Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara

(1)

DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI

TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI

SULAWESI TENGGARA

3

N

N

U

U

R

R

I

I

R

R

A

A

W

W

A

A

T

T

I

I

M

M

A

A

Y

Y

O

O

R

R

P

P

E

E

N

N

G

G

E

E

L

L

O

O

L

L

A

A

A

A

N

N

S

S

U

U

M

M

B

B

E

E

R

R

D

D

A

A

Y

Y

A

A

P

P

E

E

R

R

A

A

I

I

R

R

A

A

N

N

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

I

N

N

S

S

T

T

I

I

T

T

U

U

T

T

P

P

E

E

R

R

T

T

A

A

N

N

I

I

A

A

N

N

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

2


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutib dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Nur Irawati


(3)

Relationship between phytoplankton primary productivity and nutrient availability on different levels of clarity in waters off Kendari Bay, Southeast Sulawesi. By Nur Irawati, under supervision of ENAN M. ADIWILAGA and NIKEN T.M. PRATIWI.

The relationship between primary productivity of phytoplankton to the availability of nutrients in the waters of the Bay of Kendari was implemented on April-June 2009 at three sites. The purpose of this research is to examine the relationship between primary productivity of phytoplankton with the abundance and biomass of phytoplankton, and the relationship between primary productivity of phytoplankton with nutrient availability and light intensity at various levels of brightness in the waters of the Bay of Kendari. Based on the data description and laboratory analysis, net primary productivity values during the survey period varied from 2,54 to 11,13 mgC/m3/hour with ranges of average value of NPP from 5,10 to 7,30 mgC/m3/hour. Sampling station located at the middle of the bay had the highest NPP value followed by sampling station positioned at the mouth of the bay and the lowest was found at sampling station located near the river mouth of the upper part of the bay. Relationship between primary productivity and sunlight intensity depicted a strong correlation at the three sampling stations. Relationship of primary productivity to nutrient and light intensity showed that the relationship high on all three stations. The three stations showed similar patterns between the three research stations. At the station mouth of the bay, the three nutrients N (ammonia, nitrate, and nitrite) and light intensity are also factors that provide a real influence on the high and low NPP values while at the middle station and inside the bay, nutrient nitrate with ICM provides a real influence against high and low NPP values in the waters.


(4)

NUR IRAWATI. Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Di bawah bimbingan ENAN M. ADIWILAGA dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Teluk Kendari pada bulan April – Juni 2009 dengan menempatkan 3 stasiun penelitian. Tujuan penelitian adalah mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton, serta hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer selama penelitian pada perairan Teluk Kendari yaitu pada stasiun luar teluk berkisar 2,54-8,98 mgC/m3/jam, pada stasiun tengah teluk 2,77-11,13 mgC/m3/jam, dan 3,33-9,19 mgC/m3/jam pada stasiun dalam teluk. Hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya memperlihatkan keeratan hubungan yang tinggi pada ketiga stasiun penelitian. Ketiga stasiun penelitian menunjukkan pola yang hampir sama antara ketiga stasiun penelitian. Pada stasiun luar teluk, ketiga unsur hara N (amonia, nitrat, dan nitrit) dan intensitas cahaya menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP, sedang pada stasiun tengah dan dalam teluk, unsur hara nitrat bersama ICM memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di perairan.

Kata kunci : intensitas cahaya, unsur hara, produktivitas primer fitoplankton


(5)

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI

TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI

SULAWESI TENGGARA

3

N

N

U

U

R

R

I

I

R

R

A

A

W

W

A

A

T

T

I

I

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

M

M

A

A

Y

Y

O

O

R

R

P

P

E

E

N

N

G

G

E

E

L

L

O

O

L

L

A

A

A

A

N

N

S

S

U

U

M

M

B

B

E

E

R

R

D

D

A

A

Y

Y

A

A

P

P

E

E

R

R

A

A

I

I

R

R

A

A

N

N

S

S

E

E

K

K

O

O

L

L

A

A

H

H

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

S

S

A

A

R

R

J

J

A

A

N

N

A

A

I

I

N

N

S

S

T

T

I

I

T

T

U

U

T

T

P

P

E

E

R

R

T

T

A

A

N

N

I

I

A

A

N

N

B

B

O

O

G

G

O

O

R

R

2


(7)

P


(8)

Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara Nama : Nur Irawati

NRP : C251070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua

Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan penelitian pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Ketersediaan Unsur Hara Pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara”.

Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, atas segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., selaku penguji luar komisi, yang telah memberikan saran dan masukannya.

3. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan FPIK yang telah memberikan ijin tugas belajar serta bantuan moril kepada penulis.

4. Dirjen Dikti dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang telah diberikan.

5. Program Mitra Bahari-COREMAP II atas pemberian bantuan beasiswa penulisan tesis.

6. Suamiku tercinta Hatim Albasri, S.Pi., M.A. dan kedua buah hatiku tersayang Zafira Najwa Aurelia dan Zaky Khalfani El’Syarif atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, dukungan, pengorbanan, perhatian, dan pengertiannya selama masa pendidikan.

7. Ayahanda Drs. Gusarmin Sofyan, M.P. dan Ibunda Yamtini serta saudara-saudaraku yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat tiada henti kepada penulis.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Angkatan I dan II atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.


(10)

atas tali persaudaraan yang diberikan selama kita bersama.

10.Mahasiswa LDC atas bantuan dan kerjasamanya selama di penelitian.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis hargai, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Bogor, April 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1978 dari pasangan ayah Gusarmin Sofyan dan ibu Yamtini. Penulis merupakan putri ketiga dari 5 bersaudara.

Penulis lulus dari SDN Kemaraya Timur Kendari pada tahun 1990, SMPN 1 kendari pada tahun 1993, SMAN 1 Kendari pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo Kendari, dan lulus pada tahun 2001. Atas sponsor biaya dari BPPS Dikti, pada tahun 2007penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan memiliki Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1. PENDAHULUAN ...………... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Produktivitas Primer ... 5

2.1.1. Fotosintesis ... 5

2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton ... 7

2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga ... 8

2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer ... 9

2.2.1. Suhu ... 9

2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan ... 10

2.2.3. Salinitas ... 11

2.2.4. Intensitas Cahaya ... 12

2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si ... 13

2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas ... 17

2.4. Perairan Teluk Kendari ... 18

3. METODE PENELITIAN ... 21

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling ... 21

3.3. Pengukuran Parameter ... 22

3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton ……….. 22

3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) ……….. 25

3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton ... 26

3.3.4. Analisis Unsur Hara ... 27

3.3.5. Intensitas Cahaya ……….. 28

3.3.6. Penentuan Rasio N : P……… 29

3.4. Analisis Data ………. 29

3.4.1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) ……….. 29

3.4.2. Analisis Regresi ……… 29

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1. Hasil ... 33

4.1.1. Parameter Penunjang ... 33

4.1.2. Intensitas Cahaya Matahari ……… 36

4.1.3. Unsur Hara ………. 41


(13)

4.1.6. Produktivitas Primer Fitoplankton ……… 54

4.2. Pembahasan ……… 57

4.2.1. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Perairan ………. 57

4.2.2. Faktor Biologi yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Fitoplankton ……….. 62

4.2.3. Produktivitas Primer Fitoplankton ... 65

6. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 75

5.1. Kesimpulan ……… 75

5.2. Saran ………... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(14)

Halaman

1. Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari ... 21

2. Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian ... 22

3. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan ... 23

4. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran parameter fisika-kimia selama penelitian ………... 34

5. Rata-rata kedalaman dan zona eufotik di lokasi penelitian ……….. 39

6. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara selama penelitian ……….. 41

7. Rata-rata dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara pada kedalaman inkubasi selama penelitian ………... 43

8. Indeks biologi pada stasiun dan substasiun penelitian ………. 51

9. Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi ……… 51

10. Nilai produktivitas primer bersih (mgC/m3/jam)………... 55

11. Hubungan produktivitas primer bersih dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ………... 66

12. Model regresi dan koefisien determinasi serta parameter yang berpengaruh nyata berdasarkan hasil regresi produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya……….. 71


(15)

Halaman

1. Diagram pendekatan perumusan masalah... 4 2. Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas

cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn =

Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006) …………... 14 3. Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton.

Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai

dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006) ... 15 4. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Kendari ... 24 5. Grafik kekeruhan, kecerahan dan TSS pada masing-masing stasiun dan

substasiun pada setiap kedalaman intensitas cahaya ……… 36 6. Rata-rata nilai intensitas cahaya matahari di udara dan permukaan

perairan selama pengamatan ………... 37 7. Persentase intensitas cahaya matahari selama waktu inkubasi …………. 38 8. Pola distribusi cahaya pada kolom perairan pada setiap

stasiun/substasiun ………..

40

9. Rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan persentase

masing-masing unsur hara ………... 42 10. Rata-rata jenis genera fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun

penelitian ………... 46

11. Jumlah rata-rata genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada

setiap stasiun dan substasiun penelitian ……… 47 12. Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun

penelitian ………... 48 13. Rata-rata kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi

pada setiap stasiun dan substasiun penelitian ……… 49 14. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun ... 52 15. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun pada


(16)

16. Hubungan klorofil-a dan kelimpahan plankton pada masing-masing

stasiun dan substasiun ………... 54 17. Sebaran NPP pada masing-masing stasiun di setiap

kedalaman inkubasi……… 56

18. Hubungan NPP dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ……….. 67 19. Hubungan NPP dengan intensitas cahaya ………. 69 20. Grafik hubungan produktivitas primer (NPP) dengan kedalaman


(17)

Halaman

1. Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan (udara) …………. 85

2. Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan perairan ………... 87

3. Parameter-parameter Penunjang dan Utama Penelitian ……….. 89

4. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan I ... 92

5. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan II ... 93

6. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan III ... 94

7. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan IV ... 95

8. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Stasiun ... 96

9. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Kedalaman Inkubasi pada Masing-masing Stasiun ... 97

10. Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi ………... 99

11. Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun B Selama Waktu Inkubasi ………... 100

12. Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun C Selama Waktu Inkubasi ………... 101


(18)

1.1. Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002). Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu fitoplankton.

Sebagai salah satu organisme dalam ekosistem perairan fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi. Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan. Kondisi hidrodinamika suatu perairan juga akan mempengaruhi pola penyebaran atau distribusi fitoplankton baik secara horisontal maupun secara vertikal, sehingga akan berpengaruh pada kelimpahan dan struktur populasi fitoplanktonnya yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai produktivitas primernya.

Teluk Kendari sebagai salah satu wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting. Sebagai sumberdaya perairan, Teluk Kendari merupakan habitat bagi sejumlah


(19)

organisme yang hidup di dalamnya, antara lain ikan, organisme makrofita dan mikrofita, organisme dasar (bentos), hutan mangrove, maupun padang lamun. Berbagai kegiatan baik jasa kelautan seperti pelabuhan untuk pelayaran dan perikanan, maupun kegiatan-kegiatan lain di sekitar pantai seperti permukiman, perindustrian, pertambakan, dan sebagainya merupakan bagian dari faktor pendukung kehidupan manusia.

Kegiatan penduduk yang meningkat di sekitar teluk umumnya akan memberikan dampak pada kualitas maupun produktivitas perairan di teluk karena limbah dari semua kegiatan tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung, akan masuk ke perairan teluk. Peningkatan unsur hara yang berasal dari aktivitas manusia dapat mengakibatkan peningkatan produktivitas primer perairan serta akan mempengaruhi kelimpahan dan struktur komunitas di perairan Teluk Kendari. Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut.

Tingginya tingkat kekeruhan merupakan masalah bagi perairan Teluk Kendari. Kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh beban masukan, baik yang berasal dari hasil aktivitas manusia (unsur hara dan polutan) maupun dari berbagai sistem aliran sungai (sedimen), serta fitoplankton. Hal ini akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan perairan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan, sehingga akan menurunkan produktivitas primer fitoplankton di perairan. Hal ini dapat dilihat dari luas Teluk Kendari yang dihitung dari perubahan garis pantai yaitu pada tahun 1987 mencapai 1.186,9166 ha dan mengalami penurunan hingga mencapai 1.084,3671 ha pada tahun 2000 (Anonim 2000). Selain itu juga terlihat peningkatan padatan tersuspensi yaitu 16-36 mg/l dari batasan yang ditentukan untuk organisme laut yaitu < 23 mg/l. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan dari sekitar 0,14-1,4 NTU (BAPPEDA Sultra dan PKSPL 2000) menjadi 6,55-8,43 NTU (Asriyana 2004).


(20)

Melihat fenomena-fenomena tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang timbul di perairan Teluk Kendari berdasarkan kondisi kualitas perairan yang mengalami penurunan adalah tingkat kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh beban masukan baik yang berasal dari hasil aktivitas manusia (unsur hara dan polutan) maupun partikel tersuspensi dari berbagai sistem aliran sungai (sedimen) serta plankton. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel tersuspensi dan plankton akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan perairan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan. Sehingga dengan adanya kekeruhan yang tinggi akan akan menurunkan nilai produktivitas primer fitoplankton pada perairan.

Selain itu beban masukan juga mempengaruhi ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Kendari. Ketersediaan unsur hara tersebut mengalami peningkatan akibat masukan materi yang berasal dari hasil aktivitas manusia, sehingga diduga keberadaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor pembatas di perairan. Peningkatan unsur hara ini dapat mengakibatkan peningkatan terhadap produktivitas primer perairan. Selain itu terjadinya peningkatan terhadap unsur hara akan mempengaruhi kelimpahan dan stuktur komunitas fitoplankton di perairan Teluk Kendari. Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut.

Berdasarkan hasil tersebut di atas, diperlukan suatu kajian untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Rumusan dan pendekatan masalah dari penelitian ini secara sederhana disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.


(21)

Gambar 1. Diagram perumusan masalah

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton.

2. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi perairan Teluk Kendari dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan dalam pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Kendari.


(22)

2.1. Produktivitas primer

2.1.1. Fotosintesis

Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1992). Odum (1996) menambahkan produktivitas primer di suatu sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan. Sejalan dengan Nontji (2006) produktivitas primer dalam artian umum adalah laju produksi bahan organik (dinyatakan dalam C= karbon) melalui reaksi fotosintesis per satuan volume atau luas suatu perairan tertentu, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti mg C/m3/hari atau g C/m2/tahun. Besarnya produksi itu sendiri dikenal sebagai produksi primer, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti gC/m3. Tetapi dalam prakteknya, kedua istilah ini sering digunakan dengan saling tukar.

Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, dan dengan adanya cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber dari segala energi yang menggerakan seluruh fungsi ekosistem di bumi. Di laut, tumbuhan berklorofil dapat berupa rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), fitoplankton atau mikroflora bentik (benthic microflora). Rumput laut, lamun dan mikroflora bentik, hanya terdapat di perairan tertentu saja, yakni pada pesisir yang dangkal. Sebaliknya, fitoplankton terdapat diseluruh laut, dari permukaan sampai dengan kedalaman yang dapat ditembus cahaya matahari, kira-kira sampai kedalaman sekitar 100 meter. Oleh sebab itu, kontribusi fitoplankton dalam produktivitas primer global adalah yang terbesar. Menurut Steemann-Nielsen (1975) diacu dalam Nontji (2006) kurang lebih 95% produktivitas primer dilaut disumbangkan oleh fitoplankton. Sejalan dengan Wetzel (1983) bahwa di dalam ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas


(23)

primer dilakukan fitoplankton, dimana bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut dengan produksi primer.

Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrof yang mampu mentransformasikan karbondioksida menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu pendugaan produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang terutama dilakukan oleh alga. Menurut Sumich (1994) aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer.

Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman termasuk fitoplankton. Reaksi fotosintesis secara sederhana dapat diringkas dalam persamaan umum sebagai berikut (Wetzel 1983) :

2 6 12 6 2

2 12 6

6CO + H OC H O + O

dari reaksi di atas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini dalam prakteknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Nybakken 1992).

Pada umumnya profil vertikal penyebaran produktivitas primer mempunyai kurva yang menunjukkan adanya suatu nilai maksimum pada kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan, karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Selanjutnya profil penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar, maka nilai produktivitas primer juga akan besar.


(24)

Selama 35 tahun terakhir, pengukuran produktivitas primer di estuari berkisar pada 6,8 – 530 gC/m2/tahun (Kennish, 1990). Nilai produktivitas yang lebih kecil dari kisaran ini diperoleh dari estuari yang keruh dan sebaliknya. Boyton dalam Kennish (1990) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas fitoplankton dari 45 estuari yang diteliti adalah 190 gC/m2/tahun, yang melebihi rata-rata produktivitas perairan laut yaitu 100 gC/m2/tahun, namun nilai tersebut kurang dari produktivitas daerah upwelling yang bernilai 300 gC/m2/tahun. Besarnya produktivitas primer juga dapat menentukan tingkat kesuburan perairan. Menurut Mason dalam Novotny dan Olem (1994) perairan yang memiliki produktivitas primer antara 7-25 gC/m2/hari tergolong oligotrofik, produktivitas primer antara 75-250 gC/m2/hari tergolong mesotrofik dan produktivitas primer antara 350-700 gC/m2/hari tergolong eutrofik.

2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton

Struktur komunitas merupakan susunan individu dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas, yang dapat dipelajari dengan mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organisasi komunitas yang bersangkutan seperti indeks diversitas jenis, zona (stratifikasi) dan kelimpahan (Brower et al. 1990; Odum, 1996).

Struktur komunitas fitoplankton ditentukan oleh keragaman jenis fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas cahaya dan nutrien. Fitoplankton disusun oleh berbagai jenis yang berbeda, baik secara taksonomik maupun morfometrik. Secara taksonomi fitoplankton terdiri dari 10 filum alga baik yang prokariotik (Cyanophyceae dan Chlorophyceae) maupun eukariotik (Bacillariophyceae dan Chrysophyceae) (Boney 1975; Moss 1993). Parson et al. (1984) menyatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut, yaitu Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga merah), Bacillariophyceae (Diatom), Cryptophyceae (Cryptomonads), Dinophyceae (Dinoflagellata), Crysophyceae (Crysomonads, Silicoflagellata), Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads), Raphidiophyceae (Choromonadea), Xanthophyceae (alga kuning hijau), Eustigmatophyceae, Euglenophyceae (Euglenoids), Prasinophyceae (Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu


(25)

Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993).

Jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata (Nybakken 1992). Sejalan dengan hal tersebut Kilham dan Hecky (1988) menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi sejumlah jenis Chrysophyta yaitu Diatom, Cocolithophore, dan Silicoflagelata, serta Pyrrhophyta (Dinoflagellata). Selain itu pula terdapat beberapa kelompok lain dari fitoplankton yang kadang-kadang melimpah , tetapi mereka diwakili oleh jenis yang sangat sedikit. Jenis tersebut meliputi Cyanophyta (cyanobacteria, seperti contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus

atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria (Trichodesmium). Dari hasil penelitian Asriyana (2004) mengemukakan bahwa di perairan Teluk Kendari kelas yang mendominasi dari fitoplankton yaitu kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae, sejalan dengan Alianto (2006) mendapatkan bahwa jenis fitoplankton yang mendominasi di perairan Teluk Banten adalah Bacillariophyceae.

Pada suatu perairan, dominasi suatu jenis fitoplankton dapat diganti oleh jenis yang lain, disebabkan berubahnya kondisi fisika-kimia perairan (Goldman dan Horne 1983; Wetzel 1983). Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1992). Laju pertumbuhan fitoplankton di perairan estuari maupun perairan pantai menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika serta kimia perairan. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa flushing (Ferreira et al. 2005), salinitas (Ferreira et al. 2005; Caroco et al. 1987), cahaya, unsur hara (Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky dan Kilham 1988; Howarth 1988) maupun pemangsaan (Ferreira et al. 2005; Levinton 1982).

2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga

Menurut Parson et al. (1984); Geider dan Osborne (1992), biomassa dapat diartikan sama dengan standing stock yang didefinisikan sebagai konsentrasi


(26)

materi tumbuhan per unit volume (gm-3) atau per unit area (gm-2). Biomassa biasanya diukur sebagai berat basah, berat kering, berat pengabuan atau karbon organik. Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006). Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton (Harbone 1987), sehingga sering digunakan untuk mengukur biomassa fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006).

Pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh proses fotosintesis. Grazing, ekspor dan ekskresi merupakan parameter lainnya yang mempengaruhi biomassa fitoplankton pada perairan (Geider dan Osborne 1992; Cebrian dan Valiela 2002). Hal ini dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

Hasil = Fotosintesis bersih – Ekskresi – Pemangsaan – Ekspor

Biomassa fitoplankton biasanya diukur dengan cara mengukur jumlah klorofil-a di perairan yang merupakan pigmen fotosintesis sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur produksi fitoplankton. Rata-rata kandungan klorofil-a adalah 1,5% dari total bahan organik pada alga. Oleh karena itu, jika kandungan klorofil-a diketahui maka biomassa fitoplankton di perairan yang bersangkutan dapat diduga dengan mengalikannya dengan faktor 67 (Soil & Water Conservation Society of Metro Halifax 2000 diacu dalam Kartamihardja dan Adriani 2003).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Millero dan Sohn 1991).

2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer

2.2.1. Suhu

Suhu secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut (Tomascik et al. 1997). Secara langsung suhu


(27)

berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax), sedangkan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.

Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu. Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara 25-40oC. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk kemunitas fitoplankton (Harper 1992).

Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer fitoplankton di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lainnya seperti cahaya dan nutrien. Valiela (1995) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi.

2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan

Kedalaman secchi dapat digunakan sebagai estimator penetrasi cahaya pada lokasi perairan yang mempunyai kedalaman secchi rendah (Cervetto et al.

2002). Ketersediaan cahaya diperhatikan sebagai bagian yang penting pada lingkungan yang kekeruhannya tinggi. Adanya pasang surut menyebabkan tersuspensinya kembali (resuspensi) sedimen sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan berkurangnya kedalam zona eufotik pada daerah pesisir yang airnya dangkal (Pennock 1985).


(28)

Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut (APHA 2005). Dengan adanya kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas primer fitoplankton pada perairan. Wofsy (1983) dalam Cloern (1987) menyatakan cahaya dapat menjadi faktor pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50 mg/l. Menurut Lloyd (1985) diacu dalam Effendie (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%.

2.2.3. Salinitas

Salinitas yang bervariasi adalah ciri paling khas dari daerah estuari. Salinitas berubah setiap hari mengikuti pasang surut dan berubah secara drastic mengikuti musim. Bagian estuary yang paling dekat ke sungai memiliki salinitas yang paling rendah, namun pada musim panas, ketika aliran air dari sungai lambat maka banyak air laut yang masuk ke bagian ini (Goldman dan Horne, 1983).

Sebagaimana, suhu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi fitoplankton melalui pengaruh terhadap densitas air dan stabilitas kolom air (Kennish, 1990). Salinitas secara langsung mempengaruhi laju pembelahan sel fitoplankton, juga keberadaan, distribusi dan produktivitas fitoplankton. Salinitas dapat mengubah karakter fotosintesis melalui perubahan sistem karbon dioksida atau perubahan tekanan osmotic (Nielsen, 1975 diacu dalam Kennish, 1990). Oleh karena itu fitoplankton hidup di perairan estuary yang salinitasnya sangat bervariasi, organisme ini umumnya akan mengalami fluktuasi tekanan osmotic yang sangat tinggi. Seiring perubahan osmotic dan komposisi ion dalam sel, proses-proses selular (seperti sintesis klorofil dan laju fotosintesis) dapat juga berubah (McLachlan, 1961 diacu dalam Kennish, 1990).


(29)

2.2.4. Intensitas Cahaya

Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan cahaya memiliki dua fungsi utama yaitu pertama memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air, dan yang kedua cahaya merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan air. Apabila penetrasi cahaya dalam perairan semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya daerah berlangsungnya fotosintesis, sehingga kandungan oksigen terlarut masih relatif tinggi pada lapisan air yang lebih dalam (Jeffries dan Mills 1996).

Proses fotosintesis di dalam perairan berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk aktifitas proses fotosintesis. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400-720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktifitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993).

Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan sangat nyata, dimana peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding dengan peningkatan produktivitas primer. Semakin meningkatnya intensitas cahaya akan mengakibatkan proses fotosintensis juga semakin meningkat sampai mencapai puncak dimana cahaya dalam kondisi jenis (Riley dan Chester 1971; Parson et al. 1984).

Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim (Nybakken 1992). Hasil fotosintesis yang relatif besar dihasilkan dari lapisan permukaan sampai pada kedalaman dengan nilai intensitas cahaya kurang lebih tinggal 1%


(30)

dari cahaya yang berada pada permukaan perairan yang disebut zona eufotik (Parson et al. 1984). Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya merupakan pembatas bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan penghambat sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Neale 1987). Pada kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi yang intensitas cahayanya tinggal 1% dari intensitas di permukaan perairan. Hubungan antara intensitas cahaya dan laju fotosintesis atau produktivitas fitoplankton di laut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2). 2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si

Istilah umum yang digunakan secara luas untuk bahan organik adalah senyawa-senyawa yang disintesis secara biologi yang menghasilkan C, H, biasanya O, sedikit Nitrogen (N) dan fosfor (P), dan trace elemen lain yang penting untuk memelihara kehidupan tumbuhan. Protein, karbohidrat dan lemak adalah tipe-tipe senyawa organik yang banyak di dalam sistem kehidupan. Masing-masing mengandung karbon, hidrogen dan oksigen dalam rasio yang bervariasi. Dapat ditambahkan, bahwa lemak sering meliputi P, sedangkan protein mengandung N dan P (Basmi 1995).

Suplai unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Silikat (Si) sering dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dan Pomeroy (1991) menyatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas. Penggunaan nutrien sebagai faktor pembatas dapat dibedakan sebagai :

1. Nutrien sebagai faktor pembatas pertumbuhan populasi yang dominan. Perubahan atau pertukaran populasi yang dominan terjadi di bawah batas saturasi dari populasi dominan yang ada.


(31)

2. Nutrien sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi primer bersih. Perubahan populasi melebih batas populasi dominan yang ada, ditentukan oleh perubahan spesies yang dominan.

3. Nutrien sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih, populasi primer kotor melebihi total respirasi ekosistem. Perubahan populasi ini berdampak pada meningkatknya kandungan organik bersih atau hasil dari ekosistem.

Gambar 2. Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn = Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006)

• Produktivitas mempunyai hubungan yang linear dengan cahaya hanya pada intensitas cahaya yang rendah;

• Pada intensitas tertentu (Iopt), produktivitas akan mencapai maksimum (Pmax);

• Intensitas cahaya yang terlampau kuat akan menyebabkan produktivitas menurun (photo inhibition);

• Titik kompensasi adalah intensitas dimana produktivitas adalah sama dengan laju respirasi (P = R). Berdasarkan hal-hal di atas maka dalam sebaran vertikal produktivitas umumnya dapat terlihat kondisi seperti pada Gambar 3.


(32)

Gambar 3. Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton. Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006)

• Produktivitas di permukaan biasanya kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlampau kuat akan menghambat produktivitas;

• Semakin dalam, produktivitas semakin meningkat, hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan;

• Di bawah Pmax produktivitas akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya;

• Produktivitas akan bersifat positif jika nilainya lebih besar dari respirasi (P>R)

• Kedalaman dimana produktivitas dan respirasi seimbang disebut kedalaman kompensasi, dan intensitas cahaya pada kedalaman ini disebut intensitas kompensasi

• Zona dari permukaan hingga kedalaman kompensasi disebut zona eufotik

• Di bawah zona eufotik intensitas cahaya sudah tak dapat menghasilkan produksi yang positif.

Unsur-unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga nutrien unsur utama tersebut yakni N, P dan Si, di perairan air tawar fosfat lebih bersifat faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan


(33)

unsur yang lain, sedangkan di perairan laut ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan terutama nitrogen. Caroco et al. (1987) berdasarkan hasil penelitiannya tentang pengaruh pengkayaan N dan P di perairan estuari hingga perairan pantai (perairan laut) dengan salinitas 32o/oo menyatakan bahwa fitoplankton pada perairan dengan salinitas 0 – 6,5 o/oo merespon terhadap penambahan konsentrasi P dan biomassanya meningkat hingga 2 – 6 kali, sedangkan penambahan nitrogen merangsang pertumbuhan fitoplankton di perairan bersalinitas yang lebih tinggi (31 o/oo). Smith (1984) mendapatkan bahwa fosfat dan silikat secara potensial merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton pada musim dingin sedangkan nitrat bersifat sebagai faktor pembatas pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi. Pada perairan dengan tingkat salinitas sedang, pertumbuhan fitoplankton tidak merespon terhadap penambahan N atau P. Peningkatan biomassa secara drastis terjadi bila penambahan N dan P dilakukan secara bersamaan.

Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam badan perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung pada klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Dengan demikian nitrogen secara signifikan berpengaruh terhadap struktur komunitas fitoplankton (Piehler et al. 2004). Namun demikian laju pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut Pomeroy (1999), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien.

Nitrogen dibutuhkan untuk mensintesa protein. Menurut Parson et al.

(1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia dan beberapa senyawa nitrogen organik. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch, 1980). Selain itu


(34)

penggunaan N-NO3 membutuhkan penambahan energi seperti adanya enzim nitrat reduktase.

Pada umumnya konsentrasi nitrogen di perairan laut berkisar 0,01-50 μg/l untuk nitrat, 0,01-5 μg/l untuk nitrit dan 0,1-5 μg/l untuk amonia serta 0,2-2 μg/l untuk asam amino (Clark et al. 1972; Riley dan Segar 1970 dalam Parson et al.

1984). Sedang untuk pertumbuhan optimal fitoplankton menurut Mackenthum (1969) dalam Tambaru (2008) memerlukan kandungan nitrat berkisar 0,9-3,5 mg/l. Secara lebih khusus Ketchum (1939) dalam Parson et al. (1984) menjelaskan bahwa kebutuhan minimum nitrat yang dapat diserap oleh diatom berkisar 0,001-0,007 mg/l.

Dalam bentuk fosfor, fitoplankton menggunakan fosfat (PO4) untuk pertumbuhannya (Goldman dan Horne 1983). Fosfat mempengaruhi penyebaran fitoplankton khususnya diatom (Vollenweider 1968 diacu dalam Tambaru 2008). Fosfat menjadi faktor pembatas baik secara spasial maupun temporal. Konsentrasi fosfor di perairan umum berkisar 0,001-0,005 mg/l (Boyd 1982 diacu dalam Effendie 2003). Kandungan fosfat yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,09-1,80 mg/l (Mackenthum 1969 diacu dalam Tambaru 2008). Pada perairan yang memiliki konsentrasi fosfat yang rendah (0,00-0,02 mg/l) akan didominasi oleh diatom, pada perairan dengan konsentrasi fosfat sedang (0,02-0,05 mg/l) akan dijumpai jenis Chlorophyceae yang berlimpah dan perairan yang memiliki konsentrasi fosfat tinggi (>0,10 mg/l) maka jenis Cyanophyceae menjadi dominan (Prowse 1946 dalam Tambaru 2008).

2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas

Pentingnya dalam menentukan atom N:Si:P di perairan estuari adalah untuk keperluan dalam menentukan mana yang menjadi faktor pembatas dalam produktivitas primer dan apa yang akan menjadi produktivitas dalam mendukung perairan estuari. Nutrien terlarut utama di perairan adalah inorganik nitrogen terlarut (DIN), fosfat (DIP) dan silikat, ketiga nutrien tersebut merupakan komponen utama dalam membantu perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton (Montes et. Al 2002). Menurut Howarth et al. (1988) diacu dalam Montes et. Al (2002) terdapat korelasi antara nitrogen dengan produktivitas primer, hal ini menunjukkan bahwa pada perairan estuari cenderung menerima nitrogen dengan


(35)

konsentrasi yang besar. Perbandingan nilai N:P digunakan sebagai indikator dalam menentukan nilai N dan P sebagai faktor pembatas di perairan. Perbandingan tersebut didasarkan atas nilai molar N dan P yaitu 16:1 (Redfield, 1958 diacu dalam Sin et al.1999). secara menyeluruh perbandingan antara N:Si:P adalah 16:15:1 (Redfield 1958 diacu dalam Sin et al. 1999). Nilai perbandingan N:P menunjukkan nilai fosfat sebagai faktor pembatas apabila perbandingan molar N:P > 16 dan nilai nitrogen menjadi pembatas bilai N:P < 16 (Redfield 1958 diacu dalam Lehmann, 2000). Sedangkan nilai Si/N > 1 menunjukkan silikat bukan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan diatom (Montes et. Al

2002).

2.4. Perairan Teluk Kendari

Teluk Kendari merupakan wilayah pesisir yang dikategorikan perairan tertutup (closed area) yang dikelilingi oleh perbukitan terjal di bagian utara dan wilayah dataran di bagian barat dan selatan dan di bagian timur terdapat Pulau Bungkutoko yang berhadapan dengan Laut Banda. Perairan Teluk Kendari diperkirakan memiliki luas ± 10,84 km2 dan memiliki panjang garis pantai ± 35,85 km, berbentuk pantai melingkar dan melebar ke arah daratan yang ada di bagian barat. Mulut teluk menyempit dan menghadap perairan Laut Banda. Pada bagian depan mulut teluk terdapat pulau kecil Bungkutoko, dengan demikian bentuk perairan Teluk Kendari menjadi relatif tertutup.

Sepanjang wilayah teluk mempunyai tipe pasang surut semidiurnal, dengan dua kali pasang dan dua kali surut setiap hari. Kisaran amplitudo untuk wilayah teluk berkisar antara 40-70 cm. Pasang naik di pantai Teluk Kendari dapat mendesak air laut masuk ke wilayah sungai dan daerah-daerah konservasi rawa serta kawasan penduduk di sekitar tepi Teluk Kendari.

Perairan Teluk Kendari termasuk perairan yang relatif tenang dilihat dari kondisi oseanografinya, oleh sebab itu abrasi pantai tidak terlalu nyata menjadi masalah pada perairan teluk. Sebaliknya masalah sedimentasi merupakan masalah yang serius pada perairan teluk. Indikasi sedimentasi ini dapat dilihat dari perubahan garis pantai, dimana pada tahun 1987 luas Teluk Kendari yang dihitung dari panjang garis pantai mencapai 1.186,166 ha, dan mengalami penurunan hingga mencapai 1.084,671 ha pada tahun 2000. Sehingga selama 13 tahun dari


(36)

tahun 1987 sampai tahun 2000 telah terjadi sedimentasi seluas 101.495 ha. Sehingga diperkirakan sedimetasi terjadi setiap tahunnya ± 78.884,23 m2 atau ± 8 ha/tahun. Selain itu dari hasil pengamatan di lapang menunjukkan kondisi sedimentasi yang nampak terlihat jelas berupa warna perairan yang tampak kecoklatan terutama pada pesisir bagian barat perairan teluk di mana Sungai Wanggu, Sungai Kambu, dan Sungai Anggoeya bermuara.

Potensi sumber pencemaran air di kawasan Teluk Kendari dapat berasal dari berbagai lokasi seperti industri pengolahan ikan di Kambu dan Mata, dan juga akibat kegiatan pertanian, permukiman dan lain-lain. Sebagian besar industri berlokasi di tengah Kota Kendari dan sebagian berada di sekitar Teluk Kendari. Kegiatan-kegiatan ini memiliki potensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya. Walaupun pemerintah telah menyediakan atau menentukan suatu kawasan industri, namun sampai saat ini pendirian industri yang baru tidak sesuai seperti telah ditetapkan oleh pemerintah. Limbah industri sebagian besar mengalir ke teluk dan sebagian mengalir ke arah pantai timur Laut Banda. Limbah yang terbuang ke dalam air terdiri dari cairan organik, pengelolaan pertanian, plastik, kaleng, pestisida, dan sampah alami (debris) yang dihasilkan penduduk sekitar pantai Laut Banda dan Teluk Kendari. Di daerah permukiman khususnya di sekitar tepi Teluk Kendari banyak ditemukan sampah dan limbah rumah tangga yang berpotensi mencemari lingkungan.


(37)

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari bagian dalam yang secara geografis terletak pada 3o57’50”-3o5’30” lintang selatan dan 122o 31’50”-122o36’30” bujur timur dengan luas ± 18,75 km2 dan panjang garis pantai ± 35,85 km (Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan yang dimulai pada bulan April – Juni 2009 (musim peralihan-kemarau). Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali dengan frekuensi setiap pengukuran selama 2 minggu (Tabel 1).

Tabel 1. Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari

Pengamatan Waktu sampling Keterangan

1 25-27 April 2009 Musim hujan-kemarau (peralihan) 2 9-11 Mei 2009 Musim kemarau

3 23-25 Mei 2009 Musim kemarau 4 6-8 Juni 2009 Musim kemarau

3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling

Dalam menentukan lokasi dan titik sampling penelitian dilakukan kegiatan yang dibagi atas 2 tahapan yaitu :

Tahapan Prapenelitian

Pada tahap prapenelitian dilakukan pengukuran pola sebaran kecerahan perairan dengan menggunakan transek yang ditempatkan secara membujur dan melintang di sepanjang perairan teluk, dengan jarak antara sampling baik membujur maupun melintang ± 500 m. Pengukuran ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan lokasi sampling penelitian (stasiun) secara horisontal.

Didasarkan pada pola sebaran kecerahan perairan serta dengan mempertimbangkan pasang surut dan kedalaman perairan, maka penentuan lokasi sampling secara horisontal dibagi menjadi 3 stasiun yaitu stasiun A pada bagian luar dari teluk, stasiun B di tengah teluk, dan zona C pada bagian dalam teluk, dimana pada setiap stasiun dibagi menjadi 2 titik sampling (substasiun) (Tabel 2, Gambar 4).


(38)

Tahapan Penelitian

Titik pengukuran dan pengambilan sampel secara vertikal ditentukan dengan mengukur tingkat kedalaman perairan pada tiap titik sampling (substasiun) dan membaginya menjadi beberapa kedalaman dengan mempertimbangkan intensitas cahaya matahari dan pola umum dari produktifitas primer fitoplankton pada lapisan perairan. Pengukuran sampel secara vertikal ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya yang semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman pada setiap stasiun dibagi atas empat berdasarkan intensitas cahaya matahari di kolom perairan yaitu pada kedalaman dengan intensitas cahaya matahari 100%, 50%, 25%, dan 1% dari intensitas cahaya permukaan perairan.

Tabel 2. Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian

Stasiun Substasiun Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) A A1 122o35’27.455” 3o58’25.5756”

A2 122o35’11.094” 3o58’41.8728” B B1 122o34’38.499” 3o58’25.5756” B2 122o34’05.966” 3o58’41.8578” C C1 122o33’33.389” 3o58’25.5036” C2 122o33’00.813” 3o58’58.1268”

3.3. Pengukuran Parameter

Parameter yang diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi, yang dibagi menjadi parameter utama dan penunjang. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan yang akan diukur disajikan pada Tabel 3.

3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada pukul 10.00-14.00 WITA.

Pada masing-masing stasiun dan kedalaman digunakan 3 botol oksigen berukuran 250 ml, dengan perincian 1 botol terang, 1 botol gelap, dan 1 botol awal. Botol gelap dimodifikasi dengan jalan dilapisi plastik hitam, sehingga tidak


(39)

tembus cahaya. Pengambilan contoh air dilakukan pada setiap stasiun dan kedalaman dengan menggunakan Van dorn water sampler, kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol inkubasi dan botol awal. Kemudian, botol awal diukur sebagai oksigen terlarut awal dan botol lainnya diinkubasi.

Tabel 3. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan

Parameter Satuan Alat/Metode Lokasi

Penunjang

• Suhu oC Thermometer, pemuaian In situ

• TSS mg/L Timbangan, gravimetri Laboratorium

• Kekeruhan NTU Turbidimeter, absorpsi cahaya

Laboratorium

• Salinitas o/oo Conductivity Temperatur Depth

In situ

• pH - pH meter In situ

• Kecepatan arus m/det Pelampung dan Stop watch In situ

Utama

• Kecerahan m Secchi disk, visual In situ

• Intensitas cahaya Lux Luxmeter, photocell In situ

• N-Nitrat mg/L Spektrofotometer, Brucine Laboratorium

• N-Nitrit mg/L Spektrofotometer, Sulfanilamide

Laboratorium

• N-Amonia mg/L Spektrofotometer, Phenate Laboratorium

• Ortofosfat mg/L Spektrofotometer, Amonium molybdate

Laboratorium

• Silikat mg/L Spektrofotometer, molybdosilicate

Laboratorium

• Kelimpahan sel/L Mikroskop elektronik binokuler, Sedgwick-Rafter

Laboratorium

• Produktivitas Primer

mgC/m3/jam Titrasi, Oksigen In situ

• Klorofil-a mg/m3 Spektrofometer, aseton 90% Laboratorium

Fotosintesis Bersih (mgC/m3/jam) = Fotosintesis Kotor (mgC/m3/jam) =

Perhitungan produktivitas primer fitoplankton dilakukan menurut Umaly dan Cuvin (1988), yaitu

(

) (

)

( ) ( )

PQ t BG O BT O × × ×

2 1000 0,375

2

(

) (

)

( ) ( )

PQ t BA O BT O × × ×

− 2 1000 0,375


(40)

(41)

Keterangan :

O2BT = Oksigen terlarut botol terang (mg/l) O2BG = Oksigen terlarut botol gelap (mg/l) O2BA = Oksigen terlarut botol awal (mg/l) 1000 = Konversi liter menjadi m3

PQ = Photosintetic Quotient : 1,2 dengan asumsi hasil metabolisme dari

fitoplankton

t = Lama inkubasi (jam)

0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)

Photosintetic Quotient adalah perbandingan O2 terlarut yang dihasilkan dengan

CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut Parson et.al (1984), nilai PQ berkisar 1,1 – 1,3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1,2 diperoleh dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton.

3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a)

Biomassa fitoplankton ditentukan dengan kandungan klorofil-a. Pengambilan sampel air laut untuk analisis klorofil-a sebanyak 1 liter pada setiap kedalaman inkubasi dan dimasukan dalam botol sampel yang ditutup dengan plastik hitam, dan disimpan dalam kotak es yang bersuhu dingin, untuk kemudian dianalisis di laboratorium. Penghitungan konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan persamaan menurut APHA (2005), yaitu

Klorofil-a, mg/m3 =

(

)

L V

V

a b

×

× −

2

1 665 664

7 , 26

Keterangan :

V1 = Volume yang diekstrak (l) V2 = Volume sampel (m3) L = panjang kuvet (cm)

664b = Absorben pada 664 nm-abs pada 750 nm, sebelum pengasaman 665a = Absorben pada 665 nm-abs pada 750 nm, setelah pengasaman


(42)

3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton

Sampel air laut diambil sebanyak 25 liter dengan menggunakan Van dorn

water sampler bervolume 2 liter pada tiap-tiap kedalaman inkubasi dan disaring

dengan menggunakan plankton net no. 25 dengan porositas antara 35-45 μ. Sampel air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel yang bervolume 100 ml kemudian diawetkan dengan larutan lugol pekat 1 ml/100 ml sampel air laut, untuk kemudian diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur dari Davis (1955), Prescott (1970), Yamaji (1979) dan Tomas (1997).

Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan metode penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) menggunakan formula dari APHA (1998), yaitu

cg t d V

V V n

N = × 1 ×

Keterangan :

N = Kelimpahan fitoplankton (sel/l) n = Jumlah sel yang tercacah

Vd = Volume air contoh yang disaring (l) Vt = Volume air contoh yang tersaring (ml) Vcg = Volume Sedwick Rafter Cell (SRC) (ml)

Analisis komunitas fitoplankton dilakukan dengan menggunakan indeks-indeks biologi yaitu indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D). Hasil identifikasi dan perhitungan fitoplankton digunakan untuk menentukan indeks keaneragaman Shannon-Wienner, yaitu

⎢⎣⎥⎦⎢⎣⎥⎦

− =

N ni N

ni

H' ln

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner ni = jumlah sel jenis ke-i

N = jumlah total sel

Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dapat dikategorikan sebagai berikut :


(43)

H’ < 2,3062 = keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah 2,3062<H’<6,9078 = keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang H’ < 6,9078 = keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E), yaitu

maks H

H E

' '

=

Keterangan :

E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman H’maks = ln S

S = jumlah taksa

Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis yang ada (Odum 1996).

Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu :

⎢⎣⎥⎦

=

2

N ni D

Indeks dominansi berkisar 0-1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1996).

3.3.4. Analisis Unsur Hara

Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel berkapasitas 250 ml untuk keperluan analisis amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat dan silikat. Botol sampel dimasukkan ke dalam kotak pendingin sebelum dianalisis. Sebelum dianalisis lanjutan di laboratorium, terlebih dahulu dilakukan filtrasi terhadap air sampel dengan membran filter berdiameter 47 mm yang berporositas 1,2 μm.


(44)

Selanjutnya analisis kandungan unsur-unsur hara tersebut dilakukan mengacu pada APHA (2005).

3.3.5. Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan luxmeter tipe Lutron LX-101 (Digital Luxmeter Takemura Elektric Work. Ltd). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap 10 menit sekali yang dimulai pada jam 06.00 – 17.30 WITA di wilayah daratan tempat pengambilan sampel. Prinsip kerja alat ini adalah menangkap energi cahaya melalui sensor berupa photoelectric cell dan merubahnya menjadi sinyal yang terbaca melalui lux selector. Untuk memperoleh nilai intensitas cahaya yang berada pada lapisan permukaan perairan, nilai intensitas cahaya yang diperoleh dari pengukuran di daratan dikurangi 10% dengan asumsi intensitas cahaya mengalami refleksi oleh permukaan air laut (Kirk 1994; Damar 2003). Sedang untuk menilai distribusi intensitas cahaya matahari pada setiap kedalaman kolom air ditentukan menurut Hukum Beer-Lambert (Cole 1988), yaitu

kz z I e I = 0 − Keterangan :

Iz = Intensitas cahaya pada suatu kedalaman z I0 = Intensitas cahaya pada permukaan perairan e = Bilangan dasar logaritma (2,70)

k = Koefisien peredupan z = Kedalaman

Koefisien peredupan pada kolom perairan dihitung dengan pembacaan kedalaman keping secchi disk (Sd (m)) dengan menggunakan persamaan empiris

(

0,853

)

/ 242 , 1 191 ,

0 + 2 =

= S r

k d (Tillman et al. 2000). 3.3.6. Penentuan Rasio N : P

Penentuan rasio N : P dalam perairan sering digunakan sebagai ukuran untuk menentukan batas potensial pertumbuhan fitoplankton (Damar 2003). Rasio ini dapat berubah jika suplai unsur hara N dan P yang memasuki perairan bervariasi. Dalam tubuh fitoplankton, rasio molar N : P berkisar 16 : 1. Rasio N : P ditentukan dengan membandingkan nilai pengukuran anorganik N (nitrat +


(45)

nitrit + amonia) dengan ortofosfat. Jika rasio ini lebih kecil dari 16 maka unsur hara jenis nitrogen menjadi faktor pembatas pertumbuhan, sebaliknya jika rasio lebih besar dari 16 maka unsur hara yang menjadi faktor pembatas adalah jenis fosfor. Menurut Howarth (1988) molar rasio inorganik N (nitrat + nitrit + ammonium) terhadap ortofosfat dapat memberikan gambaran yang sangat baik dalam menentukan batas potensial dari nutrien sebagai faktor pembatas.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis sidik ragam (ANOVA)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan distribusi terhadap parameter-parameter yang diukur baik antara stasiun dan kedalaman. Jika hasil analisis sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji t-Tukey untuk mengetahui perbedaan tersebut. Sebelum dilakukan pengujian, semua parameter terlebih dahulu diuji dengan distribusi normal berdasarkan Kolmogorov-Smirnov.

3.4.2. Analisis regresi a. Analisis regresi linier

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kelimpahan sel dan biomassa fitoplankton (klorofil-a) terhadap produktivitas primer fitoplankton pada setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana. Persamaan umum regresi linier sederhana adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2000) :

Y = α + βX

Keterangan :

Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas

X = Peubah bebas berupa kelimpahan sel dan biomassa fitoplankton (klorofil-a) α = Interseps

β = kemiringan

Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya peranan dari peubah x terhadap Y. Nilai R2 berkisar antara 0-1. Apabila nilainya lebih besar dari 0.9 atau mendekati 1 maka dapat diartikan bahwa x memiliki peranan yang besar terhadap Y.


(46)

b. Regresi kuadratik

Regresi non linier digunakan untuk mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer pada setiap stasiun dilakukan analisis regresi non linier dengan pola kuadratik dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = β0 + β1X + β2X2 Keterangan :

Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas X = Peubah bebas berupa intensitas cahaya

β = koefisien regresi

c. Regresi linier berganda

Untuk analisis data hubungan keseluruhan unsur hara dan intensitas cahaya perairan terhadap produktivitas primer fitoplankton pada setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Model hubungan fungsional tersebut disajikan sebagai hubungan unsur hara dengan produktivitas primer fitoplankton.

YPP : f(amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat, silikat, intensitas cahaya) i

ki p i

i

pp X X X

Y =β0 +β1 1 +β2 2 +...+β +ε Keterangan :

Ypp = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas X1,X2,X3,...,Xp = Peubah bebas berupa amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat,silikat,

intensitas cahaya b0 = Koefisien regresi b1, b2,..., bp = Interseps

Nilai F dari uji Anova terhadap hasil perhitungan regresi berganda tersebut digunakan untuk menguji kepastian dari persamaan regresi secara keseluruhan, dengan hipotesis yang diajukan adalah :

Ho : variable independen (peubah bebas) tidak secara linier berhubungan dengan variable dependen (peubah tidak bebas)

H1 : variable independen (peubah bebas) secara linier berhubungan dengan variable dependen (peubah tidak bebas)


(47)

Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sebaliknya apabila nilai F hitung lebih kecil dari nilai F tabel maka Ho diterima H1 ditolak.

Nilai koefisien determinasi (R2) yang disesuaikan (Adjusted R Square) digunakan untuk mengetahui keterandalan dari model yang diperoleh dalam menerangkan keragaman nilai peubah Y dan mengetahui besarnya peranan dari peubah X terhadap Y. Nilai R2 berkisar antara 0-1. Apabila nilainya lebih besar dari 0.5 maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan yang besar terhadap Y.

Nilai keeratan antara beubah tak bebas dengan peubah bebas ditentukan melalui koefisien regresi (βi) dari tiap peubah bebas yang terpilih dalam persamaan. Nilai koefisien yang menyatakan kemiringan garis hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas tersebut dapat menunjukkan sifat dari hubungan yang ada. Nilai positif menunjukkan hubungan yang setara, sedangkan nilai negatif menunjukkan hubungan yang berkebalikan. Uji analisis sidik ragam (Anova), regresi linier sederhana, regresi non linier dan regresi berganda dengan menggunakan program SPSS versi 13.0 dan Ms-excel.


(1)

Basmi, J. 1995. Planktonologi Produksi Primer. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.

Boney, C.A.D. 1975. Phytoplankton. 1st. The Camelot Press Ltd. Southhampton. Brower, J.E., Zar, J.H. dan Von Ende, C.N. 1990. Field and Laboratory Methods

for General Ecology. 3rd Edition. Wm. C. Brown Published. New York. Caroco, N., Tamse, A., Boutros, O. dan Valiela, I. 1987. Nutrient limitation of

phytoplankton growth in brackish coastal ponds. Can J Fish Aquat Sci 44:473-476.

Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay, before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54.

Cebrian, J. dan Valiela, I.. 2002. Seasonal patterns in phytoplankton biomass in coastal ecosystems. Journal of Plankton Research 21:429-444.

Chester, R. 1990. Marine geochemistry. Unwin Hyman Ltd. Australia.

Cloern, J. E. 1987. Turbidity as a control on phytoplankton biomass and productivity in estuaries. Cont. Shelf Res. 7: 1367-1381.

Cole, G.A. 1988. Textbook of Limnology. Ed. Ke-3. Illionis : Waveland Press, Inc.

Damar, A. 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Ph.D Dissertation Christian Albrechts University. Kiel. Germany.

Davis, G.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State. University Press. USA.

Dawes, J.C. 1981. Marine botany. A Wiley Interscience Publication, University of South Florida.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Egge, J.K. dan Aksnes, D.L. 1992. Silicate as regulating nutrient in phytoplankton competition. Marine Ecology Progress Series. 83: 281-289.

Ferreira, J.G.m Wolff, W.J., Simas, T.C. dan Bricker, S.B. 2005. Does biodiversity of estuarine phytoplankton depend on hydrology?. Ecological Modelling 187:513-523.


(2)

Fisher, T.R., Gustafson, A.B., Sellner, K., Lacouture, R., Haas, L.W., Wetzel, R.L., Magnien, R., Everitt, D., Michaels, B. dan Karrh, R. 1999. Spatial and temporal variation of resource limitation in Chesapeake Bay. Marine Biology. 133: 763-778.

Geider, R.J. and Osborne, B.A. 1992. Alga Photosynthesis. Chapman and Hall. New York-London.

Goldman CR. and Horne AJ. 1983. Limnology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.

Goes, J.I., Sasaoka, K., Helgado, R., Gomes, H.D.R., Sei0Ichi, S. dam Toshiro, S. 2004. A comparison of the seasonality and interannual variability of phytoplankton biomass and production in the Western and Eastern Gyres of the Subarctic Pacific using multi-sensor satellite data. Journal of Oceanography, 60: 75 -91.

Guilford, S.J. dan Hecky, R.E. 2000. Total nitrogen, total phosphorus and nutrient limitation in lakes and oceans: is there a common relationship?. Limnology and Oceanography. 45: 1213-1223.

Harbone, J.B. 1987. Metode fotokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terjemahan Kosasih dan Soediro. ITB. Bandung.

Harper, D. 1992. Eutrophication of freshwater, principle, problems and restoration. Ed. 1. London. Chapman dan Hall.

Hecky, R.E. dan Kilham, P. 1988. Nutrient limitation pf phytoplankton in freshwater and marine environment: A review of recent evidence on the effects on enrichment. Limnol Oceanogr 33:796-822.

Hoong-Gin, K.Y., Lin, X. dan Zhang, S. 2000. Dynamics and size structure of phytoplankton in the coastal waters of Singapore. Journal of Plankton Research. 22(8): 1465-1484.

Howarth, R. W. 1988. Nutrient limitation of net primary production in marine ecosystems. Annual Review of Ecology and Systematics 19:89-110.

Ignatiades, L. 2005. Scalling the trophic status of the Aegean Sea, eastern Mediterranean. Journal of Sea Research. 54: 51-57.

Iwasaka, N., Isozakii, Y., Kuwashima, S., Otobe, H. dan Hanawa, K. 2000. Observational Study on the Downward Solar Radiation at the Sea Surface in the Western Pacific. Journal of Oceanography. 56: 717-726.

Jeffries, M. dan Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications. John Wiley and Sons. Chichester. UK.


(3)

Kartamihardja, E.S. dan Adriani, S.N.K. 2003. Distribusi Spasio Temporal Kelimpahan dan Biomassa Fitoplankton Dalam Kaitannya dengan Potensi Produksi Ikan di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. JPPI Edisi Sumberdaya dan Penangkapan Vol. 9(7) : 9 – 17.

Karydis, M. 2009. Eutrophication assessment of coastal waters based on indicators: a literature review. Global NEST Journal. Vol 11(4) : 373-390. Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries: anthropogenic effects. CRC Press, Inc.

Boca Raton, FL.

Khan, HAZ. 1980.. Primary Productivity and Tropic Status of Kasmir Himalayan Lake. Hydrobiologia. 68:3-8.

Kilham, P. dan Hecky, R.E. 1988. Comparative ecology of marine and freshwater phytoplanton. Limnol Oceanogr 33:776-795.

Kirk, J.T.O. 1994. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Cambridge University Press. Cambridge.

Lalli, C.M. dan Parsons, T.R. 1993. Biological Oceanography An Introduction. First Published by Pergamon Press Ltd. Oxford.

Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H. dan Sipura, J. 2004. Species-specific differences in phytoplankton responses to N and P enrichment and the N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Research. 26(7): 779-798.

Lehmann, P.W. 2000. Phytoplankton Biomass, Cell Diameter, and Species Composition in the Low Salinity Zone of Northern San Fransisco Bay Estuary. Departement of Water Resources Enviromental Services Office. California. Vol 23 No. 2 : 216-230.

Levinton, J.S. 1982. Marine ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Madubun, U. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan kaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Muara Jaya Teluk Jekarta. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mallin, M.A.1994. Phytoplankton ecology of North Carolina Estuaries. Estuaries.

17: 561-574.

Mallin, M. A. dan Paerl, H.W. 1992. Effects of variable irradiance on phytoplankton productivity in shallow estuaries. Limnology and Oceanography 37:54-62.

Masson, C.V. 1981. Biology of freshwater pollution. Longman Scientific and Technical. Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd. Singapore.


(4)

Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid I. IPB Press. Bogor.

Millero, F.J. dan M.L.Sohn. 1991. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor. London.

Montes, M.F.J., Mocedo, S.J. and Koening, M.L. 2002. N:SI:P Ratio in the Santa Cruz Channel, Itamaraca-PE (North East Brazil) : a Nyctemeral Variation. Departement of Oceanography, UFPE. Brazil. Vol. 45 N 2: 115-124. Moss, B. 1993. Ecology of Freshwater. Second Edition. Blackwell Scientific

Publications. London.

Neale, 1987. Algae Photoinhibition and Photosyntesis in The Aquatic Environment. Di dalam : D.J. Kyle, Opmon CB, Arntzen CJ. Editor. Photoinhibition. Elsevier.

Nielsen, S.L., Sand-Jensen, K., Borum, J. dan Hansen, O.G. 2002. Phytoplankton, nutrient and transparency in Danish coastal water. Estuaries 25: 930-937. Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Novotny, V and H. Olem. 1994. water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan :

Eidman, M., Koesbiono, Detrich G.B., Malikusworo, H. dan Sukardjo, S. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Terjemahan : Samingan, T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Paerl, H.W. and Millie, D. 1996. Physiological Ecology of toxicaquatic cyanobacteria. Phycologia 35: 160–167.

Pangerang, K.U. 1994. Evaluasi status pencemaran perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor..

Parson, T.R., M. Takahashi dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press. Oxford.

Pennock, J.R. 1985. Chlorophill Distribution in The Delaware Estuary: Regulation by Light-Limitation. Estur. Coast.Shelf.Sci. 21 : 711-725.


(5)

Piehler, M.F., Dyble J., Moisander, P.H., Pinckney, J.L. dan Paerl, H.W. 2004. Effects of modified nutrient concentrations and ratios on the structure an function of the native phytoplankton community in the Neuse River Estuary, North Carolina, USA. Aquatic Ecology 36:371-385.

Presscott, G.W. 1970. How to Know the Freshwater Algae. W.Mc. Brown Co. Publ. Iowa.

Pomeroy, L.R. 1999. Food web connections: links and sinks. In Bell C.R., Brylinsky, M., Johnson-Green, P. (eds). Microbial Biosystems : New Frontiers. Proceedings of the 8th International Symposium on Microbial Ecology. Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax. Canada.

Ray, P. dan Rao, N.O.S. 1964. Density of freshwater diatom in relations to some physico chemical condition of water. Indian Journal Fish. 11(1): 479-484. Riley, J.P. dan Chester, R. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Academic

Press. London and New York.

Romimohtarto, K. 1991. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. Seafarming Workshop Report. Bandar Lampung.

Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Sakalauskiene, G. 2001. Dissolved Oxygen Balance Model for Neris. Nonlinear Analysis: Modelling and Control. Vol. 6. No 1. 105-131.

Sin, Y., Wetzel, R.G. and Anderson, I.C. 1999. Spatial and Characteristic of Nutrient and Phytoplankton Dynamics in the New York River Estuary, Virginia : Analyses of Log Term Data. College of William and Mary Virginia Institute of Marine Sciences. Virginia. Vol. 22 No. 2A: 265-270. Smith, S.V. 1984. Phosphorus versus nitrogen limitation in the marine

environment. Limnol Oceanogr 29: 1149-1160.

Sumich, J.L. 1994. An Introduction to The Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Company Publishers. USA.

Sze, P. 1993. A Biology of The Algae. Wm.C.Brown Company Publishers.USA. Tambaru, R. 2008. Dinamika komunitas fitoplankton dalam kaitannya dengan

produktivitas perairan di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Tillman, U., K.J. Hesse dan F. Colijn. 2000. Planctonic Primary Production in The German Wadden Sea. Journal Plankton Research. 22(7) : 1253-1276.


(6)

Tomas, C.R. 1997. Identifiying Marine Phytoplankton. Academic Press. USA. Tomascik, T., Mah, A. A. Nontji and M.K. Mossa. 1997. The Ecology of The

Indonesian. Part II. Published by Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Umaly, R.C. dan L.A. Cuvin. 1988. Limnology : Laboratory and Field Guide

Physico-Chemical Factors, Biology Factors. National Book Store Publ. Manila.

Valiela, I. 1995. Marine Ecological Processes. Ed ke-2 Springer.

Wyatt, P.J. dan Jackson, C. 1989. Discrimination of Phytoplankton Via Light-Scattering Properties. Limnology and Oceanography. 34: 96-112.

Welch, E.B. 1980. Ecological effects wastewater. Cambridge Press. London. Philadelphia.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Philadelphia. W.B. Sounders Company.

Widjaja, F., Suwignyo, S., Yulianda, F. dan Effendie, H. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan dan penyebaran plankton laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Laporan Penelitian, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Wofsy, S. C. 1983. A simple model to predict extinction coef- ficients and

phytoplankton biomass in eutrophic waters. Limnology and Oceanography 28:1144-1155.

Yamaji, C.S. 1979. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publ. Co. Ltd. Japan.