbangsa dan nilai-nilai budaya, khususnya generasi muda.
Namun kesadaran untuk pemerintah maupun masyarakat untuk memerangi pornografi di

Indonesia bisa dinilai masih sangat rendah. Padahal pornoaksi dan pornografi sudah merupakan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pornografi dan pornoaksi dengan alasan kebebasan tidak
bisa ditolerir, karena sudah dibatasi oleh UU antipornografi. Pornografi atau pornoaksi juga
dianggap melanggar hak asasi anak.
Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan YME, generasi muda dan masyarakat
memiliki hak dilindungi negara dari kondisi tersebut. Pemerintah mempunyai wewenang penuh
melakukan pelarangan dan pemboikotan apapun yang berbau pornografi. Dalam Tap MPR No
VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa ditegaskan, tanggung jawab negara adalah
menjaga dan memelihara etika kehidupan berbangsa sesuai keyakinan masyarakat, budaya dan
adat-istiadat, sehingga terwujud kehidupan yang selaras dan seimbang.
Meskipun Undang-Undang (UU) Nomor 44/2008 tentang Pornografi dan pornoaksi
sudah disahkan DPR, namun belum optimal di implementasikan. Salah satu penyebabnya,
adalah tidak adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mendukungnya . Padahal, PP ini merupakan
bentuk keseriusan pemerintah dalam memberantas pornografi. PP bertujuan memberikan aturan
pelaksana UU Pornografi. Peraturan ini harusnya di garap oleh tiga kementerian, yakni
Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (Kemen PP dan PA), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Tapi,
hingga kini kita belum mendengar kelanjutannya. Kemkominfo memang sudah berupaya
maksimal menutup situs-situs porno, tapi belum semua ter-cover karena situs porno terlalu
banyak.

Pemerintah daerah (Pemda), terutama gubernur dan jajarannya, seharusnya membuat
peraturan daerah (perda) yang bisa menerjemahkan UU secara lebih detail. UU Pornografi ini,
bertujuan memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat. UU ini
juga menjadi landasan hukum untuk melindungi warga negara dari pornografi, terutama bagi
anak dan perempuan serta mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di
masyarakat. Negara dan Pemda memiliki wewenang untuk memblokir media atau situs-situs
yang bisa memicu timbulnya syahwat. Tayangan yang mengarah pada pornoaksi dan pornografi
sepatutnya dilarang ataupun diblokir.

Dari sisi kuratif, negara memiliki andil utama memberlakukan sistem sanksi yang
seberat-beratnya terhadap pelanggaran undang-undang pornografi dan para penjahat seksual..
Dengan adanya pemberlakuan hukuman yang betul-betul tegas dan keras akan menimbulkan
efek jera terhadap para pelaku atau calon pelaku. Dengan demikian, peran negara dalam
memberlakukan sistem serta hukuman yang tegas menjadi solusi tuntas terhadap kasus darurat
pedofilia di negeri ini.
Upaya melawan penyebaran pornografi, memerlukan kerjasama berbagai pihak, bukan
hanya tugas pemerintah. Tapi juga tanggung jawab Ormas, Ulama, maupun sekolah, orang tua
dan rakyat sipil. Semua kalangan harus bersatu dan jangan saling melempar tanggung jawab
dalam mengatasi masalah semacam ini. Selain itu,orang tua, sekolah, Ormas dan masyarakat
pada umumnya harus membangun kontrol yang kuat terhadap budaya yang merusak.
Peran orang tua sangat penting dalam membimbing dan memantau pergaulan anak remajanya.
orang tua tidak bisa melepaskan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Terlebih saat ini
porsi pendidikan agama sangat sedikit di sekolah
Selanjutnya, fungsi Organisasi masyarakat seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), NU,
Muhamadiyah, Persis dan ormas lainnya akan menjadi penguat dan pengontrol terhadap
pengaturan negara, baik solusi secara preventif maupun kuratif. Jika pemerintah tidak bisa
bersikap tegas terhadap pornografi, MUI dan Ormas Islam harus memiliki sikap yang sama dan
membuat pernyataan bersama dan mendorong pemerintah bisa bersikap tegas terhadap
pornografi. Hal ini merupakan langkah penting sebagai wujud kepedulian dan perlindungan MUI
terhadap masyarakat dari kehancuran moral anak bangsa.
Kesimpulan
Menyimak paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa masalah pornografi dan pornoaksi dan
penyebarannya yang begitu intens dan vulgar adalah bahaya laten yang menimbulkan penyakit
sosial di masyarakat. Jangan sampai sikap Pemerintah yang masih gamang dan tidak tegas
menimbulkan kemudharatan bagi bangsanya sendiri. Negara harus bertanggung jawab dan
melindungi moral bangsa. Kesadaran Masyarakat baik itu Ormas seperti MUI, orang tua dan
guru sangat diperlukan dalam mengawal danmelaksanakan semua peraturan yang dikeluarkan
pemerintah, bahkan sikap tegas MUI sangat dibutuhkan dalam upaya mendorong pemerintah
mengimplementasikan peraturan anti pornografi. Hal ini merupakan langkah penting sebagai
wujud kepedulian dan perlindungan MUI terhadap masyarakat dari kehancuran moral.
.