Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian Transaksi Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR
FLEKSIBILITAS NILAI TUKAR DAN PENYESUAIAN
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fleksibilitas nilai tukar
dan penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia:Analisis Threshold VAR adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
NIM H151130456
RINGKASAN
FARHANA ZAHROTUNNISA. Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian
Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR. Dibimbing oleh
IMAN SUGEMA dan TONI BAKHTIAR.
Estimasi mengenai hubungan antara fleksibilitas nilai tukar dan
penyesuaian neraca transaksi berjalan akan melalui tiga tahap, di mana pada tahap
pertama yaitu adanya analisis korelasi antara variabilitas nilai tukar (yang
diproksikan oleh REER dan NEER) dan klasifikasi rezim nilai tukar. Langkah
kedua yaitu mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan neraca transaksi
berjalan menggunakan model VAR sebagai model acuang. Langkah ketiga yaitu
menerapkan estimasi non linear dengan Threshold VAR dengan dua variabel
threshold yang berbeda yaitu REER dan klasifikasi nilai tukar RR . Hasil analisis
menunjukkan bahwa klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto terutama
klasifikasi RR dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia dengan korelasi
sebesar 0.71. Di Indonesia adanya fleksibilitas nilai tukar berpengaruh terhadap
penyesuaian neraca transaksi berjalan hanya jika 1) perubahan nilai tukar ada
dikisaran kurang dari 27.7059, sedangkan di kondisi high regime, adanya
fleksibilitas nilai tukar tidak akan berdampak pada neraca transaksi berjalan
karena responnya persisten meningkat sehingga membuat sistem menjadi tidak
stabil. 2) Indonesia menganut rezim nilai tukar dengan kode 3 – 6 pada klasifikasi
RR atau nilai tukar yang termasuk kategori intermediate regime atau flexible
regime. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus menjaga perubahan nilai
tukar kurang dari 27.7059 karena dalam rentang tersebut nilai tukar dapat
membantu penyesuaian neraca transaksi berjalan. Sehingga dapat membantu
perbaikan kondisi apabila Indonesia sedang mengalami neraca transaksi berjalan.
Kata Kunci: Fleksibilitas Nilai Tukar, Penyesuaian Neraca Transaksi Berjalan,
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar, Threshold VAR
SUMMARY
FARHANA ZAHROTUNNISA. Exchange Rate Flexibility and Current Account
Adjustment in Indonesia: Threshold VAR Analysis. Supervised by IMAN
SUGEMA and TONI BAKHTIAR
Estimation study about the relationship between exchange rate flexibility
and current account adjustment has been conducted through three stages, the first
stage was analysis of correlation among exchange rates variability (proxied by
REER and NEER) and exchange rate regimes classification. The second step was
estimating the relationship that the former was mentioned with VAR as
benchmark model. The third step was applying the nonlinear estimation using
Threshold VAR with two different threshold variables. Namely REER and RR
Classification which formed by Reinhart and Rogoff . The results of analysis
showed that exchange rate regime classification may capture actual exchange rate
variability, which of 0.71 correlation value. Flexibility exchange rate can
accelerate current account adjustment in Indonesia if 1) the changes of Indonesia
exchange rate less than 27.7059 whereas in high regime exchange rate is
persistently increasing so that the system between exchange rate and current
account becomes unstable. 2) Indonesia is applying exchange rate regime with
code 3 – 6 from RR classification or exchange rate classification that categorized
in intermediate regime or flexible regime. Bank Indonesia as monetary authorities
must keep the changes of exchange rate less than 27.7059, due to exchange rate
can affect current account adjustment, so can anticipate if there is current account
deficit in Indonesia economy.
Keywords: Exchange Rate Flexibility, Current Account Adjustment, Exchange
Rate Regime Classification, Threshold VAR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FLEKSIBILITAS NILAI TUKAR DAN PENYESUAIAN
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Judul Penelitian
Nama
NIM
: Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian Transaksi
Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR
: Farhana Zahrotunnisa
: H151130456
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Sugema, MEc
Ketua
Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi
Tanggal Ujian : 3 Juli 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian
ini adalah fleksibilitas nilai tukar dan penyesuaian neraca transaksi berjalan di
Indonesia: Analisis Threshold VAR. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec dan Dr. Toni Bakhtiar, S.Si, M.Sc selaku dosen
pembimbing yang selalu memberikan baik arahan dan motivasi kepada penulis,
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen penguji luar komisi
dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku komisi pendidikan, atas kritik dan
saran yang membangun dan bermanfaat yang diberikan kepada penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta adik
tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulis tetap semangat
dalam mengerjakan tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada para
sahabat terdekat Maria Utari, Friska Zehan, Nadya Astrid, Nina Hanifa, Rezka
Farah, Puspita Mega Lestari, Meiyora Averiana, Widy Purnama, Ardhi Harry,
Adrian Prama, Bronson Marpaung, Jajang Arif, Bram Agustian Zahro, Fauzi
Mauludin Fahmi, Taufik Imandana, Gun Gumelar, I Made Sanjaya atas segala
dukungan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PRAKATA
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
6
6
14
16
17
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Perumusan Model Penelitian
17
17
18
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Kondisi Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia
24
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar dan Fleksibilitas Nilai Tukar
28
Data Generating Process
29
Hubungan Fleksibilitas Nilai Tukar dengan Penyesuaian Neraca Transaksi
Berjalan
30
SIMPULAN
45
SARAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel dan sumber data penelitian
Cara perhitungan nilai kriteria model
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
Statistik deskriptif variabel penelitian
Hasil uji korelasi semua proksi variabilitas dan klasifikasi rezim
nilai tukar
6. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Augmented Dicky Fuller (ADF)
7. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Phillips Peron (PP)
8. Hasil Uji Korelasi antara |∆%REER| dengan Empat Klasifikasi
Rezim Nilai Tukar
9. Hasil Uji Threshold
10. Hasil Uji Threshold dengan Klasifikasi RR
11. Perbedaan hasil TVAR pada masing-masing variabel threshold
12. Keterangan mengenai klasifikasi nilai tukar RR
13. Data variabel threshold REER
17
21
23
27
28
29
30
34
35
39
42
43
44
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Internal and External Balances
Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Kurva J (J-Curve)
Kerangka Pemikiran
Ringkasan Prosedur Analisis
Share neraca transaksi berjalan terhadap GDP di Indonesia
REER, NEER, dan Inflasi
Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model VAR
10. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model VAR
11. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
12. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
13. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transakasi Berjalan pada Model TVAR
14. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR
15. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR
16. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR
4
10
12
14
16
18
25
27
31
32
32
33
36
36
37
38
17. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel
Threshold Klasifikasi RR
18. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
19. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel Threshold
Klasifikasi RR
20. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi
RR
40
40
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pemilihan Lag pada Analisis VAR
2. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan REER sebagai Threshold
Indicator
3. Hasil Estimasi Threshold VAR
4. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
5. Hasil Estimasi Threshold VAR dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
48
48
51
51
54
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kinerja sektor eksternal sebuah perekonomian pada umumnya tercermin
pada perkembangan neraca pembayaran yang selanjutnya akan berpengaruh pada
nilai tukar. Komponen utama dalam neraca pembayaran adalah transaksi berjalan
atau current account, transaksi modal atau capital and financial account dan
perubahan cadangan devisa (Nugroho et al. 2012). Memburuknya kinerja
transaksi modal sering dikaitkan dengan menurunnya aliran modal asing
sedangkan memburuknya kinerja transaksi berjalan sering dikaitkan secara
langsung dengan kinerja dan daya saing ekspor yang menurun atau peningkatan
impor karena permintaan domestik yang meningkat.
Pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang melanda Amerika
Serikat (AS) kemudian merambat hampir ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Salah satu penyebab utama krisis keuangan global adalah ketidakseimbangan
global
(global
imbalance)
yang
terjadi
secara
berkepanjangan.
Ketidakseimbangan global merupakan suatu kondisi di mana suatu atau
sekelompok negara mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit)
sementara sekelompok negara lainnya mengalami surplus dalam skala yang sangat
besar dan dalam waktu yang cukup lama (Ecthink 2009), sedangkan pada tahun
2010 terjadi krisis di kawasan Eropa yang dipicu oleh besarnya hutang
pemerintah. Kedua krisis yang terjadi dalam waktu yang berdekatan berdampak
pada menurunnya kinerja ekpor Indonesia di mana impor tetap tumbuh tinggi
akibat permintaan domestik yang cukup kuat menyebabkan defisit transaksi
berjalan sejak triwulan IV/2011.
Belum pulihnya krisis AS dan Eropa serta melemahnya perekonomian
Jepang mengakibatkan pada tahun 2013 triwulan II Indonesia mengalami defisit
transaksi berjalan terbesar sepanjang sejarah yaitu US$ 9,8 miliar atau sekitar 4,4
persen dari GDP Indonesia. Menurut Milesi-Ferreti dan Razin (1996) suatu negara
harus menjaga agar defisit transaksi berjalan tidak berlangsung lama, karena
adanya defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen dari GDP dapat memicu
terjadinya currency crisis. Keberlanjutan defisit transaksi berjalan merefleksikan
tingginya pengeluaran untuk konsumsi yang dibiayai oleh hutang jangka pendek
atau cadangan devisa luar negeri. Sejarah mencatat bahwa ada beberapa negara
yang mampu bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan dalam beberapa
tahun yaitu Australia, Irlandia, Israel, Malaysia, dan Korea Selatan. Kondisi
tersebut berbanding terbalik dengan Cile dan Meksiko yang harus mengalami
krisis akibat tidak dapat bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan.
Menurut Friedman Hyphotesis (Friedman1953) adanya penyesuaian yang
baik dalam menghadapi ketidakseimbangan pada transaksi berjalan memerlukan
adanya fleksibilitas pada nilai tukar dimana adanya depresiasi terhadap nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan (Marshall-Lerner
Condition). Semakin besar fleksibilitas nilai tukar maka akan semakin besar
kemampuan transaksi berjalan pada suatu negara dalam penyesuaian terhadap
perubahan kondisi yang terjadi menuju sustainable level yang nantinya akan
2
mengefisienkan penyesuaian nilai tukar nominal dibandingkan penyesuaian pada
harga barang. Fleksibilitas nilai tukar sangat bergantung pada rezim nilai tukar
yang dianut suatu negara. Sejarah perekonomian Indonesia mencatat bahwa
Indonesia mengalami pergantian rezim nilai tukar bahkan sebelum Indonesia
merdeka. Studi Adiningsih et al. (2008) menyatakan bahwa pada tahun 1997
rezim nilai tukar yang dianut oleh Indonesia berubah dari rezim nilai tukar tetap
menjadi rezim nilai tukar mengambang. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian
rezim nilai tukar secara de jure (deklarasi dari pemerintah/otoritas moneter) yang
dilakukan oleh IMF. Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed
exchange rate (nilai tukar tetap) akan lebih rentan terhadap krisis keuangan dan
krisis perbankan dibandingkan dengan negara yang menganut rezim flexible
exchange rate (nilai tukar yang fleksibel). Hal ini dikarenakan rezim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Klasifikasi rezim nilai tukar yang ditetapkan secara de jure memiliki
perbedaan/inkonsistensi dengan nilai tukar secara de facto (variasi nilai tukar yang
terjadi/aktual) (Reinhart et al. 2004). Banyak negara yang menyatakan menganut
rezim floating exchange rate (nilai tukar mengambang) namun tetap melakukan
intervensi dalam implementasi kebijakan dalam mengatur nilai tukar. Hal ini yang
melatarbelakangi terbentuknya pengklasifikasian nilai tukar secara de facto
sebagai alternatif dari nilai tukar secara de jure. Alternatif pengklasifikasian nilai
tukar ini bertujuan untuk menyempurnakan kelemahan yang ada pada sistem nilai
tukar secara de jure. Pengklasifikasian rezim nilai tukar secara de facto telah
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S),
Reinhart, dan Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS). Ketiga kelompok
peneliti di atas mengklasifikasikan nilai tukar dengan cara yang berbeda-beda
namun sama-sama menggunakan nilai tukar bilateral sebagai basis nilai tukar.
Menurut studi yang dilakukan oleh Kim dan You (2013), pengklasifikasian nilai
tukar dengan basis nilai tukar bilateral akan menimbulkan masalah karena tidak
akan dapat menangkap variabilitas nilai tukar sebagai proksi nilai tukar aktual.
Adanya perbedaan pada klasifikasi secara de jure dan de facto serta adanya
permasalahan pada klasifikasi de facto akan menyulitkan dalam pemilihan serta
penggunaan klasifikasi yang tepat dalam melihat hubungan antara fleksibilitas
nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan.
Permasalahan yang telah disebutkan di atas dapat diatasi dengan
melakukan pengujian awal untuk mengidentifikasi klasifikasi nilai tukar mana
yang dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia. Pengujian awal ini
dilakukan dengan cara menguji korelasi klasifikasi nilai tukar yang ada dengan
perhitungan variabilitas nilai tukar yang diproksikan dengan presentase perubahan
bulanan dan standar deviasi dari nilai tukar efektif 1. Hubungan fleksibilitas nilai
tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan dilakukan analisis secara
asimetris mengingat adanya perbedaan rezim nilai tukar yang terjadi di Indonesia
yang diduga dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada penyesuaian neraca
transaksi berjalan.
1
Standar deviasi umum digunakan dalam mengukur fleksibilitas nilai tukar seperti pada
Rose (2003), Devereux dan Lane (2003)
3
Banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara fleksibilitas nilai tukar
dengan transaksi berjalan dengan hasil yang berbeda. Herrmann (2009),
melakukan penelitian di negara Central and Eastren Europe (CEE) dari tahun
1994 sampai dengan tahun 2007, diperoleh hasil bahwa bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara rezim nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi
berjalan. Adanya rezim nilai tukar dengan fleksibilitas yang tinggi akan membuat
ekspektasi dari para pembuat kebijakan meningkat mengenai proses penyesuaian
transaksi berjalan. Namun penelitian yang dilakukan Hermann tidak sejalan
dengan penelitan Chinn dan Wei (2013) yang melakukan penelitian terhadap 170
negara dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2005. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara rezim nilai tukar yang
fleksibel dengan penyesuaian dari transaksi berjalan
Perumusan Masalah
Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi secara makro maka
perekonomian dikelompokkan menjadi ke dalam empat sektor yaitu sektor riil,
sektor eksternal, sektor pemerintah (fiskal), dan sektor moneter. Keempat sektor
tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi atau interdependensi
(Pohan, 2008). Krisis finansial global yang terjadi pada kisaran tahun 2008
berawal dari krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage)
di Amerika serikat. Hal ini mengakibatkan adanya perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia salah satunya Indonesia. Adanya krisis global akan berdampak
secara signifkan pada sektor eksternal Indonesia yang terdiri dari neraca transaksi
berjalan dan neraca modal.
Neraca transaksi berjalan merupakan komposisi dari sektor eksternal yang
terdiri dari ekspor, impor, dan pendapatan luar negeri (pendapatan tenaga kerja
dan modal serta transfer dari luar negeri). Adanya krisis finansial global yang
bermula karena adanya perlambatan aktivitas ekonomi yang terjadi di negara maju
berimbas ke negara-negara berkembang terutama negara yang memiliki
keterkaitan perdagangan yang erat dengan negara maju. Ancaman perlambatan
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih signifikan terjadi di negara-negara
Asia yang mengandalkan ekspor, seperti Singapura, Taiwan, Korea dan
Hongkong. Di tengah terjadinya penurunan tajam di perekonomian global,
perekonomian Indonesia masih menunjukkan kinerja yang baik dengan
pertumbuhan sebesar 6,1 persen pada tahun 2008, namun di akhir 2008 dampak
krisis keuangan global berimbas ke perekonomian Indonesia salah satu nya
tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang hanya tercatat sebesar 5,2 persen. Hal
ini juga berimbas pada kinerja ekspor Indonesia yang rentan terhadap krisis
global.
Menurut Bank Indonesia (2009), transmisi dampak krisis global ke
perekonomian Indonesia pada dasarnya melewati dua jalur yaitu jalur finansial
dan jalur perdagangan. Dampak krisis melalui jalur perdagangan diperkirakan
akan cukup signifikan, karena akan diikuti oleh rambatan ke seluruh sektor
ekonomi. Pada triwulan ketiga tahun 2008, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
mengalami defisit sekitar USD89 juta. Defisit pada NPI didorong oleh
memburuknya kinerja neraca transaksi berjalan sekitar USD0.6 miliar yang dipicu
4
oleh menurunnya kinerja ekspor. Pada grafik di bawah ini terlihat juga bahwa
pada tahun 2010 hingga 2013 neraca transaksi berjalan mengalami defisit
dikarenakan nilai ekpor Indonesia yang menurun. Kinerja ekspor Indonesia dinilai
rentan terhadap shock kondisi eksternal karena kurang terdiversifikasinya
komoditas ekpor Indonesia serta negara tujuan utama komoditas ekspor Indonesia
cenderung terkosentrasi. Jika kondisi ini dibiarkan maka defisit transaksi berjalan
akan semakin besar dan dapat menjadi pemicu terjadinya currency crisis.
CA (Juta US$)
Ratio CA to GDP
6000
14%
4000
12%
2000
10%
8%
0
-2000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 6%
4%
-4000
2%
-6000
0%
-8000
-2%
-10000
-4%
-12000
-6%
Sumber: SEKI BI, berbagai tahun (diolah)
Gambar 1 Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Berdasarkan Friedman Hyphotesis, fleksibilitas nilai tukar dapat
digunakan sebagai sarana dalam memfasilitasi penyesuaian pada
ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan. Fleksibilitas nilai tukar bergantung
kepada rezim nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Kim dan You (2013)
menambahkan bahwa peran fleksibilitas dalam penyesuaian transaksi berjalan
merupakan salah satu isu penting dalam kondisi makroekonomi internasional.
Pemilihan rezim nilai tukar pada suatu negara sering kali memunculkan
pertanyaan apakah fleksibilitas nilai tukar yang bergantung pada rezim yang di
anut akan menyebabkan penyesuaian secara otomatis pada transaksi berjalan.
Untuk itu perlu adanya pengkajian mengenai hubungan fleksibilitas nilai tukar
dan neraca transaksi berjalan yang bergantung pada rezim nilai tukar sehingga
dalam penelitian ini diaplikasikan model Threshold VAR untuk menggabungkan
perubahan dalam rezim nilai tukar berdasarkan perpindahan nilai tukar aktual.
Proksi dari fleksibilitas nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
variabilitas nilai tukar yang dihitung dari presentase bulanan serta standar deviasi
dari nilai tukar efektif serta pengklasifikasian rezim nilai tukar yang ada.
Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan nilai
tukar dan transaksi berjalan tidak menyertakan Indonesia ke dalam sampel
penelitian, hal ini dikarenakan karena terbatasnya data Indonesia yang tercantum
pada database internasional. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah:
5
1. Di antara klasifikasi rezim nilai tukar yang ada baik klasifikasi secara de
jure dan de facto klasifikasi rezim nilai tukar manakah yang dapat
memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia?
2. Apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh fleksibilitas nilai tukar yang mencerminkan perubahan
rezim nilai tukar terhadap penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi klasifikasi rezim nilai tukar mana antara de facto dan de
jure yang dapat memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia.
2. Mengidentifikasi apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia atau
tidak.
3. Mengidentifikasi pengaruh fleksibilitas nilai tukar terhadap penyesuaian
transaksi berjalan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
upaya menjaga kondisi transaksi berjalan. Bagi penulis, semoga penelitian ini
dapat menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi
konsep dan metode yang telah di dapat di jenjang pendidikan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki empat ruang lingkup. Pertama, penelitian ini
mencoba memberikan gambaran mengenai dinamika perubahan transaksi berjalan
serta nilai tukar dalam kurun waktu tahun 1993-2013 di Indonesia. Kedua, melihat
hubungan korelasi dari proksi nilai tukar aktual dan klasifikasi rezim nilai tukar
yang ada sehingga dari hasil estimasi dapat terpilih klasifikasi nilai tukar yang
mana yang dapat merepresentasikan nilai tukar aktual Indonesia. Ketiga,
menggunakan analisis ekonometrika dengan Threshold VAR untuk menguji
hubungan dan mencari nilai threshold antara fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan. Keempat¸ dari hasil estimasi model ekonometrika
yang diperoleh, selanjutnya akan diberikan beberapa telaah dan analisis untuk
kemudian diberikan kesimpulan serta saran berupa implikasi kebijakan yang
applicable di Indonesia.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Rezim Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan harga mata uang dengan mata uang negara lain.
Fungsi nilai tukar pada suatu negara yaitu sebagai salah satu alat transmisi dari
kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Pengaruh
atau kontribusi nilai tukar terhadap perekonomian suatu negara tergantung pada
rezim nilai tukar yang dianut. Oleh karena itu, setiap negara harus menentukan
rezim nilai tukar apa yang dianut. Menurut Sozovska (2004), dalam berbagai
diskusi akademik, pemilihan rezim nilai tukar sering tertuju antara fixed dan
flexible exchange rate. Namun pada kenyataannya, terdapat variasi alternatif
rezim nilai tukar yang berbeda dengan fixed dan flexible exchange rate dengan
implikasi yang berbeda pula.
Berdasarkan derajat fleksibilitas, rezim nilai tukar dibagi menjadi tiga
kategori yaitu
1. Fixed rate regimes terdiri atas currency unions (monetary union), dollarized
regimes, currency board, dan conventional fixed peg.
2. Intermediate regimes terdiri dari horizontal bands, crawling pegs, dan
crawling bands.
3. Flexible regimes terdiri dari managed, dan independent floats.
Penjelasan dari kategori rezim nilai tukar yang telah disebutkan di atas
adalah:
a. Monetary Union
Merupakan zona di mana berlakunya kebijakan moneter tunggal
dengan mata uang tunggal yang memiliki substitusi sempurna. Secara
umum, monetary union memiliki kebijakan moneter dan fiskal untuk
mengatur penciptaan high-powered money dan peningkatan hutang
pemerintah, serta memiliki manajemen sentral mengenai cadangan
devisa, hutang luar negeri, dan kebijakan nilai tukar.
b. Dollarization/Euroization.
Situasi di mana penduduk suatu negara secara resmi atau tidak resmi
menggunakan mata uang luar negeri sebagai legal tender (alat tukar)
dalam melakukan transaksi. Alasan utama dalam melakukan
dollarization karena besarnya stabilitas nilai tukar luar negeri terhadap
nilai tukar domestik. Adanya dollarization dapat menyebabkan efek
negatif yaitu suatu negara akan sengaja menghilangkan pengendalian
kebijakan moneter di negara tersebut, adanya perpindahan nilai tukar
tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
c. Currency board
Merupakan rezim moneter yang diadopsi oleh negara yang bertujuan
untuk mendisiplinkan bank sentral mereka, serta memecahkan masalah
kredibilitas eksternal dengan pengaturan kelembagaan yang mengikat.
7
d.
e.
f.
g.
h.
Currency board mengkombinasikan tiga elemen yaitu fixed exchange rate
sebagai mata uang acuan, konvertibilitas yang dilakukan secara otomatis
(hak untuk menukarkan mata uang domestik pada tingkat yang tetap) dan
sistem jangka panjang. Currency board mensyaratkan adanya cadangan
devisa luar negeri sebanyak jumlah uang yang beredar, adanya perpindahan
nilai tukar tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
Conventional fixed peg
Negara mematok atau menetapkan (peg) mata uang pada tingkat yang tetap
ke mata uang negara lain atau kepada mata uang negara perdagangan
utama. Pada sistem fixed peg devaluasi merupakan pilihan untuk mengatasi
guncangan yang terjadi. Kelemahan sistem ini adalah adanya ruang untuk
berspekulasi, usaha untuk mencegah terjadinya volatilitas nilai tukar tidak
dibarengi dengan adanya pengurangan misalignment.
Crawling peg
Merupakan sebuah sistem penyesuaian nilai tukar di mana mata uang
dengan nilai tukar tetap diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam sebuah
rentang yang telah disepakati pada suatu negara. Rezim crawling peg
awalnya digunakan pada negara dengan tingkat inflasi yang tinggi yang
mematok atau menentapkan nilai tukar pada negara dengan tingkat inflasi
yang rendah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya apresiasi mata
uang.
Horizontal bands
Mata uang di pertahankan di dalam fluktuasi margin minimal ± 1 persen
dengan suku bunga acuan. Suku bunga acuan atau margin disesuaikan
secara berkala pada nilai tertentu atau sesuai dengan respon perubahan pada
indikator terpilih. Di bawah sistem nilai tukar dengan bands, akan
menyebabkan berkurangnya independensi pada kebijakan moneter, karena
peran kebijakan moneter lebih terfokus pada fluktuasi margin yang telah
ditetapkan.
Independent floating
Pada rezim nilai tukar independent floating tidak ada komitmen suatu
negara dalam menentukan target nilai tukar. Adanya penawaran dan
permintaan di pasarlah yang akan menentukan nilai tukar. Otoritas moneter
tidak dapat mengintervensi pasar nilai tukar, serta tidak dapat menentukan
atau mengatur tingkat suku bunga untuk tujuan mempengaruhi level nilai
tukar.
Managed floating
Pada rezim nilai tukar ini, meskipun tidak ada target dalam nilai tukar,
namun otoritas moneter di suatu negara dapat mengintervensi pasar nilai
tukar atau menentukan tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi nilai
tukar. Dengan tujuan untuk memperkecil volatilitas dari nilai tukar, adanya
volatilitas yang tinggi dapat menyebabkan pasar nilai tukar menjadi tidak
likuid.
Pada bulan Maret 1973, Amerika Serikat mengganti rezim nilai tukar yang
dianut dari rezim nilai tetap menjadi nilai tukar mengambang terhadap mata uang
negara lain (leading currencies). Adanya pergeseran rezim nilai tukar ini menjadi
8
pertimbangan negara lain untuk mengganti rezim nilai tukar yang dianut.
Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed exchange rate akan lebih
rentan terhadap krisis keuangan dan krisis perbankan dibandingkan dengan negara
yang menganut regim flexible exchange rate. Hal ini dikarenakan regim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi rezim nilai tukar yang dianut
oleh sebuah negara maka dibentuklah klasifikasi rezim nilai tukar dengan bentuk
kode angka untuk kelompok rezim nilai tukar tertentu. Menurut Gemberg dan
Swoboda (2004) Pengklasifikasian nilai tukar dengan pengkodean secara cepat
telah menjadi standar dalam penelitian mengenai nilai tukar. Menurut (Donald
2007) sampai dengan tahun 1997, IMF meminta negara anggotanya untuk
membuat deklarasi atas rezim nilai tukar yang dianut ke dalam empat kategori
yaitu fixed exchange rate, limited flexibility, managed floating, dan independently
floating. Klasifikasi rezim nilai tukar IMF ini ditetapkan sebagai rezim nilai tukar
de jure yaitu klasifikasi rezim nilai tukar yang sesuai dengan deklarasi dari
pemerintah/otoritas moneter suatu negara.
Menurut Rose (2003), klasifikasi rezim nilai tukar IMF sebagai klasifikasi
de jure tidak memiliki kedekatan dengan perilaku nilai tukar secara de facto
(rezim nilai tukar aktual). Sebagai contoh suatu negara yang mendeklarasikan
fixed exchange rate, namun pada kenyataannya malah menganut atau melakukan
kebijakan flexible exchange rate melalui sistem nilai tukar ganda. Pendapat dari
Rose (2003) sejalan dengan Calvo dan Reinhart (2002), Levi-Yeyati dan
Sturzeneger (2003) serta Reinhart dan Rogoff (2004) yang menemukan adanya
perbedaan antara klasifikasi rezim nilai tukar yang telah dideklarasikan oleh suatu
negara dengan rezim nilai aktual yang terjadi. Hal ini lah yang mendasari
munculnya klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto, seperti rezim nilai tukar de
facto yang dibuat oleh Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S), Reinhart dan
Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS).
Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2005) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan metodologi statistik berdasarkan perilaku dari nilai tukar nominal
dan cadangan devisa. Pengklasifikasian rezim nilai tukar float (peg) dikaitkan
dengan tingginya (rendahnya) volatilitas nilai tukar dan rendahnya (tingginya)
volatilitas dari devisa. Klein dan Shambaugh (2006) pendekatan nilai tukar
nominal dan melakukan pengkodean dengan rezim nilai tukar pegged atau nonpegged. Nilai tukar nominal harus berada pada rentang 2 persen dalam satu tahun
atau tidak mengalami perpindahan untuk sebelas bulan dalam waktu satu tahun.
Sedangkan Reinhart dan Rogoff (2004) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan perilaku statistik dari nilai tukar pararel dibandingkan dengan nilai
tukar nominal. Ketiga pengklasifikasian nilai tukar ini sama-sama menggunakan
klasifikasi nilai tukar bilateral.
9
Variabilitas Nilai Tukar
Variabilitas nilai tukar merupakan isu utama dalam konteks
memperdebatkan kemampuan rezim nilai tukar. Konsekuensi akan variabilitas
nilai tukar untuk aktivitas ekonomi telah menjadi fokus para pembuat kebijakan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan klasifikasi rezim
nilai tukar dalam kajian mengenai penyesuaian transaksi berjalan berguna untuk
menangkap adanya fleksibilitas dalam nilai tukar. Variabilitas nilai tukar
didefinisikan sebagai fluktuasi nilai tukar di sekitar tingkat keseimbangannya
(Sekkat, 1997).
Menurut McCallum (1989) fluktuasi nilai tukar semakin besar terlihat pada
kisaran tahun 1973 dimulai ketika Amerika Serikat mengalami pergeseran rezim
nilai tukar dari fixed exchange rate ke free float. Hal ini menyebabkan negaranegara di dunia termasuk Indonesia mengikuti perubahan rezim nilai tukar
dikarenakan Indonesia masih mem-peg official rate ke Amerika Serikat. Berikut
merupakan proksi dari fleksibilitas nilai tukar (Kim dan You 2013) yaitu
variabilitas nilai tukar dengan empat pengukuran sebagai berikut yaitu
│% ∆neer│, │%∆nber│, SD(%∆neer) dan SD(%∆nber) di mana:
a. │%∆neer│, │%∆nber│
b.
SD(%∆neer), SD(%∆nber)
: Nilai absolut dari perubahan presentase
tahunan pada nilai tukar nominal efektif
(nominal effective exchange rate/NEER), dan
nilai tukar nominal bilateral (nominal
bilateral exchange rate/NBER)
: Standar deviasi dari perubahan presentase
bulanan pada nilai tukar nominal efektif dan
nilai tukar nominal bilateral.
Model Mundell-Fleming
Teori dasar terkait open economy adalah Model Mundell-Fleming yang
memadukan antara internal dan external balances. Internal balance adalah
keseimbangan kurva IS dan LM. IS merupakan expenditure curve (Y=C + I + G
+ NX) dan LM merupakan kurva money riil (M/P), sedangkan external balance
ditunjukkan oleh keseimbangan balance of payment di mana total current dan
capital account = 0.
Model Mundell-Fleming dapat ditulis dalam bentuk logaritma sebagai
berikut:
(2.1)
(2.2)
(2.3)
Persamaan 2.1 merupakan persamaan yang menjelaskan kurva IS (kondisi
keseimbangan pasar komoditas), di sisi kanan pada persamaan 2.1 meringkas
komponen AD. Sebagai contoh, suku bunga domestik (
memberikan dampak
negatif terhadap investasi dan konsumsi, dan nilai tukar (e) dan pendapatan luar
10
negeri ( ) berdampak positif terhadap net export. Persamaan 2.2 merupakan
persamaan yang menjelaskan kurva LM (kondisi keseimbangan pasar uang), pada
sisi kanan persamaan 2.2 menjelaskan bahwa permintaan akan uang dipengaruhi
oleh nilai tukar dengan hubungan yang negatif sedangkan akan dipengaruhi secara
.
positif dengan pendapatan dalam negeri
Sisi kiri pada persamaan 2.2 menjelaskan bahwa penawaran uang atau
money supply terdiri dari dua komponen yaitu komponen eksogen (
yang
ditentukan oleh otoritas moneter dan komponen induksi
yang
merespon perbedaan diantara nilai tukar aktual dan nilai tukar yang ditargetkan
Jika nilai
maka penawaran uang ditentukan secara eksogen dan berada
pada suatu negara dengan rezim flexible exchange rate atau pada rezim nilai tukar
tetap dengan sterilisasi secara penuh. Jika nilai
tak terhingga maka suatu
negara tersebut menganut regim nilai tukar tetap di mana kebijakan moneter
digunakan sebagai alat untuk mencapai nilai tukar yang telah ditarget. Negara
yang mengadopsi regim nilai tukar antara fixed exchange rate dan managed
floating, maka nilai
akan berkisar antara nol dan tak hingga.
Persamaan 2.3 menjelaskan secara keseluruhan Balance of Payment (BOP)
terhadap nilai ekspor awal , di mana pada sisi kanan persamaan 2.3 variabel
pertama merupakan penentu dari keseimbangan transaksi berjalan dan variabel
terakhir dari sisi kanan persamaan 2.3 merupakan penentu dari keseimbangan
transaksi modal. Kurva BOP akan bernilai = 0 untuk variasi kombinasi dari
pendapatan dalam negeri atau domestik dan suku bunga dalam negeri atau
domestik.
Gambar 2 berikut merupakan kurva keseimbangan internal dan eksternal
yang terdiri atas kurva IS,LM dan BOP.
LM
rd
Ydd < Yds
d
s
Ydd < Yds
M 0
d
Ydd > Yds
d
s
M 0
s
M >M
BOP > 0
BOP
E
Ydd < Yds
d
Ydd > Yds
d
s
M Yds
d
s
M >M
BOP < 0
s
M >M
BOP < 0
IS
Yd
Sumber: Chowdury & Hossain, 2001
Gambar 2 Internal and External Balances
11
Keseimbangan model Mundell-Fleming dinyatakan dengan perpotongan
pada kurva IS, LM, dan BOP pada satu titik (titik E). Bagian di sebelah kanan
(kiri) kurva IS menunjukan adanya kelebihan penawaran (Yds) (permintaan (Ydd)).
Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah ditentukan, penawaran output
akan lebih besar (kecil) daripada yang diminta pada keseimbangan pasar barang.
Bagian di sebelah kanan (kiri) dari kurva LM menggambarkan kelebihan
d
s
permintaan (M ) (penawaran (M )) akan uang. Hal ini dikarenakan untuk suku
bunga yang ditentukan, tingkat pendapatan akan lebih tinggi (rendah)
dibandingkan kebutuhan yang diperlukan untuk keseimbangan pasar uang.
Sedangkan bagian kanan (kiri) dari kurva BOP menggambarkan BOP yang defisit
(BOP0)). Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah
ditentukan aliran modal yang masuk tidak akan berubah, tetapi lebih tinggi
(rendah) tingkat pendapatan dalam negeri menandakan adanya defisit (surplus)
perdagangan yang besar (Chowdury & Hossain, 2001).
Hubungan Transaksi berjalan dengan Nilai Tukar
Berbagai teori ekonomi yang membahas mengenai konsep makroekonomi
dalam prespektif perekonomian terbuka telah banyak membahas mengenai
hubungan antara transaksi berjalan dan nilai tukar. Berdasarkan kerangka
keseimbangan makroekonomi yang fokus dalam memperoleh keseimbangan
internal dan eksternal secara bersamaan. Kerangka keseimbangan makroekonomi
memiliki tiga komponen dasar yaitu keseimbangan transaksi berjalan, nilai tukar
riil yang independen, hubungan antara transaksi berjalan, nilai tukar riil dan gap
antara output domestik dan luar negeri. Pada pertengahan 1990 kerangka
keseimbangan makroekonomi berdasarkan pada Balance of Payment.
Balance of Payment mencacat secara keseluruhan transaksi yang dilakukan
suatu negara dengan negara lain. Secara definisi Balance of Payment akan selalu
memiliki nilai yang seimbang di mana transaksi berjalan akan sama dengan neraca
modal (Current Account = Capital Account). Hal ini menjelaskan bahwa adanya
defisit (surplus) pada transaksi berjalan akan diseimbangkan dengan surplus
(defisit) di neraca modal. Banyaknya modal yang masuk dapat menyeimbangkan
defisit yang terjadi pada transaksi berjalan dengan meningkatkan suku bunga
dalam negeri terhadap suku bunga luar negeri. Akan tetapi jika arus modal yang
masuk tidak cukup untuk menutupi atau menyeimbangkan defisit transaksi
berjalan, maka proses penyesuaian terjadi melalui perubahan pada nilai tukar.
Sebagai contoh jika defisit di transaksi berjalan melebihi surplus di neraca
modal, nilai tukar akan terdepresiasi yang mengakibatkan ekspor meningkat dan
impor akan mengalami penurunan. Namun jika suatu negara menganut fixed
exchange rate atau managed floating, maka ketidaksesuaian transaksi berjalan
dengan neraca modal akan disesuaikan dengan merubah cadangan devisa dengan
mata uang luar negeri (Chowdury & Hossain, 2001).
Kerangka keseimbangan makroekonomi selain dilihat dari Balanced of
Payment dapat juga dilihat melalui orientasi pada pendapatan nasional yang
menghubungkan posisi transaksi berjalan dengan kelebihan pada tabungan
domestik (S) terhadap investasi domestik (I).
12
Hubungan ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
di mana
= Keseimbangan transaksi berjalan (Current Account Balance)
= Tabungan domestik
= Investasi domestik
Keseimbangan transaksi berjalan secara ekplisit bergantung pada nilai
tukar riil, yang mempengaruhi volume dan harga dari ekspor dan impor. Adanya
efek perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan transaksi berjalan
membutuhkan lag dalam penyesuaiannya. Keseimbangan neraca berjalan juga
bergantung ada permintaan agregat domestik maupun luar negeri dan bermacammacam faktor lainnya.
Gambar 3 di bawah merupakan grafik yang menggambarkan hubungan
transaksi berjalan dengan nilai tukar. Hubungan pada kedua variabel ekonomi
tersebut merupakan perspektif jangka menengah. Grafik UCUR yang merupakan
kepanjangan dari Underlying Current Account yang didefinisikan sebagai nilai
dari keseimbangan transaksi berjalan (CUR) yang akan muncul pada nilai tukar
yang berlaku jika seluruh negara berproduksi pada tingkat output yang potensial
(internal balance) dan efek lag pada perubahan nilai tukar masa lalu telah
sepenuhnya terealisasi. Terlihat pada grafik slope negatif menunjukkan adanya
hubungan transaksi berjalan berbanding terbalik dengan nilai tukar yang
diproksikan dengan REER. REER (Real Efective Exchange Rate) merupakan
salah satu proksi nilai tukar yang merupakan ukuran dari nilai tukar nominal yang
disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga dengan suatu negara terhadap negara
patner dagangnya atau biasa disebut dengan nilai tukar multilateral (Opuku-Afari,
2011).
REER
S-I
Equilibrium Saving –
Investment balance
R1
Underlying current
account balance
R*
UCUR
UCUR1
Surplus
Current
Account
0
Gambar 3 Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Deficit
Nilai tukar yang terdepresiasi akan memperbaiki posisi transaksi berjalan
(UCUR). Jika nilai tukar riil berubah ke posisi R1, maka keseimbangan
makroekonomi menjadi UCUR1. Garis vertikal
yang merupakan
13
keseimbangan posisi tabungan dan investasi diasumsikan independen terhadap
nilai tukar riil. Perpotongan antara grafik UCUR dan
menentukan nilai
keseimbangan pada nilai tukar (R*). Perhitungan terhadap R* di mulai dari (i)
posisi nilai transaksi berjalan yang terkait dengan nilai tukar yang berlaku (R1)
kemudian (ii) gap antara keseimbangan pada
dan UCUR1. Slope pada garis
UCUR kemudian di gunakan untuk mengestimasi seberapa besar R akan berubah
untuk memperkecil gap ceteris paribus. Model transaksi berjalan diperlukan
untuk mengestimasi keseimbangan kondisi transaksi berjalan yang berlaku.
Banyak negara yang telah membangun model transaksi berjalan. Spesifikasi dan
kalibrasi cenderung mengikuti spesifikasi pada tiap negara yang merefleksikan
faktor-faktor seperti ukuran negara dan komposisi dari ekpor dan impornya.
Marshall-Lerner Condition
Teori Marshall-Lerner Condition menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan dimana adanya depresiasi
mata uang domestik akan mengakibatkan barang yang di ekspor suatu negara akan
menjadi lebih murah bagi konsumen luar negeri sedangkan barang impor akan
menjadi lebih mahal bagi konsumen dalam negeri.
Dalam Marshall-Lerner Condition terdapat beberapa asumsi yaitu :
1. Tidak adanya aliran modal (KA=0), sehingga neraca pembayaran dan
neraca transaksi berjalan sama dengan neraca perdagangan (trade balance).
2. Pendapatan konstan atau berada dalam kondisi full employment.
3. Konsumen memiliki ketertarikan hanya pada harga barang baik ekspor atau
impor di dalam negeri.
4. Penawaran pada barang domestik maupun luar negeri yaitu elastis (lebih
besar dari 1), sehingga harga barang ekspor dalam mata uang domestik dan
harga barang impor dalam mata uang luar negeri konstan. Output ditentukan
hanya berdasarkan permintaan.
Namun dari penjelasan singkat mengenai Marshall-Lerner Condition akan
timbul pertanyaan mengenai apakah pada suatu negara adanya perubahan yang
terjadi akibat adanya depresiasi mata uang domestik akan selalu memperbaiki
kondisi neraca perdagangan atau neraca transaksi berjalan?. Jawaban atas
pertanyaan tersebut banyak dikenal dengan istilah Marshall-Lerner Condition
Paradox. Adanya efek akibat depresiasi mata uang terhadap neraca perdagangan
akan sangat bergantung pada nilai elastisitas, dimana elastisitas akan sangat
bergantung pada periode waktu. Pada jangka pendek dimana kondisi nilai
elastisitas kecil, adanya depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca
perdagangan defisit sehingga Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi.
Sedangkan pada jangka panjang dimana kondisi nilai elastisitas besar, adanya
depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca perdagangan surplus. Hubungan
antara periode waktu dan perilaku dari neraca perdagangan ini dapat dirangkum
kedalam kurva J (J-curve).
14
Current
Account
Surplus (+)
+5
T3
Time
T1
T2
Ket :
T1
T2
T3
-2
Current
Account
Deficit (-)
= Posisi Defisit
= Posisi Defisit
= Posisi Surplus
Sumber : Hady (2004)
Gambar 4 Kurva J (J-Curve)
Tinjauan Empiris
Penelitian atau literatur mengenai penyesuaian transaksi berjalan dengan
keterkaitannya dengan kondisi perekonomian terbuka dan pendekatan
intertemporal sudah dimulai sejak tahun 1982, namun menurut Hermann (2009)
penelitian yang melihat hubungan antara rezim nilai tukar dan penyesuaian
transaksi berjalan pertama kali dilakukan oleh Chinn dan Wei (2008).
Chinn dan Wei (2008) melakukan penelitian pada 170 negara yang terdiri
dari negara maju dan berkembang (menurut klasifikasi IMF) selama tahun19712005. Penelitian yang dilakukan menggunakan dua rezim tukar de facto yaitu
klasifikasi nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturzenegger serta Reinhart, dan Rogoff.
Penggunaan dua klasifikasi bertujuan untuk melakukan perbandingan karena
menurut pendapat Frankel (2007) yang menyebutkan bahwa dua klasifikasi
tersebut hanya memiliki korelasi 0,4. Hal ini menandakan adanya konsep yang
berbeda jauh dalam melakukan pengklasifikasian rezim nilai tukar. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan menggunakan rezim nilai tukar LevyYeyati dan Sturznegger derajat persistensi dari transaksi berjalan sebesar 0.63 di
bawah rezim flexible exchange rate, kemudian derajat persisten akan mengalami
kenaikan hingga 0.76 dan 0.79 di bawah rezim fixed exchange rate. Ketika
klasifikasi rezim nilai tukar Reinhart dan Rogoff (2004) digunakan hasilnya tidak
jauh berbeda dengan penggunaan rezim nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturznegger,
derajat persistensi di bawah flexible exchange rate memiliki nilai 0.663 sedangkan
di bawah rezim flexible exchange rate memiliki nilai derajat persisten sebesar
0.719. Dari kedua hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak diperoleh hasil
yang robust dalam mengestimasi hubungan fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan.
15
Hermann (2009) dengan mengadopsi cara kerja Chinn dan Wei (2008)
dalam mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan transaksi berjalan
memperoleh hasil yang berbeda, di mana fleksibilitas nilai tukar ternyata
mempengaruhi penyesuaian pada transaksi berjalan. Perbedaan yang terjadi
menurut Hermann (2009) disebabkan karena pertama Chinn dan Wei (2008)
menggunakan rezim nilai tukar Levy-Yeyati dan Sturznegger yang diubah
menjadi dummy sebagai proksi dari fleksibilitas nilai tukar sedangkan nilai tukar
Reinhart dan Rogoff (2004) tidak diubah menjadi variabel dummy. Adanya
pengubahan pada rezim nilai tukar tersebut diindikasi tidak dapat menangkap nilai
tukar aktual. Kedua, data yang digunakan oleh Chinn dan Wei (2008) memiliki
heterogenitas yang besar dan standard error nya memiliki perilaku yang berbeda
di setiap sub-sampel. Adanya permasalahan di atas dapat diperbaiki oleh Hermann
(2009) dengan cara menggunakan z-scores sebagai proksi dalam mengukur
volatilitas nilai tukar, kemudian sampel yang digunakan homogen. Estimasi
dilakukan di emerging market dikarenakan adanya permasalah ini lebih terfokus
pada negara berkembang.
Decressin dan Stavrev (2009) mengestimasi hubungan antara
keseimbangan transaksi berjalan dengan nilai tukar mata uang di European
Economic and Monetary Union (EMU) pada masa sebelum dan sesudah monetary
union terbentuk pada tahun 1999. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
kekhawatiran mengenai tidak adanya mata uang nasional pada negara di kawasan
Eropa, sehingga ketika adanya guncangan tertentu pada suatu negara dikawasan
tersebut akan mengakibatkan besar dan lamanya ketidakseimbangan transaksi
berjalan antara negara anggota, serta akan merusak independensi dari kebijakan
moneter. Pada penelitian ini nilai tukar diproksikan oleh real effective exchange
rate (nilai tukar riil efektif), diperoleh hasil bahwa pada negara di EMU pada
kedua kurun waktu yang berbeda tidak terdapat hubungan timbal balik antara
perbedaan transaksi berjalan pada negara EMU dengan nilai tukar. Pada penelitian
ini diestimasi juga mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan pada
transaksi berjalan di negara EMU, yaitu pendapatan dan keadaan demografi
negara masing-masing.
Kim dan You (2013) menganalisis hubungan nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan dengan menggunakan Threshold VAR. Dalam
estimasinya Kim dan You (2013) menggunakan nilai tukar de facto dan de jure
serta standar deviasi dari ni
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fleksibilitas nilai tukar
dan penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia:Analisis Threshold VAR adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
NIM H151130456
RINGKASAN
FARHANA ZAHROTUNNISA. Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian
Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR. Dibimbing oleh
IMAN SUGEMA dan TONI BAKHTIAR.
Estimasi mengenai hubungan antara fleksibilitas nilai tukar dan
penyesuaian neraca transaksi berjalan akan melalui tiga tahap, di mana pada tahap
pertama yaitu adanya analisis korelasi antara variabilitas nilai tukar (yang
diproksikan oleh REER dan NEER) dan klasifikasi rezim nilai tukar. Langkah
kedua yaitu mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan neraca transaksi
berjalan menggunakan model VAR sebagai model acuang. Langkah ketiga yaitu
menerapkan estimasi non linear dengan Threshold VAR dengan dua variabel
threshold yang berbeda yaitu REER dan klasifikasi nilai tukar RR . Hasil analisis
menunjukkan bahwa klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto terutama
klasifikasi RR dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia dengan korelasi
sebesar 0.71. Di Indonesia adanya fleksibilitas nilai tukar berpengaruh terhadap
penyesuaian neraca transaksi berjalan hanya jika 1) perubahan nilai tukar ada
dikisaran kurang dari 27.7059, sedangkan di kondisi high regime, adanya
fleksibilitas nilai tukar tidak akan berdampak pada neraca transaksi berjalan
karena responnya persisten meningkat sehingga membuat sistem menjadi tidak
stabil. 2) Indonesia menganut rezim nilai tukar dengan kode 3 – 6 pada klasifikasi
RR atau nilai tukar yang termasuk kategori intermediate regime atau flexible
regime. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus menjaga perubahan nilai
tukar kurang dari 27.7059 karena dalam rentang tersebut nilai tukar dapat
membantu penyesuaian neraca transaksi berjalan. Sehingga dapat membantu
perbaikan kondisi apabila Indonesia sedang mengalami neraca transaksi berjalan.
Kata Kunci: Fleksibilitas Nilai Tukar, Penyesuaian Neraca Transaksi Berjalan,
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar, Threshold VAR
SUMMARY
FARHANA ZAHROTUNNISA. Exchange Rate Flexibility and Current Account
Adjustment in Indonesia: Threshold VAR Analysis. Supervised by IMAN
SUGEMA and TONI BAKHTIAR
Estimation study about the relationship between exchange rate flexibility
and current account adjustment has been conducted through three stages, the first
stage was analysis of correlation among exchange rates variability (proxied by
REER and NEER) and exchange rate regimes classification. The second step was
estimating the relationship that the former was mentioned with VAR as
benchmark model. The third step was applying the nonlinear estimation using
Threshold VAR with two different threshold variables. Namely REER and RR
Classification which formed by Reinhart and Rogoff . The results of analysis
showed that exchange rate regime classification may capture actual exchange rate
variability, which of 0.71 correlation value. Flexibility exchange rate can
accelerate current account adjustment in Indonesia if 1) the changes of Indonesia
exchange rate less than 27.7059 whereas in high regime exchange rate is
persistently increasing so that the system between exchange rate and current
account becomes unstable. 2) Indonesia is applying exchange rate regime with
code 3 – 6 from RR classification or exchange rate classification that categorized
in intermediate regime or flexible regime. Bank Indonesia as monetary authorities
must keep the changes of exchange rate less than 27.7059, due to exchange rate
can affect current account adjustment, so can anticipate if there is current account
deficit in Indonesia economy.
Keywords: Exchange Rate Flexibility, Current Account Adjustment, Exchange
Rate Regime Classification, Threshold VAR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FLEKSIBILITAS NILAI TUKAR DAN PENYESUAIAN
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Judul Penelitian
Nama
NIM
: Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian Transaksi
Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR
: Farhana Zahrotunnisa
: H151130456
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Sugema, MEc
Ketua
Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi
Tanggal Ujian : 3 Juli 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian
ini adalah fleksibilitas nilai tukar dan penyesuaian neraca transaksi berjalan di
Indonesia: Analisis Threshold VAR. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec dan Dr. Toni Bakhtiar, S.Si, M.Sc selaku dosen
pembimbing yang selalu memberikan baik arahan dan motivasi kepada penulis,
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen penguji luar komisi
dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku komisi pendidikan, atas kritik dan
saran yang membangun dan bermanfaat yang diberikan kepada penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta adik
tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulis tetap semangat
dalam mengerjakan tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada para
sahabat terdekat Maria Utari, Friska Zehan, Nadya Astrid, Nina Hanifa, Rezka
Farah, Puspita Mega Lestari, Meiyora Averiana, Widy Purnama, Ardhi Harry,
Adrian Prama, Bronson Marpaung, Jajang Arif, Bram Agustian Zahro, Fauzi
Mauludin Fahmi, Taufik Imandana, Gun Gumelar, I Made Sanjaya atas segala
dukungan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PRAKATA
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
6
6
14
16
17
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Perumusan Model Penelitian
17
17
18
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Kondisi Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia
24
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar dan Fleksibilitas Nilai Tukar
28
Data Generating Process
29
Hubungan Fleksibilitas Nilai Tukar dengan Penyesuaian Neraca Transaksi
Berjalan
30
SIMPULAN
45
SARAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel dan sumber data penelitian
Cara perhitungan nilai kriteria model
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
Statistik deskriptif variabel penelitian
Hasil uji korelasi semua proksi variabilitas dan klasifikasi rezim
nilai tukar
6. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Augmented Dicky Fuller (ADF)
7. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Phillips Peron (PP)
8. Hasil Uji Korelasi antara |∆%REER| dengan Empat Klasifikasi
Rezim Nilai Tukar
9. Hasil Uji Threshold
10. Hasil Uji Threshold dengan Klasifikasi RR
11. Perbedaan hasil TVAR pada masing-masing variabel threshold
12. Keterangan mengenai klasifikasi nilai tukar RR
13. Data variabel threshold REER
17
21
23
27
28
29
30
34
35
39
42
43
44
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Internal and External Balances
Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Kurva J (J-Curve)
Kerangka Pemikiran
Ringkasan Prosedur Analisis
Share neraca transaksi berjalan terhadap GDP di Indonesia
REER, NEER, dan Inflasi
Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model VAR
10. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model VAR
11. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
12. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
13. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transakasi Berjalan pada Model TVAR
14. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR
15. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR
16. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR
4
10
12
14
16
18
25
27
31
32
32
33
36
36
37
38
17. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel
Threshold Klasifikasi RR
18. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
19. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel Threshold
Klasifikasi RR
20. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi
RR
40
40
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pemilihan Lag pada Analisis VAR
2. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan REER sebagai Threshold
Indicator
3. Hasil Estimasi Threshold VAR
4. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
5. Hasil Estimasi Threshold VAR dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
48
48
51
51
54
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kinerja sektor eksternal sebuah perekonomian pada umumnya tercermin
pada perkembangan neraca pembayaran yang selanjutnya akan berpengaruh pada
nilai tukar. Komponen utama dalam neraca pembayaran adalah transaksi berjalan
atau current account, transaksi modal atau capital and financial account dan
perubahan cadangan devisa (Nugroho et al. 2012). Memburuknya kinerja
transaksi modal sering dikaitkan dengan menurunnya aliran modal asing
sedangkan memburuknya kinerja transaksi berjalan sering dikaitkan secara
langsung dengan kinerja dan daya saing ekspor yang menurun atau peningkatan
impor karena permintaan domestik yang meningkat.
Pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang melanda Amerika
Serikat (AS) kemudian merambat hampir ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Salah satu penyebab utama krisis keuangan global adalah ketidakseimbangan
global
(global
imbalance)
yang
terjadi
secara
berkepanjangan.
Ketidakseimbangan global merupakan suatu kondisi di mana suatu atau
sekelompok negara mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit)
sementara sekelompok negara lainnya mengalami surplus dalam skala yang sangat
besar dan dalam waktu yang cukup lama (Ecthink 2009), sedangkan pada tahun
2010 terjadi krisis di kawasan Eropa yang dipicu oleh besarnya hutang
pemerintah. Kedua krisis yang terjadi dalam waktu yang berdekatan berdampak
pada menurunnya kinerja ekpor Indonesia di mana impor tetap tumbuh tinggi
akibat permintaan domestik yang cukup kuat menyebabkan defisit transaksi
berjalan sejak triwulan IV/2011.
Belum pulihnya krisis AS dan Eropa serta melemahnya perekonomian
Jepang mengakibatkan pada tahun 2013 triwulan II Indonesia mengalami defisit
transaksi berjalan terbesar sepanjang sejarah yaitu US$ 9,8 miliar atau sekitar 4,4
persen dari GDP Indonesia. Menurut Milesi-Ferreti dan Razin (1996) suatu negara
harus menjaga agar defisit transaksi berjalan tidak berlangsung lama, karena
adanya defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen dari GDP dapat memicu
terjadinya currency crisis. Keberlanjutan defisit transaksi berjalan merefleksikan
tingginya pengeluaran untuk konsumsi yang dibiayai oleh hutang jangka pendek
atau cadangan devisa luar negeri. Sejarah mencatat bahwa ada beberapa negara
yang mampu bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan dalam beberapa
tahun yaitu Australia, Irlandia, Israel, Malaysia, dan Korea Selatan. Kondisi
tersebut berbanding terbalik dengan Cile dan Meksiko yang harus mengalami
krisis akibat tidak dapat bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan.
Menurut Friedman Hyphotesis (Friedman1953) adanya penyesuaian yang
baik dalam menghadapi ketidakseimbangan pada transaksi berjalan memerlukan
adanya fleksibilitas pada nilai tukar dimana adanya depresiasi terhadap nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan (Marshall-Lerner
Condition). Semakin besar fleksibilitas nilai tukar maka akan semakin besar
kemampuan transaksi berjalan pada suatu negara dalam penyesuaian terhadap
perubahan kondisi yang terjadi menuju sustainable level yang nantinya akan
2
mengefisienkan penyesuaian nilai tukar nominal dibandingkan penyesuaian pada
harga barang. Fleksibilitas nilai tukar sangat bergantung pada rezim nilai tukar
yang dianut suatu negara. Sejarah perekonomian Indonesia mencatat bahwa
Indonesia mengalami pergantian rezim nilai tukar bahkan sebelum Indonesia
merdeka. Studi Adiningsih et al. (2008) menyatakan bahwa pada tahun 1997
rezim nilai tukar yang dianut oleh Indonesia berubah dari rezim nilai tukar tetap
menjadi rezim nilai tukar mengambang. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian
rezim nilai tukar secara de jure (deklarasi dari pemerintah/otoritas moneter) yang
dilakukan oleh IMF. Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed
exchange rate (nilai tukar tetap) akan lebih rentan terhadap krisis keuangan dan
krisis perbankan dibandingkan dengan negara yang menganut rezim flexible
exchange rate (nilai tukar yang fleksibel). Hal ini dikarenakan rezim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Klasifikasi rezim nilai tukar yang ditetapkan secara de jure memiliki
perbedaan/inkonsistensi dengan nilai tukar secara de facto (variasi nilai tukar yang
terjadi/aktual) (Reinhart et al. 2004). Banyak negara yang menyatakan menganut
rezim floating exchange rate (nilai tukar mengambang) namun tetap melakukan
intervensi dalam implementasi kebijakan dalam mengatur nilai tukar. Hal ini yang
melatarbelakangi terbentuknya pengklasifikasian nilai tukar secara de facto
sebagai alternatif dari nilai tukar secara de jure. Alternatif pengklasifikasian nilai
tukar ini bertujuan untuk menyempurnakan kelemahan yang ada pada sistem nilai
tukar secara de jure. Pengklasifikasian rezim nilai tukar secara de facto telah
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S),
Reinhart, dan Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS). Ketiga kelompok
peneliti di atas mengklasifikasikan nilai tukar dengan cara yang berbeda-beda
namun sama-sama menggunakan nilai tukar bilateral sebagai basis nilai tukar.
Menurut studi yang dilakukan oleh Kim dan You (2013), pengklasifikasian nilai
tukar dengan basis nilai tukar bilateral akan menimbulkan masalah karena tidak
akan dapat menangkap variabilitas nilai tukar sebagai proksi nilai tukar aktual.
Adanya perbedaan pada klasifikasi secara de jure dan de facto serta adanya
permasalahan pada klasifikasi de facto akan menyulitkan dalam pemilihan serta
penggunaan klasifikasi yang tepat dalam melihat hubungan antara fleksibilitas
nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan.
Permasalahan yang telah disebutkan di atas dapat diatasi dengan
melakukan pengujian awal untuk mengidentifikasi klasifikasi nilai tukar mana
yang dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia. Pengujian awal ini
dilakukan dengan cara menguji korelasi klasifikasi nilai tukar yang ada dengan
perhitungan variabilitas nilai tukar yang diproksikan dengan presentase perubahan
bulanan dan standar deviasi dari nilai tukar efektif 1. Hubungan fleksibilitas nilai
tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan dilakukan analisis secara
asimetris mengingat adanya perbedaan rezim nilai tukar yang terjadi di Indonesia
yang diduga dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada penyesuaian neraca
transaksi berjalan.
1
Standar deviasi umum digunakan dalam mengukur fleksibilitas nilai tukar seperti pada
Rose (2003), Devereux dan Lane (2003)
3
Banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara fleksibilitas nilai tukar
dengan transaksi berjalan dengan hasil yang berbeda. Herrmann (2009),
melakukan penelitian di negara Central and Eastren Europe (CEE) dari tahun
1994 sampai dengan tahun 2007, diperoleh hasil bahwa bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara rezim nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi
berjalan. Adanya rezim nilai tukar dengan fleksibilitas yang tinggi akan membuat
ekspektasi dari para pembuat kebijakan meningkat mengenai proses penyesuaian
transaksi berjalan. Namun penelitian yang dilakukan Hermann tidak sejalan
dengan penelitan Chinn dan Wei (2013) yang melakukan penelitian terhadap 170
negara dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2005. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara rezim nilai tukar yang
fleksibel dengan penyesuaian dari transaksi berjalan
Perumusan Masalah
Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi secara makro maka
perekonomian dikelompokkan menjadi ke dalam empat sektor yaitu sektor riil,
sektor eksternal, sektor pemerintah (fiskal), dan sektor moneter. Keempat sektor
tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi atau interdependensi
(Pohan, 2008). Krisis finansial global yang terjadi pada kisaran tahun 2008
berawal dari krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage)
di Amerika serikat. Hal ini mengakibatkan adanya perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia salah satunya Indonesia. Adanya krisis global akan berdampak
secara signifkan pada sektor eksternal Indonesia yang terdiri dari neraca transaksi
berjalan dan neraca modal.
Neraca transaksi berjalan merupakan komposisi dari sektor eksternal yang
terdiri dari ekspor, impor, dan pendapatan luar negeri (pendapatan tenaga kerja
dan modal serta transfer dari luar negeri). Adanya krisis finansial global yang
bermula karena adanya perlambatan aktivitas ekonomi yang terjadi di negara maju
berimbas ke negara-negara berkembang terutama negara yang memiliki
keterkaitan perdagangan yang erat dengan negara maju. Ancaman perlambatan
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih signifikan terjadi di negara-negara
Asia yang mengandalkan ekspor, seperti Singapura, Taiwan, Korea dan
Hongkong. Di tengah terjadinya penurunan tajam di perekonomian global,
perekonomian Indonesia masih menunjukkan kinerja yang baik dengan
pertumbuhan sebesar 6,1 persen pada tahun 2008, namun di akhir 2008 dampak
krisis keuangan global berimbas ke perekonomian Indonesia salah satu nya
tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang hanya tercatat sebesar 5,2 persen. Hal
ini juga berimbas pada kinerja ekspor Indonesia yang rentan terhadap krisis
global.
Menurut Bank Indonesia (2009), transmisi dampak krisis global ke
perekonomian Indonesia pada dasarnya melewati dua jalur yaitu jalur finansial
dan jalur perdagangan. Dampak krisis melalui jalur perdagangan diperkirakan
akan cukup signifikan, karena akan diikuti oleh rambatan ke seluruh sektor
ekonomi. Pada triwulan ketiga tahun 2008, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
mengalami defisit sekitar USD89 juta. Defisit pada NPI didorong oleh
memburuknya kinerja neraca transaksi berjalan sekitar USD0.6 miliar yang dipicu
4
oleh menurunnya kinerja ekspor. Pada grafik di bawah ini terlihat juga bahwa
pada tahun 2010 hingga 2013 neraca transaksi berjalan mengalami defisit
dikarenakan nilai ekpor Indonesia yang menurun. Kinerja ekspor Indonesia dinilai
rentan terhadap shock kondisi eksternal karena kurang terdiversifikasinya
komoditas ekpor Indonesia serta negara tujuan utama komoditas ekspor Indonesia
cenderung terkosentrasi. Jika kondisi ini dibiarkan maka defisit transaksi berjalan
akan semakin besar dan dapat menjadi pemicu terjadinya currency crisis.
CA (Juta US$)
Ratio CA to GDP
6000
14%
4000
12%
2000
10%
8%
0
-2000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 6%
4%
-4000
2%
-6000
0%
-8000
-2%
-10000
-4%
-12000
-6%
Sumber: SEKI BI, berbagai tahun (diolah)
Gambar 1 Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Berdasarkan Friedman Hyphotesis, fleksibilitas nilai tukar dapat
digunakan sebagai sarana dalam memfasilitasi penyesuaian pada
ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan. Fleksibilitas nilai tukar bergantung
kepada rezim nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Kim dan You (2013)
menambahkan bahwa peran fleksibilitas dalam penyesuaian transaksi berjalan
merupakan salah satu isu penting dalam kondisi makroekonomi internasional.
Pemilihan rezim nilai tukar pada suatu negara sering kali memunculkan
pertanyaan apakah fleksibilitas nilai tukar yang bergantung pada rezim yang di
anut akan menyebabkan penyesuaian secara otomatis pada transaksi berjalan.
Untuk itu perlu adanya pengkajian mengenai hubungan fleksibilitas nilai tukar
dan neraca transaksi berjalan yang bergantung pada rezim nilai tukar sehingga
dalam penelitian ini diaplikasikan model Threshold VAR untuk menggabungkan
perubahan dalam rezim nilai tukar berdasarkan perpindahan nilai tukar aktual.
Proksi dari fleksibilitas nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
variabilitas nilai tukar yang dihitung dari presentase bulanan serta standar deviasi
dari nilai tukar efektif serta pengklasifikasian rezim nilai tukar yang ada.
Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan nilai
tukar dan transaksi berjalan tidak menyertakan Indonesia ke dalam sampel
penelitian, hal ini dikarenakan karena terbatasnya data Indonesia yang tercantum
pada database internasional. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah:
5
1. Di antara klasifikasi rezim nilai tukar yang ada baik klasifikasi secara de
jure dan de facto klasifikasi rezim nilai tukar manakah yang dapat
memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia?
2. Apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh fleksibilitas nilai tukar yang mencerminkan perubahan
rezim nilai tukar terhadap penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi klasifikasi rezim nilai tukar mana antara de facto dan de
jure yang dapat memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia.
2. Mengidentifikasi apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia atau
tidak.
3. Mengidentifikasi pengaruh fleksibilitas nilai tukar terhadap penyesuaian
transaksi berjalan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
upaya menjaga kondisi transaksi berjalan. Bagi penulis, semoga penelitian ini
dapat menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi
konsep dan metode yang telah di dapat di jenjang pendidikan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki empat ruang lingkup. Pertama, penelitian ini
mencoba memberikan gambaran mengenai dinamika perubahan transaksi berjalan
serta nilai tukar dalam kurun waktu tahun 1993-2013 di Indonesia. Kedua, melihat
hubungan korelasi dari proksi nilai tukar aktual dan klasifikasi rezim nilai tukar
yang ada sehingga dari hasil estimasi dapat terpilih klasifikasi nilai tukar yang
mana yang dapat merepresentasikan nilai tukar aktual Indonesia. Ketiga,
menggunakan analisis ekonometrika dengan Threshold VAR untuk menguji
hubungan dan mencari nilai threshold antara fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan. Keempat¸ dari hasil estimasi model ekonometrika
yang diperoleh, selanjutnya akan diberikan beberapa telaah dan analisis untuk
kemudian diberikan kesimpulan serta saran berupa implikasi kebijakan yang
applicable di Indonesia.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Rezim Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan harga mata uang dengan mata uang negara lain.
Fungsi nilai tukar pada suatu negara yaitu sebagai salah satu alat transmisi dari
kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Pengaruh
atau kontribusi nilai tukar terhadap perekonomian suatu negara tergantung pada
rezim nilai tukar yang dianut. Oleh karena itu, setiap negara harus menentukan
rezim nilai tukar apa yang dianut. Menurut Sozovska (2004), dalam berbagai
diskusi akademik, pemilihan rezim nilai tukar sering tertuju antara fixed dan
flexible exchange rate. Namun pada kenyataannya, terdapat variasi alternatif
rezim nilai tukar yang berbeda dengan fixed dan flexible exchange rate dengan
implikasi yang berbeda pula.
Berdasarkan derajat fleksibilitas, rezim nilai tukar dibagi menjadi tiga
kategori yaitu
1. Fixed rate regimes terdiri atas currency unions (monetary union), dollarized
regimes, currency board, dan conventional fixed peg.
2. Intermediate regimes terdiri dari horizontal bands, crawling pegs, dan
crawling bands.
3. Flexible regimes terdiri dari managed, dan independent floats.
Penjelasan dari kategori rezim nilai tukar yang telah disebutkan di atas
adalah:
a. Monetary Union
Merupakan zona di mana berlakunya kebijakan moneter tunggal
dengan mata uang tunggal yang memiliki substitusi sempurna. Secara
umum, monetary union memiliki kebijakan moneter dan fiskal untuk
mengatur penciptaan high-powered money dan peningkatan hutang
pemerintah, serta memiliki manajemen sentral mengenai cadangan
devisa, hutang luar negeri, dan kebijakan nilai tukar.
b. Dollarization/Euroization.
Situasi di mana penduduk suatu negara secara resmi atau tidak resmi
menggunakan mata uang luar negeri sebagai legal tender (alat tukar)
dalam melakukan transaksi. Alasan utama dalam melakukan
dollarization karena besarnya stabilitas nilai tukar luar negeri terhadap
nilai tukar domestik. Adanya dollarization dapat menyebabkan efek
negatif yaitu suatu negara akan sengaja menghilangkan pengendalian
kebijakan moneter di negara tersebut, adanya perpindahan nilai tukar
tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
c. Currency board
Merupakan rezim moneter yang diadopsi oleh negara yang bertujuan
untuk mendisiplinkan bank sentral mereka, serta memecahkan masalah
kredibilitas eksternal dengan pengaturan kelembagaan yang mengikat.
7
d.
e.
f.
g.
h.
Currency board mengkombinasikan tiga elemen yaitu fixed exchange rate
sebagai mata uang acuan, konvertibilitas yang dilakukan secara otomatis
(hak untuk menukarkan mata uang domestik pada tingkat yang tetap) dan
sistem jangka panjang. Currency board mensyaratkan adanya cadangan
devisa luar negeri sebanyak jumlah uang yang beredar, adanya perpindahan
nilai tukar tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
Conventional fixed peg
Negara mematok atau menetapkan (peg) mata uang pada tingkat yang tetap
ke mata uang negara lain atau kepada mata uang negara perdagangan
utama. Pada sistem fixed peg devaluasi merupakan pilihan untuk mengatasi
guncangan yang terjadi. Kelemahan sistem ini adalah adanya ruang untuk
berspekulasi, usaha untuk mencegah terjadinya volatilitas nilai tukar tidak
dibarengi dengan adanya pengurangan misalignment.
Crawling peg
Merupakan sebuah sistem penyesuaian nilai tukar di mana mata uang
dengan nilai tukar tetap diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam sebuah
rentang yang telah disepakati pada suatu negara. Rezim crawling peg
awalnya digunakan pada negara dengan tingkat inflasi yang tinggi yang
mematok atau menentapkan nilai tukar pada negara dengan tingkat inflasi
yang rendah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya apresiasi mata
uang.
Horizontal bands
Mata uang di pertahankan di dalam fluktuasi margin minimal ± 1 persen
dengan suku bunga acuan. Suku bunga acuan atau margin disesuaikan
secara berkala pada nilai tertentu atau sesuai dengan respon perubahan pada
indikator terpilih. Di bawah sistem nilai tukar dengan bands, akan
menyebabkan berkurangnya independensi pada kebijakan moneter, karena
peran kebijakan moneter lebih terfokus pada fluktuasi margin yang telah
ditetapkan.
Independent floating
Pada rezim nilai tukar independent floating tidak ada komitmen suatu
negara dalam menentukan target nilai tukar. Adanya penawaran dan
permintaan di pasarlah yang akan menentukan nilai tukar. Otoritas moneter
tidak dapat mengintervensi pasar nilai tukar, serta tidak dapat menentukan
atau mengatur tingkat suku bunga untuk tujuan mempengaruhi level nilai
tukar.
Managed floating
Pada rezim nilai tukar ini, meskipun tidak ada target dalam nilai tukar,
namun otoritas moneter di suatu negara dapat mengintervensi pasar nilai
tukar atau menentukan tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi nilai
tukar. Dengan tujuan untuk memperkecil volatilitas dari nilai tukar, adanya
volatilitas yang tinggi dapat menyebabkan pasar nilai tukar menjadi tidak
likuid.
Pada bulan Maret 1973, Amerika Serikat mengganti rezim nilai tukar yang
dianut dari rezim nilai tetap menjadi nilai tukar mengambang terhadap mata uang
negara lain (leading currencies). Adanya pergeseran rezim nilai tukar ini menjadi
8
pertimbangan negara lain untuk mengganti rezim nilai tukar yang dianut.
Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed exchange rate akan lebih
rentan terhadap krisis keuangan dan krisis perbankan dibandingkan dengan negara
yang menganut regim flexible exchange rate. Hal ini dikarenakan regim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi rezim nilai tukar yang dianut
oleh sebuah negara maka dibentuklah klasifikasi rezim nilai tukar dengan bentuk
kode angka untuk kelompok rezim nilai tukar tertentu. Menurut Gemberg dan
Swoboda (2004) Pengklasifikasian nilai tukar dengan pengkodean secara cepat
telah menjadi standar dalam penelitian mengenai nilai tukar. Menurut (Donald
2007) sampai dengan tahun 1997, IMF meminta negara anggotanya untuk
membuat deklarasi atas rezim nilai tukar yang dianut ke dalam empat kategori
yaitu fixed exchange rate, limited flexibility, managed floating, dan independently
floating. Klasifikasi rezim nilai tukar IMF ini ditetapkan sebagai rezim nilai tukar
de jure yaitu klasifikasi rezim nilai tukar yang sesuai dengan deklarasi dari
pemerintah/otoritas moneter suatu negara.
Menurut Rose (2003), klasifikasi rezim nilai tukar IMF sebagai klasifikasi
de jure tidak memiliki kedekatan dengan perilaku nilai tukar secara de facto
(rezim nilai tukar aktual). Sebagai contoh suatu negara yang mendeklarasikan
fixed exchange rate, namun pada kenyataannya malah menganut atau melakukan
kebijakan flexible exchange rate melalui sistem nilai tukar ganda. Pendapat dari
Rose (2003) sejalan dengan Calvo dan Reinhart (2002), Levi-Yeyati dan
Sturzeneger (2003) serta Reinhart dan Rogoff (2004) yang menemukan adanya
perbedaan antara klasifikasi rezim nilai tukar yang telah dideklarasikan oleh suatu
negara dengan rezim nilai aktual yang terjadi. Hal ini lah yang mendasari
munculnya klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto, seperti rezim nilai tukar de
facto yang dibuat oleh Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S), Reinhart dan
Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS).
Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2005) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan metodologi statistik berdasarkan perilaku dari nilai tukar nominal
dan cadangan devisa. Pengklasifikasian rezim nilai tukar float (peg) dikaitkan
dengan tingginya (rendahnya) volatilitas nilai tukar dan rendahnya (tingginya)
volatilitas dari devisa. Klein dan Shambaugh (2006) pendekatan nilai tukar
nominal dan melakukan pengkodean dengan rezim nilai tukar pegged atau nonpegged. Nilai tukar nominal harus berada pada rentang 2 persen dalam satu tahun
atau tidak mengalami perpindahan untuk sebelas bulan dalam waktu satu tahun.
Sedangkan Reinhart dan Rogoff (2004) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan perilaku statistik dari nilai tukar pararel dibandingkan dengan nilai
tukar nominal. Ketiga pengklasifikasian nilai tukar ini sama-sama menggunakan
klasifikasi nilai tukar bilateral.
9
Variabilitas Nilai Tukar
Variabilitas nilai tukar merupakan isu utama dalam konteks
memperdebatkan kemampuan rezim nilai tukar. Konsekuensi akan variabilitas
nilai tukar untuk aktivitas ekonomi telah menjadi fokus para pembuat kebijakan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan klasifikasi rezim
nilai tukar dalam kajian mengenai penyesuaian transaksi berjalan berguna untuk
menangkap adanya fleksibilitas dalam nilai tukar. Variabilitas nilai tukar
didefinisikan sebagai fluktuasi nilai tukar di sekitar tingkat keseimbangannya
(Sekkat, 1997).
Menurut McCallum (1989) fluktuasi nilai tukar semakin besar terlihat pada
kisaran tahun 1973 dimulai ketika Amerika Serikat mengalami pergeseran rezim
nilai tukar dari fixed exchange rate ke free float. Hal ini menyebabkan negaranegara di dunia termasuk Indonesia mengikuti perubahan rezim nilai tukar
dikarenakan Indonesia masih mem-peg official rate ke Amerika Serikat. Berikut
merupakan proksi dari fleksibilitas nilai tukar (Kim dan You 2013) yaitu
variabilitas nilai tukar dengan empat pengukuran sebagai berikut yaitu
│% ∆neer│, │%∆nber│, SD(%∆neer) dan SD(%∆nber) di mana:
a. │%∆neer│, │%∆nber│
b.
SD(%∆neer), SD(%∆nber)
: Nilai absolut dari perubahan presentase
tahunan pada nilai tukar nominal efektif
(nominal effective exchange rate/NEER), dan
nilai tukar nominal bilateral (nominal
bilateral exchange rate/NBER)
: Standar deviasi dari perubahan presentase
bulanan pada nilai tukar nominal efektif dan
nilai tukar nominal bilateral.
Model Mundell-Fleming
Teori dasar terkait open economy adalah Model Mundell-Fleming yang
memadukan antara internal dan external balances. Internal balance adalah
keseimbangan kurva IS dan LM. IS merupakan expenditure curve (Y=C + I + G
+ NX) dan LM merupakan kurva money riil (M/P), sedangkan external balance
ditunjukkan oleh keseimbangan balance of payment di mana total current dan
capital account = 0.
Model Mundell-Fleming dapat ditulis dalam bentuk logaritma sebagai
berikut:
(2.1)
(2.2)
(2.3)
Persamaan 2.1 merupakan persamaan yang menjelaskan kurva IS (kondisi
keseimbangan pasar komoditas), di sisi kanan pada persamaan 2.1 meringkas
komponen AD. Sebagai contoh, suku bunga domestik (
memberikan dampak
negatif terhadap investasi dan konsumsi, dan nilai tukar (e) dan pendapatan luar
10
negeri ( ) berdampak positif terhadap net export. Persamaan 2.2 merupakan
persamaan yang menjelaskan kurva LM (kondisi keseimbangan pasar uang), pada
sisi kanan persamaan 2.2 menjelaskan bahwa permintaan akan uang dipengaruhi
oleh nilai tukar dengan hubungan yang negatif sedangkan akan dipengaruhi secara
.
positif dengan pendapatan dalam negeri
Sisi kiri pada persamaan 2.2 menjelaskan bahwa penawaran uang atau
money supply terdiri dari dua komponen yaitu komponen eksogen (
yang
ditentukan oleh otoritas moneter dan komponen induksi
yang
merespon perbedaan diantara nilai tukar aktual dan nilai tukar yang ditargetkan
Jika nilai
maka penawaran uang ditentukan secara eksogen dan berada
pada suatu negara dengan rezim flexible exchange rate atau pada rezim nilai tukar
tetap dengan sterilisasi secara penuh. Jika nilai
tak terhingga maka suatu
negara tersebut menganut regim nilai tukar tetap di mana kebijakan moneter
digunakan sebagai alat untuk mencapai nilai tukar yang telah ditarget. Negara
yang mengadopsi regim nilai tukar antara fixed exchange rate dan managed
floating, maka nilai
akan berkisar antara nol dan tak hingga.
Persamaan 2.3 menjelaskan secara keseluruhan Balance of Payment (BOP)
terhadap nilai ekspor awal , di mana pada sisi kanan persamaan 2.3 variabel
pertama merupakan penentu dari keseimbangan transaksi berjalan dan variabel
terakhir dari sisi kanan persamaan 2.3 merupakan penentu dari keseimbangan
transaksi modal. Kurva BOP akan bernilai = 0 untuk variasi kombinasi dari
pendapatan dalam negeri atau domestik dan suku bunga dalam negeri atau
domestik.
Gambar 2 berikut merupakan kurva keseimbangan internal dan eksternal
yang terdiri atas kurva IS,LM dan BOP.
LM
rd
Ydd < Yds
d
s
Ydd < Yds
M 0
d
Ydd > Yds
d
s
M 0
s
M >M
BOP > 0
BOP
E
Ydd < Yds
d
Ydd > Yds
d
s
M Yds
d
s
M >M
BOP < 0
s
M >M
BOP < 0
IS
Yd
Sumber: Chowdury & Hossain, 2001
Gambar 2 Internal and External Balances
11
Keseimbangan model Mundell-Fleming dinyatakan dengan perpotongan
pada kurva IS, LM, dan BOP pada satu titik (titik E). Bagian di sebelah kanan
(kiri) kurva IS menunjukan adanya kelebihan penawaran (Yds) (permintaan (Ydd)).
Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah ditentukan, penawaran output
akan lebih besar (kecil) daripada yang diminta pada keseimbangan pasar barang.
Bagian di sebelah kanan (kiri) dari kurva LM menggambarkan kelebihan
d
s
permintaan (M ) (penawaran (M )) akan uang. Hal ini dikarenakan untuk suku
bunga yang ditentukan, tingkat pendapatan akan lebih tinggi (rendah)
dibandingkan kebutuhan yang diperlukan untuk keseimbangan pasar uang.
Sedangkan bagian kanan (kiri) dari kurva BOP menggambarkan BOP yang defisit
(BOP0)). Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah
ditentukan aliran modal yang masuk tidak akan berubah, tetapi lebih tinggi
(rendah) tingkat pendapatan dalam negeri menandakan adanya defisit (surplus)
perdagangan yang besar (Chowdury & Hossain, 2001).
Hubungan Transaksi berjalan dengan Nilai Tukar
Berbagai teori ekonomi yang membahas mengenai konsep makroekonomi
dalam prespektif perekonomian terbuka telah banyak membahas mengenai
hubungan antara transaksi berjalan dan nilai tukar. Berdasarkan kerangka
keseimbangan makroekonomi yang fokus dalam memperoleh keseimbangan
internal dan eksternal secara bersamaan. Kerangka keseimbangan makroekonomi
memiliki tiga komponen dasar yaitu keseimbangan transaksi berjalan, nilai tukar
riil yang independen, hubungan antara transaksi berjalan, nilai tukar riil dan gap
antara output domestik dan luar negeri. Pada pertengahan 1990 kerangka
keseimbangan makroekonomi berdasarkan pada Balance of Payment.
Balance of Payment mencacat secara keseluruhan transaksi yang dilakukan
suatu negara dengan negara lain. Secara definisi Balance of Payment akan selalu
memiliki nilai yang seimbang di mana transaksi berjalan akan sama dengan neraca
modal (Current Account = Capital Account). Hal ini menjelaskan bahwa adanya
defisit (surplus) pada transaksi berjalan akan diseimbangkan dengan surplus
(defisit) di neraca modal. Banyaknya modal yang masuk dapat menyeimbangkan
defisit yang terjadi pada transaksi berjalan dengan meningkatkan suku bunga
dalam negeri terhadap suku bunga luar negeri. Akan tetapi jika arus modal yang
masuk tidak cukup untuk menutupi atau menyeimbangkan defisit transaksi
berjalan, maka proses penyesuaian terjadi melalui perubahan pada nilai tukar.
Sebagai contoh jika defisit di transaksi berjalan melebihi surplus di neraca
modal, nilai tukar akan terdepresiasi yang mengakibatkan ekspor meningkat dan
impor akan mengalami penurunan. Namun jika suatu negara menganut fixed
exchange rate atau managed floating, maka ketidaksesuaian transaksi berjalan
dengan neraca modal akan disesuaikan dengan merubah cadangan devisa dengan
mata uang luar negeri (Chowdury & Hossain, 2001).
Kerangka keseimbangan makroekonomi selain dilihat dari Balanced of
Payment dapat juga dilihat melalui orientasi pada pendapatan nasional yang
menghubungkan posisi transaksi berjalan dengan kelebihan pada tabungan
domestik (S) terhadap investasi domestik (I).
12
Hubungan ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
di mana
= Keseimbangan transaksi berjalan (Current Account Balance)
= Tabungan domestik
= Investasi domestik
Keseimbangan transaksi berjalan secara ekplisit bergantung pada nilai
tukar riil, yang mempengaruhi volume dan harga dari ekspor dan impor. Adanya
efek perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan transaksi berjalan
membutuhkan lag dalam penyesuaiannya. Keseimbangan neraca berjalan juga
bergantung ada permintaan agregat domestik maupun luar negeri dan bermacammacam faktor lainnya.
Gambar 3 di bawah merupakan grafik yang menggambarkan hubungan
transaksi berjalan dengan nilai tukar. Hubungan pada kedua variabel ekonomi
tersebut merupakan perspektif jangka menengah. Grafik UCUR yang merupakan
kepanjangan dari Underlying Current Account yang didefinisikan sebagai nilai
dari keseimbangan transaksi berjalan (CUR) yang akan muncul pada nilai tukar
yang berlaku jika seluruh negara berproduksi pada tingkat output yang potensial
(internal balance) dan efek lag pada perubahan nilai tukar masa lalu telah
sepenuhnya terealisasi. Terlihat pada grafik slope negatif menunjukkan adanya
hubungan transaksi berjalan berbanding terbalik dengan nilai tukar yang
diproksikan dengan REER. REER (Real Efective Exchange Rate) merupakan
salah satu proksi nilai tukar yang merupakan ukuran dari nilai tukar nominal yang
disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga dengan suatu negara terhadap negara
patner dagangnya atau biasa disebut dengan nilai tukar multilateral (Opuku-Afari,
2011).
REER
S-I
Equilibrium Saving –
Investment balance
R1
Underlying current
account balance
R*
UCUR
UCUR1
Surplus
Current
Account
0
Gambar 3 Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Deficit
Nilai tukar yang terdepresiasi akan memperbaiki posisi transaksi berjalan
(UCUR). Jika nilai tukar riil berubah ke posisi R1, maka keseimbangan
makroekonomi menjadi UCUR1. Garis vertikal
yang merupakan
13
keseimbangan posisi tabungan dan investasi diasumsikan independen terhadap
nilai tukar riil. Perpotongan antara grafik UCUR dan
menentukan nilai
keseimbangan pada nilai tukar (R*). Perhitungan terhadap R* di mulai dari (i)
posisi nilai transaksi berjalan yang terkait dengan nilai tukar yang berlaku (R1)
kemudian (ii) gap antara keseimbangan pada
dan UCUR1. Slope pada garis
UCUR kemudian di gunakan untuk mengestimasi seberapa besar R akan berubah
untuk memperkecil gap ceteris paribus. Model transaksi berjalan diperlukan
untuk mengestimasi keseimbangan kondisi transaksi berjalan yang berlaku.
Banyak negara yang telah membangun model transaksi berjalan. Spesifikasi dan
kalibrasi cenderung mengikuti spesifikasi pada tiap negara yang merefleksikan
faktor-faktor seperti ukuran negara dan komposisi dari ekpor dan impornya.
Marshall-Lerner Condition
Teori Marshall-Lerner Condition menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan dimana adanya depresiasi
mata uang domestik akan mengakibatkan barang yang di ekspor suatu negara akan
menjadi lebih murah bagi konsumen luar negeri sedangkan barang impor akan
menjadi lebih mahal bagi konsumen dalam negeri.
Dalam Marshall-Lerner Condition terdapat beberapa asumsi yaitu :
1. Tidak adanya aliran modal (KA=0), sehingga neraca pembayaran dan
neraca transaksi berjalan sama dengan neraca perdagangan (trade balance).
2. Pendapatan konstan atau berada dalam kondisi full employment.
3. Konsumen memiliki ketertarikan hanya pada harga barang baik ekspor atau
impor di dalam negeri.
4. Penawaran pada barang domestik maupun luar negeri yaitu elastis (lebih
besar dari 1), sehingga harga barang ekspor dalam mata uang domestik dan
harga barang impor dalam mata uang luar negeri konstan. Output ditentukan
hanya berdasarkan permintaan.
Namun dari penjelasan singkat mengenai Marshall-Lerner Condition akan
timbul pertanyaan mengenai apakah pada suatu negara adanya perubahan yang
terjadi akibat adanya depresiasi mata uang domestik akan selalu memperbaiki
kondisi neraca perdagangan atau neraca transaksi berjalan?. Jawaban atas
pertanyaan tersebut banyak dikenal dengan istilah Marshall-Lerner Condition
Paradox. Adanya efek akibat depresiasi mata uang terhadap neraca perdagangan
akan sangat bergantung pada nilai elastisitas, dimana elastisitas akan sangat
bergantung pada periode waktu. Pada jangka pendek dimana kondisi nilai
elastisitas kecil, adanya depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca
perdagangan defisit sehingga Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi.
Sedangkan pada jangka panjang dimana kondisi nilai elastisitas besar, adanya
depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca perdagangan surplus. Hubungan
antara periode waktu dan perilaku dari neraca perdagangan ini dapat dirangkum
kedalam kurva J (J-curve).
14
Current
Account
Surplus (+)
+5
T3
Time
T1
T2
Ket :
T1
T2
T3
-2
Current
Account
Deficit (-)
= Posisi Defisit
= Posisi Defisit
= Posisi Surplus
Sumber : Hady (2004)
Gambar 4 Kurva J (J-Curve)
Tinjauan Empiris
Penelitian atau literatur mengenai penyesuaian transaksi berjalan dengan
keterkaitannya dengan kondisi perekonomian terbuka dan pendekatan
intertemporal sudah dimulai sejak tahun 1982, namun menurut Hermann (2009)
penelitian yang melihat hubungan antara rezim nilai tukar dan penyesuaian
transaksi berjalan pertama kali dilakukan oleh Chinn dan Wei (2008).
Chinn dan Wei (2008) melakukan penelitian pada 170 negara yang terdiri
dari negara maju dan berkembang (menurut klasifikasi IMF) selama tahun19712005. Penelitian yang dilakukan menggunakan dua rezim tukar de facto yaitu
klasifikasi nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturzenegger serta Reinhart, dan Rogoff.
Penggunaan dua klasifikasi bertujuan untuk melakukan perbandingan karena
menurut pendapat Frankel (2007) yang menyebutkan bahwa dua klasifikasi
tersebut hanya memiliki korelasi 0,4. Hal ini menandakan adanya konsep yang
berbeda jauh dalam melakukan pengklasifikasian rezim nilai tukar. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan menggunakan rezim nilai tukar LevyYeyati dan Sturznegger derajat persistensi dari transaksi berjalan sebesar 0.63 di
bawah rezim flexible exchange rate, kemudian derajat persisten akan mengalami
kenaikan hingga 0.76 dan 0.79 di bawah rezim fixed exchange rate. Ketika
klasifikasi rezim nilai tukar Reinhart dan Rogoff (2004) digunakan hasilnya tidak
jauh berbeda dengan penggunaan rezim nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturznegger,
derajat persistensi di bawah flexible exchange rate memiliki nilai 0.663 sedangkan
di bawah rezim flexible exchange rate memiliki nilai derajat persisten sebesar
0.719. Dari kedua hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak diperoleh hasil
yang robust dalam mengestimasi hubungan fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan.
15
Hermann (2009) dengan mengadopsi cara kerja Chinn dan Wei (2008)
dalam mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan transaksi berjalan
memperoleh hasil yang berbeda, di mana fleksibilitas nilai tukar ternyata
mempengaruhi penyesuaian pada transaksi berjalan. Perbedaan yang terjadi
menurut Hermann (2009) disebabkan karena pertama Chinn dan Wei (2008)
menggunakan rezim nilai tukar Levy-Yeyati dan Sturznegger yang diubah
menjadi dummy sebagai proksi dari fleksibilitas nilai tukar sedangkan nilai tukar
Reinhart dan Rogoff (2004) tidak diubah menjadi variabel dummy. Adanya
pengubahan pada rezim nilai tukar tersebut diindikasi tidak dapat menangkap nilai
tukar aktual. Kedua, data yang digunakan oleh Chinn dan Wei (2008) memiliki
heterogenitas yang besar dan standard error nya memiliki perilaku yang berbeda
di setiap sub-sampel. Adanya permasalahan di atas dapat diperbaiki oleh Hermann
(2009) dengan cara menggunakan z-scores sebagai proksi dalam mengukur
volatilitas nilai tukar, kemudian sampel yang digunakan homogen. Estimasi
dilakukan di emerging market dikarenakan adanya permasalah ini lebih terfokus
pada negara berkembang.
Decressin dan Stavrev (2009) mengestimasi hubungan antara
keseimbangan transaksi berjalan dengan nilai tukar mata uang di European
Economic and Monetary Union (EMU) pada masa sebelum dan sesudah monetary
union terbentuk pada tahun 1999. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
kekhawatiran mengenai tidak adanya mata uang nasional pada negara di kawasan
Eropa, sehingga ketika adanya guncangan tertentu pada suatu negara dikawasan
tersebut akan mengakibatkan besar dan lamanya ketidakseimbangan transaksi
berjalan antara negara anggota, serta akan merusak independensi dari kebijakan
moneter. Pada penelitian ini nilai tukar diproksikan oleh real effective exchange
rate (nilai tukar riil efektif), diperoleh hasil bahwa pada negara di EMU pada
kedua kurun waktu yang berbeda tidak terdapat hubungan timbal balik antara
perbedaan transaksi berjalan pada negara EMU dengan nilai tukar. Pada penelitian
ini diestimasi juga mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan pada
transaksi berjalan di negara EMU, yaitu pendapatan dan keadaan demografi
negara masing-masing.
Kim dan You (2013) menganalisis hubungan nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan dengan menggunakan Threshold VAR. Dalam
estimasinya Kim dan You (2013) menggunakan nilai tukar de facto dan de jure
serta standar deviasi dari ni