Perancangan Heat Exchanger Type Shell And Tube Untuk After Cooler Kompressor Dengan Kapasitas 8000 m3/hr Pada Tekanan 26,5 Bar
SKRIPSI
ALAT PENUKAR KALOR
PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TYPE SHELL AND TUBE UNTUK AFTERCOOLER KOMPRESSOR DENGAN KAPASITAS
8000 m3/hr PADA TEKANAN 26,5 BAR
OLEH :
FRANKY S SIREGAR NIM : 080421005
PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas sarjana ini. Tugas sarjana
ini merupakan syarat dalam memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknik
Mesin Universitas Sumatera Utara.
Tugas sarjana ini diambil dari bidang mata kuliah Alat Penukar Kalor
dengan judul “ PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TYPE SHELL AND
TUBE UNTUK AFTER COOLER KOMPRESSOR DENGAN KAPASITAS 8000 m3/hr PADA TEKANAN 26,5 BAR”
Dalam penyelesaian tugas sarjana ini, penulis mendapat banyak bimbingan
dan dukungan dari dosen pembimbing bapak Ir. Tekad Sitepu dan teman – teman
di Departemen Teknik Mesin Ekstensi Universitas Sumatera Utara, baik berupa
saran dan nasehat serta ilmu pengetahuan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar – besarnya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda R. Siregar dan Ibunda M. br.
Hutabarat yang telah berjuang untuk membimbing dan memberi dorongan
moril serta buat semua doa-doanya selama ini kepada penulis.
2. Bapak Ir. Tekad Sitepu, sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan banyak waktu serta menyumbangkan ilmu dan nasehat
(8)
3. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri, sebagai Ketua Departemen Teknik
Mesin Falkutas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak/Ibu dosen di Departemen Teknik Mesin Falkutas Teknik
Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama kuliah.
5. Bapak/Ibu staff pegawai yang banayk membantu penulis selama kuliah di
Departemen Teknik Mesin Falkutas Teknik Universitas Sumatera Utara.
6. Adik – adik penulis; Firman Alexander Siregar SST, Ns. Friska Triani
Siregar S.Kep, dan Andro Nikusnuari Siregar yang telah mendukung
penulis.
7. Rekan – rekan mahasiswa di teknik mesin: Jhoni M, Roni, Irwanto LG,
kang Naim dan semua teman – teman ekstensi St’08 dan St’07 yang telah
banyak mendukung dan membantu penulis selama perkuliahan maupun
dalam penyelesaian tugas sarjana ini.
Penulis menyadari tugas sarjana ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca dalam
penyempurnaan tugas sarjana ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas
sarjana ini dapat berguna bagi pembaca. Terima kasih.
Medan, April 2011
Penulis,
NIM: 08 0421 005 Franky S. Siregar
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR NOTASI... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Batasan Masalah ... 3
1.4. Metodologi Penulisan ... 3
1.5. Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heat Exchanger ... 5
2.1.1. Klasifikasi Heat Exchanger ... 5
2.1.2. Heat Exchanger Tipe Shell and Tube... 9
2.1.3. Kebaikkan Heat Exchanger Tipe Shell and Tube ... 12
2.1.4. Bagian-bagian Heat Exchanger tipe Shell and Tube ... 13
2.2. Proses Perancangan ... 19
2.3. Perpindahan Panas pada Heat Exchanger tipe Shell and Tube ... 20
(10)
1. Psikometrik ... 22
2.3.2. Logaritmic Mean Temperature Difference (LMTD) ... 24
1. Heat Exchanger Aliran Berlawanan Murni ... 24
2. Heat Exchanger Aliran Searah Murni ... 25
3. Heat Exchanger dengan Aliran Tube Dua Laluan ... 26
2.3.3. Koefisien Perpindahan Panas Total ... 28
1. Aliran Internal ... 28
2. Aliran Eksternal ... 32
2.1. Metode Bell-Delaware ... 32
2.2. Metode Wills and Johnston ... 40
BAB III ANALISIS KESETIMBANGAN ENERGI (THERMODINAMIKA) 3.1. Data-data Kondisi Operasi ... 48
3.2. Analisi Kesetimbangan Energi ... 50
3.2.1. Analisis pada sisi Tube... 50
1. Perhitungan Laju Perpindahan Panas ... 50
BAB IV PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL And TUBE 4.1. Tahap Perancangan ... 54
4.2. Perhitungan LMTD dan Koefisien Perpindahan Panas ... 56
4.2.1. Logarithmic Mean Temperature Difference (LMTD) ... 56
4.2.2. Koefisien Perpindahan Panas Total yang Dibutuhkan ... 61
(11)
4.3.1. Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas dan Penurunan
Tekanan untuk alairan di dalam Shell (External Flow) ... 61
4.4. Metode Delaware ... 63
4.4.1. Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas untuk aliran di dalam Shell ... 63
4.4.2. Perhitungan Penurunan Tekanan ... 66
4.5. Metode Wills and Johnstone ... 69
4.5.1. Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas dan Penurunan Tekanan untuk Aliran di dalam Shell ... 69
4.5.2. Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas Total ... 72
4.6. Tabel Perhitungan Panas dan Penurunan Tekanan ... 75
BAB V DETAIL DESAIN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL And TUBE BERDASARKAN PADA STANDAR TEMA 5.1. Tipe Heat Exchanger ... 76
5.2. Komponen-komponen Perancangan Heat Exchanger ... 77
5.3. Data-data Kondisi Desain ... 79
5.4. Detail Komponen-komponen Heat Exchanger ... 80
5.5. rangkuman Detail desain ... 90
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 92
6.2. Saran ... 92
(12)
DAFTAR NOTASI
Notasi Arti Satuan
A Luas Permukaan Perpindahan Panas m2
Ta Temperatur air 0C
Tu Temperatur udara 0C
mu Laju aliran massa udara kg/s
ma Laju aliran massa air kg/s
Q Laju perpindahan panas kW
ε Efektivitas heat exchanger
ωi Rasio kelembaban udara
Pv,i Tekanan parsial uap air bar
LMTD Beda suhu rata-rata logaritma K
Do Diameter luar pipa mm
Di Diameter dalam pipa mm
t Tebal pipa mm
L Panjang pipa mm
NT Jumlah pipa
ρ Kerapatan udara m3
kg
Cp Panas spesifik udara kJkgK
.
µ Viscositas (kekentalan) kgms
.
(13)
Pr Bilangan Prandtl
Vu Kecepatan udara m/s
Va Kecepatan air m/s
Re Bilangan Reynold
Nu Bilangan Nusselt
ho Koefisien perpindahan panas luar tube Wm2.K
hi Koefisien perpindahan panas internal Wm2.K
U Koefisien perpindahan panas total
K m W
.
2
tb Tebal baffle mm
Lb Jarak antar baffle mm
Ds Diameter dalam shell mm
PT Tube picth mm
Δtb Jarak antara tube dan baffle mm
Δsb Jarak antara shell dan baffle mm
Δby Jarak antara bundle dan shell mm
LC Jarak baffle cut mm
JC Faktor koreksi konfigurasi baffle mm
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kriteriapengklasifikasian heat exchanger ... 7
Gambar 2.2 Tipe utama shell and tube ... 11
Gambar 2.3 Konfigurasi heat exchanger ... 14
Gambar 2.4 Susunan mekanik heat exchanger ... 15
Gambar 2.5 desain-desain baffle ... 18
Gambar 2.6 Diagram T-v untuk uap air ... 23
Gambar 2.7 Heat exchanger aliran berlawanan murni... 24
Gambar 2.8 Heat exchanger aliran searah murni ... 25
Gambar 2.9 Heat exchanger tipe shell and tube dua laluan ... 26
Gambar 2.10 Faktor f untuk heat exchanger dua laluan ... 27
Gambar 2.11 Faktor gesekan fungsi bilangan Reynold ... 31
Gambar 2.12 Faktor koreksi kebocoran shell dan baffle ... 36
Gambar 2.13 Faktor koreksi aliran bypass ... 37
Gambar 2.14 Faktor koreksi kebocoran antara tube dan baffle ... 39
Gambar 2.15 Faktor koreksi karena aliran bypass... 40
Gambar 2.16 Alira-aliran bedasarkan metode Wills and Johnston ... 41
Gambar 3.1 Ilustrasi sederhana proses pada heat exchanger ... 48
Gambar 4.1 Grafik Logarithmic Temperature Difference ... 56
Gambar 5.1 Pola desain heat exchanger ... 76
Gambar 5.2 Detail komponen utama heat exchanger ... 77
Gambar 5.3 Shell and tube heat exchanger tipe BEM ... 78
Gambar 5.4 Shell and tube heat exchanger tipe AJW ... 79
Gambar 5.5 Jenis-jenis susunan tube bedasarkan geometri ... 82
Gambar 5.6 Tipe-tipe baffle ... 84
Gambar 5.7 Susunan baffle tipe horizontal ... 84
Gambar 5.8 Detail baffle perancangan ... 84
Gambar 5.9 Tipe-tipe sambungan gasket ... 87
Gambar 5.10 Tipe-tipe tube to tube sheet joint ... 88
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 persamaan-persamaan konveksi aliran dalam pipa ... ...32
Tabel 4.1 Perhitungan koefisien Perpindahan panas dan Penurunan Tekanan ...75
(16)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak terlihat fenomena perpindahan panas
dari material atau fluida yang mempunyai temperatur lebih tinggi ke material atau
fluida yang mempunyai temperatur lebih rendah. Dalam dunia industri fenomena
perpindahan panas tersebut dimanfaatkan untuk keperluan proses dengan
menggunakan suatu alat yang biasa disebut sebagai penukar panas atau heat
exchanger. Heat exchanger merupakan alat yang digunakan sebagai media untuk
memindahkan panas dari fluida yang bertemperatur lebih tinggi menuju fluida
yang bertemperatur lebih rendah. Dalam aplikasinya alat ini digunakan untuk
menaikkan maupun menurunkan temperatur, dan juga mengubah fase fluida.
Salah satu tipe heat exchanger yang banyak digunakan di dunia industri adalah
shell and tube heat exchanger.
Hal terpenting dalam proses perancangan heat exchanger adalah
perhitungan perpindahan panas yang terjadi di dalam heat exchanger itu sendiri.
Ada beberapa metode untuk menghitung perpindahan panas tersebut. Dalam
Tugas Sarjana ini akan dibandingkan antara dua metode perhitungan perpindahan
panas untuk heat exchanger tipe shell and tube, yaitu metode Delaware dan
metode Wills and Johnston. Metode-metode tersebut digunakan untuk
menganalisis perpindahan panas dan aliran fluida di dalam shell.
Dalam kaitannya dengan aplikasi pada dunia industri, Tugas Sarjana ini
(17)
sebagai aftercooler kompresor atau pendingin udara hasil kompresi yang akan
didistribusikan ke alat-alat dan instrumen lain pada perusahaan tersebut. Saat ini,
heat exchanger yang digunakan menunujukkan kinerja yang kurang memuaskan,
dimana terjadi laju pengotoran atau fouling yang tinggi, serta temperatur dan
kelembaban udara keluar heat exchanger lebih tinggi dari yang diharapkan. Oleh
karena itu, dalam Tugas Sarjana ini dilakukan perancangan ulang heat exchanger
untuk memperoleh desain heat exchanger yang paling optimal sesuai dengan
kebutuhan perusahaan baik dalam hal dimensi, biaya, maupun kapasitas
perpindahan panas.
Pada perancangan heat exchanger ini, fluida pendingin yang digunakan
adalah air sungai. Air sungai tersebut dialirkan di dalam shell, sedangkan udara
dari kompresor dialirkan di dalam susunan pipa-pipa atau tube.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Tugas Sarjana ini bertujuan untuk memperoleh desain
heat exchanger yang paling optimal. Penggunaan metode Delaware dan metode
Wills and Johnstone dalam perhitungan perpindahaan panas bertujuan untuk
membandingkan hasil perhitungan dua metode tersebut sehingga diperoleh
metode yang paling baik dalam perhitugan perpindahan panas untuk fluida di
dalam shell. Selain itu, tujuan dari penulisan Tugas Sarjana ini adalah untuk
mengetahui pola aliran serta distribusi kecepatan, temperatur, dan tekanan fluida
(18)
1.3 Batasan Masalah
Masalah-masalah yang dibahas dalam Tugas Sarjana ini mencakup analisis
termodinamika, perhitungan perpindahan panas, perhitungan penurunan tekanan,
penentuan detail desain heat exchanger, pemilihan desain yang paling optimal.
Analisis termodinamika mencakup perhitungan psikometrik yang berfungsi untuk
mengetahui kelakuan udara basah di dalam shell. Perhitungan perpindahan panas
menggunakan metode logarithmic mean temperature difference (LMTD) untuk
menentukan koefisien perpindahan panas total yang dibutuhkan. Perhitungan
koefisien perpindahan panas dan penurunan tekanan untuk fluida di dalam tube
dilakukan berdasarkan bilangan Reynolds dari aliran fluida tersebut, sedangkan
perhitungan untuk fluida di dalam shell menggunakan metode Delaware dan Wills
and Johnston. Penentuan detail desain heat exchanger dilakukan berdasar pada
standar yang tercantum di dalam TEMA untuk kelas C. Pada penulisan Tugas
Sarjana ini tipe heat exchanger yang digunakan adalah tipe singel shell and
tube—passes dengan fluida kerja berupa udara pada sisi tube dan air pada sisi
shell.
1.4 Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan Tugas Sarjana ini adalah :
a. Survei lapangan, yakni berupa peninjauan langsung ke lokasi tempat alat
penukar kalor yang berada di PT. ANEKA GAS INDUSTRI
b. Studi literatur, yakni berupa studi kepustakaan dan tulisan-tulisan yang
terkait dengan Alat Penukar Kalor.
(19)
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan Tugas Sarjana ini dibagi dalam beberapa bab dengan sistematika
sebagai berikut :
1. Bab I membahas tentang latar belakang, tujuan, batasan masalah,
metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
2. Bab II dasar teori dan tinjauan pustaka dalam hubungannya dengan
jenis-jenis serta bagian-bagian heat exchanger tipe shell and tube, teori
perpindahan panas pada heat exchanger tipe shell and tube, teori mengenai
analisis psikometrik, serta teori yang berhubungan dengan metode
Delaware dan metode Wills and Johnston.
3. Bab III membahas tentang analisis kesetimbangan energi.
4. Bab IV membahas tentang perancangan heat exchanger tipe shell and tube
untuk kondisi heat exchanger yang diinginkan yang mencakup data-data
awal perancangan, perhitungan perpindahan panas, perhitungan penurunan
tekanan, serta perbandingan hasil-hasil perhitungan.
5. Bab V membahas tentang detail desain heat exchanger berdasarkan
standar TEMA.
(20)
Gambar 2.1 Kriteria yang Digunakan dalam Pengklasifikasian Heat Exchanger
3. Satu fase atau dua fase
Evaporasi atau kondensasi yang terjadi pada salah satu maupun kedua
(21)
apabila dibandingkan dengan heat exchanger satu fase. Proses
perpindahan panas satu fase atau dua fase dapat dilihat pada gambar
2.1.iii.
4. Geometri
Ukuran dan bentuk heat exchanger sangat bervariasi tergantung dari
kebutuhan dan fungsinya. Bentuk-bentuk heat exchanger yang banyak
dipakai ditunjukan oleh gambar 2.1.iv, yaitu tube, plates, dan
enhanced surface.
Dalam menentukan bentuk maupun tipe heat exchanger yang tepat,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah memilih antara tiga alternatif tipe
dasar, yaitu kontak langsung atau direct contact,regeneratif, atau recuperative
indirect (transmural heat transfer). Heat exchanger tipe kontak langsung
merupakan tipe yang paling murah, namun hanya dapat digunakan apabila kedua
fluida memiliki tekanan yang sama dan pada proses yang diperbolehkan terjadi
percampuran. Pada beberapa jenis regenerative heat exchanger, kemungkinan
terjadinya percampuran di antara kedua fluida dapat berkurang, namun juga
memerlukan tekanan yang sama. Oleh karena itu, heat exchanger tipe intramural
merupakan salah satu tipe heat exchanger yang paling banyak digunakan. Setelah
langkah pertama terpenuhi, langkah berikutnya adalah memelih geometri yang
(22)
2.1.2. Heat Exchanger Tipe Shell and Tube
Heat exchanger tipe shell and tube merupakan tipe heat exchanger
yang paling banyak di dalam industri proses. hal ini dikarenakan tipe shell and
tube dapat digunakan untuk proses-proses dengan cakupan variasi tekanan dan
temperatur yang luas. Selain itu, tipe shell and tube dapat dikonstruksi dengan
cakupan variasi material yang luas. Shell and tube dibagi lagi menjadi tiga tipe
utama, seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.2. Susunan tipe shell and tube
secara konvensional diklasifikasikan berdasarkan nomenklatur dari Tubular
Exchanger Manufacturers Association (TEMA) yang ditunjukkan oleh gambar
2.3. Gambar 2.2 menunjukkan tiga tipe utama shell and tube heat exchanger,
yaitu:
1. Fixed tubesheet (Shell dengan pelat tube tetap)
Jenis ini sangat sederhana apabila dibandingkan dengan 2 jenis berikutnya.
Ciri yang dimiliki adalah adanya tubesheet yang tetap atau stasioner. Dari
segi perawatan, cara mekanik maupun kimiawi dapat diterapkan pada sisi
bagian dalam pipa. Cara mekanik dilakukan dengan menggunakan sikat
pembersih, sedangkan cara kimiawi dengan menggunakan cairan kimia
yang disemprotkan ke dalam pipa. Kesulitan yang muncul adalah apabila
harus melakukan pembersihan kerak yang berada pada sisi luar pipa,
mengingat adanya fixed tubesheet menyebabkan bagian luar pipa ini tidak
dapat diakses dari luar. Kelemahan dari penukar kalor tipe ini adalah
apabila terjadi ekspansi termal akan menyebabkan kebocoran pada sisi
(23)
digunakan pada temperatur yang terlalu tinggi. Penambahan ruang
ekspansi diperlukan untuk mengatasi masalah ekspansi termal tersebut.
2. U – tube type
Tipe ini memiliki bentuk yang tidak terlalu kompleks sepeti pada tipe fixed
tubesheet sehingga biaya pembuatannya pun tidak terlalu mahal. Heat
exchanger jenis ini memiliki pipa yang berbentuk U. Kelebihan dari tipe
ini adalah kemudahan perawatan untuk sisi luar pipa yaitu dengan melepas
tube bundle. Setelah tube bundle dikeluarkan dari shell, pembersihan
secara mekanik pada bagian luar pipa atau pada sisi shell dapat dengan
mudah dilakukan. Sebaliknya untuk pipa yang berbentuk U, maka
pembersihan secara mekanik cukup sulit dilakukan untuk bagian dalam
pipa karena adanya belokan U menyebabkan sikat penggosok tidak dapat
menjangkau bagian ini sehingga lebih disarankan untuk menggunakan
cairan kimiawi. Kelebihan lain dari jenis ini adalah ekspansi termal akan
terjadi pada sisi belokan pipa.
3. Floating head type
Heat exchanger jenis ini memiliki susunan paling kompleks apabila
dibandingkan dengan dua jenis sebelumnya. Hal ini karena adanya floating
head cover yang menyebabkan biaya pembuatan lebih mahal. Jenis ini
sangat tepat apabila bekerja pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi.
Adanya ekspansi termal akan diterima oleh bagian floating head cover.
Tube bundle pada heat exchanger ini terdiri atas susunan pipa lurus yang
(24)
memiliki diameter yang lebih besar dari pada diameter dalam shell,
sedangkan pada sisi yang lain memiliki diameter tubesheet yang lebih
kecil dari pada diameter dalam shell. Tujuan pemilihan konfigurasi ini
adalah untuk kemudahan pada sisi floating head cover dalam bergerak
secara translasi apibila terjadi ekspansi termal. Perawatan sisi dalam
maupun luar pipa dapat dilakukan dengan mudah. Untuk sisi luar pipa
dapat dilakukan dengan melepas bagian tube-bundle sedangkan sisi dalam
pipa menggunakan sikat penggosok maupun cairan kimiawi.
(25)
Gambar 2.2 (Lanjutan)
2.1.3. Kebaikan-kebaikan Heat Exchanger Tipe Shell and Tube
Walaupun dewasa ini sangat banyak jenis heat exchanger yang
dikembangkan pada industri-industri, namun heat exchanger jenis shell and tube
ini masih jauh lebih banyak digunakan dibanding dengan jenis lainnya. Hal ini
adalah diakibatkan beberapa keuntungan yang diperoleh, antara lain adalah :
Konfigurasi yang dibuat, akan memberikan luas permukaan yang besar dengan bentuk atau volume yang kecil.
Mempunyai lay-out mekanik yang baik, bentuknya cukup baik untuk
operasi bertekanan.
Menggunakan teknik fabrikasi yang sudah mapan (well-established)
Dapat dibuat dengan berbagai jenis material, dimana dapat dipilih jenis material yang dipergunakan sesuai dengan temperatur dan tekanan
operasinya.
(26)
Prosedur perencanaannya sudah mapan.
Konstruksinya sederhana, pemakaian ruangan relatif kecil.
Prosedur mengoperasikannya tidak berbelit-belit, sangat mudah
diketahui/dimengerti oleh para operator yang berlatar belakang pendidikan
rendah.
Konstruksinya dapat dipisah-pisah satu sama lain, tidak merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga pengangkutannya relatif gampang.
2.1.4. Bagian-Bagian Heat Exchanger Tipe Shell and Tube a. Cangkang (Shell)
Shell Biasanya terbuat dari baja maupun paduannya. Mengenai
dimensi dan tebal dinding shell, standar TEMA mengatur dalam satuan inch dan
millimeter mulai dari 6 inch (152 mm) hingga 100 inch (2540 mm) untuk
diameter dalam shell dan 1/8 inch (3,2 mm) sampai dengan ½ inch (12,7 mm)
untuk ketebalannya. Sedangkan material yang digunakan untuk spesifikasi shell
disarankan mengacu kepada ASTM. Untuk shell cover, ketebalan yang dipakai
minimal sama dengan ketebalan dari shell.
Gambar 2.4 menunjukkan susunan mekanik penukar panas shell
and tube. Gambar 2.4(a) memperlihatkan susunan one shell and single tube-pass,
sedangkan Gambar 2.4(b) sampai dengan Gambar 2.4(d) menunjukkan susunan
one shell and two tube-passes. Gambar 2.4(b) merupakan susunan untuk tipe
U-tube, Gambar 2.4(c) untuk fixed tubesheet, dan Gambar 2.4(d) untuk floating
(27)
(28)
Gambar 2.4 Susunan Mekanik Heat Exchanger Tipe Shell and Tube
b. Pipa (Tube)
Karakteristik tube di dalam heat exchanger berpengaruh besar
(29)
dimensi, material, maupun susunannya. Dimensi dari pipa tersedia dalam satuan
inch. Dalam standar TEMA, diameter luar pipa dibatasi mulai dari ¼ inch (6,4
mm) sampai dengan 2 inch (50,8 mm). Tebal tipisnya dinding tube ini berkaitan
dengan tahanan termal pada sisi dinding pipa, semakin tebal berarti tahanan
termal semakin besar dan semakin buruk dalam menghantarkan panas. Material
pipa yang tersedia untuk pembuatan tube ini biasanya berupa baja karbon dan
paduannya, nikel dan paduannya, maupun aluminium dan paduannya.
c. Sekat Menyilang (Baffle)
Baffle berfungsi sebagai sekat untuk mengarahkan aliran fluida di
dalam shell dan menaikkan kecepatan aliran atau membuat aliran menjadi
turbulen. Adanya turbulensi akan meningkatkan koefisien perpindahan panas
sehingga akan meningkatkan laju perpindahaan panas. Meskipun demikian,
pemasangan baffle juga menaikkan penurunan tekanan atau pressure drop aliran
fluida. Baffle terpasang pada tie rod.
Dalam standar TEMA, diatur jarak antara satu baffle dengan baffle
yang lainnya yang disebut sebagai baffle spacing. Jarak antara baffle yang satu
dengan yang lainnya dibuat sama, apabila tidak memungkinkan maka bisa diambil
jarak yang terdekat adalah bagian yang berdekatan dengan ujung shell, sedangkan
yang lain dibuat jarak yang sama antara baffle satu dengan baffle yang lainnya.
Jarak antar baffle dibatasi paling dekat 1/5 dari diameter dalam shell. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya pressure drop yang terlalu besar,
(30)
hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya getaran pada pipa. Apabila terjadi
getaran, maka pipa yang terpasang pada tubesheet akan ikut bergetar dam
berpotensi untuk menciptakan kebocoran. Dalam perancangan heat exchanger,
akan dipergunakan satu dari beberapa desain baffle seperti ditunjukkan pada
gambar 2.5.
Pada baffle diatas terdapat bagian yang terpotong sebagai jalan
fluida untuk mengalir. Nama baffle biasanya disesuiakan dengan beberapa persen
dari baffle yang terpotong. 25% segmental baffle cut berarti 25% dari diameter
baffle terpotong sebagai jalan masuknya fluida.
d. Tie Rod
Tie rod adalah batang silinder dengan diameter tertentu yang
berfungsi sebagai tempat bertumpunya baffle. Tie rod terpasang pada tubesheet
dengan mekanisme ulir, sedangkan pada ujung lainnya dilengkapi dengan
pasangan baut dan ulir untuk menahan baffle tetap berda pada posisinya.
Dalam standar TEMA, diatur tentang ukuran besar diameter tie rod
sebagai fungsi dari diameter dalam shell, semakin besar diameter dalam shell,
maka semakin besar pula diameter tie rod dan jumlahnya semakin banyak karena
(31)
Gambar 2.5 Desain-Desain Baffle
e. Tubesheet
Fungsi tubesheet ini adalah sebagai tempat terpasangnya pipa.
Susunan pipa yang terpasang bisa berbentuk triangular, rotated triangular,
square, maupun rotated square. Pipa biasanya terpasang tidak simetris.
Ketidaksimetrisan ini terdapat pada bagian yang berdekatan dengan nozzle tempat
fluida yang mengalir masuk ke dalam shell. Bagian tersebut tidak terdapat pipa
karena bertujuan untuk meminimalkan kontraksi yang terjadi pada perpipaan
(32)
f. Tube Pitch
Dalam standar TEMA, diatur bahwa jarak-jarak terpendek adalah
1- 1/4 kali dari titik pusat pipa. Jarak terdekat antara kedua lubang ini biasanya
disebut clearance. Keuntungan dari bentuk square pitch adalah kemudahan dalam
perawatan secara mekanik karena terdapat suatu clearance yang teratur posisinya
membentuk garis horizontal dan vertical, juga pressure drop yang dimiliki tipe ini
kecil karena aliran fluida tidak ada yang menghalangi. Apabila diinginkan laju
perpindahan panas yang lebih besar, dapat dipilih tipe triangular pitch. Pada tipe
ini aliran fluida tidak dapat mengalir lancar karena terhalang oleh pipa yang
berada di depannya sehingga terjadi turbulensi dan pressure drop menjadi besar.
Dari sisi perawatan secara mekanik tipe ini lebih sulit dalam pembersihan kerak
yang berada diluar pipa karena sikat penggosok tidak dapat melewati clearance
dengan mudah. Adanya susunan pipa yang berbentuk segitiga menghalangi sikat
penggosok.
2.2 Proses Perancangan
Banyak alternatif desain yang dapat digunakan dalam perancangan heat
exchanger namun perlu adanya optimalisasi desain untuk mengurangi biaya. Perlu
adanya teknik trial and error untuk mendapatkan desain yang paling optimal.
Beberapa parameter dan batasan yang digunakan dalam perancangan adalah :
1. Temperatur masuk dan keluar
2. Laju aliran massa fluida
(33)
4. Pressure loss/drop atau penurunan tekanan yang diijinkan pada kedua sisi
heat exchanger.
5. Sifat-sifat fluida
6. Fouling resistance atau tahanan pengotor untuk masing-masing aliran.
Dalam perancangan kita juga harus mempertimbangkan adanya penurunan
tekanan yang di dalam tube maupun di dalam shell. Selain itu, ada juga beberapa
parameter yang menjadi batasan, yaitu :
1. Kecepatan maksimum di dalam tube. Bila kecepatan aliran fluida di dalam
tube terlalu besar maka akan terjadi erosi.
2. Kecepatan minimum di dalam tube. Laju pengotoran dapat menigkat
apabila kecepatan fluida di dalam tube terlalu kecil.
3. Kecenderugan getaran-getaran pada tube. Banyak kegagalan pada heat
exchanger yang disebabkan oleh terjadinya flow-induced vibration pada
tube. Peristiwa ini terjadi karena terdapat kecepatan kritis pada tube yang
dapat menyebabkan getaran pada tube.
2.3 Perpindahan Panas pada Heat Exchager Tipe Shell and Tube
Persamaan dasar yang digunakan untuk menghitung laju perpindahan
panas dalam heat exchanger adalah :
Q = U . A . ΔT (2.1)
Dimana Q adalah laju perpindahan panas total, ΔT adalah perbedaan temperatur
(34)
(LMTD), A adalah luas permukaan perpindahan panas, dan U adalah koefisien
perpindahan panas total. Luas permukaan perpindahan panas diperoleh dari :
A =
n
.(π
.D.L) (2.2)dimana n adalah jumlah tube, dan L adalah panjang tube. Karena luas perpindahan
panas yang dipilih sebagai referensi adalah luas permukaan luar tube, maka
diameter D yang digunakan adalah diameter luar tube.
2.3.1. Laju Perpindahan Panas
Pada heat exchanger terjadi proses perpindahan panas dari fluida
bertemperatur lebih tinggi ke fluida bertemperatur lebih rendah. Berdasarkan
hukum keseimbangan energi, panas yang dilepaskan oleh fluida panas harus sama
dengan panas yang diterima fluida dingin sehingga laju perpindahan panas total
yang terjadi adalah :
) (
)
( h,in h,out c pc c,out c,in
ph
hC T T M C T T
M
Q = − = − (2.3)
subscripth dan c masing-masing mempresentasikan fluida panas dan fluida
dingin.Mh dan Mcadalah laju aliran massa masing-masing fluida, Th,in dan Tc,in
adalah temperatur masuk masing-masing fluida. Th,out dan Tc,out adalah temperatur
keluar masing-masing fluida, serta cph dan cpc adalah kapasitas panas spesifik
masing-masing fluida.
Jika salah satu fluida yang mengalir dalam heat exchanger adalah udara
basah, maka terdapat kemungkinan terjadi kondensasi pada uap air yang
terkandung di dalam udara basah tersebut. Analisis yang berhubungan dengan
(35)
1. Psikometrik
Istilah udara basah digunakan untuk mempresentasikan campuran antara
udara kering dengan uap air dimana udara kering dianggap sebagai komponen
murni (bukan sebagai campuran). Sebagaimana dapat diperiksa dengan referensi
terhadap data sifat yang sesuai, campuran keseluruhan dan setiap komponen
campuran bereprilaku sebagai gas ideal pada kondisi-kondisi yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, dalam perhitungan sifat-sifat udara basah dapat
digunakan konsep-konsep dalam perhitungan sifat-sifat gas ideal.
Sebuah tingkat kaeadaan tipikal uap air dalam udara basah diperlihatkan
pada gamnbar 2.6. Pada tingkat keadaan tersebut, ditetapkan dengan tekanan pv
dan temperatur campuran T, uap yang terjadi adalah uap super panas. Jika tekanan
parsial uap air dihubungkan dengan tekanan jenuh air pada temperatur campuran,
Pgpada gambar 2.6, maka campuran dikatakan sebagai campuran jenuh. Udara
jenuh merupakan campuran udara kering dan uap air jenuh. Jumlah uap air dalam
udara basah bervariasi (tergantung dari tekanan dan temperaturnya) dari nol pada
udara kering hingga maksimum pada kondisi campuran jenuh.
Kondensasi uap air terjadi pada temperatur titik embun, yaitu temperatur
jenuh pada tekanan parsial uap air tersebut. Tekanan parasial uap air dihitung
berdasarkan rasio kelembaban udara ω, yaitu perbandigan massa uap air (mv) terhadap massa udara kering (ma) yang dinyatakan sebagai :
a v
m m =
ω (2.4)
(36)
Gambar 2.6 Diagram T-v untuk Uap Air dalam Suatu Campuran Udara-Uap Air
Rasio kelembaban udara dapat dinyatakan dalam bentuk tekanan parsial
(pv) dan berat molekul (Mv)
a a
v v a
a v v a v
p M
p M RT V p M
RT V p M m m
= =
=
ω (2.5)
Dengan mengetahui bahwa pa = p – pv dan perbandigan antara berat molekul air
(18 kg/kmol) terhadap berat molekul udara kering (28.97 kg/kmol) adalah 0,622
maka
v v
p p
p − =0,622
ω (2.6)
(37)
2.3.2. Logaritmic Mean Temperature Difference (LMTD) 1. Heat Exchanger Aliran Belawanan Murni
Kasus heat exchanger aliran berlawanan murni diperlihatkan dalam
gambar 2.7. Panas berpindah dari suatu fluida panas pada temperatur Th menuju
fluida dingin pada temperatur Tc, dimana fluida yang satu mengalir dalam arah
yang berlawanan terhadap fluida lainnya.
Gambar 2.7 Heat Exchanger Aliran Berlawanan Murni
Pada kasus heat exchanger aliran berlawanan murni, perbedaan temperatur
rata-rata disebut sebagai logarithmic mean temperatur difference ΔTLM yang dinyatakan sebagai
(
) (
)
[
]
(
) (
)
[
hin cout hout cin]
in c out h out c in h LM
M
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
, ,
, ,
, ,
, ,
/
ln
−
−
−
−
−
=
∆
=
(38)
2. Heat Exchanger Aliran Searah Murni
Kondisi untuk aliran searah murni diperlihatkan dalam gambar 2.8.
Perbedaan temperatur rata-rata dapat diperoleh melalui prosedur yang sama
seperti dalam perhitungan aliran berlawanan, yang dinyatakan dalam persamaan
berikut
(
) (
)
[
]
(
) (
)
[
hin cin hout cout]
out c out h in c in h LM
M
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
, ,
, ,
, ,
, ,
/
ln
−
−
−
−
−
=
∆
=
∆
(2.8)Gambar 2.8 Heat Exchanger Aliran Searah Murni
Heat exchanger aliran searah murni mempunyai efisiensi yang lebih
rendah dari pada heat exchanger aliran berlawanan. Pada heat exchanger aliran
searah, temperatur keluar fluida dingin tidak bisa melebihi temperatur keluar
fluida panas. Sedangkan pada heat exchanger aliran berlawanan, temperatur
(39)
itu, heat exchanger aliran searah hanya digunakan dalam kondisi khusus seperti
pada saat dibutuhkan pendinginan awal suatu fluida yang cepat.
3. Heat Exchanger Tipe Shell and Tube dengan Aliran Tube Dua laluan
Kasus ini diperlihatkan secara skematik dalam gambar 2.9 dan telah
ditemukan solusinya oleh Underwood (1934). Pada kasus penukar panas tipe shell
and tube dengan aliran tube dua laluan atau one shell and two tube-passes
terhadap suatu faktor koreksi dalam menentukan perbedaan temperatur rata-rata.
Perbedaan temperatur rata-rata aktual diperoleh dengan cara mengalikan
perbedaan temperatur rata-rata pada kasus aliran berlawanan murni (persamaan
2.7) dengan nilai suatu faktor F sehingga diperoleh
LM
M
F
T
T
=
⋅
∆
∆
(2.9)(40)
Nilai faktor F merupakan fungsi dari perbandingan temperatur R dan P yang
didefenisikan sebagai
(
)
(
cout cin)
out h in h ph h
pc c
T T
T T c
M c M R
, ,
, ,
− − =
= (2.10)
(
)
(
hin cin)
in c out c
T
T
T
T
P
, ,
, ,
−
−
=
(2.11)dimana R dan P berkaitan erat terhadap efektivitas heat exchanger. Selanjutnya,
nilai faktor F dapat dihitung melalui persamaan
(
) (
)
[
]
(
1)
ln[
(
2{
(
1)
1}
)
/(
2{
(
1)
1}
)
]
1/ 1 ln 1
2 2
2
+ +
+ −
+ −
+ −
−
− −
+ =
R R
p R
R P R
PR P
R
F (2.12)
Persamaan 2.12 juga dapat digunakan untuk heat exchanger dengan
jumlah laluan empat, enam, delapan, dan lebih besar meskipun terdapat perbedaan
yang kecil. Persamaan tersebut banyak dipakai dalam perhitungan untuk semua
heat exchanger dengan jumlah laluan genap. Selain menggunakan persamaan
2.12, nilai faktor F juga bisa diperileh dari grafik pada gambar 2.10
(41)
2.3.3. Koefisien Perpindahan Panas Total
Koefisien perpindahan panas total (U) yang merupakan jumlah dari
seluruh koefisien perpindahan panas pada aliran internal, aloran eksternal, tahanan
pengotoran atau fouling resistance, dan tahanan dinding pipa dapat dihitung dari
persamaan
+ + + + =
i o i i o i w o
o A
A h A A r r r h U
1 1
1
(2.13)
diamana ho dan hi adalah koefisien perpindahan panas untuk aliran eksternal dan
internal, ro dan ri, masing-masing adalah tahanan termal akibat pengotoran aliran
fluida eksternal dan internal, serta rwadalah tahanan termal dinding tube.Ao dan
Ai adalah luas permukaan luar dan dalam tube.
1. Aliran Internal
Penggambaran aliran fluida dalam pipa dapat dilihat kembali dari
penemuan bilangan Reynolds dimana pada kecepatan rendah aliran yang terjadi
adalah laminar, yaitu fluida mengalir dalam aliran-aliran yang halus disertai
perpindahan momentum dan panas di antara aliran-aliran yang diatur oleh
pergerakan molekul, serta penurunan tekanan dalam pipa berhubungan langsung
dengan konduktivitas termal yang dipengaruhi oleh viskositas dan perpindahan
panas. Pada kecepatan yang lebih tinggi, aliran yang terjadi adalah turbulen
dimana proses transport dipercepat oleh komponen-komponen lateral kecepatan
fluida sehubungan dengan adanya pusaran-pusaran yang terjadi. Peralihan dari
(42)
Re = ρ . U . D (2.14)
antara 2000 hingga 4000. Untuk beberapa perhitungan, suatu nilai kritis 2300
dapat digunakan, namun perlu diingat bahwa dalam kondisi sebenarnya,
perubahan pola aliran tidak diperlihatkan secara tajam sehingga diperiksa sebagai
pola aliran transisional.
1.1 Faktor Gesekan pada Aliran dalam Pipa
Faktor gesekan
f
o, didefenisikan sebagaifo = 0 2
2 1
∞
U ρ
τ (2.15)
dimana
τ
0 adalah tegangan geser di dinding pipa dan U∞ adalah untuk kecepatanfluida di luar lapisan batas. Faktor gesekan berhubungan dengan penurunan
tekanan sebagaimana dinyatakan dalam persamaan berikut untuk suatu pipa
dengan panjang L dan diameter D
DL U
f DL D
pπ τ π ρ π
= =
∆ 2
0 0
2
2 1
4 (2.16)
atau
=
∆
2 4
2 0
U D L f
p ρ (2.17)
Faktor gesekan adalah suatu fungsi dari bilangan Reynolds, ReD. Fungsi
tersebut dapat diturunkan secara analitik unutk aliran laminar, namun bergantung
pada kolerasi data ekperimental untuk aliran turbulen.
Faktor gesekan untuk aliran laminar fully developed di dalam suatu pipa
(43)
Re 16 16
0 = =
UD f
ρ η
(2.18)
sedangkan faktor gesekan untuk aliran turbulen fully developed di dalam suatu
pipa yang halus dinyatakan dengan
4 1 0 0,079Re
−
=
f untuk Re ≤ 2ҳ104 (2.19)
dan
5 1 0 0,046
−
=
f untuk Re > 2x104 (2.20)
Selain itu menggunakan persamaan-persamaan di atas, faktor gesekan
untuk aliran turbulen dapat dicari dari gambar 2.11. Pada gambar tersebut efek
kekasaran permukaan diklasifikasikan menurut nilai perbandingan e/D, dimana e
adalah tinggi kekasaran ekuivalen. Nilai f pada gambar merupakan empat kali dari
nilai fo, (f=4f0). Faktor gesekan untuk permukaan kasar yang mempunyai bilangan
Reynolds di atas nilai yang tercantum dalam diagram Moody tidak lagi sebagai
fungsi dari Re.
Dalam kenyataannya, permukaan pipa tidaklah halus sempurna, dan faktor
gesekan aliran turbulen sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan pipa.
Meskipun demikian, hal tersebut tidak terjadi pada aliran laminar. Sebuah
persamaan eksplisit yang cukup berguna untuk aliran turbulen (104 > Re > 4.108) baik di dalam pipa halus maupun pipa kasar telah diberikan oleh N.H Chen
(1979), yaitu + − − = 8981 , 0 1098 , 1 0 Re 8506 , 5 8257 , 2 1 log Re 0452 , 5 7065 , 3 log 0 , 2 4 1 D e D e
(44)
Gambar 2.11 Faktor Gesekan sebagi Fungsi Bilangan Reynolds dan Kekasaran Relatif untuk Pipa Bulat – Diagram Moody
1.2 Koefisien Perpindahan Panas Aliran dalam Pipa
Koefisien perpindahan panas untuk aliran dalam pipa merupakan fungsi
dari bilangan Nusselt, konduktivitas termal, dan diameter dalam pipa. Bilangan
Nusselt sendiri mempunyai kolerasi dengan bilangan Reynolds dan bilangan
Prandtl. Perhitungan koefisien perpindahan panas aliran dalam pipa dapat
menggunakan persamaan-persamaan yang tercantum dalam tabel 2.1 sesuai
dengan bilangan Reynolds dan bilangan Prandtl yang diberikan. Hubungan
bilangan Nusselt (Nu) dengan koefisien perpindahan panas (h) dinyatakan sebagai
k D h
NuD = . (2.22)
(45)
Tabel 2.1 Rangkuman Persamaan-Persamaan Konveksi untuk Aliran dalam Pipa
2. Aliran Eksternal
2.1. Metode Bell-Delaware
Bell-Delaware menemukan metode perhitungan perpindahan panas dan
penurunan tekanan untuk aliran fluida di dalam shell dengan menggunakan
(46)
1. Kebocoran yang melalui celah anatar tube dan baffle serta celah antara
baffle and shell
2. Aliran yang melalui celah antar tube bundle dan shell
3. Efek dari konfigurasi baffle
4. Efek kerugian gradient temperatur dalam perpindahan panas pada
aliaran laminar.
Perhitungan koefisien perpindahan panas dan penurunan tekanan pada
metode Bell-Delaware dilakukan melalui beberapa langkah. Langkah-langkah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bilangan Reynolds (Re) yang dinyakan sebagai
η ρ. max. 0
Re= V D (2.23)
dimana ρdan η adalah kerapatan dan viskositas fluida, serta D0 adalah diameter luar tube. Sedangkan Vmax adalah kecepatan
maksimum antar tube di sekitar garis tengah aliran yang dihitung dari
persamaan
Vmax =
m T
S M
.
ρ (2.24)
MT adalah laju aliran massa total pada sisi shell dan Sm adalah luas
penampang aliran di sekitar garis tengah. Nilai Sm untuk susunan tube
triangular dinyatakan sebagai
(
)
− −
+ −
= T o
T s OTL OTL
s
m P D
P D D D
D L
(47)
(
)
− − − − + = − − OTL c s OTL c s OTL c s D L D D L D D L DFc 1 π 2 2 sin cos 1 2 2cos 1 2
π
dimana LB adalah jarak selang antar baffle,Ds adalah diameter dalam
shell , DOTL adalah diameter bundle, dan PT adalah tube pitch.
2. Fraksi tube pada aliran menyilang (Fc) yang besarnya dapat dihitung
dengan persamaan
(2.26) Lc adalah jarak baffle cut yang dinyatakan sebagai
100 s c c D B
L = (2.27)
diamana Bc adalah % baffle cut.
3. Faktor koreksi untuk konfigurasi baffle(Jc) yang dinyatakan sebagai
Jc = 0,55 + 0,72 . Fc (2.28)
4. Luas penampang aliran pada celah antara shell dan baffle (Ssb) yang
diperoleh dari persamaan
− − = − s c sb s sb D L D
S .δ π cos 1 1 2 (2.29)
sb
δ adalah jarak radial antara shell dan baffle.
5. Luas penampang pada celah antara shell dan baffle(Stb)
(
)
2 1 . .
. 0 tb T c
tb
F N
D
S =π δ + (2.30)
tb
δ adalah jarak radial antara tube dan baffle.
6. Fraksi luas penampang aliran menyilang yang tersedia untuk aliran
(48)
(
)
mB OTL s
bp
S L D D
F = − . (2.31)
7. Jumlah baris menyilang (Nc) yang diperoleh dari persamaan
TP s
c s
c
P D
L D
N
− =
2 1
(2.32)
dimana PTPadalah jarak antar baris-baris tube searah aliran. Untuk
susunan tube triangular nilai PTP adalah 0.866 PT
8. Koefisien perpindahan panas di sisi shell (α0) yang dinyatakan sebagai
0
α = αc. JC. JL . JB (2.33) dimana JLadalah faktor koreksi karena adanya celah antara shell dan
baffle serta tube dan baffle yang nilainya dapat diperoleh dari Gambar
2.12. Sedangkan JBadalah faktor koreksi akibat aliran bypass yang
nilainya dapat dicari dari Gambar 2.13. αc adalah koefisien perpindahan panas aliran menyilang ideal yang diperoleh dari
persamaan
c
α =
0
.
D NU λ
(49)
Gambar 2.12 Faktor Koreksi Karena Kebocoran antara Shell dan Baffle serta Tube dan
(50)
Gambar 2.13 Faktor Koreksi karena Aliran Bypass untuk Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas (JB)
Seperti halnya pada perhitungan koefisien perpindahan panas, perhitungan
penurunan tekanan pada metode Bell-Delaware juga memperhitungkan beberapa
faktor koreksi. Adapun langkah-langkah perhitungan penurunan tekanan
berdasarakan metode Dellware adalah sebagai berikut :
1. Penurunan tekanan aliran menyilang ideal (ΔPc) yang dinyatakan sebagai
(51)
dimana Kf adalah suatu parameter (bilangan Euler) yang diperoleh dari persamaan 4 4 3 4 2 4 3 Re 10 . 241 , 0 Re 10 . 155 , 0 Re 10 . 335 , 0 Re 10 . 247 , 0 975 ,
0 + + + +
=
f
K (2.36)
untuk 3 < Re < 103
4 13 3 11 2 7 4 Re 10 . 599 , 0 Re 10 . 113 , 0 Re 10 . 984 , 0 Re 10 . 339 , 0 245 ,
0 + − + −
=
f
K (2.37)
untuk 103 < Re < 106
2. Penurunan tekanan untuk ideal window zone (Δpw) yang dihitung dengan persamaan
(
)
ρ . . . 2 . 6 , 0 2 2 w m s cw w S S M N p = +∆ for Re > 100 (2.38)
3. Jumlah baris aliran menyilang efektif pada window zone (Ncw) diperoleh
dari persamaan
Ncw =
TP c P L . 8 , 0 (2.39)
4. Luas penampang aliran pada window zone (Sw) yang dinyatakan sebagai
(
)
20 2 1 2 . 1 8 . 2 1 . 2 . 2 cos
4 F D
N D L D D L D D L D D
S T c
s c s s c s s c s s
w − − π
− − − − − = −
5. Diameter Ekuivalen pada window zone (Dw) yang dihitung dengan
persamaan
(
c)
s bT w w D D F N S D Θ + − = 0 1 2 . 4 π (2.41)
(52)
−
=
Θ −
s c s b
D L D 2. cos
.
2 1 (2.42)
6. Penurunan tekanan melintasi shell (Δps) yang dinyatakan sebagai
(
)
[
]
+ ∆
+ ∆
+ ∆
− = ∆
c cw B
c L
w B
c s
N N R
p R
p N R p N
p 1 . . 2. . 1 (2.43)
dimana RL adalah faktor koreksi karena adanya celah antara shell dan baffle serta
tube dan baffle yang nilainya dapat diperoleh dari Gambar 2.14. Sedangkan RB
adalah faktor koreksi akibat aliran bypass yang nilainya dapat dicari dari Gambar
2.15.
Gambar 2.14 Faktor Koreksi karena Kebocoran antara Tube dan Baffle serta Shell dan Baffle untuk Perhitungan Penurunan Tekanan (RL)
(53)
Gambar 2.15 Faktor Koreksi karena Aliran Bypass untuk Perhitungan Penurunan Tekanan (RB)
2.2 Metode Delaware dan Wills and Johnstone
Metode ini merupakan basis kode-kode komputer modern untuk prediksi
serta perhitungan aliran dan perpindahan panas pada sisi shell walaupun belum
dikembangkan untuk perhitungan manual. Meskipun demikian, Wills and
Johnston (1984) telah mengembangkan sebuah versi sederhana metode tersebut
yang dapat digunakan untuk perhitungan manual. Metode tersebut telah diadopsi
oleh Engineering Sciences Data Unit (ESDU, 1983) dan mampu menghasilkan
(54)
Basis metode ini diperlihatkan dalam Gambar 2.16. Fluida mengalir dari A
ke B dengan berbagai rute yang masing-masing ditandai dengan subscript.
Kebocoran-kebocoran terjadi antara tube dan baffle (t), antara baffle dan shell (s),
bagian aliran menyilang yang melewati tube (c), serta bagian aliran bypass di luar
bundle (b). Aliran menyilang dan bypass bersatu membentuk aliran yang melalui
celah di luar baffle-cut (w).
Gambar 2.16 Aliran-aliran Berdasarkan Metode Wills and Johstone
Prosedur perhitungan dengan menggunakan metode Wills and Johstone :
1. Perhitungan koefisien-koefisien tahanan
i. Koefisien tahanan kebocoran antara shell dan baffle (ns) yang
diperoleh dari
(
)
(
)
2
177 , 0
2
/ 3 , 2 /
036 , 0
s
sb b sb
b s
S t t
n
ρ
δ
δ + −
(55)
Dimana Ss adalah luas penampang aliran pada celah antara shell dan
baffle yang dihitung dari
(
s sb)
sbs D
S =π −δ δ (2.45)
sb
δ adalah jarak radial antara baffle dan shell serta tbadalah ketebalan
baffle.
ii. Koefisien tahanan kebocoran antara tube dan baffle (nt) yang
didefenisikan sebagai
(
)
(
)
2 177 , 0 2 / 3 , 2 / 036 , 0 t tb b tb b t S t t n ρ δδ + −
= (2.46)
Dimana δtb adalah jarak radial antara tube dan baffle sera St adalah luas penampang aliran pada celah antara tube dan baffle yang dihitung
dari
(
tb)
tbT
t N D
S = π 0 −δ δ (2.47)
iii. Koefisien tahanan aliran pada window (nw) yang dinyatakan sebagai
(
)
2 2 / 6856 , 0 exp 9 , 1 w m w w S S S n ρ = (2.48)Dimana Smadalah luas aliran menyilang dan Sw adalah luas aliran pada
window yang keduanya telah didefenisikan dalam metode Delaware.
iv. Koefisien tahanan aliran bypass (nb) yang diperoleh dari
(
)
2 2 / 2 b ss TP c s b S N P L D a n ρ + − = (2.49)Dimana Dsadalah diameter dalam shell,Lc adalah jarak baffle cut,PTP
(56)
strip penutup, dan Sb adalah luas penampang aliran bypass yang
dihitung dari
(
by pp)
Bb L
S = 2δ +δ (2.50)
by
δ adalah jarak radial antara bundle dan shell serta δpp adalah jarak yang berhubungan dengan pass partition. Keberadaan pass partition di
dalam shell akan menaikkan luas bypass jika berada searah dengan
aliran. Konstanta a pada persamaan 6.53 bernilai 0,266 untuk susunan
tube square dan bernilai 0,133 untuk susunan triangular, rotated
triangular, dan rotated square.
2. Perhitungan koefisien tahanan aliran menyilang (nc) yang dinyatakan
sebagai
2
2 m
f c c
S K N n
ρ
= (2.51)
Kftelah didefenisikan pada metode Delaware yang merupakan fungsi dari
bilangan Reynolds, dimana
m c
S M D V
D
η η
ρ 0 max 0
Re= = (2.52)
Mc merupakan laju aliran massa menyilang yagn melewati tube yang
besarnya adalah
Mc = Fcr MT (2.53)
Nilai Fcrdiperkirakan terlebih dahulu sebagai harga tebakan awal.
3. Memperkirakan harga fraksi aliran menyilang Fcr yang baru dengan
(57)
(
)
2 2 1 21 − −
− +
= c b
cb n n
n (2.54a)
cb w
a n n
n = + (2.54b)
(
)
22 1 2 1 2
1 − − −
− + +
= a s t
p n n n
n (2.54c)
Nilai Fcr baru diperoleh dari persamaan
1 2 1 2 1 1 − + = b c a p cr n n n n F (2.55)
4. Iterasi untuk memperoleh nilai Fcr
5. Perhitungan fraksi-fraksi aliran diberikan oleh persamaan-persamaan
berikut :
i. Aliran bypass
1 2 1 2 1 1 − + = c b a p b n n n n F (2.56)
ii. Aliran pada celah antara shell dan baffle
2 1 = s p s n n F (2.57)
iii. Aliran pada celah antara tub dan baffle
2 1 = t p t n n F (2.58)
Sebagai perhatian, bahwa Fb + Fs + Ft + Fcr = 1
6. Perhitungan penurunan tekanan pada sisi shell
(58)
2
T pM
n p=
∆ (2.59)
Penurunan tekanan sisi shell total adalah
(
N)
pps = + ∆
∆ 1 (2.60)
7. Perhitungan koefisien perpindahan panas
Koefisien perpindahan panas dihitung seperti pada metode Delaware
namun harga Re diambil dari persamaan 6.57 sehingga
(
0,34)
0 0
Pr Rem
u a
D D
N λ λ
α = = (2.61)
dimana a = 0,273 dan m = 0,635 untuk susunan staggered tube banks dan
bilangan Reynolds 3 x 102 < Re ≤ 2 x 105
2.3.3.3. Kondensasi pada Bagian Luar Sistem Tube Horisontal
Tube horisontal sering digunakan sebagai permukaan perpindahan panas
untuk kondensasi. Kondensasi dapat terjadi pada bagian luar maupun bagian
dalam tube. Koefisien perpindahan panas kondensasi yang terjadi pada bagian luar
tube dan tube bank diperoleh dari bilangan Nusselt. Adapun langkah-langkah
dalam perhitungan koefisien perpindahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Koefisien perpindahan panas rata-rata untuk kasus tube horisontal yang
dihitung dengan persamaan
(
)
(
)
4 1 2
.
. .
. 275 , 0
− − =
−
W sat L
LG G L L L
f DT T
h g η
ρ ρ ρ λ
α
(2.62)2. Koefisien perpindahan panas air (αW) yang dinyatakan sebagai
3 1 8 , 0
Pr . Re . 023 ,
0 W W
W =
(59)
3. Bilangan Prandtl air (PrW) yang diperoleh dari persamaan
W W W W
Cp λ
η
.
Pr = (2.64)
4. Bilangan Reynolds air (ReW) yang diperoleh dari persamaan
W W W W
D U
η
ρ . 2
.
Re = (2.65)
5. Laju kondensasi persatuan panjang tube (mc) yang dihitung dari persamaan
LG
h q D
m. = −π. 1. (2.66)
Keterangan dari simbol-simbol yang digunakan dalam perhitungan
koefisien perpindahan panas kondensasi di atas adalah sebagai berikut :
D1 = diameter tube bagian dalam η = viskositas
D2 = diameter tube bagian luar Cp = koefisien kapasitas panas
Ρ = kerapatan fluida T = temperatur
λ = konduktivitas termal U = kecepatan
g = percepatan grafitasi q = fluks panas
h = entalpi
Pada susunan tube vertikal, lapisan film kondensasi pada baris tube teratas akan
turun pada tube di bawahnya, sehingga koefisien perpidahan panas pada tube yang
berada di bawahnya lebih kecil. Koefisien perpindahan panas rata-rata dapat
dihitung dengan persamaan
4 1 1.
− −
= N
N α
(60)
dimana N adalah jumlah baris pada susunan tube vertikal, dan 1
−
α adalah koefisien perpidahan panas pada baris pertama. Pada kenyataannya, kondisi ideal tidak
dapat tercapai. Oleh karena itu, Kern menyarankan bahwa nilai koefisien
perpindahan panas berkurang dengan cepat seiring bertambahnya jumlah baris
sehingga persamaan di atas dimodifikasi menjadi
6 1 1.
− −
= N
N α
(61)
BAB III
ANALISIS KESETIMBANGAN ENERGI 3.1. Data-data Kondisi Operasi
Gambar 3.1 memperlihatkan diagram proses pada aftercooler kompresor.
Sebagai input data dalam perancangan heat exchanger, data-data yang diketahui
adalah :
Gambar 3.1 Ilustrasi sederhana Proses pada Heat Exchanger
1. Fluida pada sisi tube : Udara bertekanan
i. Komposisi udara masuk
Laju aliran massa udara kering, mu = 8000 m3/h = 58,13 kg/s ii. Temperatur udara masuk, Tu,i = 80 0C
iii. Temperatur udara keluar, Tu,o = 37 0C
iv. Tekanan udara masuk, p1 = 2,65 MPa = 26,5 bar
2. Fluida pada sisi shell : Air
i. Laju aliran massa air, ma = 50,2 kg/s
ii. Temperatur air masuk, Ta,i = 28 0C iii. Laju aliran massa uap air, ma,i = 1,04 kg/s
(62)
iv. Tekanan air masuk, pw = 0,35 MPa = 3,5 bar
Kondisi berat jenis udara (ρ) pada saat masuk heat exchanger dapat dihitung dengan menggunakan rumus gas ideal :
RT
Pv= atau P=ρRT atau
RT P
= ρ
Sifat-sifat udara didapat dari tabel heat transfer dengan data-data sebagai berikut :
P = 26,5 bar = 2650 kPa R = 0,287 kPa⋅m kg⋅K
3
T = 80 0C = 353 K
3
3 26,16
353 287
, 0
2650
m kg K
kg m
kPa kPa RT
P
= ⋅ ⋅ =
=
⋅
ρ
Maka laju aliran massa udara :
s kg hr
kg hr
m m
kg
u v
m 26,16 8000 3 209280 58,13
3⋅ = =
= ⋅ =ρ
3.2. Analisis Kesetimbangan Energi 3.2.1 Analisis pada Sisi Tube
1. Perhitungan Laju Perpindahan Panas
1. Laju perpindahan panas aktual yang terjadi di dalam heat exchanger
adalah :
) .(
. , ,
. .
out h in h h
h Cp T T
m
Q= −
(63)
K C
C T
T
T uin uout 58,5 331,5
2 37 80 2 0 0 , , + = + = = =
Sehingga panas spesifik udara (Cph) = 1,0078 kJkg.K
Jadi, laju perpindahan panas yang terjadi adalah :
Q mh.Cph.(Th,in Th,out) 58,13kgs.1,0078kJkg.K.(353 310)K 2519,08kW . . = − = − =
Setelah laju perpindahan panas yang terjadi telah diketahui, maka laju
aliran massa air masuk dapat dicari dengan menggunakan hukum kesetimbangan
energi :
udara
air Q
Q =
Panas yang diepas udara = Qud =mud ⋅Cpud ⋅(Tin −Tout)
Panas yang diterima air pendingin = Qud =mair ⋅Cpair ⋅(Tout −Tin) Maka laju aliran massa air adalah :
s kg air s kJ K kg kJ air udara air m K m Q Q 2 , 50 08 , 2519 ) 301 313 ( 18 , 4 . = = − ⋅ ⋅ =
2. Laju perpindahan panas maksimal rata-rata yang terjadi di dalam heat
exchanger adalah :
c c c h
h Cp T m Cp T
m
Q= ∆ = ∆
. .
. .
Panas spesifik (Cph) udara pada temperatur rata-rata :
K kg kJ h out u in u Cp K C C T T T . 0 0 , , 0078 , 1 5 , 331 5 , 58 2 37 80 2 = = = + = + =
(64)
Maka : K kW K kg kJ s kg c c c K kW K kg kJ s kg h h h Cp m C Cp m C 8 , 209 18 , 4 . 2 , 50 . 58 , 58 0078 , 1 . 13 , 58 . . . . . = = = = = =
Oleh karena itu Cmin = Ch = 58,58kWK
Jadi laju perpindahan panas maksimum rata-rata adalah :
kW K
T T C
Q kWK
in c in
h ) 58,58 .(353 301) 3046,16
.( , , min max . = − = − =
Efektivitas heat exchanger :
82 , 0 16 , 3046 08 , 2519 max = = = kW kW Q Q ε
3. Analisis Psikometrik
Laju aliran massa uap air :
Analisis psikometrik digunakan untuk mengetahui rasio kelembaban
udara yang digunakan untuk menghitung tekanan parsial uap air dan
titik embun uap air. Besaran-besaran tersebut dinyatakan melalui
perhitungan-perhitungan sebagai berikut :
Entalpi spesifik uap air pada temperatur rata-rata :
kg kJ fg out a in a h C T C C T T T 9 , 2420 34 34 2 40 28 2 0 0 0 , , = ⇒ = = + = + = − −
(65)
s kg kg kJ s kJ fg i a h Q
m 1,04
9 , 2420 08 , 2519 . , . = = =
Rasio kelembaban udara pada saat masuk/humidity ratio (ωi)
017 , 0 13 , 58 04 , 1 , = = = s kg s kg m m u i a i ω
Tekanan parsial uap air masuk (pv,i)
bar p p bar p p p p i v i v i v i v i v i 7 , 0 5 , 26 622 , 0 017 , 0 622 , 0 , , , , , = − = − = ω
Temperatur titik embun uap air diperoleh dari tabel termodinamika pada pv,i =0,7bar. Titik embun uap air Td = 89,9
0
(66)
BAB IV
PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL AND TUBE
4.1. Tahap Perancangan
Proses perancangan penukar panas atau heat exchanger dilakukan dalam
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut harus dipenuhi agar diperoleh desain
heat exchanger yang sesuai permintaan. Pada perancangan ini, heat exchanger
befungsi sebagai aftercooler kompresor, yaitu digunakan untuk mendinginkan
udara bertekanan yang keluar dari kompresor. Udara tersebut dialirkan pada
susunan pipa-pipa atau tube, sedangkan fluida pendingin yang digunakan adalah
air sungai yang dialirkan pada sisi shell. Data-data kondisi operasi yang diketahui
adalah laju aliran massa udara, temperatur udara masuk dan keluar, tekanan udara
masuk, serta komposisi udara pada sisi tube. Sedangkan pada sisi shell diketahui
laju aliran massa air, temperatur air masuk, dan tekanan air masuk.
Salah satu fluida kerja pada heat exchanger adalah udara basah sehingga
diperlukan analisis psikometrik untuk mengetahui kelakuan udara basah tersebut.
Kemudian dilakukan perhitungan perbedaan temperatur rata-rata atau LMTD.
Setelah menentukan geometri tube, harus dilakukan iterasi untuk mendapatkan
kecepatan udara di dalam tube yang diijinkan. Apabila geometri yang dipilih telah
sesuai, koefisien perpindahan panas total yang dibutuhkan dapat dihitung dengan
metode LMTD.
Koefisien perpindahan panas aktual diperoleh dari perhitungan koefisien
(67)
serta tahanan dinding pipa. Pada saat menganalisis aliran fluida di dalam shell
harus dilakukan iterasi agar diperoleh kondisi aliran fluida yang sesuai. Koefisien
perpindahan panas total perhitungan harus dievaluasi dengan koefisien
perpindahan panas yang dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan proses iterasi
hingga diperoleh desain heat exchanger yang sesuai.
Parameter perancangan ini berdasarkan survey yang dilakukan di PT. Aneka Gas
Industri Region I Sumatera Utara.
Adapun spesifikasi data yang diperoleh dari hasil survey yang akan digunakan
dalam perancangan Heat Exchanger adalah :
a. Komposisi udara masuk
1. Laju aliran udara kering : 8000 m3/h = 58,13 kg/s
2. Temperatur udara masuk : 80 0C
3. Temperatur udara keluar : 37 0C
4. Tekanan masuk : 2,65 MPa = 26,5 bar
b. Komposisi air masuk
1. Laju aliran massa air masuk : 50,2 kg/s
2. Temperatur air masuk : 28 0C
(68)
4.2. Perhitungan LMTD (Logarithmic Mean Temperature Difference) dan Koefisien Perpindahan Panas Total Yang Dibutuhkan
4.2.1. Logarithmic Mean Temperature Difference (LMTD)
T
80 0C
Δ T1 = 40 0
C
udara
37 0C 40 0C
ΔT2 = 9 0
C
air
28 0C
Gambar 4.1 Gambar grafik Logarithmic Temperature Difference
Logarithmic Mean Temperature Differenceyang terjadi adalah :
K T
T T T
LMTD 0
2 1
2
1 20,6
5 , 1 31
9 40 ln
) 9 40 (
ln
= =
− =
∆ ∆
∆ − ∆ =
Sebelum melakukan perhitungan pada sisi tube dibutuhkan geometri tube
dalam penukar panas. Oleh karena itu, geometri tube yang dipilih adalah :
Diameter luar tube : Do = 0,5 inch = 12,7 mm (BWG = 20)
(69)
Diameter dalam tube : Di = 0,430 inch = 10,9 mm
Panjang tube : L = 3 m =3000 mm
1. Luas perpindahan panas total dinyatakan dengan persamaan :
L D N
A= T.π. o.
Dalam hal ini jumlah tube (NT) ditentukan sebanyak NT = 815
Sehingga luas perpindahan panas total :
2 3
5 , 97 3 ) 10 7 , 12 ( 815 .
.
. D L m m m
N
A= T o = ⋅ ⋅ × ⋅ =
−
π π
2. Luas penampang aliran untuk satu tube diperoleh dari rumus :
(
)
5 22 3 2
10 32 , 9 4
10 9 , 10
4 m
m D
A i −
−
× = ×
= ⋅
=π π
Maka luas penampang aliran total adalah :
2 2
5
076 , 0 10
32 , 9
815 m m
A N
A= T ⋅ = ⋅ × − =
Fluida yang mengalir di dalam tube adalah udara. Sifat-sifat udara dicari
pada tabel thermodinamika dengan menggunakan temperatur rata-rata.
Data-data operasi pada sisi tube :
Laju aliran massa udara =
.
m 2160 kg/s
Temperatur masuk Tin = 80 0C
Temperatur keluar Tout= 37 0C
Tekanan Pin = 26,5 bar
(70)
K C
C T
T
T uin uout 58,5 331,5
2 37 80 2 0 0 , , + = + = = =
Sifat-sifat udara pada temperatur rata-rata didapat dari table thermodinamika :
Kerapatan udara 1,0643 m3
kg
= ρ
Panas spesifik udara Cp kJkgK
.
0078 , 1
=
Viscositas udara kgms
. 5
10 041 ,
2 × −
= µ
Konduktivitas termal k WmK
. 3
10 6 ,
28 × −
= =λ
Bilangan Prandtl Pr=0,701
4. Kecepatan Udara di dalam Tube
s m m kg s kg u m A m
V 717,65
076 , 0 0643 , 1 13 , 58 . 2 . 3 = ⋅ = = ρ
5. Nilai Bilangan Reynold
14 , 407906 10 041 , 2 ) 10 . 9 , 10 .( 65 , 717 0643 , 1 . . Re . 5 3 3 = × ⋅ = = − − s m kg s m m kg i D m D V µ ρ
Aliran yang terjadi adalah turbulen.
6. Nilai Bilangan Nusselt
03 , 614 ) 701 , 0 .( ) 14 , 407906 .( 023 , 0 Pr . Re . 023 ,
0 0,8 0,4 = 0,8 0,4 =
= D
D
(71)
7. Koefisien perpindahan panas di dalam tube (internal) diperoleh dari persamaan : K m W K m W i D i i D m D k Nu h k D h Nu . 3 . 3 2 12 , 1611 10 9 , 10 10 6 , 28 . 03 , 614 . . = × × = = = − −
8. Penurunan Tekanan yang terjadi di peroleh dari persamaan 2.19, maka
nilai fo adalah :
kPa m m V D L f P f s m m kg i o o 28 , 1 2 ) 65 , 717 .( 0643 , 1 10 9 , 10 3 10 12 , 3 . 4 2 . . 4 10 12 , 3 ) 14 , 407906 .( 079 , 0 Re . 079 , 0 3 3 3 2 3 4 1 4 1 = × × = = ∆ × = = = − − − − − ρ
Perhitungan kecepatan di luar tube (kecepatan di dalam shell)
Temperatur air rata-rata :
K C
T T
T airin airout 30 307
2 40 28 2 0 , , + = + = = = −
Sifat-sifat fluida pada temperatur rata-rata di peroleh dari tabel Thermodinamika:
Kerapatan air ρ = 995 m3
kg
Panas spesifik air Cp=4,178kJkg.K
Kekentalan atau Viscositas air kgms
. 6
10 6 ,
735 × −
= =η µ
Konduktivitas termal air WmK
. 3
10 4 ,
621 × −
= λ
(72)
Gerometri shell yang dipilih adalah :
Shell diameter = 20 inch Standard
Outside diameter = 20 inch (508 mm)
Inside diameter = 19,63 inch (498,6 mm)
Kecepatan di luar tube (external flow)
s m air m kg s kg i o air air V m m D D m V A m V 3 , 1 ] ) 10 6 , 498 ( ) 10 508 [( 4 995 67 , 9 ) ( 4 2 3 2 3 2 2 2 = × − × ⋅ ⋅ = − ⋅ ⋅ = ⋅ = − − π π ρ ρ
Nilai Bilangan Reynold
04 , 22332 10 6 , 735 ) 10 . 7 , 12 .( 3 , 1 995 . . Re . 6 3 3 = × ⋅ = = − − s m kg s m m kg o D m D V µ ρ Aliran turbulen.
Nilai bilangan Nusselt
3 , 131 ) 94 , 4 .( ) 04 , 22332 .( 023 , 0 Pr . Re . 023 ,
0 0,8 0,4 = 0,8 0,4 =
= D
D
Nu
Koefisien perpindahan panas di luar tube (external flow) diperoleh dari persamaan : K m W K m W o D o o D m D k Nu h k D h Nu . 3 . 3 2 3 , 6424 10 7 , 12 10 4 , 621 . 3 , 131 . . = × × = = = − −
(73)
4.2.2. Koefisien Perpindahan Panas Total Yang Dibutuhkan
Pengaruh tebal dinding pipa (tube) :
3 3 3 10 8 , 1 10 9 , 10 10 7 ,
12 × − − × − = × −
= − =Do Di
pipa dinding tebal K m W K m W K m W o i U U pipa dinding tebal pengaruh h h U . 3 . . 2 2 2 2 , 388 ) 10 8 , 1 ( 3 , 6424 1 12 , 1611 1 1 1 1 1 = × + + = + + = −
4.3. Analisis Pada Sisi Shell
4.3.1 Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas dan Penurunan Tekanan untuk Aliran di dalam Shell (External flow)
Perhitungan koefisien perpindahan panas dan penurunan tekanan untuk
aliran di dalam shell dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode
Delaware dan metode Will and Johston. Sebelum melakukan
perhitungan-perhitungan tersebut, harus diketahui data-data kondisi masuk dan keluar fluida,
sifat-sifat fluida geometri penukar panas yang dipilih. Adapun data-data tersebut
adalah :
1. Fluida kerja pada sisi shell adalah air.
2. Kondisi masuk dan keluar fluida
Laju aliran massa air, ma = 9,67 kg/s
(
=MT)
(74)
Temperatur air keluar, Ta,out = 40 0C
Tekanan air masuk, Pa = 3,5 bar
Temperatur rata-rata air :
K C
C T
T
T ai aout 34 307
2 40 28 2
0 0
,
, = =
+
= +
=
−
3. Sifat-sifat fluida pada temperatur rata-rata di peroleh dari tabel
Thermodinamika.
Kerapatan air ρ = 995 m3
kg
Panas spesifik air Cp kJkgK
.
178 , 4
=
Kekentalan atau Viscositas air kgms
. 6
10 6 ,
735 × −
= =η µ
Konduktivitas termal air WmK
. 3
10 4 ,
621 × −
= λ
Bilangan Prandtl Pr = 4,94
4. Geometri penukar panas shell and tube yang dipilih
Diameter luar tube Do = 0,5 inch = 12,7 mm
Diameter dalam tube Di = 0,430 inch = 10,9 mm
Jumlah tube NT = 815
Jumlah baffle N = 6
Ketebalan baffle tb = 4,76 mm
Jarak antar baffle LB = 495 mm = 0,495 m
Panjang shell LS = 3000 mm
Diameter dalam shell DS = 20 inch = 508 mm
(75)
Jarak antara tube dan baffle Δtb = 0,8 mm
Jarak antara shell dan baffle Δsb = 4,8 mm
Jarak antara bundle dan shell Δby = 11,45 mm
4.4. Metode Delaware
4.4.1. Perhitungan Koefisien Perpindahan Panas untuk Aliran di dalam shell
Langkah-langkah dalam perhitungan koefisien perpindahan panas untuk
aliran di dalam shell menurut metode Delaware adalah sebagai berikut :
1. Perhitungan luas permukaan aliran di sekitar garis tengah (Sm) untuk
triangular pitch.
Diameter bundle, DOTL = DS - Δbs = (508 – 11,45) mm = 496,55 mm
(
)
2 085 , 0 0127 , 0 01905 , 0 01905 , 0 0127 , 0 4965 , 0 4965 , 0 508 , 0 495 , 0 ) ( m S m m m m m m m m S D P P D D D D L S m m o T T o OTL OTL S B m = − − + − = − − + − =2. Kecepatan maksimum aliran diantara tube di sekitar garis tengah (Vmax)
s m s kg m T m S M
V 0,1
085 , 0 . 995 67 , 9
. kgm 2
max 3 = = = ρ
(76)
85 , 1717 10 6 , 735 ) 10 7 , 12 .( 1 , 0 . 995 . . Re . 6 3 m kg
max 3 =
× × = = − − s m kg s m o m D V η ρ
4. Jarak baffle cut (LC)
Baffle cut, BC = 25% sehingga :
m m
D B
L C S
C 0,127
100 508 , 0 . 25
100 = =
=
5. Fraksi tube aliran menyilang (FC)
(
)
(
)
719 , 0 4965 , 0 127 , 0 . 2 508 , 0 cos 2 4965 , 0 127 , 0 . 2 508 , 0 cos sin 4965 , 0 127 , 0 . 2 508 , 0 2 1 2 cos 2 2 cos sin 2 2 1 1 1 1 1 = − − − − + = − − − − + = − − − − C C OTL C S OTL C S OTL C S C F m m m m m m F D L D D L D D L D F π π π π6. Factor koreksi untuk konfigurasi baffle (JC)
JC= 0,55 + 0,72 FC
JC= 0,55 + 0,72 . 0,719 = 1,06
7. Luas penampang aliran pada celah antara shell dan baffle (SSb)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)