Data Astronomis Hilal dan Matahari untuk Beberapa Kota di Indonesia

refraksi dianggap 34’. Di sini, elevasi pengamat dianggap 0 meter dpl. Berdasarkan hal tersebut, Matahari terbenam di wilayah Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010 paling awal terjadi pada pukul 17 : 30 WIT di Jayapura dan paling akhir pada pukul 18 : 27 WIB di Sabang. Dengan memperhatikan waktu konjungsi dan Matahari terbenam, dapat dikatakan bahwa konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010 di wilayah Indonesia. Dengan demikian, secara astronomis waktu pelaksanaan rukyat Hilal bagi yang menerapkan rukyat dalam penentuan awal bulan qomariah adalah setelah Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010. Sementara itu bagi yang menerapkan hisab dalam penentuan awal bulan qomariah, perlu diperhitungkan kriteria-kriteria hisab saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010 tersebut.

2. Data Astronomis Hilal dan Matahari untuk Beberapa Kota di Indonesia

Pada Lampiran tentang “Data Astronomis Hilal dan Matahari saat Matahari Terbenam Penentu Awal Bulan Dzulqo’dah 1431 H, Jumat, 8 Oktober 2010 M” ditampilkan informasi astronomis Hilal dan Matahari untuk beberapa kota di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010. Informasi ini adalah informasi dasar penentu awal bulan Dzulqo’dah 1431 H. Pada tabel tersebut, ketinggian Hilal dinyatakan sebagai ketinggian pusat piringan Bulan dari horison dengan ketinggian pengamat dianggap 0 meter dpl dan efek refraksi atmosfer Bumi belum diikutsertakan dalam perhitungan. Dalam kenyataannya, efek refraksi atmosfer Bumi, tinggi lokasi pengamat di atas permukaan laut dan semi diameter Bulan akan berpengaruh terhadap tinggi Hilal. Nantinya, tinggi Hilal dinyatakan sebagai ketinggian titik di piringan Bulan yang jarak sudutnya paling dekat dengan pusat Matahari dari horison teramati. Untuk memperoleh tinggi Hilal dari horison teramati, dapat digunakan persamaan 1 berikut, s d R a a − + + = , 1 dengan a adalah tinggi Hilal dari horison teramati dan a o adalah tinggi Hilal dari horison. Adapun R adalah efek refraksi atmosfer dalam satuan derajat. Untuk Hilal dengan tinggi dari horison kurang dari 15 o , nilai R-nya dapat dinyatakan oleh 1 2 2 0845 , 505 , 1 273 00002 , 0196 , 1594 , a a T a a P R + + + + + = , 2 dengan T adalah temperatur lokasi pengamatan dalam satuan o C dan P adalah tekanan barometrik dalam satuan milibars. Pada persamaan 1 di atas, d adalah kerendahan horison dip dalam satuan menit busur yang dinyatakan oleh 2 2 h d 93 , 1 = , 3 dengan h adalah tinggi lokasi pengamat di atas permukaan laut dalam satuan meter. Adapun s adalah ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜⎝ ⎛ ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜⎝ ⎛ = Da DAz Arc SD s tan cos , 4 dengan SD adalah semi diameter Bulan, |DAz| adalah nilai mutlak selisih Azimuth Bulan dan Matahari dan Da adalah selisih tinggi antara Bulan dan Matahari. Rata-rata, nilai semi diameter Bulan saat Matahari terbenam di wilayah Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010 masing- masing adalah 16’ 30,26”. Pada tabel di atas, nilai selisih tinggi antara Bulan dan Matahari dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut 2 2 DAz Elongasi Da − = . 5 Jika tulisan di samping nilai Elongasi adalah “atas Matahari” maka nilai Da positif dan jika tulisan di samping nilai Elongasi adalah “bawah Matahari” maka nilai Da negatif. Sebagai contoh untuk perhitungan di atas adalah ketinggian Hilal tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat di Pelabuhan Ratu dengan tinggi 50 meter dpl dan kondisi refraksi atmosfer standar 1,2 Temperatur lokasi pengamatan 10 o C dan tekanan barometrik 1010 milibars. Berdasarkan persamaan 2 di atas, nilai R adalah 0,1433 o . Berdasarkan persamaan 3 di atas, nilai d adalah 0,2275 o . Berdasarkan persamaan 4 dan 5 di atas, nilai s adalah 0,1880 o . Jika hasil-hasil ini diterapkan pada persamaan 1 di atas, maka akan diperoleh o o o o o a 0314 , 6 1880 , 2275 , 1433 , 8487 , 5 = − + + = . 6 Dengan demikian, tinggi Hilal dari horison teramati di Pelabuhan Ratu saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010 adalah 6 o 1,88’. Prosedur yang sama dapat dilakukan untuk lokasi lainnya.

3. Peta Ketinggian Hilal