Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan teluk banten

(1)

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN

KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

OLEH :

A L I A N T O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

ALIANTO. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten. Di bawah Bimbingan Enan M. Adiwilaga sebagai ketua komisi, dan Ario Damar sebagai anggota komisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan intensitas cahaya dan unsur hara di perairan Teluk Banten. Metode pengukuran produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan metode oksigen botol terang botol gelap dengan waktu inkubasi selama 5 jam.

Hasil penelitian didapatkan 36 genera fitoplankton yang terdiri dari 29 genera Bacillariophyceae, 6 genera Dinophyceae, dan 1 genera Cyanophyceae. Kisaran rata-rata konsentrasi unsur hara DIN (ammonia-nitrogen, nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen), DIP (ortofosfat) dan silikat yang didapatkan selama pengamatan

berturut-turut sebesar 0.467–0.610 mg at N/4 I, 0.006–0.043 mg at P/4 I di stasiun A dan 0.430–0.746 mg at N/4 I, 0.006–0.032 mg at P/4 I di stasiun B, serta 1.019–6.294 mg at Si/4 I di stasiun A dan 0.581–3.378 mg at Si/4 I di stasiun B. Nilai kisaran rata-rata produktivitas primer fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di stasiun A sebesar 14.15–29.59 mg C/m3/5 jam (33.96–71.01 mg C/m3

/hari), dan di stasiun B sebesar 13.56–25.68 mg C/m3/5 jam (32.54–61.63 mg C/m3

/hari) dengan intensitas cahaya optimum berturut-turut sebesar 32.6% dan 48.2% menurut kedalaman inkubasi.

Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antara cahaya dengan peroduktivitas primer fitoplankton, dengan koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 82% di stasiun A dan 64% di stasiun B. Hasil analisis menunjukkan pula terdapat hubungan yang kurang erat antara unsur hara DIN dan DIP serta silikat dengan produktivitas primer fitoplankton, dengan kisaran nilai koefisien determinasi sebesar 0.9%–16.5%.


(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

A L I A N T O NRP. C151030061


(4)

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN

KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

A L I A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Tesis : Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten

N a m a : A l i a n t o

NRP : C151030061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Dr. Chairul Muluk, M.Sc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wanci Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Buton (sekarang Kabupaten Wakatobi) Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 05 Maret 1970 dari ayah La Hamuna dan ibu Hj. Wa Nuru. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri Wanci dan pada tahun 1990 penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur UMPTN pada Program Studi dan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon. Penulis menyelesaikan studi di Universitas Pattimura tahun 1997.

Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Diploma Tiga Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih sekarang Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari, Irian Jaya Barat.

Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005–April 2005 ini adalah “Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan mengarahkan penulis sejak penulisan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Yusli Wardiatno yang telah banyak memberi masukan demi perbaikan tulisan ini sebagai penguji luar komisi. Bapak Dr. Chairul Muluk, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar yang telah banyak membekali ilmu pengetahu an kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS atas bantuan beasiswa melalui BPPS. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan atas izin yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu serta istri dan anakku tersayang serta seluruh keluarga atas segala doa yang telah diberikan. Kepada pihak yang telah banyak membantu pada saat penelitian diucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Bogor, Januari 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan dan Pendekatan Masalah ... 3

Tujuan ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer ... 5

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ... 7

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ... 9

Silikat ... 10

Fitoplankton ... 11

Klorofil-a ... 12

Cahaya ... 13

Suhu ... 15

Salinitas ... 16

pH ... 17

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Pengambilan Contoh Air Laut ... 19

Intensitas Cahaya Matahari ... 20

Produktivitas Primer ... 20

Analisis Unsur Hara ... 21

Identifikas i Fitoplankton ... 22

Klorofil-a ... 24

Analisis Data ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi ... 27

Suhu ... 27

Salinitas ... 28

pH ... 28

Intensitas Cahaya Matahari ... 29

Intensitas Cahaya Matahari Permukaan ... 29

Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air ... 30

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ... 33

Ammonia-Nitrogen (NH3-N) ... 34


(9)

Nitrit-Nitrogen (NO2-N) ... 36

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ... 36

Ortofosfat (PO4-P) ... 36

Silikat (Si) ... 37

Struktur Komunitas Fitoplankton ... 38

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton ... 38

Indeks Biologi Fitoplankton ... 41

Klorofil-a ... 43

Produktifitas Primer Perairan ... 45

Produktivitas Primer Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi ... 45

Produktivitas Primer Pada Berbagai Lapisan Kolom Air ... 47

Hubungan Cahaya Dengan Produktivitas Primer ... 48

Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer ... 50

Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai Produktifitas Primer Dengan Metode Oksigen (O2) di Beberapa

Wilayah Tropik dan Temperate ... 7 2 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Yang Di ukur Serta Metode dan Alat Ukur yang Digunakan ... 19 3 Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Banten ... 27 4 Rataan Unsur Hara Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan

Teluk Banten ... 33 5 Rataan Konsentrasi Unsur Hara Menurut Kedalaman Inkubasi

di Perairan Teluk Banten ... 34 6 Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 39 7 Rataan Kelimpahan Sel Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 40 8 Indeks Bio logi Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan

Teluk Banten ... 42 9 Indeks Biologi Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan

Teluk Banten ... 42 10 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 44 11 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan

Teluk Banten ... 44 12 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 46 13 Hubungan Produktivitas Primer Bersih Dengan Unsur Hara ... 51


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Proses Perumusan dan Pendekatan Masalah ... 4

2 Siklus Nitrogen di Zona Eufotik ... 8

3 Penyerapan dari Tiga Sumber Nitrogen (NH3, Urea, NO3) Oleh Dua Ukuran Fitoplankton Yang Berbeda ... 9

4 Grafik Distribusi Vertikal Cahaya dan Fotosintesis di Perairan ... 14

5 Lokasi Penelitian Perairan Teluk Banten ... 18

6 Intensitas Cahaya Permukaan ... 29

7 Intensitas Cahaya di Lapisan Permukaan ... 31

8 Distribusi Cahaya di Kolom Air Perairan Teluk Banten ... 32

9 Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 39

10 Rataan Kelimpahan Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 41

11 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 47

12 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih di Perairan Teluk Banten ... 49

13 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Lapisan Kolom Air di Perairan Teluk Banten ... 50

14 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun A ... 52

15 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun B ... 53

16 Grafik Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer Bersih di Perairan Teluk Banten ... 54


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Pengisian Air Kedalam Botol BOD ... 63

2 Prosedur Pengukuran Oksigen Terlarut Dengan Titrasi Winkler ... 63

3 Prosedur Pengukuran Produktivitas Primer ... 64

4 Tahapan Analisis Unsur Hara ... 64

5 Prosedur Analisis Klorofil-a ... 66

6 Intensitas Cahaya Matahari Permukaan di Perairan Teluk Banten ... 67

7 Intensitas Cahaya Matahari Pada Lapisan Permukaan di Perairan Teluk Banten ... 67

8 Intensitas Cahaya Matahari Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 68

9 Konsentrasi Parameter Utama Yang Diukur di Perairan Teluk Banten ... 70

10 Hasil Uji Sidik Ragam (Anova) Produktivitas Primer Bersih Terhadap Stasiun dan Kedalaman di Perairan Teluk Banten ... 72

11 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode I di Perairan Teluk Banten ... 73

12 Kelimpahan Fitoplank ton (sel/I) Pada Periode II di Perairan Teluk Banten ... 74

13 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode III di Perairan Teluk Banten ... 75

14 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Setiap Lapisan Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi di Perairan Teluk Banten... 76

15 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Setiap Lapisan Kolom Air Stasiun B Selama Waktu Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 79


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya alam hayati ditentukan oleh produktivitas primer fitoplanktonnya. Produktivitas primer fitoplankton memainkan peran penting dalam proses bahan pada jaring makanan planktonik, yang dihasilkan sebagai senyawa organik yang menjadi sumber carbon dan energi terpenting bagi organisme di berbagai lingkungan perairan (Lignell 1992).

Fitoplankton merupakan tumbuhan yang paling luas tersebar dan ditemukan di seluruh permukaan laut dan pada kedalaman sampai setebal lapisan eufotik. Fitoplankton men ghasilkan karbon 1010 ton setiap tahun atau kira-kira 50% dari

seluruh karbon yang dihasilkan oleh seluruh tumbuh-tumbuhan (Smayda 1970; Meadows dan Campbell 1988; Brotowidjoyo et al. 1995) dan diperkirakan 50% produktivitas primer di laut dihasilkan oleh fitoplankton (Rost et al. 2003).

Fitoplankton merupakan salah satu tumbuhan laut yang mengandung klorofil-a sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton sangat tergantung pada keberadaan cahaya matahari dan suplai bahan inorganik terutama nitrogen, fosfor dan silikat di perairan (Tett dan Edwars 1984; Duarte 1992).

Sumber energi yang utama bagi kehidupan fitoplankton di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya merupakan salah satu faktor utama yang mengontrol laju fotosintesis di laut. Di samping itu, proses fotosintesis fitoplankton berjalan dengan memanfaatkan unsur hara yang ada di lingkungannya. Unsur hara yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangannya terutama nitrogen, dan fosfor. Ketersediaan unsur-unsur ini di laut terutama dikontrol oleh proses


(14)

biogeokimia seperti produksi dan dekomposisi bahan organik biogenik dan laju penenggelaman bahan partikulat (Smith 1984; Hirose dan Kamiya 2003).

Nitrogen di laut terdiri dari ammonia, nitrat, dan nitrit. Nitrogen sendiri merupakan unsur kimia yang penting dalam proses pembentukan protoplasma. Bentuk-bentuk senyawa nitrogen tersebut berperan penting sebagai sumber nitrogen bagi fitoplankton meskipun peranan masing-masing ion tersebut tidak selalu sama terhadap berbagai jenis fitoplankton.

Fosfor merupakan unsur esensial penting bagi fitoplankton dan ketersediannya di perairan selalu lebih rendah dari nitrogen serta keberadaannya di zona eufotik selalu ditemukan dalam konsentrasi yang rendah (Dawes 1981). Fosfor dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai sumber energi terutama untuk memproduksi fosfolipid dan ikatan fosfat gula dan molekul seperti adenosin triphosphat (ATP).

Keberadaan unsur hara nitrogen dan fosfor di perairan, mempunyai dua pengaruh terhadap fitoplankton, yaitu (1) unsur hara dalam jumlah yang cukup sangat diperlukan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis untuk metabolisme sel hidupnya. (2) kandungan unsur hara dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan yang berlanjut pada lingkungan perairan seperti penurunan penetrasi cahaya matahari, dan ledakan populasi alga yang beracun (Rabalais 1999).

Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, masih sangat diperlukan berbagai informasi mengenai perairan Teluk Banten. Maka penelitian-penelitian khususnya mengenai kondisi lingkungan yang berhubungan dengan cahaya, unsur hara dan produktivitas primer perairan sangat penting karena informasi mengenai kedua hal tersebut merupakan suatu ukuran terhadap kualitas dan kemampuan perairan Teluk Banten dalam mendukung kehidupan organisme di dalamnya.


(15)

Perumusan dan Pendekatan Masalah

Kelimpahan dan potensi tumbuh fitoplankton di perairan Teluk Banten diduga tidak merata dengan ketersediaan unsur hara yang berada di dalam maupun masukan unsur hara dari luar perairan. Ketersediaan unsur hara di perairan sangat menentukan struktur komunitas fitoplankton. Disamping itu, struktur komunitas fitoplankton di perairan sangat ditentukan pula oleh intensitas cahaya yang ada dalam kolom air. Intensitas cahaya yang ada di kolom air umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton, sehingga pada suatu perairan akan didominasi oleh jenis -jenis fitoplankton tertentu.

Sumber penyebab tidak serasinya hal tersebut, terutama disebabkan karena adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi yang akan menjadi faktor pembatas terutama bagi distribusi horisontal dan vertikal fitoplankton, sehingga di setiap kolom air perkembangan potensi tumbuh fitoplankton akan berbeda-beda. Hal ini, akan berpengaruh pada nilai kandungan produktivitas primer fitoplankton yang berbeda-beda pula.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan suatu kajian untuk mengetahui seberapa jauh produktivitas primer fitoplankton dibatasi oleh intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Banten. Rumusan dan pendekatan masalah dari penelitian ini secara sederhana disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.


(16)

Gambar 1. Kerangka proses perumusan dan pendekatan masalah. Keterangan : Tanda ( ) adalah jalur penelitian utama. Tanda (- - - -) adalah jalur penelitian penunjang.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan intensitas cahaya matahari dan unsur hara di perairan Teluk Banten.

Hipotesis

Jika intensitas cahaya matahari yang mencapai kolom air optimum serta ditunjang oleh konsentrasi unsur hara yang tinggi sampai pada batas tertentu yang masih sesuai dengan kebutuhan fitoplankton maka tingkat produktivitas primer fitoplankton akan maksimal.

Unsur hara

Struktur

Komunitas Produktivitas Primer

Fitoplankton Kelimpahan

Fisika Kimia Perairan Cahaya


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Produktivitas Primer

Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1988). Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont 1963).

Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan kemosintesis dari produsen primer. Produktivitas primer diistilahkan sebagai laju fiksasi karbon (sintesis organik) di dalam perairan dan biasanya diekspresikan sebagai gram karbon yang diproduksi per satuan waktu (Kennish 1990). Hal yang sama dikemukakan oleh Levinton (1982) dan Barnabe dan Barnabe (2000), bahwa produktivitas adalah jumlah yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satuan meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau sebagai gram karbon yang

dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari).

Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan Barnabe 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton


(18)

mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer (Sumich 1994).

Produktivitas dibedakan atas dua, yaitu produktivitas primer kotor (Gross Primary Production) dan produktivitas primer bersih (Net Primary Production). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi primer zat organik secara keseluruhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, sedangkan produktivitas primer bersih adalah laju produktivitas primer zat organik setelah dikurangi dengan yang digunakan untuk respirasi (Nybakken 1988).

Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan. Metode yang digunakan untuk pengukuran produktivitas primer fitoplankton pertama kali menggunakan metode O2 yang diperkenalkan oleh Garder dan Gran serta metode 14C oleh Steemann

Nielsen dengan menggunakan tiga tipe metode inkubasi, yaitu inkubasi in situ, simulasi in situ dan metode cahaya (Gocke dan Lenz 2004).

Inkubasi in situ pada umumnya lebih mendekati kondisi alam dan dianggap sebagai metode yang lebih dipercaya (Gocke dan Lenz 2004). Nilai produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan metode O2 tipe inkubasi in situ telah banyak dilakukan pada beberapa perairan dunia dan memperlihatkan nilai yang bervariasi (Tabel 1). Produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan dipengaruhi oleh faktor fisika, kimiawi dan biologi. Faktor-faktor tersebut meliputi cahaya, suhu, sirkulasi massa air, unsur hara dan grazing oleh zooplankton (Kennish 1990 ).


(19)

Tabel 1. Nilai produktivitas primer dengan metode oksigen (O2) di beberapa wilayah tropik dan temperate

Catatan : # g C/m3/tahun, ## g C/m2/tahun, ### g C/m2/hari.

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)

Nitrogen inorganik terlarut di perairan terdiri dari ammonia-nitrogen (NH3-N),

nitrat-nitrogen (NO3-N), dan nitrit -nitrogen (NO2-N). Nitrogen dalam laut di dapatkan

dalam 5 tingkat oksidasi, dan dari kelima tingkatan tersebut yang melimpah dan

Daerah Produkti fitas primer Sumber Perairan Tropik

Delta Upang ( Indonesia)

- Tahun 1975 440 # Kaswadji (1976) in Damar (2003)

Selat Malaka (Indonesia)

- Tahun 1980 180 # Praseno (1980) in Damar (2003) Teluk Lampung

- Bagian dalam, 1999 - Bagian dalam, 1999 Teluk Jakarta - Bagian dalam, 1983 - Bagian tengah, 2000–2001 - Bagian tengah, 1983 Perairan Pantai Bekasi - Muara sungai

- 2– 3 km kearah laut - 4–5 km kearah laut Perairan Pantai Luwu - Tahun 2003

Teluk Lingayen, Philipina - Bagian lepas pantai - Bagian dalam (Bolinao)

140 # 305 # 602 # 98 # 110 # 428 # 333 # 305 # 205 # 933 ## 167 ##

Tambaru (2000) Sunarto (2001) Nontji (1984) Nontji (1984) Nontji (1984) Kaswadji et al. (1993) Kaswadji et al. 1993) Kaswadji et al. (1993) Indriani 2004

McManus et al. (2001) in Damar (2003) McManus et al. (2001) in Damar (2003) Perairan Temperate

Teluk False

- Perairan pantai, musim semi Oudekraal

- musim semi dan gugur - musim dingin - perairan pantai,

kedalaman 20 m Teluk Table

- musim semi dan gugur Teluk Saldanha - Musim dingin - musim semi dan panas Teluk Sylt-Romo - Tahun 1994–1995

3.7 ### 2.4 ### 1.9 ### 2.6 ###

4.0 ### 1.9 ### 6.3 ### 160 ###

Brown et al. (1979) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1980) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986) Carter (1982, 1983) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)

Mostert, in Shannon dan Pilar (1986) Asmus et al. (1998) in Tillmann et al. (2000)


(20)

aktif adalah ion nitrat, berturut-turut menyusul nitrit dan ammonia (Libes 1992; Valiela 1984).

Sumb er nitrogen di laut terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik (Dawes 1981). Meskipun nitrogen ditemukan berlimpah di lapisan atmosfer akan tetapi unsur ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Untuk dapat dimanfaatkan nitrogen dari atmosfir yang masuk ke dalam perairan difiksasi (diserap) oleh sebagian bakteri atau fitoplankton menjadi senyawa-senyawa tertentu, seperti NH3, NH4 dan NO3 (Valiela 1984).

Sumber lain nitrogen di laut berasal dari zona dalam perairan yang disebut sebagai produksi baru terutama dalam bentuk nitrat-nitrogen (NO3-N) yang masuk ke

zona euphotik yang terangkut melalui vertikal mixing dan upwelling (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993) (Gambar 2). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH4-N dari pada NO3-N karena lebih banyak dijumpai dalam kondisi

aerobik maupun anaerobik.

F iksasi Nitrogen grazing

singking, mixing

ekskresi mixing

upwelling

Gambar 2. Siklus nitrogen di zona eufotik (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993).

Zooplankton N N

NH4+ −

N2-N

N NO3− −

Fitoplankton N


(21)

Kebanyakan spesies fitoplankton dapat mengasorbsi ammonium, ammonia, nitrat, maupun nitrit, tetapi jika ketiganya tersedia, fitoplankton pada umumnya lebih menyukai ammonium (Raymont 1963; Riley dan Chester 1971; Millero dan Sohn 1991; Libes 1992 ). Laju penyerapan nitrogen lebih cepat dari sel fitoplankton yang berukuran kecil daripada yang berukuran besar (Eppley et al. 1969; Fricble et al. 1978 in Smith and Kalf 1983; Harrison et al. 2004) (Gambar 3).

NH4+

35% 55% 20%

16% Urea 8% 24%

11% 10% 3

4

NH inhibition NO3 Fe Limitation (38–70 %) 21%

Gambar 3. Penyerapan dari tiga sumber nitrogen (NH4, Urea, NO3) oleh dua ukuran fitoplankton yang berbeda (Varela 1997; Varela dan Harrison 1999 in Harrison et al. 2004).

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP)

Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont 1963).

Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati,

Fitoplankton < 2 µm

Fitoplankton > 2 µm


(22)

sedangkan sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri dan domestik, limbah deterjen, serta limpasan limbah pertanian yang menggunakan pupuk (Libes 1992).

Soegiarto dan Birowo (1975) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah dari lapisan di bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan massa air. Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0.27–5.51 ppm (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994).

Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah (0,00–0,02 ppm) akan dijump ai dominansi diatom terhadap fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02–0,05 ppm) akan banyak dijumpai jenis Chlorophyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophyceae (Moyle 1946 in Kaswadji 1976).

Silikat

Silika atau silika dioksida (SiO2) merupakan bagian yang penting dalam

pertumbuhan struktur silikoflagelata seperti diatom, radiolaria dan sponge. Menurut Millero dan Sohn (1991) silika di laut rata-rata 50% dalam bentuk anorganik dan sisanya kebanyakan menjadi kalsium karbonat (CaCO3). Silikat di perairan terdapat

dalam bentuk larutan asam silikat, dalam bentuk biota (dinding sel diatom), silikoflagellata dan radiolaria, baik yang hidup maupun yang mati (Spencer 1975). Bagi diatom, silikat merupakan nutrien yang sangat penting untuk membangun dinding selnya dan mengasimilasi sejumlah besar silikat untuk disintesis menjadi struktur sel. Silikat diserap dalam bentuk ortosilikat yang pelarutan dan


(23)

penguraiannya dipengauhi oleh karbondioksida bebas dan asam-asam organik dalam perairan (Chen 1971).

Spencer (1975) mengemukakan dalam air laut silikon kemungkinan berada dalam bentuk Si(OH)4. Unsur silikat terdapat sebagai silikat dalam air laut dan

mungkin juga dalam bentuk larutan sejati sebagai ion-ion silikat (Raymont 1963). Diatom menutupi dirinya dengan kerangka transparan yang merupakan timbunan dari sebagian besar silikat dalam bentuk senyawa-senyawa SiO2 (Black 1986).

Distribusi silikat di perairan tergantung pada lokasi dan kedalaman perairan. Distribusi silikat di perairan pantai biasanya lebih tinggi daripada di laut terbuka

karena pengaruh oleh aliran sungai. Di laut terbuka kandungan silikat akan meningkat bila kedalaman meningkat. Di perairan laut konsentrasi silikat bervariasi dari 0–0.05 mg/L (Dawes 1981), atau 0–200 µM (Millero dan Sohn 1991).

Fitoplankton

Parson et al. (1984) mengatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut yang terdiri dari Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga merah), Bacillarophyceae (Diatom), Cryptophyceae (Cryptomonads), Dinophyceae (Dinofllagellata), Chrysophyceae (Chrysomonads, Silicoflagellata), Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads), Raphidiophyceae (Choromonadea), Xanthophyceae (alga kuning hijau), Eustigmatophyceae, Euglenophyceae (Euglenoids), Prasinophyceae (Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok


(24)

fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993 ).

Nybakken (1988) mengemukakan jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata. Fitoplankton yang minoritas di laut ialah berbagai jenis alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophorids), dan silikoflagellata (Dyctyochaceae, Chrysophyceae) (Nybakken 1988; Romimohtarto dan Juwana 1999).

Nontji (1984) mengatakan bahwa fitoplankton dengan kelimpahan tinggi umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, dimana terjadi proses penyuburan karena masuknya nutrien dari daratan yang dialirkan oleh sungai ke laut. Fitoplankton umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada perairan yang ke arah laut lepas, selain itu penyebarannya tidak merata melainkan hidup secara berkelompok (Arinardi et al. 1997).

Goldman dan Horne (1983) dan Wetzel (1983) mengemukakan dominasi suatu jenis fitoplankton pada suatu perairan dapat diganti oleh jenis lain, disebabkan berubahnya kondisi fisik kimia perairan. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1988).

Klorofil-a

Klorofil-a dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg (Weyl 1970) merupakan salah

satu pigmen fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton (Parsons et al. 1984; Susilo 1999). Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton (Harborne 1987), sehingga sering digunakan untuk


(25)

mengukur biomass fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965) dan dapat digunakan sebagai petunjuk nilai potensi fotosintetik di perairan (Wiadnyana 1997).

Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Millero dan Sohn 1991).

Cahaya

Parsons et al. (1984) mengatakan bahwa aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di laut, bergantung kepada waktu (harian, musiman, dan tahunan), ruang (perbedaan lokasi di bumi dan kedalaman), kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah perubahan maksimum dan tingkat difusi, dan polarisasi. Cahaya merupakan sumber energi dalam fotosintesis. Proses fotosintesis di dalam perairan hanya dapat berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk aktivitas proses fotosintesis. Tidak semua radiasi elektromanetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400–720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktivitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993).


(26)

Ruttner (1973) mengatakan bahwa makin dalam penetrasi cahaya ke dalam perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis dapat berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air yang lebih dalam. Penetrasi cahaya matahari dalam air, semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 4).

Penetrasi Cahaya (%) Fotosintesis (gC/m2/hari)

Respirasi

Gambar 4. Grafik distribusi vertikal cahaya dan fotosintesis di perairan (Lalli dan Parsons 1993; Mann dan Lazier 1996).

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan dibawahnya merupakan cahaya pembatas (limitasi) sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Valiela 1984). Kennish (1990 ) mengatakan bahwa intensitas cahaya yang masuk di perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya padatan tersuspensi, jasad renik yang melayang, kekeruhan dan warna air. Intensitas cahaya ini semakin melemah saat penetrasi ke dalam kolom air. Hukum Lambert-Beer (Foog 1975; Parsons et al. 1984) dapat digunakan untuk menghitung besarnya tingkat absorpsi cahaya yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien absorbsi, yaitu :


(27)

Iz = Io e -kz

Dimana Iz adalah intensitas cahaya pada suatu kedalaman z, Io adalah intensitas

cahaya pada permukaan air, e adalah bilangan dasar logaritma (2,7), dan k adalah koefisien absorbsi.

Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya juga sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jen is fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Spektrum cahaya yang terpenting dalam mengontrol fotosintesis fitoplankton adalah yang mempunyai panjang gelombang 400–700 nm, atau yang dikenal dengan photosynthetically active radiation (PAR) (Kennish 1990 ; Lalli dan Parsons 1993).

Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang dapat mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton. Suhu berpengaruh pada sistem biologi melalui dua cara. Pertama suhu, berpengaruh terhadap kecepatan reaksi-reaksi secara enzimatik dalam tubuh organisme. Kedua, suhu berpengaruh terhadap proses respirasi organisme. Peningkatan suhu pada batas kisaran toleransi akan meningkatkan laju metabolisme dan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Peningkatan suhu sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan laju fotosintesis sebesar dua kali lipat

(Kennish 1990).

Dalam proses fotosintesis di laut, suhu dapat berpengaruh secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu dapat mengubah


(28)

struktur hidrologi perairan, seperti kerapatan air yang akhirnya mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton (Raymont 1963; Tomascik et al. 1997).

Soegiarto dan Birowo (1975) mengemukakan bahwa keadaan sebaran suhu secara horisontal di perairan Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil namun masih memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal tersebut, berhubungan dengan yang dikemukakan oleh Damar (2003) bahwa suhu perairan tropik menunjukkan variasi harian yang kecil (siang dan malam), termasuk fluktuasi musiman. Selanjutnya dinyatakan bahwa kisaran suhu tahunan perairan berkisar dari 29.1–30.0°C.

Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah tropik panas sepanjang tahun, yaitu 20–30oC. Suhu lapisan permukaan di

perairan Indonesia berkisar antara 26–30oC, lapisan termoklin berkisar antara 9–26oC

dan pada lapisan dalam berkisar antara 2–8oC (Soegiarto dan Birowo 1975).

Salinitas

Berdasarkan salinitas dikenal dua jenis fitoplankton, yaitu yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Salinitas mempengaruhi fitoplankton dalam hal densitas dan stabilitas dari kolom air. Peningkatan kedalaman akan menurunkan suhu dan meningkatkan salinitas, hal ini menyebabkan densitas meningkat sehingga mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton dan akan mempunyai stratifikasi yang kuat dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam, akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1963).

Kaswadji et al. (1993) mengatakan bahwa variasi salinitas mempengaru hi laju fotosintesis (terutama di daerah estuari), khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa


(29)

bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil. Sachlan (1982) mengatakan bahwa salinitas yang cocok bagi fitoplankton adalah lebih dari 20‰. Salinitas seperti ini memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan fotosintesis (NairdanThampy 1980).

pH

Wardoyo (1982) mengatakan bahwa pH sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup termasuk fitoplankton. Selain itu pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan, dan pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton dalam perairan adalah 6,5–8,0 (Pescod 1973). pH permukaan laut sangat stabil biasanya berkisar antara 8.1 dan 8.3 (Reid 1961).

Swingle (1969) mengatakan bahwa pada perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6, fitoplankton tidak akan hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dapat pula menyebabkan kematian dan mengurangi produktifitas (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971).

Fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7–8 asalkan terdapat cukup mineral di dalam suatu perairan (Sachlan 1982), sedangkan pH optimal untuk perkembangan diatom berkisar dari 8.0–9.0 (Ray dan Rao 1964).


(30)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 05°55’–06°05’ LS dan 106°05’–106°15’ BT. Tempat pengambilan contoh air laut terbagi dalam dua stasiun, yakni stasiun A dengan posisi geografis pada 06°00’20.3” LS dan 106°09’06.2” BT serta stasiun B dengan posisi geografis pada 05°58’38.3” LS dan 106°09’35.7” BT (Gambar 5). Pengukuran produktivitas primer serta analisis unsur hara, fitoplankton dan klorofil-a berlangsung pada musim peralihan I (pertama) dan dilaksanakan dalam 3 periode, dimana periode pertama berlangsung pada Tanggal 27 Maret 2005, periode kedua berlangsung pada Tanggal 9 April 2005 dan periode ketiga berlangsung pada Tanggal 25 April 2005.

Gambar 5. Lokasi penelitian perairan Teluk Banten (dimodifikasi dari Anonimous 1990).


(31)

Pengambilan contoh Air Laut

Pengambilan contoh air laut dengan menggunakan Van Dorn kapasitas 5 liter pada kedalaman 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A dan kedalaman 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B. Pembagian atas beberapa kedalaman tersebut dimaksudkan karena distribusi vertikal cahaya akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman serta distribusi vertikal unsur hara konsentrasinya selalu bervariasi dengan kecenderungan akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.

Pengambilan contoh air laut dilakukan satu kali pada masing-masing kedalaman setiap periode, dimulai pada jam 08.00 bersamaan akan dilakukan proses inkubasi. Parameter yang diukur meliputi produktivitas primer, unsur hara DIN (nitrogen inorganik terlarut) yang meliputi NH3-N, NO3-N, NO2-N, DIP (fosfat

inorganik terlarut) yang meliputi ortofosfat, silikat, fitoplankton dan klorofil-a sebagai parameter utama serta suhu, salinitas, dan pH sebagai parameter penunjang (Tabel 2). Tabel 2. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diukur serta metode dan alat ukur yang digunakan

No. Parameter Satuan Metode Analisis dan Alat Tempat analisis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Parameter Utama Produktivitas Primer Nitrat -Nitrogen Nitrit-Nitrogen Ammonia-Nitrogen Ortofosfat Silika Fitoplankton Cahaya Parameter Penunjang Kecerahan Suhu air Salinitas pH

(mgC/m3/jam) mg at/l

mg at/l

mg at/l

mg at/l

mg at/l

Sel/l MJ/m2 m ºC ‰ -

Metode oksigen, titrasi

Brusin sulfat, spektrofotometer Sulfanilik, spektrofotometer Phenate, spektrofotometer

Asam molibdate, spektrofotometer Molybdosilicate, spektrofotometer Pencacahan, mikroskop

Automat ic weather station

Visual, secchi disc Pemuaian, thermometer Refraktometer

Potensiometrik, pH meter

In situ Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* In situ In situ In situ In situ In Situ * Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(32)

Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas Cahaya Matahari permukaan tercatat setiap 10 menit dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Serang. Distribusi intensitas cahaya matahari pada setiap kedalaman kolom air ditentukan menurut Hukum Beer -Lambert (Fogg, 1975; Parsons et al. 1984) sebagai berikut :

Dimana : Iz = Intensitas cahaya pada kedalaman z

Io = Intensitas cahaya permukaan

kT = Koefisien peredupan

z = Kedalaman.

Koefisien peredupan dihitung dari pembacaan kedalaman keping secchi disk (Sd (m)) dengan menggunakan hubungan persamaan empiris (Tillmann et al. 2000), sebagai berikut : k = 0.191 + 1.242/Sd (r2 = 0.853).

Produktivitas Primer

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah diinkubasikan pada perairan yang mendapat sinar matahari (Lampiran 1, 2 dan 3). Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dikonversi kedalam satuan mgC/m3/jam (Umaly danCuvin 1988) sebagai berikut :

z k o z

T e I


(33)

dimana :

NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m3/jam)

O2BT = Oksigen pada botol terang (BT) setelah inkubasi (mg/l)

O2BA = Oksigen pada botol inisial (BI) (mg/l)

PQ = Photosintetic Quotien = 1,2; dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton

t = Waktu inkubasi (jam) 1000 = Konversi liter menjadi m3

0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi carbon (=12/32)

Catatan : PQ merupakan perbandingan O2 yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Nilai PQ berkisar 1.1–1.3 (Ryther 1965inParsons et al. 1984 ; Lalli dan Parsons 1993).

Analisis Unsur Hara

Contoh air laut dimasukkan pada botol sampel polyetilen kapasitas 250 ml untuk analisis ammonia, nitrat, nitrit, dan silika, serta untuk analisis ortofosfat. Botol sampel dimasukkan kedalam pendingin sebelum dianalisis.

Sebelum analisis lanjutan di laboratorium terlebih dahulu dilakukan filtrasi yaitu contoh air laut disaring dengan filter nukleopore (diameter 47 mm dan porositas 0,45 µm) yang dibantu dengan menggunakan pompa vakum melewati suatu glass microfibre filter (Lampiran 4).

NPP =

(

) (

)

( )

t PQ

x x BA

BT

O


(34)

Identifikasi Fitoplankton

Contoh air laut diambil sebanyak 20 liter dan disaring dengan plankton net mesh size 25 µm. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan kedalam botol sampel 100 ml lalu diawetkan dengan larutan lugol pekat 1 mI/100 ml, untuk diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur dari Davis (1955), Smith (1977), Yamaji (1979), dan Tomas (1997).

Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan menggunakan metode sensus (penyapuan) di atas Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 1998), dengan rumus sebagai berikut:

dimana : N = Kelimpahan fitoplankton (sel/l) n = Jumlah sel yang teramati Vt = Volume air tersaring (ml)

Vcg = Volume Sedwick Rafter Cell (ml)

Vd = Volume air yang disaring (l).

Analisis komunitas fitoplankton dengan menggunakan beberapa indeks biologi seperti indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominansi (D). Hasil identifikasi dan perhitungan kelimpahan fitoplankton digunakan untuk menentukan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner, yaitu :

dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (bits) ni = Jumlah sel jenis ke-i

N = Jumlah total sel. H’ = -

       

nN

Ln N

ni i

d cg t V x V V x n


(35)

Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat dikategorikan sebagai berikut : (Wilhm dan Doris 1968 inMasson 1981).

H’ < 2.3062 = Keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah 2.3062<H’<6.9078 = Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang H’>6.9078 = Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E) atau Equitability, yaitu :

dimana : E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman H’maks = Ln S

S = jumlah spesies.

Indeks keseragaman berkisar antara 0–1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis yang ada (Odum 1971).

Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu :

Indeks dominansi berkisar 0–1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi

E =

maks H

H '

'

D =

2

niN


(36)

spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1971).

Hubungan antara H’, E, dan D adalah apabila nilai indeks keanekaragaman (H’) spesies tinggi berarti nilai keseragaman (E) rendah dan tidak ada spesies yang mendominasi spesies lainnya (D rendah).

Klorofil-a

Contoh air laut untuk analisis klorofil-a diambil sebanyak 1 liter dan dimasukkan kedalam botol polietilen kapasitas 1 liter (ditutup rapat dengan plastik hitam), dan disimpan dalam box ice bersuhu dingin (-4°C) untuk dianalisis di laboratorium (Lampiran 5). Konsentrasi klorofil-a diukur dengan menggunakan spekrofometer. Konsentrasi klorofil-a dihitung dengan menggunakan persamaan menurut APHA (1998), sebagai berikut :

Dimana : V1 = Volume yang dieksrak (l)

V2 = Volume sampel (m3)

664b = Abs. pada 664 nm–abs. pada 750 nm, sebelum pengasaman

665a = Abs. pada 665 nm–abs. pada 750 nm, setelah pengasaman

l = Panjang kuvet (cm).

(

)

I x V V x m mg a

Chl b a

2 1 3 665 664 7 . 26 − =    


(37)

Analisis Data

Data penelitian dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu data penelitian utama yang terdiri dari data produktivitas primer, unsur hara, fitoplankton, klorofil-a, dan cahaya serta data penunjang yang terdiri data suhu, salinitas dan pH. Data hasil analisis akan ditabulasikan dalam tabel berdasarkan lokasi (stasiun) dan kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan.

Analisis data dilakukan secara komputasi dengan menggunakan software Kgraph, SAS versi 8.0, dan Excel. Sedangkan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak faktorial blok (Mattjik dan Sumertajaya 2000) pada 2 lokasi dan setiap lokasi terdiri atas 4 titik kedalaman dengan 3 kali ulangan.

Untuk mengetahui perbedaan produktifitas primer antar lokasi dilakukan analisis ragam. Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan antara unsur hara, klo rofil-a dengan produktifitas primer, pada setiap stasiun dan kedalaman inkubasi di gunakan analisis regresi sederhana (Mattjik dan Sumertajaya 2000 ), dengan persamaan sebagai berikut :

Y = a + bX

dimana : Y = Produktivitas primer sebagai peubah tak bebas

X = peubah bebas berupa unsur hara (ammonia-nitrogen, nitrat- nitrogen, nitrit-nitrogen, ortofosfat, dan silikat)

b = interseps

a = koefesien regresi.

Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan cahaya dengan produktivitas primer dengan menggunakan model Von Platt (Platt et al. 1980; Damar 2003) dengan formula sebagai berikut :


(38)

Y = a (1 – e-bX) e-cX

Dimana : Y = Produktivitas primer X = Cahaya

a, b, dan c = Konstanta.

Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui keeratan dari

peubah X terhadap Y. Kisaran nilai R2 antara 0–1. Jika nilainya lebih besar dari 0,5

atau mendekati 1, maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan terhadap Y. Besarnya peranan X terhadap Y, ditelaah dengan sidik ragam regresi. Jika Fhitung lebih

besar dari Ftabel berarti peubah X memberikan pengaruh terhadap peubah Y, demikian

pula sebaliknya jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel berarti peubah X tidak memberikan


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu

Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28–29°C (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kondisi cuaca pada saat pengamatan cenderung sama. Berhubungan dengan hal tersebut Lalli dan Parsons (1993) menyatakan bahwa perubahan suhu di perairan tropik yang dangkal lebih kecil dari 2°C. Hasil penelitian yang didapatkan pada pengamatan ini relatif sama dengan penelitian sebelumnya, di mana kisaran suhu perairan pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter sebesar 28–30°C (Purwanto 1992).

Tabel 3. Kondisi oseanografi perairan Teluk Banten

Stasiun Kedalaman (m) Suhu (°C) Salinitas (‰) pH

A 0.2 29 31 8.17

1 29 31 8.24

4 29 31 8.25

5 29 31 8.26

B 0.2 29 31 8.19

2 29 31 8.21

5 29 31 8.26

6 28 31 8.28

Secara keseluruhan, suhu di perairan Teluk Banten relatif lebih tinggi dari suhu air laut rata-rata di laut Jawa yang nilainya sebesar 27.93°C dengan kisaran 27.60–28.60°C (Wyrtki 1961). Kisaran nilai suhu yang didapatkan pada penelitian ini merupakan suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20–30°C (Effendi 2003).


(40)

Salinitas

Salinitas di perairan Teluk Banten relatif sama di stasiun A dan B maupun

kedalaman inkubasi selama pengamatan, nilai salinitas yang teramati adalah 31‰ (Tabel 3). Tidak adanya perbedaan salinitas di kedua stasiun tersebut

kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun pengamatan berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten, yang sama-sama mendapat pengaruh air laut dan air tawar

yang terbawa oleh aliran sungai. Salinitas yang didapatkan pada pengamatan ini tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya pada perairan yang sama, dimana salinitas pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari 31–32‰ (Purwanto 1992).

Dilihat dari fluktuasi salinitas dengan penelitian sebelumnya, maka massa air di perairan Teluk Banten tergolong kedalam massa air pantai dengan salinitas kurang dari 32.0‰ (Wyrtki 1961). Kisaran nilai salinitas masih merupakan nilai yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Nilai salinitas di atas 20‰ memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis (Sachlan 1982).

pH

Nilai pH di stasiun A dan B maupun pada semua kedalaman inkubasi relatif sama selama pengamatan dengan kisaran 8.17–8.28 (Tabel 3). Kisaran nilai tersebut tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan yang sama, dimana pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari 7.6–8.2 (Purwanto 1992).

Nilai pH yang didapatkan masih dalam batas untuk pertumbuhan fitoplankton. pH optimal untuk perkembangan diatom antara 8.0–9.0 (Ray dan Rao 1964) dan nilai


(41)

pH tersebut masih merupakan kisaran pH perairan laut Indonesia yang berkisar dari 6.0–8.5 (Romimohtarto 1991). Perairan laut tropis memiliki kisaran pH dari 7.5–8.4 (Nybakken 1988).

Intensitas Cahaya Matahari Intensitas Cahaya Matahari Permukaan

Sumber energi di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya yang dipancarkan matahari terdiri dari 50% sebagai infra merah, 41% sebagai cahaya terang, 9% sebagai ultraviolet, sinar lamda dan sinar gamma (Anikouchine dan Sternberg 1981). Penetrasi cahaya matahari pertama mencapai atmosfir kemudian laut. Cahaya yang terserap atau terpencar di atmosfer sekitar 50% dan mencapai permukaan laut 50% (Lalli dan Parsons 1993). Besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut berbeda-beda dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut terjadi pula di perairan Teluk Banten, dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut (di udara) selama pengamatan bervariasi (Gambar 6; Lampiran 6).

0 10 20 30 40 50 60 70 80

06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

Waktu Pengamatan

Intensitas Cahaya Matahari (MJ/m

2 )

Gambar 6. Intensitas cahaya permukaan.

Bervariasinya intensitas cahaya disebabkan oleh kondisi perawanan pada saat pengamatan sehingga akan berpengaruh pada besar kecilnya intensitas cahaya


(42)

matahari yang mencapai permukaan laut. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Fritz (1957) in Parsons et al. (1984) bahwa cakupan awan di udara akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut.

Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air

Penetrasi cahaya matahari (50% cahaya permukaan) akan mengalami pengurangan sekitar 10% di lapisan permukaan (Kirk 1994) atau 90% mencapai lapisan permukaan laut (Iwasaka et al. 2000). Sama halnya dengan intensitas cahaya permukaan, intensitas cahaya di lapisan permukaan bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 7; Lampiran 7).

Dari Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa besarnya intensitas cahaya pada permukaan laut akan mempengaruhi pula nilai intensitas cahaya di lapisan permukaan. Variasi ini terutama terjadi menurut waktu, dimana pada pagi hari intensitasnya rendah dan akan mengalami peningkatan atau memuncak pada siang hari (tengah hari) dan menurun kembali pada sore hari.

Berdasarkan Gambar 7, terlihat intensitas cahaya matahari selama inkubasi pada lapisan permukaan cenderung merata dari jam 10:00–12:00 WIB dimana pada saat itu sudut datang cahaya matahari hampir tegak lurus permukaan laut. Fenomena tersebut akan menyebabkan lapisan permukaan laut semakin besar pula menerima intensitas cahaya matahari dan akan mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 8). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Sumich (1992) bahwa adanya perbedaan nilai intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dipengaruhi oleh sudut datang matahari, nilai intensitas semakin besar seiring dengan besarnya sudut datang matahari dan mengalami penurunan dengan semakin kecilnya sudut datang matahari.


(43)

0 10 20 30 40 50 60 70

06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

Waktu pengamatan

Intensitas cahaya matahari (MJ/m

2)

Gambar 7. Intensitas cahaya di lapisan permukaan.

Distribusi cahaya matahari di kolom air akan mengalami peredupan. Peredupan cahaya matahari tersebut terlihat dari nilai koefisien peredupan yang diperoleh selama pengamatan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Peredupan ini disebabkan oleh bahan -bahan yang ada dalam perairan baik berupa bahan organik maupun partikel-partikel tersuspensi termasuk di dalamnya organisme planktonik dan molekul-molekul air itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Wyatt dan Jackson (1989) bahwa distribusi cahaya di kolom air tergantung pada kandungan dan kelompok partikel tersuspensi, seperti tipe partikel termasuk ukuran, bentuk dan struktur internal.

Kedalaman zona eufotik selama pengamatan diukur melalui pembacaan keping Secchi dengan nilai yang diperoleh sebesar 3.5 meter di stasiun A dan 4.5 meter di stasiun B. Pendugaan nilai dan persentase intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dengan hukum Lambert memperlihatkan pola distribusi cahaya di perairan semakin dalam cahaya menembus lapisan air maka semakin berkurang nilai intensitasnya. Selama pengamatan ditemukan nilai intensitas cahaya 1% dari


(44)

lapisan permukaan pada kedalaman 8 meter di stasiun A dan 9 meter di stasiun B (Gambar 8; Lampiran 8).

Gambar 8. Distribusi cahaya di kolom air perairan Teluk Banten.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedalaman inkubasi 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A serta 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B masih termasuk dalam zona eufotik. Dengan demikian di kedalaman inkubasi tersebut cahaya terdistribusi pada semua kolom air sehingga akan menunjang terjadinya proses fotosintesis di semua kedalaman inkubasi.

Perbedaan nilai pencahayaan di stasiun A dan B disebabkan oleh berbedanya nilai koefisien peredupan di kedua stasiun tersebut. Nilai koefisien peredupan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Semakin besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom air akan semakin kecil. Sebaliknya nilai koefisien peredupan yang kecil maka nilai intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin besar (Lampiran 8).


(45)

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)

Rata-rata total DIN yang diperoleh selama pengamatan sebesar 0.555 mg at N/l di stasiun A dan 0.550 mg at N/l di stasiun B (Lampiran 9). Nilai ini masih berada pada kisaran konsentrasi DIN yang umumnya ditemukan di perairan estuari yang berkisar dari bawah deteksi (0.1 µM) sampai di atas 100 µM atau setara 0.067 mg at N/l (Nixon dan Pilson 1983). Selama pengamatan terlihat bahwa nitrat merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi besar terhadap total DIN di perairan. Hal ini disebabkan karena nitrat merupakan unsur yang lebih melimpah di lapisan permukaan perairan (Dawes 1981) dan merupakan bentuk stabil dari nitrogen di laut (Riley dan Chester 1971).

Kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit) selama pengamatan cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil di kedua stasiun pengamatan (Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun A dan B yang berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten.

Begitu pula dengan sebaran vertikal DIN cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Tabel 5). Adanya variasi konsentrasi DIN kemungkinan disebabkan oleh posisi kedalaman inkubasi pada pengamatan ini berada pada zona eufotik, sehingga unsur DIN yang tersedia di

Tabel 4. Rataan unsur hara menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Unsur hara (mg -at/4 l)

Stasiun

Periode

ke - NH3-N NO3-N NO2-N PO4-P Si

A I 0.049 0.066 0.002 0.002 1.573

II 0.040 0.106 0.007 0.002 0.255

III 0.076 0.069 0.002 0.011 1.251

B I 0.034 0.082 0.002 0.002 0.752

II 0.039 0.062 0.006 0.002 0.145


(46)

perairan dengan cepat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Grasshoff (1976) bahwa konsentrasi unsur hara di zona eufotik cepat berkurang karena pemanfaatan oleh fitoplankton. Pernyataan tersebut didukung pula ditemukannya kelimpahan fitoplankton yang tergolong tinggi pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Gambar 9; Lampiran 9).

Tabel 5. Rataan konsentrasi unsur hara menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten

Unsur hara (mg at/3 l) Stasiun

Kedalaman

(m) NH3-N NO3-N NO2-N PO4-P Si

A 0.2 0.045 0.09 0.005 0.006 0.648

1 0.055 0.096 0.005 0.005 0.669

4 0.060 0.094 0.006 0.004 0.529

5 0.047 0.094 0.005 0.004 0.502

B 0.2 0.047 0.053 0.005 0.003 0.372

2 0.051 0.054 0.005 0.003 0.401

5 0.058 0.103 0.005 0.005 0.368

6 0.054 0.096 0.005 0.005 0.373

Ammonia-Nitrogen (NH3-N)

Nilai konsentrasi ammonia di stasiun A berkisar dari 0.040–0.076 mg at NH3-N/4 l, dan stasiun B berkisar dari 0.034–0.079 mg at NH3-N/4 l (Tabel 4;

Lampiran 9). Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purwanto (1992) di perairan yang sama. Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut 0.1708–0.244 mg/3 l atau 0.140–0.200 mg at NH3-N/3 l, 0.1859–0.488

mg/3 l atau 0.152–0.401 mg at NH3-N/3 l, 0.0976–0.195 mg/3 l atau 0.080–0.160


(47)

Pola distribusi vertikal ammonia di kedua stasiun pengamatan terlihat cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil (Tabel 4). Hal ini berhubungan dengan pernyataan bahwa distribusi vertikal ammmonia lebih seragam bila dibanding dengan unsur nitrogen lainnya (Dawes 1981).

Nitrat-Nitrogen (NO3-N)

Konsentrasi nitrat yang didapatkan di stasiun A berkisar dari 0.066–0.106

mg at NO3-N/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.062–0.105 mg at NO3-N/4 l

(Tabel 4; Lampiran 9), dengan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi relatif sama (Tabel.5; Lampiran 9). Nilai konsentrasi nitrat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut 0.1326–0.353 mg/3 l atau 0.109–0.290 mg at NH3-N/3 l, 0.1768–0.4420

mg/3 l atau 0.145–0.363 mg at NH3-N/3 l, 0.2210–0.3978 mg/3 l atau

0.181–0.327 mg at NH3-N/3 l.

Konsentrasi nitrat yang didapatkan, bila dilihat dari ketersediaannya di perairan masih berada dalam batas keseimbangan, dimana konsentrasi NO3 d i zona

eufotik sebesar 0.03 µg-at/L atau setara 0.042 mg at NO3/l (Goldman dan Glibert

1983). Bila

konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0.7 µM atau setara dengan 0.035 µg at NO3-N/l

maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti (Millero dan Sohn 1992). Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0.9–3.5 mg/l atau 0.7–2.8 mg at NO3-N/l (Mackenthum 1969). Sehubungan dengan hal ini dapat

dikatakan bahwa nitrat yang tersedia di perairan pada saat pengamatan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hal ini dipertegas jika konsentrasi nitrat menurun sampai sekitar 6 µM atau setara 0.3 mg-at NO3-N/l, ini


(48)

menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton (Goes et al. 2004).

Nitrit-Nitrogen (NO2-N)

Nitrit ditemukan dalam konsentrasi rendah, karena nitrit merupakan bentuk senyawa peralihan dari nitrat ke ammonia atau sebaliknya. Kisaran konsentrasi nitrit di stasiun A berkisar dari 0.002–0.007 mg at NO2-N/3 l, dan di stasiun B berkisar dari

0.002–0.006 mg at NO2-N/3 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di

setiap kedalaman inkubasi terlihat seragam (Tabel 5; Lampiran 9).

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat (PO4-P)

Kisaran konsentrasi ortofosfat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 0.002–0.011 mg at PO4-P/3 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.002–

0.008 mg at PO4-P/3 l (Tabel 4). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Purwanto (1992), nilai konsentrasi yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi. Purwanto (1992) mendapatkan konsentrasi fosfat pada lapisan permukaan, kedalaman 5 meter, dan 10 meter berturut-turut berkisar dari 0.0100– 0.0425 mg/3 l atau 0.00326–0.0138 mg at PO4-P/3 l, 0.0125–0.0450 mg/3 l atau

0.0040–0.0146 mg at PO4-P/3 l, dan 0.0350–0.0450 mg/3 l atau 0.0114–0.0146

mg at PO4-P/3 l.

Millero dan Sohn (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat dibawah 0.3 µM atau setara 0.009 mg at P/l maka perkembangan sel menjadi terhambat. Konsentrasi yang didapatkan berada dibawah pertumbuhan optimal fitoplankton disebabkan karena kedalaman inkubasi berada di zona eufotik, sehingga


(49)

ortofosfat yang ada langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton konsentrasi ortofosfat yang dibutuhkan berkisar dari 0.27–5.51 mg/l atau 0.088–1.79 mg-at PO4-P/l (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994).

Rendahnya konsentrasi ortofosfat yang didapatkan pada pengamatan ini kemungkinan disebabkan (1) ortofosfat yang ada diperairan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton, (2) waktu sampling mempengaruhi nilai konsentrasi ortofosfat, seperti yang terjadi di Teluk Chesapeake konsentrasi ortofosfat menurun dari 0.4 µM–0.1 µM atau setara 0.01–0.003 mg at/l pada jam 3 sore dan meningkat dengan cepat setelah matahari terbenam sampai maksimum pada jam 2 siang (Millero dan Sohn 1992), (3) kandungan fosfat yang dibutuhkan lebih rendah jika nitrogen yang digunakan tersedia dalam bentuk ammonia, sedangkan jika nitrogen dalam bentuk nitrat, maka fosfat yang dibutuhkan lebih tinggi (Chu 1984 in Andarias 1984), atau (4) konsentrasi ortofosfat makin berkurang ke arah laut, karena sumber utama fosfor di laut adalah dari aliran sungai (Lewis et al. 1985).

Silikat (Si)

Kisaran konsentrasi silikat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 0.255–1.573 mg at Si/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.145–0.845 mg at Si/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi cenderung sama den gan variasi yang kecil (Tabel 5; Lampiran 9). Kisaran silikat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi dari yang didapatkan oleh Purwanto (1992), dimana pada kedalaman permukaan, 5 meter dan 10 meter berkisar dari 0.35–1.06 mg/3 l, 0.28–1.04 mg/3 l, dan 0.49–0.64 mg/3 l.


(50)

Silikat yang didapatkan selama pengamatan masih berada pada konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhan diatom. Diatom tidak dapat berkembang dengan baik pada konsentrasi silikat yang lebih kecil dari 0.5 mg at Si/l (Effendi 2003). Kisaran konsentrasi silikat terlarut di laut adalah 1 mg/l, tapi konsentrasi tersebut bervariasi pada permukaan laut dan perairan laut yang dangkal (Grasshoff 1976).

Dengan melihat kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit), DIP (ortofosfat) maupun silikat di perairan selama pengamatan, dapat dikatakan bahwa tingkat variasi unsur-unsur tersebut pada setiap kedalaman inkubasi maupun antar stasiun tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung sama. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh pemanfaatan fitoplankton di zona eufotik, kemungkinan juga disebabkan oleh lokasi pengamatan merupakan perairan yang dangkal sehingga pengadukan massa air sangat kuat, yang menyebabkan kolom air menjadi tercampur sehingga unsur hara tidak terperangkap pada suatu kedalaman tertentu.

Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Terdapat tiga kelas fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Banten. Ketiga kelas fitoplankton tersebut terdiri dari Bacillariophyceae, Dinophyceae, dan Cyanophyceae yang tersebar pada semua kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan dengan jumlah genera yang bervariasi. Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae merupakan yang dominan pada semua kedalaman inkubasi di stasiun A maupun B dengan 29 genera, Dinophyceae 6 genera, dan Cyanophyceae 1 genera (Lampiran 11, 12, dan 13). Kehadiran genera fitoplankton selama pengamatan di dominasi oleh genera dari kelas


(1)

Lanjutan lampiran 13

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 Total

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP NPP

2.7 13 23.3 3.05 16 22.3 3.22 16 23 3.2 16 22.4 3.21 14 22.6 3.13 9 23.5 2.6 18.41

2.8 12 21.5 3 16 22.3 3.19 15 21.6 3.18 15 21 3.19 13 21 3.09 8 20.9 2.52 18.17

2.9 11 19.7 2.94 15 20.9 3.16 14 20.2 3.14 15 21 3.16 13 21 3.04 8 20.9 2.45 17.89

3.0 11 19.7 2.88 14 19.5 3.12 14 20.2 3.1 14 19.6 3.12 12 19.4 2.99 7 18.3 2.37 17.58

3.1 10 17.9 2.81 13 18.1 3.08 13 18.7 3.05 13 18.2 3.07 11 17.8 2.93 7 18.3 2.29 17.23

3.2 10 17.9 2.74 12 16.7 3.03 12 17.3 3 12 16.8 3.02 11 17.8 2.87 7 18.3 2.22 16.88

3.3 9 16.1 2.67 12 16.7 2.97 11 15.8 2.94 12 16.8 2.97 10 16.2 2.8 6 15.7 2.14 16.49

3.4 9 16.1 2.59 11 15.3 2.91 11 15.8 2.87 11 15.4 2.9 10 16.2 2.73 6 15.7 2.06 16.06

3.5 8 14.3 2.52 11 15.3 2.85 10 14.4 2.81 11 15.4 2.84 9 14.6 2.66 6 15.7 1.99 15.67

3.6 8 14.3 2.44 10 14 2.78 10 14.4 2.74 10 14 2.77 9 14.6 2.58 5 13.1 1.91 15.22

3.7 7 12.5 2.37 10 14 2.71 9 13 2.67 9 12.6 2.7 8 12.9 2.51 5 13.1 1.84 14.8

3.8 7 12.5 2.29 9 12.6 2.64 9 13 2.59 9 12.6 2.63 8 12.9 2.43 5 13.1 1.77 14.35

3.9 7 12.5 2.21 9 12.6 2.56 8 11.5 2.52 8 11.2 2.55 7 11.3 2.35 5 13.1 1.7 13.89

4.0 6 10.7 2.13 8 11.2 2.49 8 11.5 2.44 8 11.2 2.48 7 11.3 2.28 4 10.5 1.63 13.45

4.1 6 10.7 2.06 8 11.2 2.41 7 10.1 2.36 8 11.2 2.4 7 11.3 2.2 4 10.5 1.56 12.99

4.2 6 10.7 1.98 7 9.77 2.33 7 10.1 2.29 7 9.82 2.32 6 9.71 2.12 4 10.5 1.49 12.53

4.3 5 8.94 1.91 7 9.77 2.25 7 10.1 2.21 7 9.82 2.25 6 9.71 2.05 4 10.5 1.43 12.1

4.4 5 8.94 1.84 6 8.37 2.18 6 8.64 2.13 6 8.41 2.17 6 9.71 1.97 3 7.84 1.37 11.66

4.5 5 8.94 1.76 6 8.37 2.1 6 8.64 2.06 6 8.41 2.09 5 8.09 1.9 3 7.84 1.31 11.22

4.6 5 8.94 1.69 6 8.37 2.02 6 8.64 1.98 6 8.41 2.02 5 8.09 1.82 3 7.84 1.25 10.78

4.7 4 7.15 1.62 6 8.37 1.95 5 7.2 1.91 5 7.01 1.94 5 8.09 1.75 3 7.84 1.2 10.37

4.8 4 7.15 1.56 5 6.98 1.88 5 7.2 1.83 5 7.01 1.87 4 6.47 1.68 3 7.84 1.14 9.96

4.9 4 7.15 1.49 5 6.98 1.8 5 7.2 1.76 5 7.01 1.8 4 6.47 1.61 3 7.84 1.09 9.55

5.0 4 7.15 1.43 5 6.98 1.73 5 7.2 1.69 5 7.01 1.72 4 6.47 1.55 2 5.23 1.04 9.16

5.1 3 5.37 1.37 4 5.58 1.66 4 5.76 1.62 4 5.61 1.66 4 6.47 1.48 2 5.23 0.99 8.78

5.2 3 5.37 1.31 4 5.58 1.59 4 5.76 1.56 4 5.61 1.59 4 6.47 1.42 2 5.23 0.95 8.42


(2)

Lanjutan lampiran 13

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 Total

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP NPP

5.4 3 5.37 1.19 4 5.58 1.46 4 5.76 1.43 4 5.61 1.46 3 4.85 1.3 2 5.23 0.8 7.7

5.5 3 5.37 1.14 4 5.58 1.4 3 4.32 1.37 4 5.61 1.39 3 4.85 1.24 2 5.23 0.82 7.36

5.6 3 5.37 1.09 3 4.19 1.34 3 4.32 1.31 3 4.21 1.33 3 4.85 1.18 2 5.23 0.78 7.03

5.7 2 3.58 1.04 3 4.19 1.28 3 4.32 1.25 3 4.21 1.28 3 4.85 1.13 2 5.23 0.74 6.72

5.8 2 3.58 0.99 3 4.19 1.22 3 4.32 1.19 3 4.21 1.22 3 4.85 1.08 2 5.23 0.71 6.41

5.9 2 3.58 0.94 3 4.19 1.17 3 4.32 1.14 3 4.21 1.16 2 3.24 1.03 2 5.23 0.67 6.11

6.0 2 3.58 0.9 3 4.19 1.12 3 4.32 1.09 3 4.21 1.11 2 3.24 0.98 1 2.61 0.64 5.84

6.1 2 3.58 0.86 3 4.19 1.07 2 2.88 1.04 3 4.21 1.06 2 3.24 0.94 1 2.61 0.61 5.58

6.2 2 3.58 0.82 2 2.79 1.02 2 2.88 0.99 2 2.8 1.01 2 3.24 0.89 1 2.61 0.58 5.31

6.3 2 3.58 0.78 2 2.79 0.97 2 2.88 0.94 2 2.8 0.96 2 3.24 0.85 1 2.61 0.55 5.05

6.4 2 3.58 0.74 2 2.79 0.92 2 2.88 0.9 2 2.8 0.92 2 3.24 0.81 1 2.61 0.52 4.81

6.5 2 3.58 0.7 2 2.79 0.88 2 2.88 0.86 2 2.8 0.88 2 3.24 0.77 1 2.61 0.49 4.58

6.6 2 3.58 0.67 2 2.79 0.84 2 2.88 0.82 2 2.8 0.83 2 3.24 0.73 1 2.61 0.47 4.36

6.7 1 1.79 0.64 2 2.79 0.8 2 2.88 0.78 2 2.8 0.79 2 3.24 0.7 1 2.61 0.45 4.16

6.8 1 1.79 0.61 2 2.79 0.76 2 2.88 0.74 2 2.8 0.76 2 3.24 0.66 1 2.61 0.42 3.95

6.9 1 1.79 0.58 2 2.79 0.72 2 2.88 0.7 2 2.8 0.72 1 1.62 0.63 1 2.61 0.4 3.75

7.0 1 1.79 0.55 2 2.79 0.69 2 2.88 0.67 2 2.8 0.68 1 1.62 0.6 1 2.61 0.38 3.57

7.1 1 1.79 0.52 1 1.4 0.65 1 1.44 0.64 1 1.4 0.65 1 1.62 0.57 1 2.61 0.36 3.39

7.2 1 1.79 0.49 1 1.4 0.62 1 1.44 0.6 1 1.4 0.62 1 1.62 0.54 1 2.61 0.34 3.21

7.3 1 1.79 0.47 1 1.4 0.59 1 1.44 0.57 1 1.4 0.59 1 1.62 0.52 1 2.61 0.33 3.07

7.4 1 1.79 0.45 1 1.4 0.56 1 1.44 0.55 1 1.4 0.56 1 1.62 0.49 1 2.61 0.31 2.92

7.5 1 1.79 0.42 1 1.4 0.53 1 1.44 0.52 1 1.4 0.53 1 1.62 0.46 1 2.61 0.29 2.75

7.6 1 1.79 0.4 1 1.4 0.51 1 1.44 0.49 1 1.4 0.51 1 1.62 0.44 1 2.61 0.28 2.63

7.7 1 1.79 0.38 1 1.4 0.48 1 1.44 0.47 1 1.4 0.48 1 1.62 0.42 1 2.61 0.26 2.49

7.8 1 1.79 0.36 1 1.4 0.46 1 1.44 0.44 1 1.4 0.46 1 1.62 0.4 1 2.61 0.25 2.37

7.9 1 1.79 0.34 1 1.4 0.44 1 1.44 0.42 1 1.4 0.43 1 1.62 0.38 1 2.61 0.24 2.25

8.0 1 1.79 0.33 1 1.4 0.41 1 1.44 0.4 1 1.4 0.41 1 1.62 0.36 0 0 0.23 2.14


(3)

Lampiran 14. Nilai produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air stasiun B selama waktu inkubasi di perairan Teluk Banten

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 Total

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP NPP

0.0 55.909 100 6.07 71.675 100 4.79 69.474 100 4.97 71.303 100 4.82 61.814 100 5.6 38.246 100 7.2 33.45

0.1 53 94.8 6.27 68 94.9 5.05 66 95 5.23 68 95.4 5.08 59 95.4 5.83 37 96.7 7.25 34.71

0.2 51 91.2 6.46 65 90.7 5.31 63 90.7 5.47 65 91.2 5.34 56 90.6 6.04 35 91.5 7.29 35.91

0.3 49 87.6 6.62 62 86.5 5.56 60 86.4 5.71 62 87 5.58 54 87.4 6.24 33 86.3 7.32 37.03

0.4 46 82.3 6.77 59 82.3 5.79 58 83.5 5.94 59 82.7 5.81 51 82.5 6.43 32 83.7 7.32 38.06

0.5 44 78.7 6.9 57 79.5 6.01 55 79.2 6.14 56 78.5 6.03 49 79.3 6.6 30 78.4 7.31 38.99

0.6 42 75.1 7.02 54 75.3 6.21 52 74.8 6.34 54 75.7 6.23 47 76 6.75 29 75.8 7.29 39.84

0.7 40 71.5 7.11 52 72.5 6.4 50 72 6.52 51 71.5 6.42 45 72.8 6.88 28 73.2 7.25 40.58

0.8 38 68 7.19 49 68.4 6.57 48 69.1 6.68 49 68.7 6.59 43 69.6 7 26 68 7.2 41.23

0.9 37 66.2 7.25 47 65.6 6.73 46 66.2 6.82 47 65.9 6.74 41 66.3 7.1 25 65.4 7.14 41.78

1.0 35 0.63 7.29 45 62.8 6.86 44 63.3 6.94 45 63.1 6.88 39 63.1 7.18 24 62.8 7.06 42.21

1.1 33 59 7.32 43 60 6.98 42 60.5 7.05 43 60.3 6.99 37 59.9 7.24 23 60.1 6.98 42.56

1.2 32 57.2 7.32 41 57.2 7.08 40 57.6 7.14 41 57.5 7.09 35 56.6 7.28 22 57.5 6.88 42.79

1.3 30 56.6 7.32 39 54.4 7.17 38 54.7 7.21 39 54.7 7.17 34 55 7.31 21 54.9 6.78 42.96

1.4 29 51.9 7.29 37 51.6 7.23 36 51.8 7.26 37 51.9 7.24 32 51.8 7.32 20 52.3 6.67 43.01

1.5 28 50.1 7.26 36 50.2 7.28 34 48.9 7.3 35 49.1 7.28 31 50.2 7.32 19 49.7 6.55 42.99

1.6 26 46.5 7.21 34 47.4 7.31 33 47.5 7.32 34 47.7 7.31 29 46.9 7.3 18 47.1 6.42 42.87

1.7 25 44.7 7.15 32 44.6 7.32 31 44.6 7.32 32 44.9 7.32 28 45.3 7.26 17 44.4 6.29 42.66

1.8 24 42.9 7.07 31 43.3 7.32 30 43.2 7.31 31 43.5 7.32 27 43.7 7.22 17 44.4 6.16 42.4

1.9 23 41.1 6.99 30 41.9 7.3 29 41.7 7.28 29 40.7 7.3 25 40.4 7.16 16 41.8 6.02 42.05

2.0 22 39.3 6.89 28 39.1 7.27 27 38.9 7.24 28 39.3 7.27 24 38.8 7.08 15 39.2 5.87 41.62

2.1 21 37.6 6.79 27 37.7 7.23 26 37.4 7.19 27 37.9 7.22 23 37.2 7 14 36.6 5.73 41.16

2.2 20 35.8 6.68 26 36.3 7.17 25 36 7.12 26 36.5 7.16 22 35.6 6.91 14 36.6 5.58 40.62

2.3 19 34 6.56 24 33.5 7.1 24 34.5 7.04 24 33.7 7.09 21 34 6.81 13 34 5.43 40.03

2.4 18 32.2 6.44 23 32.1 7.02 23 33.1 6.96 23 32.3 7.01 20 32.4 6.7 12 31.4 5.29 39.42

2.5 17 30.4 6.31 22 30.7 6.93 22 31.7 6.86 22 30.9 6.92 19 30.7 6.58 12 31.4 5.14 38.74


(4)

Lanjutan lampiran 14

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 Total

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP NPP

2.7 16 28.6 6.04 20 27.9 6.72 20 28.8 6.64 20 28 6.7 18 29.1 6.33 11 28.8 4.84 37.27

2.8 15 26.8 5.89 19 26.5 6.6 19 27.3 6.52 19 26.6 6.59 17 27.5 6.19 10 26.1 4.69 36.48

2.9 14 25 5.75 19 26.5 6.48 18 25.9 6.39 18 25.2 6.46 16 25.9 6.06 10 26.1 4.55 35.69

3.0 14 25 5.6 18 25.1 6.35 17 24.5 6.26 18 25.2 6.34 15 24.3 5.91 9 23.5 4.4 34.86

3.1 13 23.3 5.45 17 23.7 6.22 16 23 6.13 17 23.8 6.2 15 24.3 5.77 9 23.5 4.26 34.03

3.2 13 23.3 5.31 16 22.3 6.08 16 23 5.99 16 22.4 6.06 14 22.6 5.62 9 23.5 4.12 33.18

3.3 12 21.5 5.16 15 20.9 5.94 15 21.6 5.84 15 21 5.92 13 21 5.48 8 20.9 3.98 32.32

3.4 11 19.7 5.01 15 20.9 5.8 14 20.2 5.7 15 21 5.78 13 21 5.33 8 20.9 3.84 31.46

3.5 11 19.7 4.86 14 19.5 5.65 14 20.2 5.55 14 19.6 5.63 12 19.4 5.18 7 18.3 3.71 30.58

3.6 10 17.9 4.71 13 18.1 5.5 13 18.7 5.4 13 18.2 5.49 12 19.4 5.03 7 18.3 3.58 29.71

3.7 10 17.9 4.56 13 18.1 5.35 12 17.3 5.25 13 18.2 5.34 11 17.8 4.88 7 18.3 3.45 28.83

3.8 9 16.1 4.42 12 16.7 5.2 12 17.3 5.1 12 16.8 5.19 10 16.2 4.73 6 15.7 3.33 27.97

3.9 9 16.1 4.28 12 16.7 5.05 11 15.8 4.96 12 16.8 5.04 10 16.2 4.59 6 15.7 3.2 27.12

4.0 9 16.1 4.13 11 15.3 4.91 11 15.8 4.81 11 15.4 4.89 10 16.2 4.44 6 15.7 3.09 26.27

4.1 8 14.3 4 11 15.3 4.76 10 14.4 4.66 11 15.4 4.74 9 14.6 4.3 6 15.7 2.97 25.43

4.2 8 14.3 3.86 10 14 4.61 10 14.4 4.51 10 14 4.59 9 14.6 4.16 5 13.1 2.86 24.59

4.3 8 14.3 3.73 10 14 4.47 9 13 4.37 10 14 4.45 8 12.9 4.02 5 13.1 2.75 23.79

4.4 7 12.5 3.59 9 12.6 4.32 9 13 4.23 9 12.6 4.31 8 12.9 3.88 5 13.1 2.64 22.97

4.5 7 12.5 3.47 9 12.6 4.18 8 11.5 4.09 9 12.6 4.16 8 12.9 3.75 5 13.1 2.54 22.19

4.6 7 12.5 3.34 8 11.2 4.04 8 11.5 3.95 8 11.2 4.02 7 11.3 3.61 4 10.5 2.44 21.4

4.7 6 10.7 3.22 8 11.2 3.9 8 11.5 3.81 8 11.2 3.89 7 11.3 3.49 4 10.5 2.34 20.65

4.8 6 10.7 3.1 8 11.2 3.77 7 10.1 3.68 8 11.2 3.75 7 11.3 3.36 4 10.5 2.25 19.91

4.9 6 10.7 2.98 7 9.77 3.64 7 10.1 3.55 7 9.82 3.62 6 9.71 3.24 4 10.5 2.16 19.19

5.0 5 8.94 2.87 7 9.77 3.51 7 10.1 3.42 7 9.82 3.49 6 9.71 3.12 4 10.5 2.07 18.48

5.1 5 8.94 2.76 7 9.77 3.38 6 8.64 3.3 7 9.82 3.37 6 9.71 3 4 10.5 1.99 17.8

5.2 5 8.94 2.66 6 8.37 3.26 6 8.64 3.18 6 8.41 3.24 5 8.09 2.89 3 7.84 1.91 17.14


(5)

Lanjutan lampiran 14

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP

5.4 4 7.15 2.45 6 8.37 3.02 6 8.64 2.94 6 8.41 3.01 5 8.09 2.67 3 7.84 1.76

5.5 4 7.15 2.36 5 6.98 2.91 5 7.2 2.83 5 7.01 2.9 5 8.09 2.57 3 7.84 1.68

5.6 4 7.15 2.26 5 6.98 2.8 5 7.2 2.73 5 7.01 2.79 5 8.09 2.47 3 7.84 1.61

5.7 4 7.15 2.17 5 6.98 2.69 5 7.2 2.62 5 7.01 2.68 4 6.47 2.37 3 7.84 1.55

5.8 4 7.15 2.09 5 6.98 2.59 5 7.2 2.52 5 7.01 2.57 4 6.47 2.28 3 7.84 1.48

5.9 4 7.15 2 5 6.98 2.49 4 5.76 2.42 5 7.01 2.47 4 6.47 2.19 2 5.23 1.42

6.0 3 5.37 1.92 4 5.58 2.39 4 5.76 2.32 4 5.61 2.38 4 6.47 2.1 2 5.23 1.36

6.1 3 5.37 1.84 4 5.58 2.29 4 5.76 2.23 4 5.61 2.28 4 6.47 2.01 2 5.23 1.3

6.2 3 5.37 1.77 4 5.58 2.2 4 5.76 2.14 4 5.61 2.19 3 4.85 1.93 2 5.23 1.25

6.3 3 5.37 1.69 4 5.58 2.11 4 5.76 2.06 4 5.61 2.1 3 4.85 1.85 2 5.23 1.19

6.4 3 5.37 1.62 4 5.58 2.03 3 4.32 1.97 4 5.61 2.02 3 4.85 1.78 2 5.23 1.14

6.5 3 5.37 1.55 3 4.19 1.95 3 4.32 1.89 3 4.21 1.94 3 4.85 1.7 2 5.23 1.09

6.6 3 5.37 1.49 3 4.19 1.87 3 4.32 1.81 3 4.21 1.86 3 4.85 1.63 2 5.23 1.05

6.7 2 3.58 1.43 3 4.19 1.79 3 4.32 1.74 3 4.21 1.78 3 4.85 1.56 2 5.23 1

6.8 2 3.58 1.37 3 4.19 1.72 3 4.32 1.67 3 4.21 1.71 3 4.85 1.5 2 5.23 0.96

6.9 2 3.58 1.31 3 4.19 1.64 3 4.32 1.6 3 4.21 1.64 2 3.24 1.44 2 5.23 0.92

7.0 2 3.58 1.25 3 4.19 1.58 3 4.32 1.53 3 4.21 1.57 2 3.24 1.38 1 2.61 0.88

7.1 2 3.58 1.2 3 4.19 1.51 3 4.32 1.47 3 4.21 1.5 2 3.24 1.32 1 2.61 0.84

7.2 2 3.58 1.15 2 2.79 1.45 2 2.88 1.41 2 2.8 1.44 2 3.24 1.26 1 2.61 0.8

7.3 2 3.58 1.1 2 2.79 1.39 2 2.88 1.35 2 2.8 1.38 2 3.24 1.21 1 2.61 0.77

7.4 2 3.58 1.05 2 2.79 1.33 2 2.88 1.29 2 2.8 1.32 2 3.24 1.16 1 2.61 0.73

7.5 2 3.58 1.01 2 2.79 1.27 2 2.88 1.23 2 2.8 1.26 2 3.24 1.11 1 2.61 0.7

7.6 2 3.58 0.96 2 2.79 1.22 2 2.88 1.18 2 2.8 1.21 2 3.24 1.06 1 2.61 0.67

7.7 2 3.58 0.92 2 2.79 1.16 2 2.88 1.13 2 2.8 1.16 2 3.24 1.01 1 2.61 0.64

7.8 1 1.79 0.88 2 2.79 1.11 2 2.88 1.08 2 2.8 1.11 2 3.24 0.97 1 2.61 0.61

7.9 1 1.79 0.84 2 2.79 1.07 2 2.88 1.04 2 2.8 1.06 2 3.24 0.93 1 2.61 0.58


(6)

Lanjutan lampiran 14

Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 Total

Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP NPP 8.1 1 1.79 0.77 2 2.79 0.98 2 2.88 0.95 2 2.8 0.97 1 1.62 0.85 1 2.61 0.53 5.05 8.2 1 1.79 0.74 2 2.79 0.93 2 2.88 0.91 2 2.8 0.93 1 1.62 0.81 1 2.61 0.51 4.83 8.3 1 1.79 0.7 1 1.4 0.89 1 1.44 0.87 1 1.4 0.89 1 1.62 0.78 1 2.61 0.49 4.62 8.4 1 1.79 0.67 1 1.4 0.85 1 1.44 0.83 1 1.4 0.85 1 1.62 0.74 1 2.61 0.47 4.41 8.5 1 1.79 0.64 1 1.4 0.82 1 1.44 0.79 1 1.4 0.81 1 1.62 0.71 1 2.61 0.45 4.22 8.6 1 1.79 0.62 1 1.4 0.78 1 1.44 0.76 1 1.4 0.78 1 1.62 0.68 1 2.61 0.43 4.05 8.7 1 1.79 0.59 1 1.4 0.75 1 1.44 0.73 1 1.4 0.74 1 1.62 0.65 1 2.61 0.41 3.87 8.8 1 1.79 0.56 1 1.4 0.71 1 1.44 0.69 1 1.4 0.71 1 1.62 0.62 1 2.61 0.39 3.68 8.9 1 1.79 0.54 1 1.4 0.68 1 1.44 0.66 1 1.4 0.68 1 1.62 0.59 1 2.61 0.37 3.52 9.0 1 1.79 0.51 1 1.4 0.65 1 1.44 0.63 1 1.4 0.65 1 1.62 0.57 1 2.61 0.35 3.36 Catatan : ICM = Intensitas cahaya matahari (MJ/M2), dan NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m3/5 jam)