Keragaman gen protein selubung rice tungro bacilliform badnavirus isolat Sidrap, Mamuju dan Bogor

KERAGAMAN GEN PROTEIN SELUBUNG
RICE TUNGRO BACILLIFORM BADNAVIRUS
ISOLAT SIDRAP, MAMUJU DAN BOGOR

LARA HIKMAHAYATI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

KERAGAMAN GEN PROTEIN SELUBUNG
RICE TUNGRO BACILLIFORM BADNAVIRUS
ISOLAT SIDRAP, MAMUJU DAN BOGOR

LARA HIKMAHAYATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

ABSTRAK

LARA HIKMAHAYATI. Keragaman Gen Protein Selubung Rice Tungro
Bacilliform Badnavirus Isolat Sidrap, Mamuju dan Bogor. Dibimbing oleh
ENDANG NURHAYATI.
Tungro merupakan penyakit padi yang disebabkan oleh infeksi kompleks
dua virus, rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical
waikavirus (RTSV). Beberapa isolat virus tungro dilaporkan memiliki keragaman
genetika pada gen protein selubung RTBV. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari keragaman gen protein selubung RTBV isolat Sidrap, Mamuju dan
Bogor, dengan metode PCR-RFLP. Isolat virus tungro diperoleh dari dua daerah
endemik tungro di Indonesia yaitu varietas TN 1 dari Sidrap (Sulawesi Selatan),

varietas Ciherang dari Mamuju (Sulawesi Barat), serta Galur Harapan (GH) dari
Bogor (Jawa Barat). Isolat RTBV Sulawesi diperoleh dari koleksi Loka Penelitian
Penyakit Tungro, Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan. Isolat RTBV Bogor
diperoleh dari pertanaman padi milik petani di Ciputih, Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Semua isolat dipelihara pada tanaman padi varietas
rentan IR64 di rumah kaca dengan ditularkan menggunakan vektor Nephotettix
virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae). Tanaman padi yang menunjukkan
gejala penyakit tungro dipanen pada 10-15 hari setelah inokulasi. DNA total
tanaman padi terinfeksi virus tungro diekstraksi dan gen protein selubung RTBV
diamplifikasi menggunakan sepasang primer spesifik RTBV-2L dan RTBV-2R.
Hasil amplifikasi dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu EcoRV, NsiI, PstI dan
BclI. Pemotongan amplikon hasil PCR menggunakan enzim restriksi pada isolat
Bogor tidak menunjukkan adanya keragaman gen protein selubung RTBV karena
tidak terpotong oleh keempat enzim tersebut. Sedangkan isolat Sidrap dan
Mamuju mempunyai pola fragmen DNA gen protein selubung RTBV yang mirip
karena semua isolat tidak terpotong oleh enzim BclI dan terpotong oleh enzim
EcoRV, Nsi1, dan PstI.
Kata kunci: rice tungro bacilliform badnavirus, isolat Sidrap, isolat Mamuju,
isolat Bogor, PCR-RFLP


Judul Skripsi
Nama
NRP

: Keragaman Gen Protein Selubung Rice Tungro
Bacilliform Badnavirus Isolat Sidrap, Mamuju dan Bogor
: Lara Hikmahayati
: A34061784

Disetujui
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Endang Nurhayati, MS.
NIP : 19610430 198603 2 001

Diketahui
Ketua Departemen

Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
NIP: 19640204 199002 1 002


Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka, Jawa Barat pada tanggal 12 September
1988. Penulis adalah putri keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Momo Akma Solihat Allahyarham dan Ibu Lili Ruchijati.
Tahun 2006 penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1
Maja, Majalengka. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis selanjutnya memilih
program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama kuliah penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai pengurus
Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) periode 2008-2009 dan
2009-2010 serta anggota Entomologi Club. Penulis juga menjadi asisten
praktikum mata kuliah Entomologi Umum pada tahun 2009; Hama dan Penyakit
Tanaman Tahunan pada tahun 2010. Penulis merupakan penerima beasiswa PPA
(Pengembangan Potensi Akademik) 2006-2010. Penulis pada tahun 2009
mengikuti program kreativitas mahasiswa (PKM) dengan judul Efek Anti

Mikroba Ekstrak Daun Babadotan (Ageratum conizoides) terhadap Patogen
Tanaman.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala
atas segala curahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir ini yang berjudul keragaman selubung protein
rice tungro bacilliform badnavirus isolat Sidrap, Mamuju dan Bogor. Laporan
tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama tujuh
bulan sejak bulan Februari sampai Agustus 2010.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir.
Endang Nurhayati, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran,
bimbingan, dan pengarahan dalam merencanakan dan melaksanakan penelitian
serta menyusun laporan akhir ini. Kepada Dra. Dewi Sartiami, M.Si sebagai dosen
penguji tamu, penulis mengucapkan terimakasih atas kritik, saran dan bantuannya
demi perbaikan laporan tugas akhir ini. Kepada Ir. Djoko Prijono, MAgrSc
penulis juga mengucapkan terimakasih atas saran dan bimbingan serta petunjuk
dalam penulisan laporan tugas akhir ini pada mata kuliah Teknik Penyajian
Ilmiah. Terimakasih juga diucapkan kepada Ir. Titiek Siti Yuliani, SU selaku

dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan perhatian dan
semangat selama ini. Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar
di Departemen Proteksi Tanaman atas bimbingan yang diberikan selama
melaksanakan pendidikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tak
terhingga kepada orang tua penulis, Papa Allahyarham dan Mama tercinta atas
kasih sayang, semangat, dan dukungan serta doa yang diberikan selama ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak tersayang
(Aminudin, Rizal, Ferry, Isa, Yani, Tami) yang tak pernah lelah memberi
dorongan dan semangat selama ini. Terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan di Departemen Proteksi Tanaman yang selalu memberi semangat
dan bantuan serta menjadi motivasi dan inspirasi dalam menyelsaikan skripsi ini
terutama untuk Dillah, Ita Sulis, Ita Casillas, Teh Leni Allahyarham, Amel,
Candra, Herlie, Anto, Atrie, Moya, Teh Didah, serta rekan-rekan HPT lainnya
(42, 43, 44, dan 45) yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih kepada Mbak Tuti atas segala bantuan selama penulis bekerja di
Laboratorium Virologi Tumbuhan, terimakasih juga disampaikan kepada anggota
Laboratorium Virologi Tumbuhan; Pak Edi, Ibu Latifah, Pak Irwan, Ibu Asni,
Mbak Devi, Mbak Pipit dan Ibu Rita atas saran, masukkan serta bantuan yang
diberikan serta Pak Saefudin atas bantuannya di Rumah Kaca Cikabayan.

Terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Fauziah (Loka Penelitian Penyakit
Tungro, Lanrang, Sulawesi Selatan) atas bantuan yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan laporan
tugas akhir ini. Akhirnya semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Oktober 2010

Lara Hikmahayati

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

x


PENDAHULUAN.............................................................................................

1

Latar Belakang .......................................................................................

1

Tujuan Penelitian ...................................................................................

2

Manfaat Penelitian .................................................................................

2

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................

3


Tanaman Padi .........................................................................................
Botani dan Morfologi Padi ..........................................................
Taksonomi Padi ...........................................................................
Varietas Padi ................................................................................

3
3
4
4

Penyakit Tungro ................................................................................... 7
Arti Penting Penyakit Tungro ...................................................... 7
Gejala Penyakit Tungro ............................................................... 8
Penularan Penyakit Tungro ......................................................... 9
Virus Tungro................................................................................ 11
Kergaman Gen Protein Selubung RTBV..................................... 14
Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP)................................................................. 14
BAHAN DAN METODE ................................................................................. 16
Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 16

Persiapan Tanaman Padi ....................................................................... 16
Perbanyakan Nephotettix virescens ...................................................... 16
Pengumpulan Isolat Virus Tungro ........................................................ 17
Perbanyakan Virus Tungro ................................................................... 17
Uji Keragaman Gen Protein Selubung RTBV Menggunakan
Teknik PCR-RFLP ......................................................................
Ekstraksi DNA Total ...................................................................
Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV ..................................
Pemotongan DNA RTBV dengan Enzim Restriksi .....................
Elektroforesis dan Visualisasi .....................................................

18
18
19
19
20

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 21
Gejala Infeksi, Masa Inkubasi dan Kejadian Penyakit
pada Tanaman Padi yang Diinokulasi Virus Tungro................... 21


Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV.......................................... 23
Karakteristik Gen Protein Selubung RTBV dengan PCR-RFLP ........ 24
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1 Varietas tahan wereng hijau untuk mengendalikan penyakit
tungro .........................................................................................................
2 Pewilayahan kesesuaian varietas tahan virus tungro ..................................

5
6

3 Masa inkubasi dan kejadian penyakit pada tanaman padi IR64
diinokulasi virus tungro .............................................................................. 22
4 Ukuran fragmen yang terbentuk pada pemotongan gen protein
selubung empat strain RTBV dari Philipina menggunakan
enzim EcoRV, PstI, BclI ........................................................................... 26
5 Hasil pemotongan DNA gen protein selubung isolat RTBV
hasil PCR dengan empat enzim EcoRV, NsiI, PstI, dan
BclI dari penelitian sebelumnya ................................................................ 28

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Gejala serangan virus tungro pada daun tanaman padi .......................

9

2. Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan gen protein
selubung .............................................................................................. 13
3. Hasil amplifikasi gen protein selubung RTBV
dengan PCR menggunakan primer RTBV-2R dan RTBV-2L............ 23
4. Hasil PCR-RFLP dari DNA hasil amplifikasi gen protein
selubung RTBV dengan enzim EcoRV, NsiI, PstI dan BclI ............... 25

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyakit tungro adalah salah satu penyakit penting pada tanaman padi di
Asia terutama Asia Selatan dan Asia Tenggara. Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi dua virus, rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro
spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1978). Kedua virus itu ditularkan
secara semipersisten oleh vektor yang mempunyai karakter mobilitas yang tinggi
yaitu wereng hijau Nephotettix virescens Distant (Hibino dan Cabunagan 1986).
Luas serangan penyakit tungro cukup tinggi bila dibandingkan penyakit
lainnya yang terdapat pada pertanaman padi. Menurut Soetarto et al. (2001), ratarata luas serangan penyakit tungro setiap tahun mencapai 12.000 ha. Bahkan pada
saat terjadi ledakan, luas serangan di satu propinsi saja dapat menyamai atau
berkali lipat rata-rata luas serangan tahunan nasional. Di Sulawesi Selatan pada
MT 1972/1973 epidemi penyakit tungro mencapai 43.151 ha yang tersebar di
Kabupaten Pinrang, Sidrap, Luwu, dan Polmas (Halteren dan Sama 1973). Pada
akhir tahun 1995 di Surakarta, Jawa tengah ledakan penyakit tungro menyebabkan
sekitar 12.340 ha sawah puso (gagal panen), dan nilai kehilangan hasil akibat
penyakit tersebut diperkirakan setara dengan Rp 25 milyar. Keberadaan penyakit
tungro tersebut ditemukan pula di beberapa daerah di Jawa Barat seperti
Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor (Puslitbangtan 1995). Pada tahun 2004
luas serangan penyakit tungro di Sulawesi Tengah mencapai 217 ha terjadi di
Donggala, Parigi, Banggai dan Tolitoli. Sebelumnya, pada musim tanam 2002
serangan virus tungro terjadi di Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Parigi Moutong
(Negara et al. 2004).
Isolat virus tungro dari beberapa daerah endemis tungro di Indonesia
menunjukkan adanya variasi virulensi. Perbedaan virulensi tersebut dapat dilihat
dari variasi gen protein selubung yang dapat diketahui melalui pengujian secara
molekuler menggunakan metode PCR-RFLP (Suprihanto 2005). Arfianis (2006)
juga melaporkan adanya keragaman pada gen protein selubung RTBV dari empat
isolat RTBV di Jawa Barat dengan menggunakan teknik yang sama.


 

Penggunaan varietas tahan dan galur harapan (GH) tahan tungro
merupakan salah satu bentuk dari pengendalian penyakit ini. Varietas tahan
penyakit tungro diklasifikasikan sebagai varietas yang tahan terhadap wereng
hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus yang merupakan
patogen penyebab penyakit tungro (Widiarta dan Said 2007). Galur harapan
merupakan galur-galur padi yang telah lolos dalam pengujian multilokasi yang
kemudian dapat dijadikan sebagai varietas baru (Pakki et al. 2007).
Penelitian mengenai variasi virulensi virus tungro yang dapat diketahui
melalui keragaman pada gen protein selubung RTBV, sangat bermanfaat sebagai
sumber informasi bagi para peneliti dalam upaya pengendalian virus tungro.
Selama ini penelitian mengenai keragaman pada gen protein selubung RTBV
sebagian besar dilakukan di wilayah endemik tungro di Jawa Barat, sehingga
informasi mengenai variasi virulensi spesifik di wilayah endemik tungro lainnya
masih kurang. Selain itu, pengujian terhadap keragaman gen protein selubung
RTBV pada galur harapan juga belum ada. Oleh karena itu, penelitian mengenai
variasi virulensi virus tungro pada wilayah endemik lain selain Jawa Barat serta
pada galur harapan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman gen protein
selubung RTBV Isolat Sidrap, Mamuju, dan Bogor dengan metode PCR-RFLP.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi
mengenai keragaman gen protein selubung RTBV isolat Sulawesi dan Bogor,
yang kemudian dapat dibandingkan dengan isolat dari daerah lain yang telah
diteliti di Indonesia. Diharapkan pula dengan diketahui keragaman dan hubungan
kekerabatan RTBV lainnya di Indonesia, dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan tindakan pengendaliannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang juga
merupakan makanan pokok utama bagi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Dari
semua padi yang diproduksi dan dikonsumsi lebih dari 90% terpusat di Asia.
Sebagai sumber pemberi tenaga, beras merupakan bahan makanan utama untuk
ratusan juta umat manusia, terutama bagi umat manusia yang menduduki belahan
timur dari benua ini. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bahwa tanaman padi
yang terluas terdapat di negara-negara Asia yang seluruh penduduknya sebagian
besar memperoleh tenaganya dari beras sebagai sumbernya (Siregar 1980).
Tanaman padi diduga berasal dari negara India dan Cina kemudian
menyebar ke negara-negara lain. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman
padi di Zhejiang, Cina sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan
gabah ditemukan di Hastinapur, Uttar Pradesh, India sekitar 100-800 SM.
Tanaman padi di Indonesia berasal dari perantau-perantau Malaysia yang
membawa tanaman padi sekitar tahun 1.500 SM (Siregar 1980).

Botani dan Morfologi Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae
yaitu tumbuhan yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas.
Tanaman ini juga termasuk golongan tanaman setahun/semusim (Affandi 1997).
Bentuk batangnya bulat dan berongga, daunnya memanjang seperti pita yang
berdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada
ujung batang (Siregar 1980).
Batang tanaman padi tersusun atas beberapa ruas. Ruas-ruas itu
merupakan bubung kosong yang pada kedua ujung bubung ditutupi oleh buku.
Panjang ruas tidak sama, ruas terpendek terdapat pada pangkal batang. Ruas
kedua, ketiga dan seterusnya lebih panjang daripada ruas yang didahuluinya. Pada
buku bagian bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai
buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memper

4
 

lihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi lidah daun (ligula),
dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi kelopak. Di dekat lidah daun dan
daun kelopak terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricle.
Daun kelopak yang membalut ruas yang paling atas dari batang umumnya disebut
daun bendera (flag-leaf). Tepat dimana daun pelepah teratas muncul ruas yang
disebut bulir padi. Bulir terdiri dari ruas-ruas pendek. Tiap-tiap ruas sebelah kiri
dan kanannya timbul cabang-cabang bulir, dan pada ujung tiap-tiap cabang bulir
terdapat bunga padi. Bunga padi terdiri dari tangkai bunga, perhiasan bunga dan
daun mahkota yang terdiri dari dua belahan yang tidak sama besarnya (Siregar
1980).

Taksonomi Padi
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil),
dengan urutan taksonomi (Siregar 1980):
Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Superdivisi

: Spermatophyta

Divisi

: Magnoliophyta

Class

: Liliopsida (Monocotyledons)

Subclass

: Commelinidae

Family

: Poaceae

Genus

: Oryza

Spesies

: Oryza sativa L.

Varietas Padi
Varietas padi adalah segolongan tanaman yang satu sama lain memiliki
sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan oleh tanaman tersebut kepada
keturunannya. Suatu varietas dikatakan unggul jika varietas padi tersebut
mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi
lainnya. Sifat-sifat unggul tersebut antara lain adalah daya hasil yang lebih tinggi,
umur yang lebih pendek, tahan terhadap gangguan hama atau penyakit, lebih

5
 

tahan terhadap tumbangnya pertanaman, mutu beras, dan rasa nasi yang lebih
enak (Siregar 1980).
Keunggulan dari varietas tersebut tidak bersifat kekal atau abadi. Predikat
unggul yang diberikan pada suatu varietas yang tertentu hanya berlaku sebelum
ditemukannya varietas baru yang dapat menandingi varietas terdahuluya dalam
sifat-sifatnya (Siregar 1980).
Selain varietas unggul tersebut, padi memiliki beberapa varietas yang
resisten, moderat (intermediet), dan rentan terhadap hama dan penyakit. Varietas
resisten dan moderat terhadap penyakit tungro diklasifikasikan tahan terhadap
wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus yang
merupakan penyebab penyakit tungro.
Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen tetua
tahannya menjadi golongan T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 1). Anjuran penggunaan
varietas tahan wereng hijau adalah (1) di Jawa Barat dapat ditanam varietas tahan
golongan T1, T2, dan T4, (2) Jawa Tengah dapat menanam semua golongan
varietas tahan, (3) Yogyakarta dianjurkan menanam varietas tahan dari golongan
T2 dan T4, (4) Jawa Timur dan Bali hanya dianjurkan menanam varietas tahan
golongan T4, dan (5) NTB dianjurkan menanam varietas tahan virus (Widiarta
dan Said 2007).

Tabel 1 Varietas tahan wereng hijau untuk mengendalikan penyakit tungro
Golongan

Varietas

Gen Tahan

To

IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, dan Lusi

-

T1

IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, dan Serayu

T2

IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung,
Krueng Aceh dan Bengawan Solo

Glh1

Glh 6

T3

IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64

Glh 5

T4

IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, dan Klara.

Glh 4

Sumber: Widiarta dan Said 2007
(-) Tidak Ada.

6
 

Varietas tahan virus tungro yang telah dilepas antara lain Tukad Petanu,
Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo yang sesuai di setiap daerah
(Tabel 2). Varietas Tukad Petanu dapat dianjurkan untuk ditanam di seluruh
daerah endemis, sedangkan Tukad Unda dianjurkan ditanam di NTB dan di
Sulawesi Selatan. Petani di derah Bali dan Sulawesi Selatan dianjurkan menanam
varietas Tukad Balian dan Bondoyudo. Varietas Kalimas dan Bondoyudo
diketahui tahan terhadap penyakit tungro di Jawa Timur (Widiarta dan Said
2007).

Tabel 2 Pewilayahan kesesuaian varietas tahan virus tungro
Kesesuaian Daerah
Varietas
Jabar

Jateng

Jatim

Bali

Mataram

Sulsel

Tukad Petanu

+

+

+

+

+

+

Tukad Unda

-

-

-

-

+

+

Tukad Balian

-

-

+

+

-

+

Bondoyudo

-

-

+

+

-

+

Kalimas

-

-

+

-

-

-

Sumber: Widiarta dan Said 2007
(+): Sesuai (tungro < 50%)
(-): Tidak (tungro > 50%)

Varietas yang disukai petani sekarang ini umumnya berpotensi hasil tinggi
namun disisi lain berpeluang terinfeksi oleh penyakit tungro. Ciherang dan IR64
merupakan salah satu varietas yang sering ditanam petani karena mempunyai rasa
nasi enak (Puslitbangtan 2007). Ciherang adalah varietas padi yang termasuk
golongan padi sawah yang dilepas pada tahun 2000, tahan terhadap wereng coklat
biotipe 2 dan 3 (Syam 2007). IR64 merupakan varietas padi tipe indica yang
dikeluarkan IRRI (1985-1989). Meskipun varietas padi ini resisten wereng hijau
namun memiliki kerentanan terhadap virus tungro (Hibino 1987). Taichung
Native 1 (TN1) adalah varietas padi hasil persilangan dari padi varietas Dee-Geo-

7
 

Woo-Gen dan Tsai-Yuan-Chung yang dirakit pada tahun 1949 oleh pemulia
tanaman di Taichung District Agricultural Improvement Station, Taiwan. TN1
adalah varietas padi yang rentan terhadap virus tungro dan wereng hijau
(Cabautan et al. 1995).

Penyakit Tungro

Arti Penting Penyakit Tungro
Tungro yang berarti ‘pertumbuhan terhambat’, untuk pertama kali
ditemukan di Philiphina pada tahun 1963 dan merupakan penyakit yang sangat
merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan wereng daun,
terutama Nephotettix virescens Distant (Semangun 1991).
Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya di
daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara
Barat (NTB), dan Sulawesi Utara. Penyakit ini kemudian menyebar ke Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an
ledakan penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi
padi di Indonesia. Ledakan penyakit tungro terjadi di Bali pada tahun 1980, yang
meliputi Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar (Rachim 2000).
Daerah endemis penyakit tungro di Indonesia terpusat di daerah sentra
produksi padi seperti Sulawesi Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat
(Hasanuddin et al. 1995), serta propinsi Sulawesi Tenggara, Papua, dan Sulawesi
Tengah terutama di daerah Parigi Moutong (Burhanuddin 2004). Menurut data
Balai Informasi Pertanian Palu, luas serangan penyakit tungro di Sulawesi Tengah
pada tahun 2004 mencapai 217 ha terjadi di Donggala, Parigi, Banggai dan
Tolitoli. Sebelumnya, pada musim tanam 2002 serangan virus tungro terjadi di
Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Parigi Moutong (Negara et al. 2004).
Secara ekonomi, penyakit tungro

merupakan penyakit yang sangat

penting di Asia Selatan dan Asia Tenggara, karena kerugian yang ditimbulkannya
sangat besar. Begitu pula di Indonesia penyakit ini merupakan masalah bagi
pemerintah dalam rangka meningkatan stabilitas produksi padi nasional dan juga
merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional (Widiarta et al. 2003 di

8
 

dalam Agustina 2007). Di Indonesia, kerugian yang dirasakan oleh petani akibat
serangan virus tungro pernah terjadi di Sulawesi Selatan tahun 1972, di Bali tahun
1980, dan di Surakarta tahun 1995, dengan kerugian ditaksir milyaran rupiah
(Talanca et al. 2007). Pada musim tanam 2005/2006 lalu, virus tungro telah
menyerang tanaman padi di NTB dan Manokwari dengan tingkat serangan sedang
sampai berat. Bahkan pada musim tanam tahun ini pun produksi padi menurun
hingga lebih dari 10% di Bengkulu (Bengkulu Express 2010). Diperkirakan
kehilangan hasil akibat serangan virus tungro di seluruh Indonesia rata-rata 12.000
ha/tahun atau kerugiannya senilai Rp 48 miliar/tahun (asumsi harga gabah Rp
1.000/kg). Karenanya penyakit ini perlu diantisipasi, terutama di daerah endemis
seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, Papua, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Bali (Puslitbangtan 2007).

Gejala Penyakit Tungro
Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu rice tungro
bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV).
Tanaman padi yang terinfeksi kedua virus tersebut menjadi kerdil dan kelihatan
belang serta perubahan warna kuning sampai oranye pada daun. Gejala tungro
yang khas dapat disebabkan oleh RTBV dan gejala dapat diperkuat dengan
kehadiran RTSV (Agrios 1997).
Secara umum gejala serangan virus tungro pada tanaman padi tergantung
pada ketahanan tanaman dan umur tanaman sewaktu terinfeksi. Daun-daun dari
rumpun tanaman padi yang sakit menjadi berwarna kuning oranye atau jingga dan
daun-daun muda yang baru keluar menggulung dan memendek. Perubahan warna
daun bermula dari ujung daun, meluas ke bagian pangkal daun (Gambar 1). Pada
daun tersebut terlihat bercak-bercak berwarna coklat seperti karat. Kadang-kadang
gejala kuning pada tanaman yang masih muda dapat hilang karena bertambahnya
umur tanaman sehingga seolah-olah tanaman menjadi sembuh. Apabila diteliti
tanaman tersebut masih banyak mengandung virus. Gejala perubahan warna daun
tergantung kepada varietas tanaman, umur tanaman pada saat terinfeksi, dan
keadaan lingkungan pertumbuhan.

9
 

Gambar 1 Gejala serangan virus tungro pada daun tanaman padi. Warna daun
yang menguning (orange), dimulai dari ujung daun dan berkembang
kebagian lamina daun bawah (thltbpp7@yahoo.co.id ).
Tanaman yang terinfeksi virus tungro tumbuh kerdil, jumlah anakan
sedikit, helaian daun dan pelepah daun memendek. Pada bagian bawah helaian
daun muda terjepit oleh pelepah daun sehingga daunnya terpuntir atau
menggulung sedikit. Malai pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan
hampa dan terdapat bercak-bercak coklat yang menutupi malai. Infeksi virus
tungro pada tanaman tua (umur di atas 50 hari setelah tanam) kurang berpengaruh
terhadap produksi dan tanaman tidak menampakkan gejala serangan sampai panen
(Ling 1972).
Penurunan jumlah anakan sangat tinggi bila infeksi terjadi pada stadium
pertumbuhan sangat awal. Jumlah anakan tanaman padi dipengaruhi umur dan
mungkin akan meningkat bila infeksi virus tungro setelah tanaman berumur lebih
dari satu bulan. Namun jumlah anakan akan tetap sedikit jika selama infeksi
terjadi, stadium petumbuhan terhambat (Ling 1972).

Penularan Penyakit Tungro
Virus tungro ditularkan secara semipersisten oleh wereng daun
Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadelidae). Vektor tersebut
menularkan RTSV secara bebas, sedangkan untuk menularkan RTBV vektor ini
membutuhkan kehadiran dari RTSV (Hibino 1987).

10
 

Serangga penular virus tungro terutama adalah wereng hijau (N. virescens
Distant, N. nigropictus (Stal), N. malayanus dan N. parvus). Serangga lain yang
dapat juga sebagai penular virus tungro, namun kurang efisien adalah wereng
loreng Recilia dorsalis (Motsch). Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi
N. virescens antara 35 - 83%, dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang
efisiensinya antara 0 - 27%. Spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus
dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% dan 7%
lebih rendah dari N. virescens (Deptan 1986).
Nephotettix sp. dikenal sebagai wereng hijau. Serangga ini menyerang
bagian daun tanaman padi. Serangga dewasa tersebut berukuran 4-6 mm.
Telurnya berbentuk bulat panjang atau lonjong berwarna terang (kuning pucat),
berukuran 1,3 x 0,30 mm. Telur ini diletakkan berderet sebanyak 5-25 butir.
Wereng daun betina mampu bertelur 200-300 butir yang diletakkan di dalam
jaringan pelepah daun. Telur tersebut menetas setelah 4-8 hari dan membentuk
serangga muda (nimfa). Nimfa ini mengalami 5 kali ganti kulit selama 16-18 hari,
kemudian menjadi dewasa setelah 2-3 hari. Terdapat dua jenis Nephotettix sp
yang dominan yaitu N. virescens dan N. nigropictus. Spesies N. virescens
berwarna hijau kekuningan dengan ujung kepala meruncing. N. virescens jantan
mempunyai ukuran 4 mm dan N. virescens betina 6 mm, sedangkan nimfa
N. virescens berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua. Spesies N. nigropictus
berwarna hijau tua dengan ujung kepalanya agak tumpul dan dilengkapi dengan
garis pita hitam yang jelas di atas bagian kepalanya. Serangga jantan
N. nigropictus berukuran 3,6 mm, sedangkan nimfa N. nigropictus berwarna
kuning coklat hingga gelap (Deptan 1986).
RTBV dan RTSV tidak berkembang pada tubuh vektornya, tidak menular
pada telur vektor virus tersebut dan menjadi hilang pada saat ganti kulit. Vektor
ini hanya memerlukan waktu penghisapan dari tanaman sakit selama 3-5 menit,
kemudian sudah mampu menularkan virus ke tanaman sehat yang rentan (Deptan
1986). Vektor ini akan menularkan virus tungro secara terus menerus sampai virus
yang dikandung tersebut habis. Masa terlama vektor ini menularkan virus tungro
secara terus menerus yang disebut masa retensi adalah 6 hari (Wathanakul dan
Weerapat 1969 dalam Widiarta 2005).

11
 

Cabautan dan Hibino (1984) melaporkan bahwa wereng hijau dapat
memindahkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak
mampu memindahkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV
hanya dapat dipindahkan oleh wereng hijau dari tanaman yang telah terinfeksi
RTSV. Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV
berfungsi sebagai helper. Kedua partikel virus tersebut bersifat noncirculative,
yaitu dalam tubuh vektor virus tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun
stadia perkembangan imago (Ling 1966). Disamping itu virus tungro juga tidak
dapat ditularkan melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan
antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat). Nimfa wereng hijau juga
dapat menularkan virus tungro, tetapi menjadi tidak infektif setelah ganti kulit
(Widiarta 2005).
Fluktuasi kepadatan populasi vektor virus tungro sangat mempengaruhi
keberadaan tanaman terinfeksi virus tungro bila sumber inokulum virus ini sudah
ada di lapang. Persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang tinggi pada musim
hujan (Desember hingga April) bertepatan dengan kepadatan populasi wereng
hijau yang tinggi pada periode yang sama. Sebaliknya pada musim kemarau (Mei
sampai November), persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang rendah
bersamaan dengan kepadatan populasi wereng hijau yang lebih rendah daripada
musim hujan (Widiarta 2005).

Virus Tungro
Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi yang terjadi secara bersama-sama
oleh dua virus, yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro
spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1978). Kedua virus tersebut tidak
mempunyai hubungan kekerabatan karena secara morfologi dan genom keduanya
tidak mempunyai kesamaan. Pada tanaman padi yang terinfeksi, kedua virus
tersebut hidup secara bebas, RTBV terdapat dalam jaringan pembuluh (floem dan
xylem) dan RTSV hanya terdapat dalam jaringan floem. Dalam sel-sel terinfeksi,
kedua partikel RTBV dan RTSV tersebar atau terkumpul dalam sitoplasma.
Partikel RTSV juga terdapat dalam vakuola (Dahal et al. 1997).

12
 

RTSV termasuk kedalam famili Sequiviridae genus Waikavirus. RTSV
mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel isometrik
dengan diameter 30 nm (Hibino et al. 1978). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb
(kilo base) dan protein selubungnya terbentuk dari dua jenis molekul protein
(Agrios 1997).
RTBV termasuk famili Caulimoviridae dan genus Badnavirus. Bentuk
partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang kirakira 100-300 nm yang bervariasi antar isolat (Hibino et al. 1978). Asam nukleat
RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb. Asam nukleat
tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil
dari proses replikasi oleh reverse transcriptase dan empat open reading frames
(ORFs) (Gambar 2). ORF1 mengkode protein pada 24 kDa (P1) dan ORF4 pada
46 kDa (P4), fungsi dari keduanya belum diketahui. ORF2 mengkode protein
pada 12 kDa (P2) yang fungsinya juga belum diketahui secara pasti. ORF3
mengkode poliprotein P194 yang mempunyai fungsi berhubungan dengan coat
protein virus (37 kDa), aspartic protease, reverse transcriptase, movement
protein dan ribonuclease (Hull 1996).

13
 

Gambar 2 Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan gen protein
selubung. (A) Organisasi genome RTBV. DNA RTBV digambarkan
oleh dua garis tipis dengan dua daerah tidak bersambungan (putus)
(∆1 dan ∆ 2). Anak panah tebal diluar menggambarkan DNA empat
gen virus ini (I, II, III, dan IV). Pregenomic RNAditunjukkan sebagai
suatu anak panah tipis di sebelah dalam DNA. (B) Polyprotein P3.
Lokasi dari domain-domain tersebut berhubungan dengan movement
protein (MP), coat protein (CP), aspartic protease (PR), reverse
transcriptase (RT), dan RNase H (RH) dalam P3. Fungsi domain
yang tidak diketahui ditandai dengan tanda tanya. Posisi daerah
pemotongan dicirikan oleh garis vertikal dan anak panah. Dugaan
daerah potongan yang lain disimbolkan oleh garis zigzag dan tanda
tanya. Posisi ujung amino dan karboksi dari protein selubung (p37)
dan RT (p55 and p62) telah ditandai. Lingkaran bulat menunjukkan
posisi dari zinc finger motif dalam coat protein (Herzog et al. 2000).

14
 

Keragaman Gen Protein Selubung RTBV
Pendiagnosisan keragaman virus tungro dengan melihat gejala dan analisis
RFLP telah dilakukan pada isolat dari Philippina (Azzam dan Chancellor 2002a)
dan Indonesia (Suprihanto 2005). Dari diagnosis tersebut diperoleh pengetahuan
bahwa virus tungro memiliki perbedaan pada setiap lokasi. Populasi virus tungro
secara geografi dilaporkan hanya stabil pada periode waktu tertentu. Ini
menunjukkan bahwa virus tungro memberikan respon yang berbeda terhadap
perubahan lingkungan dan inang. Studi lingkungan menunjukkan bahwa pada satu
lokasi virus tungro yang memiliki keragaman secara genetik dan biologi dapat
hidup berdampingan (Azzam dan Chancellor 2002b).
Cabautan et al. (1995) melaporkan bahwa ada keragaman pada empat
strain RTBV (G1, G2, Ic dan L) dari Philippina berdasarkan gejala yang berbeda
pada varietas padi FK135 dan TN1. Uji RFLP terhadap genom empat strain
RTBV di atas menunjukkan pola RFLP yang beragam. Suprihanto (2005) juga
melakukan uji penularan virus tungro pada tanaman diferensial FK 135 dan TN1,
dan uji PCR-RFLP terhadap delapan isolat RTBV yang diambil dari daerah
endemis tungro di Indonesia. Berdasarkan gejala yang diamati dan pola PCRRFLP diketahui bahwa delapan isolat RTBV berturut-turut menyebabkan gejala
yang berbeda terutama pada warna daun dan keragaman pada gen protein
selubungnya. Demikian juga Arfianis (2006) melakukan uji diferensiasi dengan
PCR-RFLP empat isolat RTBV yang diambil dari daerah endemis tungro di Jawa
Barat. Hasil yang diperoleh pun menunjukkan adanya keragaman pada gen protein
selubung RTBV. Pengujian terhadap variasi genetik protein selubung RTBV pada
tingkat luasan hamparan padi disuatu wilayah pada varietas juga dilaporkan oleh
Agustina (2007). Hasil yang diperoleh yaitu terdapatnya keragaman pada gen
protein selubung RTBV.

Polymerase Chain Reaction
Restriction Fragment Length Polymorphism ( PCR-RFLP)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary

15
 

B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR
sangat sensitif karena dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu molekul
DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen kanopi
tunggal dari sekelompok sekuen genom. PCR mensyaratkan bagian tertentu
sekuen DNA yang dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses
pelipatgandaan tersebut dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk
menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi
mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono 2006 ).
Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi
suhu yang berbeda secara berulang dalam beberapa siklus tertentu yaitu
denaturasi, annealing (penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA).
Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah sasaran akhir telah
dilipatgandakan secara eksponensial (Mc Pherson et al. 1992 dalam Mutaqin
2000). Proses sintesis inilah yang membuat sensitifitas teknik PCR semakin
tinggi, karena dari jumlah molekul DNA yang sedikit dapat dikopi menjadi
berlipat ganda (Takahashi et al. 1993).
Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah salah satu teknik
yang dapat membedakan suatu organisme dengan analisis pola pemotongan DNAnya. RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease yang dapat memotong
molekul DNA pada urutan nukleotida yang spesifik tergantung enzim yang
digunakan. Analisis RFLP dan ekstraksi DNA memakan waktu dan tenaga yang
banyak. Dari ekstrak DNA biasanya molekul DNA masih berupa urutan DNA
organisme yang utuh (genom). Metode PCR mampu mengamplifikasi sebagian
fragmen DNA dengan ukuran sangat kecil dari keseluruhan genom organisme
hanya dalam waktu 2-3 jam. PCR-RFLP adalah analisis RFLP yang dilakukan
terhadap fragmen DNA hasil PCR. Dengan teknik PCR-RFLP analisis pola
restriksi dapat dilakukan pada banyak sampel dengan waktu yang relatif singkat
(Simsek 2001).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Cikabayan dan Laboratorium
Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai Agustus 2010.

Persiapan Tanaman Padi
Tanaman padi varietas IR64 disiapkan untuk perbanyakan N. virescens
dan isolat virus tungro. Benih padi IR64 direndam pada wadah yang berisi air
selama 1 malam. Kemudian benih tersebut ditabur pada baki yang telah berisi
campuran tanah dan pupuk kandang, dengan perbandingan 2:1. Benih IR64
ditabur sebanyak 15-20 butir tiap baki. Bibit yang tumbuh dipelihara dalam rumah
kaca yang bebas dari serangga sampai digunakan.

Perbanyakan Masal Nephotettix virescens
Perbanyakan wereng daun (N. virescens) dilakukan pada tanaman padi
IR64 dengan mengikuti prosedur Heinrics et al. (1985). N. virescens dewasa
diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetika Pertanian Cimanggu, Bogor. N. virescens dipelihara pada
bibit padi IR64 berumur 10 hari yang ditempatkan dalam kurungan berukuran
90 cm x 60 cm x 60 cm. N. virescens dibiarkan makan dan berkembang biak
secara terus menerus pada tanaman padi tersebut sampai jumlahnya cukup untuk
penularan virus tungro. Pemeliharaan N. virescens dilakukan dengan mengganti
tanaman padi yang telah kering dengan yang baru.

17

Pengumpulan Isolat Virus Tungro
Isolat virus tungro diperoleh dari dua daerah endemik tungro di Indonesia,
yaitu varietas TN 1 dari Sidrap, Sulawesi Selatan; varietas Ciherang dari Mamuju,
Sulawesi Barat; dan galur harapan (GH) dari Bogor; Jawa Barat. Isolat RTBV
Sulawesi diperoleh dari koleksi Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang,
Sidrap, Sulawesi Selatan. Isolat RTBV Bogor diperoleh dari pertanaman padi
milik petani di Ciputih, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Perbanyakan virus tungro
Perbanyakan inokulum dilakukan pada tanaman padi IR64 dengan cara
ditularkan dengan N. virescens mengikuti prosedur dari Azzam et al. (2000).
N. virescens diletakkan pada tanaman padi yang sakit selama 3-4 hari untuk
mendapatkan virus (acquisition feeding). Selanjutnya sebanyak 2-3 wereng daun
dewasa yang telah mendapat virus (viruliferous) dimasukkan dalam tabung (test
tube) yang berisi bibit tanaman padi IR64 sehat 10 hari setelah semai untuk
menularkan virus (inoculation feeding). Inokulasi masing-masing isolat dilakukan
pada 15 bibit yang diletakkan dalam 15 tabung. N. virescens dibiarkan makan
pada tanaman padi IR64 selama 24 jam. Selanjutnya tanaman padi dipindah dalam
ember. Tanaman yang telah diinokulasi ini dipelihara sampai menunjukkan gejala
penyakit tungro. Tanaman yang terinfeksi dipanen 10-15 hari setelah inokulasi.
Tanaman yang terinfeksi ini ditimbang sebanyak 0,3 g ditambah nitrogen cair
kemudian disimpan pada suhu -80 oC sampai digunakan pada metode selanjutnya.

18

Uji Keragaman Gen Protein Selubung RTBV Menggunakan Teknik
PCR-RFLP

Uji ini dilakukan untuk mengetahui keragaman gen protein selubung virus.
Uji ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu ekstraksi DNA total, amplifikasi gen
protein selubung RTBV dan pemotongan DNA hasil amplifikasi dengan beberapa
enzim endonuklease.

Ekstraksi DNA total
Ekstrak DNA RTBV disiapkan dari daun padi varietas rentan IR64 yang
terinfeksi tungro menggunakan metode yang dimodifikasi dari Smith et al. (1992).
Daun padi sakit sebanyak 0,3 g ditambah dengan nitrogen cair digerus dengan
mortar dan pistil sampai berbentuk bubuk. Bubuk daun tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambah 1 ml bufer ekstrak, yang
mengandung 50 mg/ml polyvinilpyrrolidone (PVP) dan 60 µl 10% sodium
dedocyl sulfate (SDS), serta ditambah 10 µl mercapto etanol. Tabung tersebut
divorteks sampai rata lalu dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65 oC
selama 30 menit. Setelah itu, tabung didinginkan sampai dengan suhu ruang dan
ditambahkan 750 µl chloroform : isoamil alcohol (CI 24:1). Kemudian tabung
yang berisi ekstraktan divorteks dan disentrifugasi pada 11.000 rpm selama
10 menit.
Supernatan yang terbentuk pada proses tersebut dipisahkan dan diletakkan
di tabung baru. Supernatan tersebut kemudian ditambahkan 1 ml chloroform
kemudian divorteks dan disentrifugasi pada 11.000 rpm pada suhu 4 oC selama
10 menit. Supernatan yang dihasilkan kemudian ditambah 1 ml isopropanol
dingin kemudian dihomogenkan, dengan cara membalikkan tabung beberapa kali,
lalu diinkubasi pada suhu -20 oC selama 30 menit dan disentrifugasi pada
11.000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Pelet diresuspensi dengan 200 µl TE
pH 8.0 (10 mM Tris Cl pH 8.0 dan 1 mM EDTA pH 8.0), kemudian
dihomogenkan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali kemudian
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Pelet yang dihasilkan ditambah 200 µl
natrium asetat dan 500 µl ethanol absolute kemudian dihomogenkan dengan cara

19

membalikkan tabung beberapa kali lalu diinkubasi pada suhu -20 oC selama
1 malam (over night) dan disentrifugasi pada 14.000 rpm pada suhu 4 oC selama
10 menit. Cairan tersebut dibuang kemudian pelet dicuci dengan 500 µl ethanol
dingin 75%, dikeringkan dan diresuspensi dengan 100 µl bufer TE kemudian
disimpan pada suhu -20 oC sampai digunakan pada metode selanjutnya.

Amplifikasi Gen Protein Selubung RTBV
Amplifikasi dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer spesifik
RTBV yaitu RTBV-2L (5’-GGTCTTGGATGGATGGTAGA-3’) dan RTBV-2R
(5’-GCTGAGGTGCTACATAGGTT-3’). Sepasang primer tersebut didesain
untuk mengamplifikasi pada bagian gen protein selubung sampai sebagian gen
protease aspartat RTBV, yang menghasilkan produk 1497 bp (Venkitesh et al.
1994). Sebanyak 0,4 pmol masing-masing primer, 2 unit Taq DNA polymerase
(Invitrogen, TECH-LINE USA), 1x bufer PCR, 1,5 mM MgCl2, 0,2 mM dNTP,
dan 2 ml DNA template dalam volume akhir 25 µl digunakan dalam amplifikasi.
Amplifikasi ini dilakukan pada DNA thermal cycler (Gene Amp PCR System
9700, PE Applied Biosystems, USA). Amplifikasi tersebut didahului dengan
denaturasi awal selama 5 menit pada 94 °C. Satu siklus amplifikasi meliputi
denaturasi 1 menit pada 94 °C, penempelan primer (annealing) selama 1 menit
pada 55 °C, sintesis selama 2 menit pada 72 °C dengan pengulangan sebanyak
34 kali, kemudian untuk tahapan sintesis ditambah 10 menit pada 72 °C.

Pemotongan DNA Protein Selubung RTBV dengan Enzim Retriksi
DNA protein selubung RTBV hasil PCR dipotong menggunakan empat
enzim restriksi endonuklease yaitu PstI, NsiI, EcoRV, dan BclI (New England
Biolabs, New England). Pemotongan DNA dengan enzim restriksi mengikuti
prosedur yang ditetapkan oleh pembuat enzim yang telah dimodifikasi. Sebanyak
20 µl DNA hasil PCR dimasukkan ke dalam tabung mikro 0,5 ml steril, kemudian
ditambahkan 5 µl 10x bufer enzim restriksi dan 40 unit enzim restriksi dicampur
dengan cara mengetuk-ngetuk tabung dengan jari. Selanjutnya campuran
ditambahkan aquades hingga volume akhir reaksi mencapai 50 µl. Campuran

20

tersebut diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 3 hari untuk enzim PstI, NsiI dan
EcoRV sedangkan enzim BclI pada suhu 50 °C selama 3 hari.
Situs pemotongan DNA protein selubung RTBV dengan enzim restriksi :
5’C T G C A G3’
3’G A C G T C5’
Pst I

5’A T G C A T3’
3’G A C G T C5’
Nsi I

5’T G A T C A3’
3’A C T A G T5’
Bcl I

5’G A T A T C3’
3’C T A T A G5’
EcoRV

Elektroforesis dan Visualisasi
Penyiapan Gel Agarose. Gel agarose dengan konsentrasi 1,5% disiapkan
dengan mencampurkan bubuk agarose dengan bufer Tris-acetat EDTA (TAE) 1x
(0,045 M Tris-acetat, 0,01 M EDTA) dan dimasukkan ke dalam tabung
erlenmeyer 100 ml. Campuran dipanaskan dalam microwave sampai agarose larut
sempurna kemudian didinginkan sampai kira-kira 60

o

C lalu ditambahkan

ethidium bromida. Sebelumnya, aparatus pencetak gel dibersihkan, dikeringkan,
kemudian diletakkan pada permukaan yang datar. ”Sisir” gel diletakkan di bagian
atas aparatus pencetak gel (± 0,5-1,0 mm dari atas). Selanjutnya larutan agarose
dituang ke dalam aparatus pencetak gel. Setelah gel agarose mengeras
(30-45 menit), dengan hati-hati sisir gel dilepas dan gel diletakkan dalam bak
elektroforesis (Bio-Rad Power PAC 300, USA). Selanjutnya ditambahkan bufer
elektroforesis TAE 1 x hingga gel agarose terendam.
Elektroforesis DNA Hasil PCR dan DNA Hasil Restriksi. Sebanyak
7 µl DNA hasil PCR sebagai kontrol tanpa pemotongan dan 15 µl untuk DNA
hasil restriksi dimasukkan ke dalam sumuran gel dengan pipet mikro kemudian
salah satu sumuran gel dimasukkan 10 µl marker 1 kb DNA ladder (Fermentas,
USA). Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 50 volt selama 60 menit. Hasil
elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator ultraviolet (Sambrook et al.
1989). Pita DNA yang terbentuk pada hasil elektroforesis tersebut diamati dan
dipotret dengan menggunakan kamera digital.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Infeksi, Masa Inkubasi, dan Kejadian Penyakit pada Tanaman Padi
yang Diinokulasi Virus Tungro
Tanaman sumber inokulum virus tungro yang diambil dari lapangan
adalah tanaman padi yang menunjukkan gejala penyakit tungro berupa perubahan
warna daun dari hijau menjadi kuning sampai kuning-oranye yang didasarkan
pada deskripsi gejala dari Puslitbangtan (2007). Hasil penularan pada padi varietas
rentan IR64 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon tanaman terhadap
beberapa isolat virus tungro.
Gejala yang muncul pada tanaman padi bervariasi antar isolat virus tungro.
Gejala pada umumnya tampak pada 10-15 hari setelah inokulasi, walaupun ada
keragaman masa inkubasi, yaitu berkisar antara 10 sampai 17 hari (Tabel 3). Pada
umumnya variasi gejala pada masing-masing isolat tampak pada tingkat
perubahan warna daun. Untuk isolat Sidrap dan Mamuju gejala pertama kali
terlihat pada daun muda, yaitu daun pertama pada saat inokulasi. Warna daun
tersebut mengalami perubahan yang cukup signifikan dari kuning terang sampai
oranye serta daun tanaman padi terlihat ramping menggulung keluar seperti spiral
(memelintir), sedangkan untuk isolat Bogor (galur harapan 1-4) perubahan warna
daun tidak begitu terlihat bahkan hingga tidak muncul gejala sama sekali.
Srinivasulu dan Jeyarajan (1990) dalam Suprihanto (2005) menyebutkan bahwa
adanya perbedaan gejala klorosis dan warna kuning oranye daun padi terinfeksi
virus tungro adalah karena kandungan pigmen hijau (klorofil), pigmen oranye
(karoten), dan pigmen kuning (santofil) yang berbeda pada tingkat patogenesis
yang berbeda.

22
 

Tabel 3 Masa inkubasi dan kejadian penyakit pada tanaman padi IR64 yang
diinokulasi virus tungro
Masa Inkubasi
(hari)

Kejadian Penyakit **
(%)

GH* 1
GH* 2
GH* 3
GH* 4

15-17
15-17
15-17
15-17

60
60
60
60

Sidrap

10-14

100

Mamuju

10-14

100

Asal isolat
Bogor

* Galur Harapan
** Persentase jumlah tanaman yang terinfeksi berdasarkan jumlah tanaman yang menunjukkan
gejala dibandingkan dengan jumlah tanaman yang diinokulasi

Masa inkubasi virus tungro pada isolat Sidrap dan Mamuju pada varietas
rentan IR64 lebih cepat yaitu 10-14 hari (Tabel 3) dibandingkan dengan isolat
Bogor (GH 1-4) dengan waktu 15-17 hari (Tabel 3). Kejadian penyakit pada
isolat Sulawesi (Sidrap dan Mamuju) 100%, sedangkan pada isolat Bogor 60%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat Sidrap dan Mamuju mampu
menyebabkan penyakit lebih cepat dan ba