Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

KEMAMPUAN RESAPAN AIR TANAH PADA BERBAGAI
PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA DAN
ANDOSOL CISARUA

LINGGA SWASANA YOGIA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kemampuan Resapan
Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol
Cisarua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014

Lingga Swasana Yogia
NIM A14090030

ABSTRAK
LINGGA SWASANA YOGIA. Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai
Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua. Dibimbing oleh
DWI PUTRO TEJO BASKORO dan WAHYU PURWAKUSUMA.
Hutan merupakan ekosistem alamiah yang memiliki kualitas tanah yang
baik. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan
kualitas lahan. Penurunan kualitas lahan akan berbeda untuk setiap jenis tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai kapasitas infiltrasi, jumlah
serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada kebun
campuran, tegalan dan hutan di Latosol dan Andosol. Hasil penelitian
menunjukkan jumlah serasah, kandungan bahan organik, jumlah fauna makro dan
kapasitas infiltrasi pada lahan pertanian lebih kecil dibandingkan dengan hutan.
Karakteristik tersebut paling buruk terdapat pada tegalan. Perbedaan terbesar

terjadi pada tegalan di Andosol untuk jumlah serasah, kandungan bahan organik,
fauna makro dan kapasitas infiltrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan
kualitas tanah akibat perubahan penggunaan lahan lebih di Andosol lebih besar
dibandingkan dengan Latosol.
Kata kunci: bahan organik tanah, kapasitas infiltrasi, fauna makro tanah, serasah

ABSTRACT
LINGGA SWASANA YOGIA. Soil Water Recharge Capability on Various Land
Use in Latosol Darmaga and Andosol Cisarua. Supervised by DWI PUTRO TEJO
BASKORO and WAHYU PURWAKUSUMA.
Forest is a natural ecosystem that has good soil properties. Land use change
from forest to agricultural land led to degradate soil quality. The degradation of
soil quality would be different for different soil type. The study aimed to compare
infiltration capacity, the amount of organic litter, macrofauna and soil organic
matter content in perennial mixed farm, annual dryland and forest on Latosol and
Andosol. The results showed that the amount of organic litter, organic matter
content, macrofauna and infiltration capacity of agricultural land are smaller than
those of forest. Those characteristics are poorest on annual dryland. The largest
difference occurs in annual dryland at Andosol for the amount of litter, soil
organic matter content, macrofauna and infiltration capacity. This indicate that

land use change may cause greater soil quality degradation in Andosol than
Latosol.
Keywords: infiltration capacity, litter, soil macrofauna, soil organic matter

KEMAMPUAN RESAPAN AIR TANAH PADA BERBAGAI
PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA DAN
ANDOSOL CISARUA

LINGGA SWASANA YOGIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan
di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua
Nama
: Lingga Swasana Yogia
NIM
: A14090030

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Pembimbing I

Ir Wahyu Purwakusuma, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan
di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua
Nama
: Lingga Swasana Yogia
NIM
: A14090030

Disetujui oleh

MSc

Tanggal Lulus:

Ir Wahyu Purwakusuma, MSc
Pembimbing II


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan segala rahmat, nikmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc selaku pembimbing pertama
penulis, atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran dalam membimbing
penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Bapak Ir Wahyu Purwakusuma MSc selaku pembimbing kedua penulis yang
telah memberikan arahan, masukan, kesabaran dan sejumlah catatan sehingga
karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
3. Ibu Dr Ir Enni Dwi Wahjunie MSi selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan, arahan yang sangat berguna bagi penulis.
4. Kedua orangtuaku serta keluarga yang tanpa henti memberikan doa, semangat,
motivasi, perhatian yang sangat besar kepada penulis selama ini.
5. Teman-teman seperjuangan MSL 46 yang tidak bisa disebut namanya satu
persatu, pegawai Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan serta semua
pihak yang telah membantu penulis selama penelitian hingga menyelesaikan
penulisan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Februari 2014
Lingga Swasana Yogia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Penggunaan dan Pengolahan Lahan

2


Serasah

3

Bahan Organik Tanah

4

Fauna Tanah

5

Infiltrasi

6

Sifat Umum Latosol

8


Sifat Umum Andosol

9

METODE
Bahan dan Alat

9
9

Pelaksanaan Penelitian

10

Analisis Data

10

HASIL DAN PEMBAHASAN


11

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

11

Jumlah Serasah

11

Bahan Organik Tanah

14

Fauna makro

16

Kapasitas Infiltrasi

18

KESIMPULAN DAN SARAN

20

Kesimpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kecepatan infiltrasi akhir beberapa tipe tanah
Kisaran laju peresapan tanah pada tanah Puerto Rico, dikelompokkan
menurut golongan tanah (meliputi 57 tipe tanah dan 740 pengujian)
Bobot serasah pada berbagai jenis penggunaan lahan di Latosol
Darmaga dan Andosol Cisarua
Persentase perbedaan bobot serasah pada dua jenis penggunaan lahan
terhadap hutan
Persentase perbedaan kadar bahan organik tanah di setiap kedalaman
pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan
Rata-rata jumlah fauna makro dari tiga kali ulangan pada berbagai
penggunaan lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua
Persentase perbedaan jumlah fauna makro pada dua jenis penggunaan
lahan terhadap hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua
Kapasitas infiltrasi pada berbagai penggunaan laan di Latosol
Darmaga dan Andosol Cisarua
Persentase perbedaan kapasitas infiltrasi pada dua jenis penggunaan
lahan terhadap hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

8
8
12
13
15
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR
1

2

Tutupan tajuk pada berbagai penggunaan lahan (A=hutan Andosol;
B=kebun campuran Andosol; C=tegalan Andosol; D=hutan Latosol;
E=kebun campuran Latosol; F=tegalan Latosol)
Kadar bahan organik tanah pada berbagai penggunaan lahan di
Andosol Cisarua (A) dan Latosol Darmaga (B)

13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol Darmaga
Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Andosol Cisarua
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di
Andosol Cisarua
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan kebun
campuran di Andosol Cisarua
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di
Andosol Cisarua
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di
Latosol Darmaga
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan kebun
campuran di Latosol Darmaga
Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di
Latosol Darmaga
Jumlah fauna makro tanah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol
Darmaga

24
24
24
25
25
26
26
27
28

10 Jumlah fauna makro tanah pada berbagai pengunaan lahan di Andosol
Cisarua
11 Laju infiltrasi pada lahan hutan di Andosol Cisarua
12 Laju infiltrasi pada lahan kebun campuran di Andosol Cisarua
13 Laju infiltrasi pada lahan tegalan di Andosol Cisarua
14 Laju infiltrasi pada lahan hutan di Latosol Darmaga
15 Laju infiltrasi pada lahan kebun campuran di Latosol Darmaga
16 Laju infiltrasi pada lahan tegalan di Latosol Darmaga

29
30
31
32
33
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan suatu ekosistem alamiah dimana di dalamnya terdapat
berbagai proses ekologis yang saling mempengaruhi satu sama lain. Karena
proses-proses yang terjadi di dalamnya, hutan memiliki fungsi yang sangat
penting bagi lingkungan, salah satunya adalah fungsi hidrologis. Fungsi hidrologis
hutan yang baik tersebut didukung oleh karakteristik tanah yang baik.
Hutan memiliki lapisan serasah yang tebal, penutupan permukaan tanah oleh
kanopi tanaman dan perkembangan fauna tanah yang lebih baik dibandingkan
dengan penggunaan tanah yang lain (Hairiah et al. 2004a). Selain itu, hutan juga
memiliki kemampuan melindungi tanah yang sangat baik dari erosi akibat
tebalnya lapisan serasah (Morgan 2005). Kondisi ini menyebabkan tingginya
kandungan bahan organik tanah, struktur tanah yang baik, rendahnya tingkat
pembentukan kerak di permukaan tanah dan porositas makro yang tinggi sehingga
dapat menurunkan limpasan permukaan (Suprayogo et al. 2004). Karena memiliki
sifat fisik yang baik tersebut lahan hutan memiliki laju infiltrasi yang tinggi
(Binkley dan Fisher 2000, Susswein et al. 2001). Menurut Taylor et al. (2009),
tanah dengan penggunaan lahan hutan memiliki kemampuan retensi air yang lebih
baik karena adanya micro-topography berupa gundukan-gundukan dan lubanglubang yang dimiliki hutan. Hal ini memudahkan air hujan yang jatuh ke tanah
untuk masuk ke dalam tanah dan menahan aliran permukaan sehingga hanya
sedikit air limpasan yang dapat mengakibatkan terjadinya erosi.
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan
kualitas lahan. Hal ini disebabkan pada saat penggarapan, pemeliharaan maupun
saat pemanenan dilakukan pengolahan tanah yang merusak sifat fisik tanah.
Beberapa sifat fisik tanah dapat berubah akibat pengolahan tanah yang mengarah
pada penurunan dan semakin buruknya sifat fisik tanah (Sanchez 1992). Tanah
yang diolah akan menjadi cepat kering, berkadar bahan organik rendah dan
memiliki struktur buruk. Buruknya struktur tanah dapat berdampak pada
penurunan porositas makro, diikuti dengan penurunan laju infiltrasi serta
peningkatan limpasan permukaan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Marieta (2011) menunjukkan bahwa
penggunaan lahan yang menerapkan pengolahan tanah intensif memiliki kualitas
fisik dan hidrologi yang rendah. Penggunaan lahan tersebut memiliki kapasitas
infiltrasi, hantaran hidrolik, porositas, kadar air tanah yang lebih rendah, dan
bobot isi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alami. Begitu pula
penelitian yang dilakukan Rahmawati (2007) menunjukkan bahwa konversi hutan
alam menjadi hutan bambu sebagai hutan wisata dan area terbuka menyebabkan
perubahan sifat fisik tanah, yaitu peningkatan bobot isi, penurunan permeabilitas
tanah, air tersedia, porositas dan kadar air tanah. Sedangkan pada sifat kimia,
yaitu penurunan kadar C-organik, N Total, P Bray, unsur K dan KTK tanah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Selloy (1972) dan Jackson (2007) (dalam
Taylor et al. 2009), konversi lahan dari hutan menjadi padang rumput
menyebabkan perubahan yang sangat signifikan terhadap kemampuan meresapkan
air dari tanah tersebut. Sedangkan menurut Suprayogo et al. (2004), alih guna

2
lahan hutan menjadi kebun kopi monokultur berpengaruh sangat nyata terhadap
penurunan porositas tanah. Lahan hutan memiliki pori makro yang relatif lebih
banyak dan laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kopi
monokultur.
Besar penurunan kualitas lahan akan berbeda untuk setiap jenis tanah, hal
ini bergantung pada karakteristik dari masing-masing tanah. Oleh karena itu, perlu
adanya penelitian untuk mengetahui seberapa besar perbedaan karakteristik yang
terjadi pada hutan dan lahan yang mengalami pengolahan, dalam hal ini kebun
campuran dan tegalan di dua jenis tanah yang berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai kapasitas infiltrasi,
jumlah serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada
penggunaan lahan kebun campuran, tegalan dan hutan di Latosol Darmaga dan
Andosol Cisarua.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis kapasitas infiltrasi tanah,
jumlah serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada
tiga jenis penggunaan lahan di dua jenis tanah yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan dan Pengolahan Lahan
Penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi atau campur tangan
manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006).
Hutan merupakan areal yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan besar dan
kecil, dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan
heterogen yang merupakan hutan alami atau hutan homogen yang ditumbuhi
pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja (Sitorus 1989). Menurut
Morgan (2005), hutan memiliki kemampuan melindungi tanah yang sangat baik
dari erosi. Lahan hutan memiliki struktur tanah yang baik, kandungan bahan
organik dan laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian
(Susswein et al. 2001). Selain itu, baik dari segi jumlah, jenis dan aktifitas
makhluk hidup tanah di lahan hutan lebih banyak dibandingkan dengan lahan
pertanian. Makhluk hidup paling banyak akan ditemukan dibawah lapisan serasah
(Binkley dan Fisher 2000). Menurut Ruiz et al. (2008), hutan primer memiliki
keanekaragaman dan kelimpahan biomassa 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan
dengan tanah yang diolah.
Kebun campuran adalah bentuk penggunaan lahan di lahan milik yang
terletak di luar desa yang didominasi dengan tanaman tahunan yang kebanyakan
pepohonan dan dibawahnya ditanami dengan tanaman semusim. Sedangkan
menurut Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri (dalam Sitorus

3
1989), kebun campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman,
jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang
tidak jelas mana yang lebih dominan.
Tegalan merupakan usaha pertanian tanah kering yang intensitas
penggarapannya dilakukan secara permanen. Lahan tegalan disebut juga areal
pertanian lahan kering semusim, adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi
dan secara permanen ditanami dengan jenis tanaman berumur pendek saja (Sitorus
1989).
Pengolahan tanah biasanya diartikan sebagai manipulasi mekanis pada tanah
dengan tujuan memperbaiki kondisi tanah yang memengaruhi produksi tanaman.
Biasanya terdapat tiga tujuan pokok pada pengolahan tanah, yaitu pengendalian
gulma, penyatuan bahan organik ke dalam tanah dan perbaikan struktur tanah
(Hillel 1997).
Beberapa sifat fisik tanah dapat berubah akibat pengolahan tanah. Banyak
dari sifat fisik tanah akan memburuk akibat pengolahan (Sanchez 1992).
Pengolahan tanah memiliki efek negatif terhadap pori makro tanah, baik dari
kelimpahan maupun kontinuitasnya, mempercepat proses dekomposisi bahan
organik, mengurangi populasi fauna makro dan fauna meso tanah serta
meningkatkan resiko terjadinya erosi. Laju infiltrasi tanah menjadi lebih kecil
merupakan efek dari berkurangnya pori makro dan bertambahnya bobot isi tanah
(Thierfelder et al. 2005, Ruiz et al. 2008, Capowiez et al. 2009).
Porositas tanah hutan umumnya lebih besar dibandingkan dengan tanah
sejenis yang digunakan sebagai lahan pertanian. Selain itu, agregat tanah pada
lahan hutan lebih stabil dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini disebabkan
kegiatan bercocok tanam yang terus menerus pada lahan pertanian, sehingga
mengakibatkan penurunan kadar bahan organik tanah dan pori makro tanah
(Binkley dan Fisher 2000). Menurut Lipiec et al. (2006), pengolahan tanah
memengaruhi distribusi ukuran pori tanah. Perubahan karakteristik pori akibat
pengolahan tanah memengaruhi infiltrasi kumulatif.
Berdasarkan penelitan yang dilakukan Monde et al. (2008), alih fungsi
lahan hutan menjadi pertanian menyebabkan degradasi serasah dan karbon
organik tanah.
Menurut Supardi (1983), pengelolaan tanah yang baik yaitu selalu
mencakup penambahan bahan organik yang serasi, sifat fisika dan kimia yang
optimum, pergiliran tanaman yang tidak merusak kehilangan unsur, sehingga
setiap kali panen tidak mengalami kehilangan bahan organik dari tanah yang
mencolok.
Serasah
Menurut Nasoetion (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan
tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Serasah yang jatuh di
permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan
mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh
kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama
bahan tersebut dilapuk sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada
permukaan tanah (Hairiah et al. 2005).

4
Serasah adalah bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga
dan buah yang gugur dan terdapat di permukaan tanah, baik yang masih utuh
ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Termasuk pula hasil pangkasan
tanaman atau dari sisa-sisa penyiangan gulma yang biasanya dikembalikan ke
lahan pertanian oleh pemiliknya.
Serasah bermanfaat dalam mempertahankan kegemburan tanah melalui (1)
melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan sehingga
agregat tanah tidak rusak dan pori makro tetap terjaga, (2) menyediakan makanan
bagi makhluk hidup tanah, (3) menyaring partikel tanah yang terangkut oleh
limpasan permukaan.
Lapisan serasah yang tebal dapat memberikan tutupan bagi tanah sehingga
dapat melindungi agregat tanah dari pukulan air hujan, mempertahankan
keragaman fauna tanah melalui penyediaan makanan, dan mempertahankan
kandungan bahan organik tanah (Hairiah et al. 2004).
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan peran penting dari kualitas sisa
tanaman dalam menentukan kecepatan dekomposisi sisa tanaman. Konversi
ekosistem alami menjadi lahan pertanian dapat mengakibatkan terjadinya
kehilangan bahan organik tanah dan biomassa mikroba (Handayanto dan Hairiah
2007). Sebagian besar para petani tidak menyadari betapa penting arti dari sisa
tanaman terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Tanpa sisa tanaman ini, usaha
mempertahankan humus dalam tanah menjadi tidak mungkin (Supardi 1983).
Menurut Thierfelder et al. (2009), pada umumnya tanah yang terlindungi
oleh serasah dan tidak terganggu memiliki kapasitas infiltrasi tanah yang lebih
besar dibandingkan dengan tanah sejenis yang diolah secara konvensional dan
tidak terlindungi oleh serasah. Lahan hutan memiliki lapisan serasah yang tebal
sebagai pelindung (Van Noordwijk et al. 2003).
Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik
kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi. Sumber primer
bahan organik tanah adalah jaringan organik tanaman, baik berupa daun, batang
atau cabang, ranting, buah maupun akar, sedangkan sumber sekunder berupa
jaringan organik fauna termasuk kotorannya serta mikroflora. Dalam pengelolaan
bahan organik tanah, sumbernya juga berasal dari pemberian pupuk organik
berupa pupuk kandang (kotoran ternak yang telah mengalami dekomposisi),
pupuk hijau dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan) (Hanafiah 2007). Sumber
bahan organik yang paling penting ialah tanaman yang tumbuh diatas tanah. Sisa
akar dan batang-batang yang ditinggalkan dalam tanah merupakan sumber utama
bahan organik (Supardi 1983).
Secara fisik, bahan organik berperan (1) memengaruhi warna tanah menjadi
coklat-hitam, (2) merangsang granulasi serta menurunkan plastisitas dan kohesi
tanah, (3) memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah dan (5) meningkatkan
daya tanah menahan air (Hanafiah 2007).
Ekosistem hutan akan menghasilkan bahan organik baru dan
mendekomposisikan bahan organik lama setiap tahun. Ketika proses masukan dan
keluaran ini stabil, kadar bahan organik dalam tanah cenderung tetap. Akan tetapi,
apabila masukan bahan organik berkurang ataupun keluaran bertambah akibat

5
kegiatan bercocok tanam, maka keseimbangan kadar bahan organik akan berubah
dan kadar bahan organik dalam tanah akan berubah secara drastis (Binkley dan
Fisher 2000).
Menurut Morgan (2005), salah satu cara untuk menjaga kesuburan tanah
adalah dengan cara pemberian bahan organik. Hal ini dapat meningkatkan
kapasitas tanah dalam memegang air, dan memantapkan agregat tanah. Bahan
organik tersebut dapat ditambahkan melalui pupuk hijau, jermai atau sisa tanaman
yang telah mengalami dekomposisi. Memberikan mulsa secara teratur dapat
mempertahankan atau menaikkan kadar bahan organik tanah (Supardi 1983).
Bahan organik tanah adalah salah satu atribut penting dari kualitas tanah
yang memengaruhi agregat tanah. Agregat tanah memiliki peran penting dalam
proses infiltrasi, memberikan habitat yang sesuai bagi makhluk hidup tanah,
suplai oksigen bagi perakaran tanaman serta dapat mencegah terjadinya erosi.
Selain itu, kandungan bahan organik tanah dapat menurunkan bobot isi tanah,
serta meningkatkan laju infiltrasi tanah (Franzluebbers 2002).
Kandungan bahan organik tanah dengan kadar antara 0.0-0.8%, 0.8-1.2%
dan lebih dari 1.2% secara berturut-turut dimasukkan dalam kategori kurang,
sedang, dan cukup (Tan 2000).
Pengaruh bahan organik terhadap tanah tergantung pada laju proses
dekomposisinya. Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi laju dekomposisi
ini meliputi faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi
komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor
tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur suplai oksigen, reaksi
tanah, dan ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Hanafiah 2007).
Kehilangan vegetasi penutup tanah akibat panen menyebabkan
meningkatnya penetrasi sinar matahari sehingga temperatur tanah turut meningkat.
Hal ini memacu proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, penggunaan alatalat panen memberi peluang untuk terjadinya pencampuran serasah dengan tanah
yang juga memacu proses dekomposisi (Sabaruddin et al. 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mallory et al. (2011) pada lahan
pertanian dengan jenis pengolahan tanah yang berbeda, kandungan bahan organik
tanah terbanyak pada lahan dengan tanpa pengolahan, diikuti dengan pengolahan
konservasi, dan pengolahan konvensional yang memiliki kandungan bahan
organik paling sedikit.
Fauna Tanah
Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak
sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya
interaksi tersebut dapat memengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan
fauna tanah (Suin 1997). Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan
ukuran tubuh menjadi tiga kelompok utama yaitu fauna mikro, fauna meso dan
fauna makro. Fauna makro adalah organisme tanah yang terlihat dengan mata
telanjang (diameter >2 mm), termasuk invertebrata yang hidup, mendapatkan
makanan di dalam maupun di permukaan tanah serta lapisan serasah (Ruiz et al.
2008).

6
Fauna tanah memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi tanah.
Misalnya fauna makro seperti cacing tanah, rayap dan semut memiliki pengaruh
penting terhadap struktur tanah, aerasi, agregat tanah, drainase dan pori-pori tanah
yaitu melalui pergerakan tubuhnya pada saat mencari makanan, mengangkut
bahan organik ke bagian tanah yang lebih dalam dengan cara menggali lubang
serta membuat terowongan dalam tanah (Pankhurst 1999, Ruiz et al. 2008).
Menurut Handayanto dan Hairiah (2007), budidaya pertanian umumnya
menurunkan jumlah individu dan diversitas fauna tanah dibandingkan dengan
vegetasi alami. Kegiatan budidaya pertanian merubah kondisi tanah, dan membuat
kondisi lebih buruk dibandingkan dengan vegetasi alami, antara lain (a)
kelembaban tanah menurun dan temperatur meningkat, (b) siklus
pembasahan/pengeringan menjadi lebih cepat, (c) jumlah bahan organik menjadi
lebih rendah, dan (d) tanah mudah terusik oleh erosi dan pengolahan tanah.
Lingkungan yang buruk menyebabkan beberapa spesies asli tidak dapat bertahan
hidup. Tindakan pengolahan tanah intensif menurunkan diversitas fauna tanah,
terutama fauna makro, dan dapat mengganggu siklus hidupnya.
Banyak faktor yang memengaruhi jumlah dan keanekaragaman makhluk
hidup tanah. Faktor yang penting antara lain suplai oksigen, suhu tanah, serta
jumlah dan karakter dari bahan organik tanah (Binkley dan Fisher 2000).
Perubahan dalam pengolahan tanah, manajemen serasah dan rotasi tanaman
memengaruhi sifat-sifat tanah dan komposisi dari fauna tanah. Pengolahan tanah
akan lebih memengaruhi spesies yang memiliki beberapa siklus hidup di tanah
(Govaerts et al. 2007).
Semut, cacing, kumbang tanah dapat memindahkan bagian penting dari
tanah, mengangkat bahan mineral dari lapisan horizon tanah yang lebih dalam,
dan mengubur bahan organik dari horizon atas dan serasah.
Fauna makro tanah berperan dalam degradasi bahan organik dan unsur hara
mineral, mengendalikan populasi patogen, meningkatkan dan menjaga struktur
tanah dan mencampur bahan organik di dalam tanah.
Efek pengolahan tanah pada kehidupan fauna makro tanah antara lain
mengurangi keanekaragaman dan kelimpahan makhluk hidup tanah, fauna makro
tanah lebih banyak hidup di lapisan lebih dalam dan meningkatkan organisme
hama (Ruiz et al. 2008).
Infiltrasi
Menurut Arsyad (2006), infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam
tanah, umumnya (tetapi tidak mesti), melalui permukaan dan secara vertikal. Laju
infiltrasi didefinisikan sebagai volume air yang mengalir ke dalam profil per
satuan luas permukaan tanah. Pada kondisi pemberian air ke permukaan tanah
melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air, infiltrasi akan berlanjut dengan
laju yang maksimal, yang oleh Horton (1940) disebut sebagai kapasitas infiltrasi
tanah. Lebih lanjut, Hillel menciptakan suatu istilah kemampuan infiltrasi untuk
menjelaskan laju infiltrasi, yang dihasilkan bila air pada tekanan atmosfer tersedia
bebas pada permukaan tanah (Hillel 1997).
Selama laju pemberian air ke permukaan tanah adalah lebih kecil
dibandingkan kemampuan infiltrasi tanah, air akan terinfiltrasi secepat air tersebut
sampai pada permukaan tanah, dan kecepatan pemberian air akan menentukan laju

7
infiltrasi. Kemampuan infiltrasi suatu tanah dan keragamannya terhadap waktu
tergantung pada kadar air awal dan tekanan, serta pada tekstur, struktur, dan
keseragaman dari profil tanah (Hillel 1997).
Umumnya, kemampuan infiltrasi tanah pada awal tahapan infiltrasi adalah
tinggi karena tanah pada awalnya cukup kering, tetapi kemudian cenderung turun
secara monoton dan akhirnya mencapai laju yang tetap secara asimtot, yang sering
diistilahkan sebagai kapasitas infiltrasi akhir atau kemampuan infiltrasi kondisi
tetap (Arsyad et al. 1975, Hillel 1997).
Menurut Hillel (1997) kemampuan infiltrasi tanah tergantung pada beberapa
faktor, antara lain :
(1) Waktu dari mulai hujan atau pemberian air, dimana laju infiltrasi pada
awalnya relatif tinggi kemudian berkurang dan akhirnya mencapai laju yang
tetap yang merupakan sifat profil tanah tersebut.
(2) Kandungan air awal, dimana semakin basah tanah pada awalnya maka
kemampuan infiltrasi awal akan lebih rendah dan semakin cepat tercapainya
laju infiltrasi yang tetap.
(3) Hantaran hidrolik, dimana semakin tinggi hantaran hidrolik jenuh tanah,
maka kemampuan infiltrasi tanah cenderung semakin tinggi.
(4) Kondisi permukaan tanah, dimana bila permukaan tanah bersifat sarang dan
mempunyai struktur terbuka, kemampuan infiltrasi awal akan lebih besar
dibandingkan tanah yang seragam, tetapi kemampuan infiltrasi akhir tidak
akan berbeda.
(5) Terdapatnya lapisan penghambat di dalam profil tanah, dimana lapisanlapisan yang berbeda dalam hal tekstur atau struktur dari tanah di atasnya
bisa menghambat gerakan air selama infiltrasi.
Laju infiltrasi dipengaruhi oleh karakteristik dari tanah tersebut. Pada
umumnya, tanah yang bertekstur kasar seperti pasir dan lempung berpasir
memiliki laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah liat
disebabkan oleh besarnya ruang antar pori-pori. Kapasitas infiltrasi berkisar lebih
dari 200 mm h-1 untuk pasir, dan kurang dari 5 mm h-1 pada liat yang padat.
Variasi dari laju infiltrasi dapat menjadi cukup besar disebabkan perbedaan
pada struktur, kepadatan, kadar air saat itu, dan bentuk profil dari tanah serta
kerapatan vegetasi yang tumbuh diatasnya (Morgan 2005).
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi infiltrasi tanah antara lain (1)
bahan organik tanah (Lipiec et al. 2006), (2) kadar air tanah, (3) tekstur dan
struktur tanah, (4) distribusi pori dan kontinuitas pori tanah (USDA 1998, Kutilek
2004) dan (5) stabilitas agregat (Wuest et al. 2005).
Harga kecepatan infiltrasi akhir yang ideal tercantum pada tabel 1. Hargaharga ini semata-mata menunjukkan deretan besarnya, sedangkan pada keadaan
sebenarnya kecepatan infitrasi dapat lebih besar atau lebih rendah (Arsyad et al.
1975).

8
Tabel 1 Kecepatan infiltrasi akhir beberapa tipe tanah
Tipe tanah
Pasir
Tanah berpasir & tanah berdebu
Lempung
Tanah liat
Liat kaya sodium (sodic)

Kecepatan infiltrasi (mm/jam)
>20
10-20
5-10
1-5
2 mm), termasuk invertebrata yang hidup, mendapatkan makanan di
dalam maupun di permukaan tanah serta lapisan serasah (Ruiz et al. 2008). Ratarata jumlah fauna makro pada setiap penggunaan lahan disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Rata-rata jumlah fauna makro dari tiga kali ulangan pada berbagai
penggunaan lahan di Latosol dan Andosol
jenis fauna
- ukuran
Semut
1-2 mm
>2 mm
Rayap
1-2 mm
>2 mm
Hewan Lain
1-2 mm
>2 mm
Jumlah

Hutan

Latosol
Kebun
Campuran

Tegalan

Hutan

Andosol
Kebun
Campuran

Tegalan

25
3

17
8

12
2

16
6

14
1

2
1

23
0

17
0

6
2

22
0

2
3

0
0

0
1
52

1
2
45

1
0
23

2
2
48

0
1
21

3
1
7

Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah fauna makro pada kebun campuran dan
tegalan di kedua jenis tanah lebih sedikit dibandingkan dengan hutan. Pengolahan
tanah yang dilakukan di kebun campuran dan tegalan dapat mengganggu
kehidupan fauna makro tanah sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah fauna
makro yang hidup di dalam tanah. Menurut Ruiz et al. (2008) pengolahan tanah
yang dilakukan terutama pada lahan tegalan dapat menyebabkan berkurangnya
keanekaragaman dan kelimpahan fauna makro tanah, serta memaksa fauna makro
untuk hidup di lapisan yang lebih dalam yang tidak terkena gangguan akibat
pengolahan tanah. Akibatnya pada tegalan jumlah fauna makro jauh berkurang
dibandingkan dengan kebun campuran.

17
Menurut Handayanto & Hairiah (2007), budidaya pertanian umumnya
menurunkan jumlah individu dan diversitas fauna tanah dibandingkan dengan
vegetasi alami. Kegiatan budidaya pertanian merubah kondisi tanah, dan membuat
kondisi lebih buruk dibandingkan dengan vegetasi alami, antara lain (a)
kelembaban tanah menurun dan temperatur meningkat, (b) siklus
pembasahan/pengeringan menjadi lebih cepat, (c) jumlah bahan organik menjadi
lebih rendah, dan (d) tanah mudah terusik oleh erosi dan pengolahan tanah.
Kegiatan pengolahan tanah dan pembolak-balikan tanah akan menghancurkan
struktur tanah, serta ketika pemeliharaan tanah akan terjadi pemadatan tanah
akibat sering terinjak oleh petani. Kondisi ini mengganggu kehidupan fauna
makro sehingga lebih sedikit ditemukan pada lahan yang mengalami pengolahan.
Keberadaan serasah yang lebih sedikit pada kebun campuran, terutama
tegalan menyebabka