The efiectiveness of suplementation of various type and concentrations of sera and cocultures Fallopian tube epithelia1 and cumulus cells in TCM-199 on in vitro hovine embryo priduction.

YENDAHULUAN

Penelitian dan pengembangan dalam bidang bioteknologi reproduksi yang
bertujuan untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak kini menjadi
salah satu prioritas utama dalam pembangunan petemakan di lndonesia. Untuk
mengembangkan bioteknologi reproduksi di lndonesia perlu dhkukan penelitianpenelitian dalam rangka penguasaan atau alih teknologi dari peneliti-peneliti di
negara maju sehingga hasil penelitian yang dikembangkan di lndonesia diharapkan dapat didayagunakan untuk meningkatkan populasi clan memperbaiki mutu

genetik ternak, khususnya sapi di lndonesia yang pada tahun 1996 populasinya
tercatat 11,930,000 ekor sapi potong dan 343,000 ekor sapi perah (Wiryosuhanto,
1997).
Setelah bioteknologi inseminasi buatan dan transfer embrio berkembang
dengan baik di lndonesia (khususnya pada sapi), pengembangan bioteknologi
reproduksi pada ternak dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini telah mernasuki
era baru yaitu memasuki era pengembangan teknologi fertilisasi in vino (FlV).
'I'eknologi FIV berpotensi untuk meningkatkan daya reproduksi sapi betina, baik
semasa maupun setelah habis masa produksinya (diafkir). Oosit yang diambil
dari ovarium sapi yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) &pat dimanfaatkan untuk menghasilkan embrio pada berbagai taraf perkembangan melalui taknik

tersebut. Yroduksi embrio sapi in vitro dalam jumlah besar dengan biaya yang
relatif murah mempakan landasan utama bagi pengembangan bioteknologi mutakhir dalam bidang reproduksi ternak sapi. Hal ini juga mendorong pengaplikasian teknologi transfer embrio (TE) secara ekstensif pa& perusahaan-perusahaan


petemakan maju/komersial. Melalui teknik FlV dapat dikembangkan berbagai

teknik mikrornanipulasi pada embrio seperti teknik cloninglsplitting untuk
memproduksi anak-anak sapi kembar identik dan teknik rekayasa genetik, seperti
teknik transfer gen untuk memproduksi sapi transgeniktkhimera serta pengembangan penelitian-penelitian dasar dan terapan lainnya.

Keberhasilan dalam

pembuatan domba klon Dolly dan domba transgenik Polly di lnggris, yang
menggemparkan dunia baru-baru ini, tidak terlepas dari pengaplikasian teknologi
tertiliasi in vitro.
Menurut Gordon (1W4) ada tiga potensi pengaplikasian teknologi FlV
secara bersamaan dengan teknologi 'I'E pada sapi. Pertama, embrio sapi pedaging
bangsa Charolais, Limousin dan Simmental yang dihasilkan melalui teknologi
FIV dapat ditransfer pa& induk sapi resipien untuk menghasilkan seekor anak
sapi pedaging berkualitas tinggi. Yada induk sapi resipien dengan potensi produksi susu yang tinggi (termasuk sapi perah yang mempunyai produksi susu
rendah) dengan kondisi pakan dan manajemen yang layak, embrio sapi bangsa
HerGord dan Angus yang dihasilkan melalui teknologi FIV &pat digunakan
untuk meningkatkan frekuensi kelahiran kembar. Kelahiran kembar dua pada

sapi dapat meningkatkan efisiensi biologis dan ekonomi produksi sapi pedaging
20-25 % (Patterson et al., 1993). Kedua, teknologi F l V memungkmkan pemanfa-

atan ovaria sapi (perah) bermutu genetik tinggi setelah habis masa produksinya
dan dipotong di RPH untuk menghasilkan embrio, sehingga silsilah @e&gree)
dari beberipa anak sapi yang berasal dari sejumlah embrio tersebut masih dapat
dipertahankan. Ketiga, teknologi FIV berpotensi untuk mengembangkan teknikteknik mikromanipulasi dan rekayasa genetik pa& embrio. Teknologi FlV juga
berpotensi untuk mengembangkan penelitian-penelitian dasar dan terapan seperti
penelitian untuk menyempurnakan metode FIV sendiri, penelitian hampir pada

semua aspek pembekuan oosittembrio, studi tentang pertumbuhan dan perkembangan embrio, pengujian efektivitas embryonic stem cells (ESC) dan pengembangan prosedur injeksi gen dan lain-lain. Penerapan teknologi produksi embrio
in vitro di laboratorium bersamaan dengan teknologi TE telah memberikan

manfaat yang besar &lam meningkatkan pengetahuan di bidang biologi perkembangan dan biologi molekular.
Perkembangan teknologi FIV dalam kurun waktu Lima tahun terakhir ini,
khususnya di Indonesia, masih berskala percobaan di laboratorium.

Kendala

utama dalam pengembangan teknologi FIV adalah belum sempurnanya kondisi

medium yang digunakan untuk pematangan oosit dan kultur embrio in vitro,
sehingga produksi embrio melalui teknik tersebut masih rendah dan bervariasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi kendala tersebut dilakukan pengujian efektivitas
penambahan berbagai jenis dan konsentrasi serum sapi serta kokultur selapis selsel epitel tuba b'allopii dan kumulus pa& TCM-1YY untuk meningkatkan kemampuan pematangan oosit dan perkembangan embrio sapi in vitro. Suplementasi
serum 5-20% masih dibutuhkan di dalam media pematangan oosit dan kultur
embrio in vitro, walaupun sebagian besar kebutuhan nutrisi untuk pematangan
oosit dan perkembangan embrio sapi in vifro telah tercukupi oleh penggunaan
media kompleks seperti tissue culture medium 1W (TCM-199). Pengujian potensi jumlah dan kualitas oosit yang &pat diaspirasi dari berbagai struktur ovarium
dan pengujian potensi spermatozoa sapi yang berasal dari semen segar dan semen
beku perlu pula dilakukan untuk m e n g h a s i b embrio daiam jumlah yang tinggi.
Suplementasi serum ke dalam media pematangan oosit dan kultur embrio
in vitro diperlukan karena serum mengandung 20 macam asam amino (b'allon et

ul., 1988); berbagai macam protein (seperti albumin, globulin, fibronektin, a-2

makro globulin, transferrin dan fetuin), polipeptida, asam lernak (seperti kolesterol) dan mineral; berbagai macam hormon (seperti hormon insulin, steroid dan
lain-lain) serta berbagai macam faktor penumbuh

(Malole, 1990; Freshney,


1987; 'I'rounson 1992). Menurut Freshney (1987) albumin bermanfat untuk
mengatur t e W osmotik dan penyangga pada medium, fibronektin berguna
untuk merangsang perlekatan sel dm a-2 makro globulin &pat berfungsi menghambat kerja enzim proteolitik (seperti tripsin). Fetuin yang terdapat di &lam
serum fetus m a 1 bovine serum atau FBS) berperan dalam meningkatkan perlekatan sel, mencegah pecahnya zona pelusida dan meningkatkan kemampuan fertilisasi oosit in vitro (Schroeder et al., 1990; Zhang et al., 1991a; Yamazaki dan
Ishibashi, 1990).
Menurut Y ounis et al. (1989), Lu et al. (1987) dan Henricks et al. (1972)
kandungan hormon (khususnya hormon steroid) di dalam serum sapi sangat
bervariasi dan dipengaruhi fase siklus estrus. Serum yang diambil pada hari sapi
estrus (SHO) mengandung estrogen yang tinggi, sebaliknya serum yang diambil
pada hari ke tujuh setelah estrus (SH7) mengandung progesteron yang tinggi.
Sedangkan keberhasilan pematangan oosit dipengaruhi oleh keseimbangan atau
rasio estrogen dan progesteron di dalam medium permtangan oosit in vitro
(Younis et al., 1989; Gordon, 1994; Lorenzo et al., 1997). Namun para peneliti tersebut menyatakan bahwa peranan progesteron secara fisiologik dalam proses

pematangan omit belum diketahui secara jelas.
krdasarkan informasi tersebut di atas perlu dilaloukan pengujian efektivitas penambahan jenis serum FBS, S& dan SH7 pada konsentrasi 5, 10, 15 dan
20 persen di dalam media pematangan oosit dan kultur embrio in vino (TCM-

199). Diharapkan penamabahan jenis serum SHO dan SH7 (yang dibuat di labo-


ratorium sendiri) pa& konsentrasi yang diujikan dapat menggantikan peranan
FBS di dalam media pematangan oosit dan kultur embrio in virro. Serum FBS
sebagai bahan impor biologik, memiliki potensi pembawa bibit penyakit eksotik
ke lndonesia yang sulit terdeteksi disebabkan oleh virus, mikoplasma dan klamidia, disamping ketersediaan FBS yang tidak kontinyu di pasatan &ngan harga
yang semakin rnahal.

Untuk mencapai maksud tersebut di atas dilakukanlah

penelitian ini dalam empat seri percobaan dengan judul : "Efektivitas Penambah-

an Berbagai Jenis dan Konsentrasi Serum serta Kokultur Sel-Sel Tuba Fallopii
dan Kumulus pada 'EM-199dalam Produksi Embrio Sapi In Vitro". 'Tersedia

nya serum secara bersinambung sepanjang tahun dengan harga yang murah dan
terhindar dari resiko terkontaminasi oleh bibit penyakit yang tidalr ada di lndonesia serta berdayaguna meningkatkan produksi embrio di laboratorium diharapkan
menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan bioteknologi dalam bidang
reproduksi ternak, khususnya teknologi FlV ,di Indonesia.
Hipotesis
Hipotesis yang diuji melalui serangkaian percobaan di dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :

(1) Ovaria yang memiliki folikel dominan (FD) menghasilkan rataan jumlah oosit

kualitas A dan B yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur ovarium
lainnya.
(2) Penambahan jenis serum S% atau SH7 pada konsenfrasi 5, 10, 15 dan 20
persen ke dalam media pematangan oosit dan kultur embrio in vizro memberikan pengaruh lebih baik atau sama dengan penambahan FBS terhadap keberhasilan pematangan omit dan perkembangan embrio in vitro.

(3) Kemampuan spermatoma yang berasal dari semen segar untuk memfertilisasi

oosit in vitro lebih tinggi dibandingkan dengan spermatozoa yang berasal dari
semen beku.
(4) Penggunaan kokultur selapis sel-sel epitel tuba Fallopii dan kumulus sapi

dapat meningkatkan kemampuan perkembangan embrio in vitro.

'I'ujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Mengetahui jumlah oosit kualitas A dan f3 yang dapat diaspirasi per ovarium
pada masing-masing struktur ovarium.
(2) Mencari jenis dan konsentrasi serum yang terbaik di antara jenis serum FBS,
SHO dan SH7 pada tingkat konsentrasi 5, 10, 15 dan 20% untuk pematangan


oosit dan kultur embrio in vitro.

(3) Menguji pengaruh kemampuan spermatozoa yang berasal dari jenis semen
segar dan semen beku terhadap angka fertilisasi dan perkembangan embrio in
vitro.
(4) Menguji pengaruh medium kokultur selapis sel epitel tuba Fallopii atau sel

kumulus terhadap perkembangan embrio in vitro.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
(1) Serum dapat diproduksi di laboratorium sendiri untuk kegunaan operasional
FIV secara rutin, sehingga pengaplikasian teknologi F1V dapat dikembangkan

secara lebih luas guna meningkatkan produktivitas temak (sapi) di lndonesia .
(2) Dapat meningkatkan efisiensi penggunaan semen beku sapi unggul dari bangsa

eksotik (seperti Churolais, Limousin, Simmental dan lain-lain) . Satu atau dua
straw semen beku &pat digunakan untuk membuahi berpuluh-puluh atau lebih

banyak lagi oosit yang dirnatangkan in vitro.


(3) Dapat menghasilkan embrio pada berbagai taraf perkembangan untuk keperluan penelitian dan pengembangan bioteknologi yang lebih mutakhir dalam
bidang reproduksi ternak, ataupun untuk ditransfer pada induk sapi resipien.
(4) Dapat meningkatkan daya reproduksi sapi-sapi betina baik semasa maupun

setelah habis masa produksinya (diafkir) dan dipotong di KPH.
(5) Dapat menghasilkan data dan informasi baru bagi penelitian-penelitian selan-

jutnya, khususnya mengenai potensi jumlah dan kualitas oosit yang dapat
diambil dari ovaria sapi di Indonesia (yang berasal dari KPH) untuk produksi
embrio in vitro serta penentuan data dinamika gelombang pertumbuhan dan
perkembangan folikel pada sapi Bos i n d i m di Indonesia.

'TINJAUAN YUSTAKA

Keberhasilan Teknologi Pertilisasi In Vitro pa& Sapi
Istilah in vitro dalam bahasa Latin berarti di luar tubuh. Ketika percobaanpercobaan fertilisasi di luar tubuh pertama kali dikerjakan, kedua macam gamet
ditempatkan di dalam tabung atau cawan petri, dan semenjak itu istilah in vitro
populer digunakan (Seidel dan Elsden, 1989).
Sreenan (1970) termasuk salah satu peneliti awal yang mencoba melakukan fertilisasi in vitro (FIV) pada sapi. Oosit sapi yang dimatangkan in vitro

difertilisasi dengan sperma sapi yang telah diinkubasi di dalam medium yang
mengandung enzim a-amilase.

Namun keberhasilan FIV pertama pa& sapi

dilaporkan oleh lritani dan Niwa (1977) di Jepang. Beberapa tahun kemudian (9
Juni 1981) lahir anak sapi pertama yang berasal dari oosit yang diovulasikan dan
difertilisasi in vitro di Amerika Serikat (Brackett et al., 1982). L)ua ekor anak
sapi hasil FlV lainnya dilahirkan di Georgia pada tahun 1983 (Brackett et al.,
1984). lli Kanada, dihasilkan enam ekor anak sapi hasil FIV yang berasal dari
oosit sekunder yang diambil dengan teknik laparoskopi (Lambert et al., 1983).
'I'eknologi FlV untuk menghasilkan anak sapi tersebut di atas menggunakan salur-

an telur kelinci sebagai sistem kultur embrio in vivo.
Anak sapi pertama yang berasal dari oosit yang dimatangkan, difertilisasi
in vitro dan embrio dikultur di dalam saluran telur kelinci sampai taraf blastosis,
dibekukan dan ditransfer pa& induk sapi resipien dilaporkan oleh Hanada et al.
(1986) di Jepang. Salah satu kelahiran anak sapi yang dihasilkan dari teknologi
fertilisasi in vitro secara total (oosit dimatangkan dan difertilisasi in vitro, embrio
taraf awal dikultur in vitro) dilaporkan dari Dublin oleh Lu et al. (1987). Dalam

penelitian yang disebut terakhir ini dihasilkan kelahiran anak sapi kembar dua.

Yotensi Penggunaan 'I'eknologi Pertilisasi In Vitro pada Sapi
'I'eknologi fertilisasi in vitro (FIV) merupakan teknik yang efektif untuk
menghasilkan embrio di laboratorium dalam jumlah besar dengan biaya yang
relatif murah. Hal ini telah mendorong pengaplikasian teknologi transfer embrio
('I'E) secara ekstensif terutama pa& pmsahaan petemakan komersial. Menurut

Gordon (1994) ada tiga potensi pengaplikasian teknologi FlV secm bersarnaan
dengan teknologi 'SE pada sapi. Pertarna, teknologi FIV berpotensi untuk meningkatkan produksi daging (sapi potong). Oosit sapi potong berkualitas baik
(bangsa C'harolais, Limousin, Simmental) yang dipotong di rurnah potong hewan
difertilisasi in vitro dan embrio yang dihasilkan ditransfer pada beberapa induk
sapi perah untuk menghasilkan sapi potong berkualitas tiggi dengan tip kelahiran
tunggal. Yada sapi pedaging dengan potensi produksi susu yang tinggi (atau sapi
perah) dengan kondisi pakan dan rnanajemen yang layak, embrio hasil FIV dari
bangsa Hereford atau Angus dapat digunakan untuk menghasillran anak sapi
dengan tip kelahiran kembar dua. Menurut Patterson et al. (1993) kelahiran
kembar dua pada sapi dapat meningkatkan efisiensi biologik dan ekonomi produksi sapi potong 20-25 96. Dijelaskan bahwa kelahiran kembar dua anak sapi potong
melalui TE &pat meningkatkan keluaran anak per induk, tanpa menimbulkan
pengaruh negatif terhadap efisiensi penggunaan pakan dan kuaiitas katkas anak

sapi yang dipelihara. Apalagi jika penenturn jenis kelamin embrio dapat dilakukan sebelum anak sapi dilahirkan. Produser sapi potong lebih suka memelihara
sapi bakalan jantan dibandingkan dengan betina, terutama disebabkan karena sapi
bakalan betina umumnya menghasilkan efisiensi penggunaan pakan yang lebih
rendah lo%, pertambahan bobot badan lebih rendah 10% dan adanya resiko sapi
menjadi bunting.

Kedua, teknologi FlV berpotensi untuk meningkatkan produktivitas susu
pada sapi perah. Teknologi FIV dapat menghasilh embrio menggunakan ovaria
sapi (perah) bermutu genetik tinggi setelah masa produksinya habis dan diotong di

KPH. Silsilah (pedigree) dari beberapa anak sapi yang berasal dari sejumlah
embrio ini mash dapat dipertahankan. Di samping itu, teknologi FIV memungkinkan embrio dihasilkan dari oosit sapi perah bermutu genetik tinggi yang masih
hidup, baik yang mempunyai siklus estrus maupun yang bunting pada peride
awal (dan kadang-kadang dari sapi-sapi dara sebelum pubertas), dengan menggunakan teknik aspirasi folikel melalui vagina yang dipandu dengan peralatan ultrasonografi. Moreno et a1 (1993) melaporkan bahwa induk sapi bunting menghasilkan jumlah oosit yang lebih tinggi dari sapi-sapi yang tidak bunting. Embrio
yang dihasiUran dengan teknik F l V ini &pat dijadikan sebagai alternatif untuk
mengatasi beberapa kelemahan yang a& pada perlakuan-perlakwn superovulasi
pada sapi untuk mendapatkan embrio m

a konvensional seperti respons supero-

vulasi yang bervariasi, jumlah dan kualitas embrio yang juga bervariasi di antara
individu dan sebagainya.
Ketiga, teknologi FIV berpotensi untuk mengembangkan teknik-teknik
mikromanipulasi pa& embrio seperti teknik cloninglsplim'ng untuk menghasilkan
anak sapi kembar identik, dan untuk mengembangkan penelhian-penelitian dasar
khususnya dalam bidang biologi molekular dan biologi perkembangan. Aplikasi
teknologi FIV dalam bidang penelitian meliputi penelitian dan pengembangan
metode pemisahan spermatozoa yang membawa kromosom X dan Y, pengembangan metode penentuan jenis kelamin embrio, p e n y e m p m , metode FIV
sendiri, pengembangan uji kesuburan pejantan, penelitian tentang pembekuan
oositJembrio, studi tentang pertumbuhan dan perkembangan embrio, penelitian

tentang cloning pada sapi, pengujian keefektivan embryonic stem cells, pengembangan prosedur injeksi gen, dan penelitian berbagai aspek pengenalan induk
(maternal recognition) terhadap kebuntingan.

Potensi dan Perkembangan Oosit pada Ovarium Sapi
Populasi folikel primer yang mengandung bakat sel telur (gem cells atau
oBgonium) pa& ovarium rnarnalia mu&, khususnya sapi, sudah tertentu sesuai
dengan sifat genetik masing-masing temak yang merefleksikan potensi dari materi
genetik yang dapat dieksploitasi (Hunter, 1980 dalam Xu, 1987). Folikel primer
tidak dibentuk selama kehidupan dewasa ('Toelihere, 1985a). Setelab pubertas
terjadi pertumbuhan dari folikel primer mejadi folikel sekunder, tetapi tidak
sernua folikel primer berkembang menjadi folikel sekunder. Menurut Errickson
(1 966) jumlah folikel primer yang terdapat pa& ovaria sapi potong relatif konstan

(dengan rataan 133,000) sampai sapi tersebut berumur empat sampai enam tahun,
dan menurun secara cepat menjadi no1 pada umur 15 sampai 20 tahun. Walaupun
jumlah folikel primer sangat besar, tetapi tidak lebih dari 300 yang mencapai fase
ovulatoris. Menurut Lusier et al. (1987) ha1 tersebut disebabkan karena sebagian
folikel pada ovaria mengalami atretik dalam berbagai fase perkembangannya.
Pembentukan antrum pada sapi muncul pada berbagai kisaran diameter folikel
(0.14 sampai 0.28 mm). Dijelaskan pula bahwa pertumbuhan awal folikel disebabkan oleh peningkatan jumlah sel-sel granulosa clan peningkatan permukaan
lapisan granulosa.
Menurut Gordon (1994), selama fase pertumbuhan folikel, sel-sel granulosa berdiferensiasi menjadi dua subpopulasi sel yaitu sel-sel membrana granulosa
epitelial bersusun semu yang berhubungan dengan membran dasar di sekeliling

folikel, dan sel-sel kumulus yang menyelimuti oosit.

Suatu jembatan sel-sel

granulosa menghubungkan oosit yang diselimuti sel-sel kumulus dengan membrana sel-sel granulosa di sekeliling folikel. Kedua tip sel ini diketahui berbeda
dalam distribusi reseptor-reseptornya dan kharateristik steroidogeniknya. Pada
folikel yang belum berovulasi, kedua t i p sel ini juga mempunyai respons yang
berbeda terhadap gonadotropin. Gonadotropin merangsang sel-sel kumulus untuk
memproduksi dan mensekresikan asam hialuronik tetapi tidak berpengaruh sama
sekali terhadap sel-sel granulosa. Dengan kata lain hanya sel-sel kumulus yang
mempunyai reseptor terhadap gonadotropin.
Selanjutnya Gordon (1994) menyatakan bahwa dalam proses awal perkembangan folikel antrum, sel-sel teka diketahui mensekresikan tramfoonning

growth factor alpha (TGF-a) dan TGF-B , dan sel-sel teka berfungsi sebagai
autokrin dan parakrin. Jenis steroid yang paling banyak dihasilkan oleh sel-sel
teka interna adalah androgen, melalui katabolisme kolesterol. Sumber utama
kolesterol pada induk sapi diduga berasal dari lipoprotein di dalam darah.
Konversi enzimatik dari kolesterol menjadi androgen di dalam sel-sel teka
menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA), yang kemudian dimetabolisasi
menjadi androstenedione. Dijelaskan lebih lanjut bahwa berbagai aktivitas steroidogenik dalam sel-sel teka diduga disebabkan oleh rangsangan lweinizing

hormone (LH).

Sel-sel teka interna pada sapi juga menghasilkan oestradiol

walaupun jumlahnya relatif sangat sedikit dibandingkan dengan undrostenedione.
Sel-sel teka pada sapi, selain mampu mensekresikan androgen, juga diketahui
mempunyai suatu sistem enzim aromatase yang aktif. Kemampuan sel-sel untuk
mensekresikan androgen terjadi lebih awal dari perolehan sistem aromatase oleh
sel-sel granulosa.

Dalam siklus estrus, 20 sampai 60 folikel vesikuler dapat

menghasilkan androgen, tetapi hanya sedikit yang berkemampuaa mentransformasi androgen menjadi estrogen. Terdapat bukti bahwa perolehan sistem aromatase,
yang diatur oleh follicle stimulating hormone (FSH), mungkin menrpaluur faktor
penentu dalam seleksi dan pembentukan folikel dominan (FD).
Pemahaman tentang mekanisme yang mengatur pertumbuhan folikel
sampai ovulasi sangat penting artinya bagi pematangm oosit sapi in vitro. Lebih
dari 30 tahun yang lalu, Rajakoski (1960) telah melaporkan bahwa perkembangan
folikel pada sapi dara muncul dalam dua gelombang. Gelombang pertama dimulai pada hari ketiga dan berakhir pada pertengahan siklus, menghadlm satu
folikel dominan (PI)) yang kemudian mengalami regresi.

Gelombang kedua

terjadi setelah pertengahan siklus dan berakhir menjadi sebuah folikel yang diovulasikan. Assey et al. (1993, 1994) menyatakan bahwa siklus estrus pada sapi
secara normal ditandai oleh dua atau tiga gelombang pertumbuhan dan perkembangan folikel, yang masing-masing menghasilkan satu FD dan beberapa buah
folikel pendamping.
Menurut Gordon (1994) dinamika pertumbuhan folikel bervariasi di antara
individu sapi, dari satu gelombang pertumbuhan pada sebagian sapi sampai empat
gelombang pertumbuhan pada sebagian sapi lainnya. Tiaptiap gelombang menghasilkan PI) yang terus bertumbuh sambil menekan pertumbuhan folikel besar
laimya yang berdiameter lebih dari empat milimeter, yang ferjadi dalam walrtu
yang singkat pada saat konsentrasi progesteron m e n m karena corpus lurezm
(CL) mengalami regresi. Gelombang pertumbuhan tersebut muncul hampir setiap

tujuh hari. Siklus estrus dengan tiga gelombang pertumbuhan folikel lebih lama
dari siklus estrus dengan dua gelombang pertumbuhan folikel karena fase luteal
nya yang panjang.

Jumlah gelombang pertumbuhan folikel per siklus estrus

ditentukan oleh lamanya regresi sel-sel luted. Pertumbuhan folikel pa& sapi
dikontrol oleh endokrin dan parakrin, dan faktor-faktor lokal lainnya seperti
steroid, faktor penumbuh, cytokines dan molekul pengatur lainnya. Faktor-faktor
tersebut bereaksi pada sel-sel ovarium disebabkan oleh pengaturan respons terhadap gonadotropin yang bersirkulasi di dalam darah.
Selanjutnya Henricks et al. (1972) dan Kajakowski (1960) menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara level estrogen dengan perkembangan folikel selama siklus estrus sapi. Folikel berdiameter 5,O mm atau lebih
muncul pada hari ketiga atau keempat, dan digantikan oleh sebuah FD (berdiameter 9- 13 mm) pada hari ke- 12. Semenjak hari ketiga atau keempat setelah estrus,
level estrogen plasma meningkat dari 3-4 pg/ml menjadi 10 pg/ml pada hari
kesembilan.
Menurut 'l'oelihere (1985a), dalam proses perkembangan dari folikel tertier menjadi folikel yang akan diovulasikan, antrum diisi oleh cairan jernih
(liquor folliculi) yang banyak mengandung protein dan estrogen.

Estrogen

mungkin disekresikan secara langsung oleh sel-sel teka interna ke dalam folikel
melalui suatu selubung dasar, mernbrana propria, yang memisahkan teka interna
dari membran granulosa. Belum banyak diketahui apakah serum yang banyak
mengandung estrogen atau hormon steroid pa& umumnya dapat meningkatkan
keberhasilan pematangm oosit dan perkembangan embrio in vitro.
Pengambilan Oosit dari Ovarium Sapi
Umur, Siklus Estrus dan Kebuntingan
Oosit sapi yang digunakan untuk menghasilkan embrio di laboratorium
berasal dari sapi-sapi dengan latar belakang reproduksi yang berbeda-beda. Hasil

penelitian Lonergan (1990) yang disitir Gordon (1994) dan Moreno et d.(1992)
menyatakan bahwa jumlah oosit yang dihasilkan induk sapi lebih rendah dibandingkan dengan sapi dara yang belum pernah dikawink;aa.

Ditambahkan

bahwa ovaria sapi dara tanpa CL menghasilkan jurnlah oosit kualitas baik paling
tinggi.

Mermillod et al. (1992a) membukthn bahwa induk sapi yang lebih

mu& (berumur satu sampai tiga tahun) menghasilkan jumlah blastosis hasil F1V
yang lebih tinggi dibandingkan dengan induk sapi yang berumur lebih tua.
Hasil penelitian yang agak berbeda dilaporkan oleh Zhang et d.(1991),
yaitu jumlah oosit dengan kualitas baik lebih tinggi pada ovaria induk sapi dibandingkan dengan ovaria sapi dara. lnformasi demiHan menimbulkan pertanyaan, mungkin status nutrisi ternak lebih berpengaruh terhadap jumlah dan
kualitas oosit per ovarium dibandingkan dengan umur dan paritas.

Sebagai

contoh, induk-induk sapi perah yang diafkir dari perusahaan petemakan sapi
perah jelas mempunyai kondisi tubuh tidak sebaik sapi d a m yang disiapkan
khusus untuk memenuhi kebutuhan daging di pasaran.
Beberapa peneliti telah melaporkan jumlah folikel pada fase siklus estrus
yang berbeda pa& sapi (Leibfried dan First, 1979; Kubajak et d., 1984) dan
menurut letak folikel ipsilateral atau kontralateral dengan CL yang aktif (Pierson
dan Ginther, 1987). Walaupun sedikit tetapi CL mempunyai pengaruh positif di
dalam ovarium. Banyak folikel antral benrkuran kecil (dua sampai tiga mm)
dapat ditemukan pada ovaria yang mempunyai CL (ipsilateral) dibandingkan
dengan ovarium kontralateral selama siklus estrus atau pada awal kebuntingan.
Gordon (1994) menyatakan bahwa jumlah folikel antral dengan kategori ukuran
diameter dua sampai enam mm tidak be-

nyata di antara berbagai fase siklus.

Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya dinamika pertumbuhan folikel yang

ditandai dengan beberapa gelombang pertumbuhan folikel selama satu siklus
estrus pada sapi. Seidel dan Elsden (1989) juga menyatakan bahwa fase siklus
estrus tidak terlalu berpengaruh terhadap jurnlah oosit yang diaspirasr.
Menurut Machatkova et al. (1993) dalam Oordon (1994) oosit yang diambil dari ovaria sapi pada hari 14 sampai 16 siklus estrus mempunyai potensi
perkembangan yang lebih tinggi dari pada oosit yang diambil pada hari ketujuh
sampai kesembilan atau fase siklus estrus yang tidak diketihi. Dijehkan lebih
lanjut bahwa perbedaan pengaruh hi mungkin berkaitan deugm proporsi relatif
t;D yang ditemukan pada fase siklus yang berbeda. Namun demikian Tan dm Lu

(1990) yang menguji pengaruh tiga fase siklus estrus (fase luteal awal, fase luted
dan fase luteal akhir) terhadap angka cleavage dan angka blastosis menyimpulkan
bahwa ketiga fase siklus estrus yang diuji tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap angka cleavage dan angka blastosis.
Hasil penelitian Vajta et al. (1992) menujukkmt bahwa, sebagai sumber
oosit untuk FIV, induk sapi bunting dapat dianggap sama dengan sapi-sapi yang
bersiklus. Sedangkan menurut Moreno et a1 (1993) induk sapi bunting menghasilkan jumlah oosit yang lebih tinggi dari pada sapi-sapi yang tidak bunting.
Bangsa, Nutrisi dan Variasi lndividn Sapi
Jumlah omit yang &pat diambil dari ovaria sapi juga dipengaruhi oleh variasi bangsa, nutrisi dan individu ternak sapi. Gordon (1994) menyatakan bahwa
sebagian sapi-sapi bangsa persilangan Charolais, Limousin dan Simmental
mempunyai jumlah folikel antral yang lebih rendah dibandingkan dengan sapisapi persilangan Hereford.

Maurasse et al. (1985) menemukan bahwa pakan dengan energi tin&
mempercepat laju pertumbuhan dm pergantiaa folikel. Padg sapi potong setelah
melahirkan (postpartum), sapi-sapi yang diberi pakan dengan mtrki ymg rendah
mempunyai folikel antral yang lebih sedikit dari pada sapi-sapi yang diberi pakan
dengan nutrisi yang tin@

(Prado et al., 1989 d a h t Gordon, 1994). l h h m

jangka waktu yang pendek, penurunmt lcuantitas dm kualitas pakan p d a sapi
potong muda tidak mempengaruhi populasi folikel padg wariumnya.

Dafam

kondisi seperti itu hanya level insulin-like growth factor 1 (1GF-1) p

h yang

menurun secara nyata (Spicer et al., 1992). Perbedaan kdmgm protein kasar
dalam pakan yang sangat besar dapat m e m p e n g d perkembaqpn folikel dan
perkembangan embrio taraf selmjutnya (Gar&-&rjdil ez d.,1991).
Adanya p g a r u h variasi individu sapi terhadap p d i h oosit dau jumtgh
embrio yang dihasilkan melalui teknik FlV dilaporkan oleh MemiUod et al.
(1992b). Yara peneliti lain umumnya menyatakan bahwa variasi jumlah embrio
yang dihasilkan melalui teknik FIV sebanding dengan variasi jumlah embrio yang
dihasilkan melalui perlakuan-perlakuan superovulasi pada sapi.
'Teknik Pengambilan Oosit dari Ovaria Sapi

l'eknik Aspitasi. Pengambilan oosit dari folikel vesikuler berdiameter
dua sampai enam mm menggumkan teknik a s p h i (dengan pipet atau siringe dan
jarum yang sesuai) merupakan metode yang paling m u m digmaim pada sapi
(Gordon, 1994). Satu kendala dalam pengaplikilsian teknik aspirasi terletak pada
rendahnya jumiah omit yang berhasii diambil (30 samai 60%) dari folikel yang
ditusuk.

hrwantara (1994) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan aspirasi, yaitu jenis dan diameter jarum yang digunakm, tingkat

kemiringan (bevel) dan ketajaman ujung jarum serta besarnya tekamm.apirasi.
Umumnya peneliti menggunakan ukuran jarum 18 O untuk mengasphi w i t
dari folikel berdiameter dua sampai enam mm pada ovarium sapi yang berasal

dari W H (Ball et al., 1983). Menurut Yurwantara (1994) sudut kemiringan atau
keruncingan ujung jamm yang disarankan adalah 25 sampai 45 derajat tergantung
ukuran folikel yang diaspirasi. Sudut kemitingan yang besar cocok untuk folikel
kecil karena dapat menghindari kebocoran clan keluamya cairan folikel, sedangkan sudut yang kecil lebih cocok untuk folikel besar. D

i

m bahwa aspira-

si dapat dilakukan dengan menggunakan alat vakum kompresi atau dengan penyedotan manual. 'Manan yang digunakan bervariasi antara emun sampai 36 rnl air

per menit. Peneliti lain menggunakan t e b 30 sampai 40 mf air per menit
tergantung ukuran diameter jamm.

Sehjutnya dijelaskan bahwtl diperlukan

pengkajian yang lebih intensif tentang tekanari aspirasi yang optimal tanpa
menimbulkan pengaruh negatif terhadap kompleks mit-kumulus.

Katska (1984) berhasil mengambil 43% w i t dari ovaria dengan teaspirasi dan 100% dengan teknik diseksi. Hanya 45% dari oosit yang diambil
dengan teknik aspirasi merniliki morfologi normal.

Leibfried-Rutledge et al.

(1985) berhasil mengambil 60% oosit dari ovaria dengan rataan lima sampai
delapan oosit berkualitas baik per pasang ovarium. Suss et al. (1988) mendapat-

kan rataan 23 oosit per pasang ovarium menggunakan teknik aspirasi, dengan
47% oosit (10.6 per pasang ovarium) yang memiliki sel-sel kumulus utuh.
Menurut Vergos (1990) dalam Gordon (1994) hanya 50 sampai 60% oosit yang
dapat diambil dengan teknik aspirasi (menggunakan jarum berukuran 18 G)
dibandingkan dengan lebih dari 95% bila menggunakan teknik diseksi folikel
(Vergos, 1990).

Menurut Godon dan Lu (1990) dan Lu et al. (1987) rataan jumlah oosit
yang diperoleh dengan teknik aspirasi 6.9 oosit/ovarium (dari 646 ovaria) dan
dengan teknik penyayatan adalah 6.5 oosit/ovarium (dari 892 ovaria). Sedan*
Sergejew dan Baibekow (1992) dengan teknik aspirasi mendapatkan 507 kompleks oosit-kumulus dari 121 ovaria (dengan rataan 4.2 wsit/ovarium) sapi FH
yang berasal dari KYH.
Keuntungan penggunaan teknik aspirasi folikel adalah pengambilan oosit
dapat dilakukan dengan cepat, tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan teknik
diseksi. Kecepatan pengambilan oosit sangat penting artinya dalam sistem produksi embrio secara komersial (Gordon, 1994).
Untuk mengatasi kelemahan teknik aspirasi tersebut di atas (jumlah oosit
yang diperoleh relatif rendah) penusukan jarum dilakukan pada bagian stroma
ovarium terlebih dulu kemudian baru menusuk folikel demi folikel sekaligus
(YuMlantara, 1994). Cara tersebut bertujuan untuk menghindari terlontarnya
oosit ke luar folikel bersama cairan folikel, mempersingkat waktu kerja, dan
memperkecil peluang terjadinya kontarninasi.
Teknik 1)isek.i Polikel. Penggunaan teknik diseksi pada folikel berdiameter dua sampai delapan mm menghasilh kenrsakan kompleks oosit-kumulus
paling rendah. Keuntungan pengguanaan teknik diseksi terletak pada kemampuan
untuk menentukan folikel yang tidak mengalami atresia (Gordon, 1994). Tandatanda folikel atretik adalah pudarttidak menglulat, berwama abu-abu, penampilan
yang buramltidak tembus cahaya dan kurang vaskularisasi.

Para peneliti

umumnya sependapat bahwa penggunaan teknik diseksi menghasilkan jumlah
oosit kualitas baik lebih tinggi dibandingkan dengan teknik aspirasi.

'I'eknik Penyayatan Ovarium. Menurut Suss dan Madison (1983) 20
sampai 30 oosit dapat diambil dari ovarium sapi dengan menggunakan teknik
penyayatan. Xu et ul (1992) melaporkan bahwa dari dua ekor induk sapi dapat
dihasilkan rataan 55 oosit per pasang ovaria dengan teknik penyayatan. Menurut
Carolan (1993, 1994) teknik penyayatan menghasilkan perolehan oosit tiga kali
lipat lebih banyak dibandingkan dengan teknik aspirasi. Ditambahkan bahwa
oosit yang diperoleh dengau teknik penyayatan dan aspirasi mempunyai kemampuan yang sama untuk dimatangkan in vino. Penggunaan teknik penyayatan
dapat dikombinasikan dengan teknik aspirasi. Namun demikian Takagi et al.
(1992) menyatakan bahwa penggabungan teknik aspirasi dengan teknik penyayatan tidak diperlukan untuk mendapatkan jumlah atau W t a s oosit yang tinggi dari
ovaria sapi.
Carolan et al. (1993) melaporkan bahwa bahwa dengan rnenggtmkan
tekoik penyayatan pada 12 pasang ovaria sapi dihasillran rataan jumlah blastosis

15.4 per pasang ovaria. Teknik penyayatan mernbutuhkan walrtu tiga kali lebih
lama dibandingkan dengan teknik aspirasi, walaupun dalam waktu yang sama
teknik penyayatan menghasilkan jumlah oosit yang sama dengan teknik aspirasi
(dari jumlah ovaria yang lebih sedikit). Bila jumlah ovaria yang tersedia relatif

banyak maka teknik aspimi lebih tepat untuk digunakan.
Medium Pengambilan Oosit dari Ovaria Sapi
Menurut Carolan (1993, 1994) penggunaan tissue culture medium 199
('TCM-199) untuk mengumpulkan w i t yang diambil dari ovaria sapi lebih disukai dibandingkan dengan phosphate-buflered saline (PB). Hal yang senada juga
dilaporkan oleh Keller m al. (1993) bahwa oosit sapi yang dirnasukkan ke dalam

medium yang mefigandung konsentrasi Ca2+b MgZ' suboptimal seperti PBS,
dalam jangka waktu yang pendek, dapat menimbuhn pengaruh yang merusak
terhadap oosit itu sendiri.
Suhu dan Batas Waktu Penyimpanan Ovaria
Umumnya oosit diambil dari ovaria dalam waktu satu sampai dua jam
setelah pemotongan sapi, dengan suhu penyimpanan sekitar

WC (Schleger et

al., 1990; Sekine et al., 1992). Oosit yang dikumpulkan pada suhu jauh di
bawah 30°c mengalami pematangan inti yang tidak sempwna (First dan Parrish,
1987a). Penunrnan suhu oosit yang diaspirasi dari folikel sampai jauh di bawah
suhu fisiologik tubuh (suhu rektal sapi 38 sartlpai 39,3Oc) berpen%aruh mgatif
pada viabilitas oosit, dalam bentuk abnormalitas pada semua fase meiosis (Lenz et

al., 1983; Pollard et al., 1996). Namun hal ini masih menjadi pcakbtm, sebab
oosit yang diasphsi pada suhu 2 0 0 ~
tidak selalu memiliki viabilitas yang rendah
setelah difdisasi in vino atau setelah embrio dikultur in W o (Zhang et al.,
1990). Kruip dan Ferwoy (1982) menyatakan bahwa p e n g m b h oosit pada
suhu 18 sampai 21°c mentpakan yang p a h g layak.
Zhang et al. (1990) meneliti pengaruh tiga tingkat suhu ovaria selama

transportasi dari RPH ke laboratorium &&a@

produksi embrio in vitro. Ovaria

yang c&mmphn pada suhu no1 sampai dua OC men-

mgka fertilisasi

dan perkembangan embrio yang nyata lebih redah dibandingbn dengan ovaria

yang ditraospotkan pada suhu 18 sampai 20% atau 30 sampai 32%.

Lenz et al.

(1983) menyatakm bahwa tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam angka
fertilisasi, angka cleawge dan perkembangan embrio pada taraf hjut pada oosit
yang diproses untuk FIV pada suhu kamar (18 ampai 20°c) dan 30 sampai 32Oc.

Pendinginan ovarium sapi (no1 sampai dua OC) sesaat akan diproses dapat
menimbulkan kerusakan yang lebih tinggi, walaupun oosit &ngan sel-sel kumulus
yang utuh yang didinginkan sampai suhu kamar (18 sampai 20'~) selama diproses di laboratorium tidak menimbulkan akibat seperti yang terjadi pada pendinginan ovarium tersebut di atas.
Pollard et al. (1996) mengaspirasi oosit selarna 30 menit pada suhu 2 5 O ~ ,
30°c dan 35OC, kemudian diproses pada suhu lebih tinggi atau sama dengaa
35OC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang readah berpengaruh

nyata menghambat perkembangan produksi embrio, walaupun angka fertilisasi in
vitro tidak lebih rendah dibandingkan dengan suhu kontrol (suhu aspirasi 35'~).
Persentase blastosis pada suhu kontrol 33.7 % , lebih tinggi dibandingkan dengan
22.4 dan 19.5% pada suhu 2 5 ' ~dan 30'~.
Data hasil penelitian Yang et al. (1990) menunjukkan bahwa angka cleavage dan angka blastosis yang tinggi dihasilkan hanya jika ovaria disimpan pada

suhu 2 4 ' ~ dan 3 7 ' ~ selama no1 sampai empat jam.

Walaupun penyimpanan

ovaria selama delapan jam masih memberikan angka cleavage dan angka blastosis
yang cukup tingggi, tetapi hams melakukan penurunan suhu menjadi 24Oc.
Kematian ternak secara cepat akan diikuti oleh perubahan-perubahan degeneratif
pada ovaria, dan perubahan-perubahan tersebut berlangsung lebih cepat pada suhu
tubuh (30°C sampai 37'~) dibandingkan suhu yang lebih rendah (20°c sarnpai
25'~).
lndikator Kualitas Oosit
Seleksi oosit sapi untuk F1V yang didasarkan pada pengujian morfologik
secara visual pertarna kali dilaporkan oleh Leibfried dan First (1979). Klasifikasi

kualitas oosit secara morfologik dewasa ini didasarkan pada kekompakm dan
kuantitas sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit (Loos et ul., 1989). KlasShsi
oosit berdasarkan kriteria morfologi menurut Loos et ul. (1989)adalah sebagai
berikut : (1)Oosit dikelilingi oleh multi lapisan kumulus yang kompak, ooplasma
homogen, kompleks oosit-kumulus (KOK)secara keseluruhan terlihat terang dan
transparan; (2)Oosit dikelilingi oleh multi lapisan kumulus yang kompak, ooplasma homogen tetapi dengan penampilan yang kasar, daerah pinggiran oosit
yang lebih gelap, dan KOK secara keselmhan terlihat lebih gelap dan kurang
transparan; (3) Oosit dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang kurang kompak, ooplasma tidak beraturan dengan bercak-bercak hitam, dan KOK lebih gelap lagi
dari klasifikasi (1)dan (2);(4)Sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit mengembang, sel-sel kumulus terpencar-pencar membentuk gumpalan-gumpalan gelap
yang kental, ooplasma tidak teratur membentuk gumpalan-gumpalan berwarna
gelap, dan KOK secara keseluruhan menghitam dan tidak teratur. Monaghan
(1993) dalam Gordon (1994)menyatakan bahwa kehomogenan ooplasm tidak
selalu dapat dipedornani sebagai kriteria seleksi oosit untuk dimatangkan in vitro.
Klasifikasi oosit dengan nilai prediksi yang baik sangat penting artinya dalam
sistem produksi embrio in vitro.
Laurincik et al. (1992)menggolongkan oosit ke dalam dua kelompok : (1)
KOK dengan lingkaran sel-sel korona yang gelap, yang &pat dilihat di sekitar
zona pelusida, dan (2) KOK dengan lingkaran korona yang memperlihatkan
kerapatan yang sama dengan rnasa sel kumulus. Dijelaskan bahwa KOK dengan
lingkaran sel-sel korona yang gelap menghasilkan angka kematangan yang tinggi.
Sehubungan dengan ha1 tersebut, adanya lingkaran sel-sel korona yang gelap
dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi oosit untuk pematangan oosit in vitro.

Ukuran Folikel dan Kualitas Oosit
Kisaran ukuran folikel yang diambil dari oosit sapi untuk kegiatan FIV
umumnya dua sampai enam mm. Tan dan Lu (1990) membuktikan adanya korelasi antilra ukuran folikel dan kualitas oosit. Oosit yang diambil dari folikel
berdiameter kurang dari 2 mm menghasilkan angka cleavage dan embrio yang
lebih rendah dibandingkan dengan oosit yang diambil dari folikel berdiameter dua
sampai enam mm, dan oosit yang diambil dari folikel berdiameter lebih dari
enam mm menghasilkan embrio yang lebih tinggi. Hal yang sama juga dinyata-

kan oleh Fuhrer et al. (1989) dan Pavlok et al. (1993)
Assey et al. (1992, 1994) membandingkan lingkungan daa stmktw oosit
yang berasal dari FD dengan dua folikel pendamping yang terbesar, yang diuji
beberapa hari setelah ovulasi. Para peneliti ini menyatakan bahwa oosit di dalam
FL) yang

lingkungannya didorninasi oleh estrogen mempunyai sel-sel kumulus

yang sehat, sedangkan oosit di dalam folikel pendamping yang lingkungannya didominasi oleh progesteron mempunyai sel-sel kumulus yang telah berdegenerasi.
Yematangan Oosit In Vitro
Pisiologi Yematangan Oosit
Semenjak kehidupan fetal atau neonatal, oosit mamalia telah mengalami
pembelahan meiosis 1, dan perkembangan inti sel tertahan pada tingkat dictyate
sampai setelah pubertas. Kemudian pembelahan meiosis 11 dimulai lagi, yang
terjadi pada sejumlah oosit tertentu selarna siklus estrus. Pembelahan meiosis
pada oosit setelah pubetas merupakan awal dari pematangan inti oosit secara
keseluruhan,

clan

secara morfologik

dicirikan oleh undulasi

mengkerutlbergelombang) dari selubung inti (Hyttel et al., 1987).

(gerakan
Setelah

pecahnya selubung inti (gemiml vesicle breakdown = GVBD) diiringi oleh
khromosom yang berkondensasi menjadi bentuk yang Irompak, pembentukm

spindle meiosis yang menurut gilirannya diikuti oleh keluarnya badan kutub
(polar body) 1 dan pembentukan cakram metafase 11 (M-ll) (Jagiello et al.,
1975). Di samping khromosom badan kutub I mengandung berbagai organel
termasuk mitokhondria, ribosom dan granula kortikal (Gordon , 1994).
Lanzendorf et al. (1990) menyatakan ha1 yang serqa bahwa dalam perkembangannya sel telur dapat dibedakan antara stadium inti (germinal vesicle =
GV) dimana terlihat inti dan dikelilingi lapisan korona pekat, stadium metafase 1

(M-1) dimana terjadi peleburan inti sehingga tidak terlihat inti di dalam sel dan
stadium metafase 11 (M-ll), yang merupakan sel telur matang dirnana terlihat
adanya benda kutub I.
Secara struktural, pematangan sitoplasma oosit digambarkan oleh sejumlah
perpindahan dan transformasi organel, termasuk peningkatan jumlah granula
kortikal dan pergerakan sentrifugalnya (Hyttel et al., 1986a).

Perubahan-

perubahan sitoplasma mencerminkan adanya variasi dalam aktivitas metabolik
ooplasma (Kruip et al., 1983). Pematangan oosit juga diasosiasikan dengan satu
seri perubahan kuantitatif dalam pola sintesis protein dan transkripsi mKNA
(Schultz dan Wassarman, 1977 dalam Xu, 1987).
Selama pematangan oosit, kontak hubungan antara individu sel-sel kumuius, sebagaimana hubungan yang terjadi antara sel kumulus dan oosit, terputus
atau terhenti (Hyttel et al., 1986b). 'l'erputusnya hubungan tersebut menyebabkan terjadinya deposisi matriks asam hialuronidase di antara sel-sel kumulus
(Eppig, 1980) dan ekspansi atau aktivasi sel-sel kumulus yang dapat diamati
secara mikroskopik (Motlik et al. , 1986). Fenomena ini (kelonggaranlekspansi

kompleks (wsit-kumulus dengan massa sel kumulus yang terang) dijadikan sebagai indikasi yang kuat untuk kematangan oosit sebab hanya oosit dengan sel-sel
kumulus aktif yang dapat difertilisasi in vitro (Greve et al., 1984).
Sistem lnkubasi Pematangan Oosit I n Vitro
Salah satu media kompleks yang paling banyak digunakan untuk pematangan oosit in vitro adalah tissue culture medim 199 (TCM-199)(Gordon,
1994). '1'CM-199 terdiri atas garam-garam Earle yang mengandung N-(2-hyd-

roxyethy1)-piperazine-N'-(2-ethanesulphonic acid) (HEPES) dan natrium bikarbonat sebagai penyangga dan disuplementasi dengan piruvat, laictat, asam aminoasam amino, vitamin, purin dan substansi lain yang terdapat di dalam serum.
Kisaran optimum tekanan osmotik medium untuk pema-tangan oosit in vitro
adalah 275 sampai 285 mosm (isotonik terhadap cairan folikel/plasma semen).
Air merupakan bahan utama penyusun media pematangan oosit in vitro.
Penggunaan air ultra murni dan bebas dari kontaminan merupakan falctor yang
sangat penting untuk dipersiapkan (Savister et al., 1992).

Beberapa macam

kelompok kontaminan yang mungkin ditemui adalah bahan-bahan padat dan gas
yang terionisasi dan tidak terionisasi yang terlarut di dalam air, partikel-partikel
zat, mikroba dan pirogen.

Dengan menggunakan filter berdiameter 0.22 pm

semua bakteri dapat dihilangkan, karena bakteri paling kecil berukuran 0.3 pm.
Oosit dapat dimatangkan in vitro menggunakan sistem kultur non statik, di
mana 10 sampai 20 kompieks oosit-kumulus dimatangkan di dalam 50 sampai 100
pl

medium. Penggunaan tetes medium 50 sampai 100 pl yang ditutup dengan

minyak mineral memberikan beberapa keuntungan seperti mencegah atau mengurangi penguapan air, mencegah kontaminasi mikroba, mengurangi fluktuasi suhu

dan gas, serta memudahkan pemeriksaan selama penginkubasian (Gordon, 1994).
Menurut Sirrad et al. (1989) pematangan oosit sapi in vi?ro memerlukan
waktu 18 sampai 24 jam.

Fase germinal

vesicle (GV) terlihat jelas dari no1

sampai 6.6 jam, GVBD muncul dari 6.6 sampai 8.0 jam, kondensasi khromatin
pada 8.0 sampai 10.3 jam, metafase I pa& 10.3 sampai 15.4 jam, anafase 1 pa&
15.4 sampai 16.6 jam, telofase 1 pada 16.6 sampai 18-0jam dan metafase 11 pada

18.0 sampai 24.0 jam semenjak awal pematangan oosit in vitro. Menurut Gordon
(1994) periode pematangan oosit 24 jam menghasilkan angka pematangan dan
angka cleavage yang hampir sama dengan periode pematangan oosit 18 jam,
tetapi angka blastosis pada pada hari ketujuh dan kesembilan pada periode pematangan oosit 24 jam nyata lebih tinggi.
Jenis antibiotik yang digunakan dalam pematangan oosit sapi in vitro
adalah anti bakteri yang berspektrum luas dan tidak toksik seperti penisilin (50
sampai 100 1UIml) dan streptomisin (50 sampai 100 pglrnl). Penggunaan gentamisin sulfat (50 pglml) dapat dijadikan sebagai altematif pengganti penisilinlstreptomisin (Younis et al., 1989). Kelebihan gentamisin adalah tahan diautoklaf pada suhu tinggi. Namun demikian Mizoshita et al. (1993) menyarankm
untuk ti& menggunakan gentamisin &lam produksi embrio sapi in vitro.
Menurut Gordon (1994) suhu optimum untuk pematangan oosit in vitro
adalah 38 sampai 39'~, dan suhu optimum untuk fertilisasi dan kultur embrio in
vitro adalah 39%.

Penggunaan suhu 4 0 ' ~ memberi pengaruh yang merusak

terhadap fertilisasi oosit dan perkembangan embrio taraf awal.
Azambuya et al. (1993) menguji pengaruh fase gas terhadap pematangan
oosit sapi in vitro. Hasil penelitian tersebut menyirnpulkan bahwa jumlah embrio
yang berkembang menjadi morula atau blastosis pa& fase gas 5.0% C02 di

dalam udara lebih tinggi dibandingkan dengan fase gas 5.0% C02, 5.0% O2 dan

90% N2. Menurut Trounson (1992) penwunan konsentrasi 0 2 dari 20% menjadi
5.0% menghasilkan perkembangan embrio yang lebih baik. Sedan-

Suzuki et

al. (1997) melaporkan bahwa embrio sapi dapat dihasilkan secara in vitro menggunakan inkubator C02 sederhana dengan tekanan udara negatif.
Penggunaan Serum Sapi dalam Pematangan Oosit I n Vitro

Menurut Malole (1990) dan Freshney (1987) serum mengandung zat-zat
nutrisi seperti bermacam-rnacam protein, asam lemak, hormon insulin, hormon
steroid, mineral dan faktor penumhuh yang dapat dimanfaatkan untuk pematangan
oosit dan perkembangan embrio. Secara umum, komposisi serum telah diuraikan
oleh Freshney (1985) dan Malole (1990). Protein merupakan komponen serum
yang terbesar, dan protein yang telah terbukti bermanfaat adalah albumin dari
globulin. Albumin berguna untuk membawa vitamin, lemak atau lipid (asam
lemak/kholesterol), hormon dan mineral; dan untuk mengatur tekanan osmotik
serta sebagai penyangga.

Fibronektin (globulin tak terlarut) berguna untuk

merangsang perlekatan sel, sedangkan a-2 makroglobulin berfungsi menghambat tripsin yang merupakan enzim proteolitik. Fetuin yang terdapat dalam
serum fetus meningkatkan perlekatan sel, sedangkan transferin berfungsi mengikat unsur besi (Fez+). Protein lain mungkin masih banyak tetapi belum jelas
karakterisasinya. Menurut Malole (1990), di antara hormon yang a& &lam
serum, insulin merupakan unsur yang esensial bagi pertumbuhan hampir semua
sel dalam kultur.
Beberapa makromolekul dari sumber serum sapi yang beragam biasanya
digunakan di dalam medium pematangan oosit sapi in vitro, atau kadang-kadang

juga bovine senun albwnin (BSA). Beberapa jenis serum yang sering dicobakan
dalam studi pematangan oosit sapi antara lain fetal calf serum (FCS) atau fetal
bovine senun (FBS), bovine senun albumin

(BSA), steer serum, serum sapi

proestrus, serum sapi estrus, dan serum sapi estrus yang disuperovulasi (Gordon
et al., 1994).
Leibfried-Rutledge et al. (1986) mernbuktikan bahwa FCS lebih baik
dibandingkan dengan BSA sebagai suplemen protein di dalam medium.

FBS

mengandung fetuin, glikoprotein utama yang terdapat di dalam FBS, dapat
mencegah pecahnya zona pelusida selama pematangan oosit in vitro (Schroeder et
al., 1990). Dijelaskan bahwa fetuin dapat mencegah alctivitas enzim proteolitik
yang berasal dari penglepasan granula kortikal yang terlalu cepat. Peoelitian pada
tikus (Zhang et al., 1991) dan mencit (Yamazaki daa Ishibashi, 1990) juga
mernbuktikan bahwa EiSS &pat mencegah pecahnya zona pelusida dan memperbaiki kapasitas fertilisasi oosit.
Gordon dan Lu (1990) dan Lu et al. (1987) memodifikasi metode pematangan oosit in vitro pada sapi dan domba dengan cara mengeliminasi hormonhormon dan mengganti FCS yang digunakan dalam studi-studi awal dengan 20%
serum sapi estrus sebagai komponen yang memperkaya TCM-199.

Angka

pematangan oosit dan angka cleavage dalam penelitian ini masing-wing 79%
dan 83%. Serum sapi estrus mengandung konsentrasi steroid dan gonadotropin

yang sangat bervariasi dibandingkan dengan serum sapi yang diambil pada fase
siklus estrus atau dari kategori sapi lainnya (Lu et al., 1987). Menwut Dobson et
al. (1973) dalam Gordon (1994) konsentrasi estrogen meningkat secara tajam dari

5.0 pg/ml meluap menjadi 15.0 pglml pa& hari sapi estrus. Konsentrasi LH
juga meluap sesaat setelah level estrogen mencapai puncaknya.

Sedangkan

menurut Henricks et al. (1972) konsentrasi estrogen dalam pl