Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol

ANALISIS KETELANTARAN LANJUT USIA DI INDONESIA
DENGAN METODE BIPLOT DAN GEROMBOL

DEWI JASMINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ketelantaran
Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Dewi Jasmina
NIM G152120181

RINGKASAN
DEWI JASMINA. Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode
Biplot dan Gerombol. Dibimbing oleh BUDI SUSETYO dan MUHAMMAD
NUR AIDI.
Lanjut usia (lansia) telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh)
tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial.
Kriteria ketelantaran lansia sesuai dengan kesepakatan Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia dan Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah tidak
pernah sekolah atau tidak tamat SD, makan makanan pokok kurang dari 14 kali
dalam seminggu, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati <
4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, memiliki pakaian kurang dari 4 stel,
tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur, bila sakit tidak diobati, dan bekerja >
35 jam seminggu. Derajat ketelantaran lansia ditentukan dengan syarat, jika
memenuhi 1 (satu) kriteria maka dikategorikan lansia tidak telantar, jika

memenuhi 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia hampir telantar dan jika
memenuhi lebih dari 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia telantar.
Permasalahan dan penanganan terhadap lansia telantar merupakan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat. Dalam rangka penanganan terhadap lansia
telantar diperlukan data dan informasi yang dapat memberikan gambaran
mengenai lansia telantar di Indonesia. Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia
provinsi-provinsi di Indonesia, memetakan dan melihat posisi relatif provinsiprovinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat
ketelantaran lansia serta mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia
berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah metode
biplot dan gerombol. Kedua metode ini merupakan bagian dari analisis peubah
ganda yang dapat menganalisis secara simultan peubah dan objek yang diamati.
Dengan analisis biplot dapat memetakan dan menentukan posisi relatif objek
terhadap peubah, sedangkan dengan analisis gerombol dapat mengelompokkan
objek berdasarkan peubah.
Data yang digunakan adalah data sekunder lanjut usia telantar 33 Provinsi di
Indonesia tahun 2012 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia dan Kementerian Sosial Republik Indonesia. Data dianalisis dengan
menggunakan statistik deskriptif, analisis biplot dan analisis gerombol.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia telantar yang berada di provinsi
di Indonesia memiliki jumlah dan karakteristik yang berbeda-beda, yang
ditunjukkan dari hasil analisis biplot dan gerombol. Berdasarkan hasil biplot
diperoleh suatu kesimpulan bahwa lansia telantar di Provinsi Papua, Maluku dan
Papua Barat memiliki nilai persentase yang tinggi untuk kriteria lansia telantar
tertentu, yaitu tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur dan bekerja > 35 jam
seminggu. Sebaliknya lansia telantar di ketiga provinsi tersebut memiliki nilai
persentase yang rendah untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD,
memiliki pakaian kurang dari 4 stel, dan bila sakit tidak diobati. Untuk Provinsi

Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu, nilai persentase tinggi terdapat pada beberapa
kriteria lansia telantar, yaitu tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD, makan lauk
pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau
kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel. Sebaliknya kriteria yang
memiliki nilai persentase yang rendah untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat dan
Bengkulu adalah makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan
bekerja > 35 jam seminggu. Untuk provinsi lainnya tidak menunjukkan
kecenderungan membentuk suatu kelompok tetapi secara individu memiliki
kecenderungan terhadap suatu kriteria lansia telantar tertentu.
Selanjutnya berdasarkan hasil dari analisis gerombol diperoleh suatu

kesimpulan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan kriteria lansia
telantar terbagi ke dalam 4 gerombol. Gerombol 1 terdiri dari 8 provinsi, yaitu
Aceh, Lampung, Riau, Jawa Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan
DKI Jakarta. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 1 adalah memiliki
persentase tertinggi untuk kritera makan makanan pokok kurang dari 14 kali
dalam seminggu, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati <
4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4
stel. Karakteristik utama lainnya adalah memiliki persentase terendah untuk
kriteria tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur. Gerombol 2 terdiri dari 14
provinsi, yaitu Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi
Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Banten, DIY,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.
Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 2 adalah memiliki persentase
tertinggi untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD dan memiliki
persentase terendah untuk kriteria makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau
hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya. Gerombol 3 terdiri
dari 8 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur,
Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat.
Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 3 adalah memiliki persentase
tertinggi untuk kriteria bila sakit tidak diobati dan memiliki persentase terendah

untuk kriteria makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan
bekerja > 35 jam seminggu. Gerombol 4 terdiri dari 3 provinsi, yaitu Maluku,
Papua Barat, dan Papua. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 4
adalah memiliki persentase tertinggi untuk kriteria tidak mempunyai tempat tetap
untuk tidur dan bekerja > 35 jam seminggu. Karakteristik utama lainnya adalah
memiliki persentase terendah untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat
SD, memiliki pakaian kurang dari 4 stel dan bila sakit tidak diobati.
Kata kunci: analisis gerombol, biplot, lansia telantar

SUMMARY
DEWI JASMINA. Analysis of Neglected Elderly in Indonesia by Using Method
of Biplot and Cluster. Supervised by BUDI SUSETYO and MUHAMMAD NUR
AIDI.
Neglected elderly, based on the regulation of the Minister of Social Affairs
of the Republic of Indonesia No. 08 of 2012, is a person over the age of 60 (sixty)
years or more, due to certain factors, can not meet his/her basic needs, namely
food, clothing, and shelter, as well as a person who is psychologically and socially
neglected. Criteria of a neglected elderly in accordance with the agreement of the
Central Bureau of Statistics and the Ministry of Social Affairs of the Republic of
Indonesia is a person who has never had a school or never finished elementary

school, eats staple food less than 14 times a week, eats high-protein side-dishes
(vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination
thereof, has less than 4 sets of clothes, does not have a fixed place to sleep, and is
not treated when he/she is ill as well as works > 35 hours a week. The degree of
neglected elderly is determined by the condition, and if a person meets one (1)
criteria then he/she cannot be categorized as a neglected elderly; if a person meets
two (2) criteria then he/she is categorized as an almost-neglected elderly; and if a
person meets more than two (2) criteria then he/she is categorized as a neglected
elderly.
Problems and handling of the neglected elderly is the responsibility of
government and society. In the framework of handling the neglected elderly, it is
need data and information that can provide a description of the neglected elderly
in Indonesia. Therefor, the purpose of this study is to describe the variables that
determine the degree of neglected elderly in provinces in Indonesia, to map and
view the relative position of the provinces in Indonesia based on the variables that
determine the degree of neglected elderly and to group provinces in Indonesia
based on the variables that determine the degree of neglected elderly.
The method used to achieve the purpose of research is biplot and cluster.
Both of these methods are part of multivariat analysis that can analyze
simultaneously variables and objects observed. With biplot analysis can map and

determine the relative position of objects based on variables, while the cluster
analysis can group objects based on variables.
The data used are secondary data of neglected elderly in 33 provinces in
Indonesia in 2012. It is obtained from the Central Bureau of Statistics and the
Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia. The data are analyzed by
using descriptive statistics, biplot analysis and cluster analysis.
The results of research show that the neglected elderly in the provinces in
Indonesia have a different of number and characteristics, that is shown from the
analysis of biplot and cluster. Based on the biplot results is obtained a conclusion
that the neglected elderly in Papua, Maluku and West Papua have a high
percentage value for some neglected elderly criteria, those are neglected elderly
who does not have a fixed place to sleep and works > 35 hours a week. Instead
neglected elderly in these three provinces have a low percentage value for
following criteria, those are neglected elderly who has never had a school or never
finished elementary school, has less than 4 sets of clothes, and is not treated when

he/she is ill. For West Nusa Tenggara and Bengkulu, a high percentage value
found in some neglected elderly criteria, those are neglected elderly who has
never had a school or never finished elementary school, eats high-protein sidedishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a
combination thereof, and has less than 4 sets of clothes. Instead neglected elderly

in these two provinces have a low percentage value for following criteria, those
are neglected elderly who eats staple food less than 14 times a week and works >
35 hours a week. For other provinces don't show a tendency to form a group but
individually have a tendency towards a certain criteria neglected elderly.
Furthermore, based on the results of the cluster analysis obtained a
conclusion that the provinces in Indonesia based on the criteria of the neglected
elderly are divided into four clusters. Cluster 1 consists of 8 provinces, those are
Aceh, Lampung, Riau, West Java, Jambi, South Sumatra, North Sulawesi, and
DKI Jakarta. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 1 is the
highest percentage for neglected elderly who eats staple food less than 14 times a
week, eats high-protein side-dishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times,
animal ≤ 2 times or a combination thereof and has less than 4 sets of clothes. The
other main characteristic is the lowest percentage for neglected elderly who does
not have a fixed place to sleep. Cluster 2 consists of 14 provinces, those are Riau
Islands, Central Java, East Java, Gorontalo, Central Sulawesi, Bangka Belitung,
Southeast Sulawesi, East Kalimantan, Banten, DIY, South Kalimantan, West
Kalimantan, South Sulawesi, and North Maluku. The main characteristics of the
neglected elderly in cluster 2 is the highest percentage for neglected elderly who
has never had a school or never finished elementary school and the lowest
percentage for neglected elderly who eats high-protein side-dishes (vegetable or

animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination thereof. Cluster 3
consists of 8 provinces, those are North Sumatra, West Sumatra, East Nusa
Tenggara, Bali, Central Kalimantan, West Sulawesi, Bengkulu, and West Nusa
Tenggara. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 3 is the
highest percentage for neglected elderly who is not treated when he/she is ill and
the lowest percentage for neglected elderly who eats staple food less than 14 times
a week and works > 35 hours a week. Cluster 4 consists of 3 provinces, those are
Maluku, West Papua and Papua. The main characteristics of the neglected elderly
in cluster 4 is the highest percentage for neglected elderly who does not have a
fixed place to sleep and works > 35 hours a week. The other main characteristic is
the lowest percentage for neglected elderly who has never had a school or never
finished elementary school, has less than 4 sets of clothes, and is not treated when
he/she is ill.
Keywords: biplot, cluster analysis, neglected elderly

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KETELANTARAN LANJUT USIA DI INDONESIA
DENGAN METODE BIPLOT DAN GEROMBOL

DEWI JASMINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Indahwati, MSi

Judul Tesis : Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode
Biplot dan Gerombol
Nama
: Dewi Jasmina
NIM
: G152120181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Budi Susetyo, MS
Ketua

Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Statistika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Indahwati, Msi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrohmanirrohim.
Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis
Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, yaitu kepada:
1. Bapak Dr Ir Budi Susetyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberi saran dan arahan kepada penulis.
2. Ibu Dr Ir Indahwati, MSi, selaku Ketua Program Studi Statistika Terapan S2
dan selaku dosen penguji tesis yang telah memberikan saran dan arahan demi
tersusunnya tesis ini.
3. Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan Kepala Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Republik
Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
program tugas belajar di IPB.
4. Keluarga Besar Program Studi Statistika dan Statistika Terapan Sekolah
Pascasarjana IPB atas kerjasama, saran, dan bantuan yang diberikan.
5. Keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, saran dan dorongannya selama
penulis menyelesaikan studi di IPB.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dan belum
bisa dikatakan sempurna. Namun, terlepas dari segala kekurangan dan
ketidaksempurnaan penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak yang terkait.
Bogor, Februari 2015
Dewi Jasmina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia Telantar
Kriteria Ketelantaran Lansia
Analisis Biplot
Analisis Gerombol

3
3
3
3
6

METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis

7
7
8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lansia Telantar di Indonesia
Analisis Biplot
Analisis Gerombol

9
9
12
15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Matriks korelasi Pearson kriteria ketelantaran lansia
Simpangan baku peubah
Pengelompokan provinsi berdasarkan analisis gerombol
Nilai F-hitung dan P-value dari hasil analisis ragam
Nilai rata-rata peubah pada setiap gerombol

12
13
16
17
17

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram batang persentase lansia telantar seluruh provinsi di Indonesia
tahun 2012
2 Diagram batang persentase lansia telantar yang memenuhi kriteria
ketelantaran lansia tahun 2012
3 Diagram kotak garis kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
4 Biplot kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
5 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode Ward

9
10
11
13
16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perkiraan jumlah dan persentase penduduk lansia menurut kategori
ketelantaran lansia, provinsi, klasifikasi daerah tempat tinggal, dan jenis
kelamin, 2012
2 Persentase penduduk lansia telantar yang memenuhi kriteria ketelantaran
menurut provinsi dan kriteria ketelantaran, 2012
3 Proses pembentukan gerombol dengan metode pautan rata-rata (average
linkage)
4 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode pautan rata-rata
(average linkage)
5 Proses pembentukan gerombol dengan metode Ward

22
23
24
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial adalah
upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pasal 5 dalam
Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa sasaran dari penyelenggaraan
kesejahteraan sosial ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok dan/ atau
masyarakat yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yaitu
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/ atau korban tindak kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi.
Kriteria-kriteria masalah sosial tersebut telah dijabarkan oleh Kementerian
Sosial Republik Indonesia ke dalam 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS), sebagaimana tertera pada lampiran Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial. Dua puluh enam jenis PMKS tersebut adalah anak
balita telantar, anak telantar, anak berhadapan dengan hukum, anak jalanan, anak
dengan kedisabilitasan, anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau
diperlakukan salah, anak yang memerlukan perlindungan khusus, lanjut usia
telantar, penyandang disabilitas, tuna susila, gelandangan, pengemis, pemulung,
kelompok minoritas, bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan, orang dengan
HIV/ AIDS, korban penyalahgunaan NAPZA, korban trafficking, korban tindak
kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial, korban bencana alam, korban
bencana sosial, perempuan rawan sosial ekonomi, fakir miskin, keluarga
bermasalah sosial psikologis, dan komunitas adat terpencil.
Dua puluh enam jenis PMKS tersebut di atas terdiri dari berbagai macam
kelompok usia, dari kelompok usia balita hingga kelompok lanjut usia atau
disebut juga dengan lansia. Kelompok lansia termasuk kelompok yang perlu
mendapat perhatian khusus karena jumlahnya selalu mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Peningkatan jumlah lansia ini tidak lepas dari keberhasilan
pembangunan di berbagai bidang terutama bidang kesehatan dan bidang
kesejahteraan sosial yang memiliki dampak pada meningkatnya angka harapan
hidup. Peningkatan angka harapan hidup merupakan cerminan dari meningkatnya
usia rata-rata penduduk yang mengakibatkan terjadinya peningkatan pada
populasi lansia.
Lansia menurut definisi dari Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah
seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang telah berusia 60 tahun ke atas.
Hal ini senada dengan pengertian lansia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 2
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam

2
puluh) tahun keatas. Pada pasal 1 ayat 3 dan 4 didefinisikan tentang lansia
potensial dan lansia tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang
dan/ atau Jasa. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sementara dari
sisi PMKS lansia dikategorikan menjadi lansia tidak telantar, lansia hampir
telantar dan lansia telantar.
Lansia telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau
lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial.
Penanganan terhadap lansia telantar dalam rangka peningkatan
kesejahteraan lansia, merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia telah
melakukan berbagai bentuk pelayanan sosial terhadap lansia telantar yaitu melalui
pelayanan sosial dalam panti dan pelayanan sosial luar panti. Pelayanan sosial
dalam panti terdiri dari asistensi sosial melalui lembaga kesejahteraan sosial dan
pelayanan sosial lansia melalui Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Pelayanan
sosial luar panti terdiri dari asistensi sosial lansia telantar, pendampingan dan
perawatan lansia di lingkungan keluarga lansia, pelayanan harian lansia, dan
pelayanan lansia dalam situasi darurat (Kemensos RI dan BPS RI 2013).
Sejalan dengan penanganan terhadap lansia telantar diperlukan data dan
informasi yang akurat yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi lansia
dari berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, kelayakan tempat tinggal dan
ketenagakerjaan pada tingkat nasional maupun provinsi di Indonesia. Untuk itu
dalam penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai ketelantaran lansia di
Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan ketelantaran lansia.
Dalam statistika dikenal adanya analisis peubah ganda yang dapat
menganalisis secara simultan peubah-peubah yang diamati pada setiap objek.
Analisis peubah ganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis biplot
dan analisis gerombol. Kedua analisis tersebut dapat digunakan untuk
mengelompokkan provinsi di Indonesia berdasarkan kriteria ketelantaran lansia.
Hasil analisis biplot dan gerombol memungkinkan masing-masing provinsi di
Indonesia memiliki karakteristik lansia telantar yang berbeda, sehingga
memerlukan penanganan yang berbeda pula. Dari hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi kepada para pemangku kepentingan (stakeholders)
dalam menyelenggarakan pelayanan sosial terhadap lansia telantar.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan peubah-peubah yang
menentukan derajat ketelantaran lansia provinsi-provinsi di Indonesia; (2)
memetakan dan melihat posisi relatif provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan
peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia; (3)
mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah
yang menentukan derajat ketelantaran lansia.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia Telantar
Lanjut usia (lansia) telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh)
tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lansia memiliki potensi untuk mengalami
ketelantaran diantaranya tidak mempunyai keluarga, sanak saudara atau orang lain
yang mau dan mampu mengurusnya atau tidak mempunyai penghasilan yang
dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik jasmani, rohani maupun sosial.

Kriteria Ketelantaran Lansia
Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) dan Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia (BPS RI) telah menyepakati tentang kriteria
ketelantaran lansia (Kemensos RI dan BPS RI 2013). Kriteria Ketelantaran lansia
sesuai dengan kesepakatan Kemensos RI dan BPS RI adalah sebagai berikut:
1. Tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD.
2. Makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu.
3. Makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali,
hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya.
4. Memiliki pakaian kurang dari 4 stel.
5. Tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur.
6. Bila sakit tidak diobati.
7. Bekerja > 35 jam seminggu.
Berdasarkan kriteria ketelantaran lansia tersebut dapat ditentukan derajat
ketelantaran lansia, yaitu jika memenuhi 1 (satu) kriteria maka dikategorikan
lansia tidak telantar, jika memenuhi 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia
hampir telantar dan jika memenuhi lebih dari 2 (dua) kriteria maka dikategorikan
lansia telantar.

Analisis Biplot
Analisis biplot dikemukakan pertamakali oleh Gabriel pada tahun 1971,
yang menyatakan bahwa biplot adalah representasi grafis dari matriks data. Biplot
dapat digunakan sebagai alat untuk analisis data dan memungkinkan penilaian
visual dari struktur matriks data yang besar.
Salinas et al. (2013) menyatakan bahwa biplot adalah representasi grafis
dari data peubah ganda dengan unsur-unsur matriks data diwakili sesuai dengan
titik-titik dan vektor yang terkait dengan baris dan kolom dari matriks.
Secara matematis, biplot dapat dianggap sebagai tampilan grafis perkalian
matriks (Yan dan Tinker 2006). Misalkan matriks
dan matriks
, hasil
perkalian antara dan adalah matriks
. Jika r = 2, maka matriks dapat

4
disajikan sebagai titik-titik n pada grafik dua dimensi dengan kolom pertama
sebagai sumbu-x dan kolom kedua sebagai sumbu-y. Demikian juga untuk
matriks dapat disajikan sebagai titik-titik p pada grafik dua dimensi dengan
baris pertama sebagai sumbu-x dan baris kedua sebagai sumbu-y. Grafik biplot
dua dimensi terbentuk jika dua plot ditumpang-tindihkan yang terdiri dari titiktitik
sehingga nilai-nilai
matriks secara implisit dapat ditampilkan
pada grafik biplot.
Biplot dapat menyajikan secara simultan n objek pengamatan dan p peubah
dalam tampilan dua dimensi sehingga diperoleh informasi tentang hubungan
antara peubah, hubungan antara peubah dan objek pengamatan, serta posisi relatif
peubah dan objek pengamatan dapat dianalisis (Jolliffe 2002). Hal ini senada
dengan yang dikemukakan oleh Kroonenberg (2008), yang menyatakan bahwa
biplot memungkinkan untuk menganalisa interaksi dua arah pada tabel data yang
terdiri dari n objek dan p peubah sehingga pola sistematis antara baris, antara
kolom dan antara baris dan kolom dapat dinilai dan dievaluasi. Dengan biplot
dapat diperoleh informasi atau tafsiran sebagai berikut:
1. Karakteristik antar objek
2. Hubungan antar peubah
3. Posisi relatif objek terhadap peubah
4. Keragaman peubah.
Analisis biplot didasarkan pada penguraian nilai singular atau Singular
Value Decomposition (SVD). Bentuk umum dari SVD berdasarkan Jolliffe (2002)
dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan suatu matriks data berukuran nxp
dan berpangkat r dengan n merupakan objek dan p peubah yang dikoreksi
terhadap nilai rata-ratanya, maka SVD dari matriks dapat ditulis menjadi:
(1)
Matriks dan masing-masing berukuran (nxr) dan (rxp) dengan setiap
kolomnya ortonormal
dan
adalah matriks diagonal
berukuran (rxr) yang unsur-unsur diagonalnya merupakan akar kuadrat dari akar
ciri
dan
dengan √

√ . Unsur-unsur diagonal matriks
disebut nilai singular dari matriks . Kolom-kolom matriks adalah vektor ciri
dari matriks
atau
yang berpadanan dengan akar ciri λ, A=
.
Kolom-kolom matriks U dapat diperoleh melalui

(







).

Jolliffe (2002) mendefinisikan
dengan
yang merupakan


.
matriks diagonal dengan unsur-unsur diagonalnya √
Definisi ini juga berlaku untuk
dengan unsur-unsur diagonalnya:


maka:



elemen ke-(i,j) dari matriks



, dan misalkan

dan

dapat ditulis sebagai:

dengan
dan
,
masing-masing merupakan
vektor baris ke-i dari matriks dan vektor baris ke-j dari matriks . Masing-

5
masing dan mempunyai r elemen, dan jika berpangkat dua, maka vektor
baris dan vektor kolom dapat digambarkan dalam ruang dimensi dua. Dalam
kasus yang lebih umum persamaan (1) dapat ditulis menjadi:
xij
yang sering juga di dekati dengan



persamaan (3) dapat ditulis menjadi:






, dengan



(2)
(3)

dimana , masing-masing terdiri dari m unsur pertama dari dan . Dalam
kasus dimana persamaan (3) dengan m = 2 merupakan pendekatan yang baik
untuk persamaan (2).
,
,
bersama-sama
memberikan representasi dua dimensi yang baik untuk kedua pengamatan n objek
dan p peubah.
Nilai
yang digunakan dapat diambil dari kisaran
, tetapi
pengambilan nilai
pada nilai-nilai ekstrim yaitu
dan
dapat
berimplikasi pada interpretasi biplot (Jolliffe 2002).
Jika
maka
dan
atau H = AL, akibatnya:

(4)
Dari persamaan (4) diperoleh
=
, sehingga hasil perkalian
, yang berarti penggandaan titik antara vektor dan
akan
dari
memberikan gambaran koragam antara peubah ke-j dan ke-k. Panjang
vektor
‖ ‖ √
√ menggambarkan keragaman
peubah ke-j. Korelasi antara peubah ke-j dan ke-k ditunjukkan oleh cosinus sudut
antara dan .
Jika
maka
dan
atau
akibatnya:

(5)
Dari persamaan (5) dapat diartikan bahwa:
(
) (
) (
) (
) atau dengan kata lain kuadrat jarak
Euclid antara
akan sama dengan kuadrat jarak Euclid antara
.
Keakuratan biplot dalam menjelaskan keragaman dari data awal telah
dirumuskan oleh Gabriel (1971) dalam bentuk:


dengan adalah akar ciri terbesar ke-1, adalah akar ciri terbesar ke-2 dan
k = 1,2….r adalah akar ciri ke-k. Apabila
mendekati nilai satu, maka dapat
dinyatakan bahwa biplot memberikan penyajian yang semakin baik tentang
informasi yang sebenarnya dari data.

6
Analisis Gerombol
Analisis gerombol menurut Johnson dan Wichern (2007) adalah suatu
teknik untuk mengelompokkan n objek pengamatan ke dalam k buah gerombol ( k
< n ) berdasarkan karakteristiknya. Rencher (2002) menyatakan analisis gerombol
merupakan teknik mencari pola dari suatu kumpulan objek dengan melakukan
pengelompokan objek ke dalam kelompok-kelompok, dengan tujuan untuk
mendapatkan kelompok yang optimal sehingga setiap kelompok atau gerombol
memiliki objek-objek yang mempunyai sifat-sifat yang lebih mirip dibandingkan
objek-objek yang berada pada kelompok atau gerombol lain. Hal ini senada
dengan yang dikemukakan oleh Jolliffe (2002), yang menyatakan bahwa analisis
gerombol bertujuan untuk membagi sekumpulan objek pengamatan ke dalam
gerombol-gerombol sedemikian rupa sehingga antar unit pengamatan dalam satu
gerombol lebih mirip dibandingkan dengan unit pengamatan dalam gerombol
yang berbeda.
Ukuran kemiripan atau ketidakmiripan antar objek pada analisis gerombol
biasanya ditunjukkan dengan menggunakan ukuran jarak (Johnson dan Wichern
2007). Konsep jarak yang biasa digunakan adalah jarak Euclid yang didefinisikan
sebagai berikut:
[∑

(

) ]

dengan:
jarak antara objek ke-i dan objek ke-j
nilai objek ke-i pada peubah ke-k
nilai objek ke-j pada peubah ke-k
banyaknya peubah yang diamati
Terdapat dua metode penggerombolan menurut Johnson dan Wichern
(2007), yaitu metode hirarki dan metode non hirarki. Metode penggerombolan
hirarki digunakan bila banyaknya gerombol yang akan dibentuk tidak diketahui
sebelumnya, sedangkan metode penggerombolan non hirarki digunakan jika
banyaknya gerombol yang akan dibentuk telah ditentukan sebelumnya.
Metode penggerombolan hirarki terdiri dari metode aglomerasi dan metode
pemecahan. Pada metode aglomerasi setiap pengamatan secara bertahap
bergabung menjadi satu gerombol sedangkan metode pemecahan setiap
pengamatan pada awalnya berada dalam satu gerombol besar kemudian secara
bertahap dipecah menjadi gerombol yang lebih kecil (Everitt et al. 2011).
Dalam metode hirarki dengan prosedur aglomerasi terdapat beberapa
metode perbaikan jarak yang dapat digunakan (Johnson dan Wichern 2007), yaitu:
1. Metode pautan tunggal (single linkage/ minimum distance or nearest
neighbor). Metode ini dimulai dengan dua objek yang memiliki jarak terdekat
dalam gerombol yang berbeda sehingga kedua objek tersebut akan
ditempatkan pada gerombol pertama, dan seterusnya.
2. Metode pautan lengkap (complete linkage/ maximum distance or farthest
neighbor). Metode ini terjadi ketika gerombol-gerombol yang terbentuk
didasarkan pada jarak terjauh antara objek dalam gerombol-gerombol tersebut.
3. Metode pautan rata-rata (average linkage/ average distance). Metode ini
didasarkan pada jarak rata-rata antar objek, pembentukan gerombol diawali
dari pasangan objek dengan jarak paling mendekati jarak rata-rata. Metode

7
{ }. Matriks jarak ini akan
dimulai dengan menghitung matriks jarak
digunakan untuk menentukan objek yang paling dekat (mirip) dengan objek
lainnya, sebagai contoh objek U dan V. Objek-objek ini digabung ke dalam
satu gerombol (UV). Kemudian jarak antara gerombol (UV) dengan
gerombol lainnya misal W dapat ditentukan dengan rumus berikut:
∑ ∑

4.

dengan
adalah jarak antara objek i dalam gerombol (UV) dan objek k
dalam gerombol W, sedangkan
adalah jumlah objek yang ada
dalam masing-masing gerombol (UV) dan W.
Metode Ward. Ward (1963) dalam Aldenderfer dan Blashfield (1984)
mengemukakan bahwa metode Ward dirancang untuk mengoptimalkan ragam
minimum dalam gerombol. Fungsi variansi ini dikenal sebagai jumlah
kuadrat sisaan atau ESS (Error Sum of Square) yang dirumuskan dengan:


̅

̅

dengan adalah nilai objek ke-i.
Pada tahap awal dari proses pembentukan gerombol, masing-masing objek
merupakan satu gerombol. Pada tahap ini nilai ESS adalah nol. Prosedur
metode Ward adalah dengan menggabungkan gerombol-gerombol yang
menghasilkan kenaikan ESS minimum.
Rencher (2002) mengungkapkan bahwa banyak penelitian menyimpulkan
bahwa diantara metode yang baik digunakan adalah metode pautan rata-rata
(average linkage), tetapi kadang-kadang suatu metode tertentu lebih cocok apabila
digunakan untuk suatu data tertentu, sehingga strategi yang tepat adalah dengan
mencoba beberapa metode untuk suatu data sampai dihasilkan gerombol yang
alami untuk data tersebut. Sementara itu, Blashfield (1980) dalam Aldenderfer
dan Blashfield (1984) menyatakan bahwa metode Ward hampir tidak digunakan
dalam ilmu biologi tetapi banyak digunakan dalam ilmu sosial.
Hasil dari metode gerombol dapat disajikan ke dalam bentuk diagram pohon
yang disebut dengan dendogram (Johnson dan Wichern 2007). Jumlah gerombol
yang dihasilkan ditentukan dari pemisahan gerombol. Pemisahan gerombol dapat
dilakukan dengan cara pemotongan pada selisih jarak penggabungan yang terbesar.

METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lanjut usia terlantar
tahun 2012 (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Data ini merupakan data sekunder yang
mencakup 33 provinsi di Indonesia. Data diperoleh dari Kemensos RI dan BPS RI
yang merupakan hasil kerjasama antara Kemensos RI dan BPS RI, yang terdapat
dalam buku Profil Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Berdasarkan Data
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2012. Objek yang digunakan dalam
penelitian adalah 33 provinsi di Indonesia dan 7 peubah yang merupakan kriteria

8
ketelantaran lansia. Peubah-peubah tersebut adalah persentase lansia telantar tidak
pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1), persentase lansia telantar makan
makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu (X2), persentase lansia
telantar makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali,
hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya (X3), persentase lansia
telantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4), persentase lansia telantar tidak
mempunyai tempat tetap untuk tidur (X5), persentase lansia telantar bila sakit
tidak diobati (X6), dan persentase lansia telantar bekerja > 35 jam seminggu (X7).

Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif, analisis biplot, dan analisis gerombol. Analisis deskriptif dilakukan
pada tahap awal dengan melakukan eksplorasi terhadap data dengan tujuan untuk
melihat gambaran umum lanjut usia terlantar di Indonesia. Selanjutnya dilakukan
analisis biplot untuk memetakan dan melihat posisi relatif provinsi-provinsi di
Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran
lansia. Tahapan akhir adalah analisis gerombol untuk mengelompokkan provinsiprovinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat
ketelantaran lansia. Metode analisis gerombol yang digunakan adalah metode
hirarki aglomerasi.
Prosedur yang dilakukan dalam analisis deskriptif adalah sebagai berikut:
1. Membuat diagram batang persentase lansia telantar di Indonesia.
2. Membuat diagram batang peubah-peubah kriteria ketelantaran lansia.
3. Membuat diagram kotak garis (boxplot) untuk masing-masing peubah.
4. Membuat matriks korelasi antara peubah.
Langkah-langkah pembuatan biplot (Jolliffe 2002) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan matriks data .
2. Membentuk matriks dengan koreksi rataan masing-masing peubah pada
matriks .
3. Menghitung matriks
.
4. Mencari akar ciri dan vektor ciri dari matriks
.
5. Menentukan matriks , , dan .
6. Menjabarkan
menjadi
.
7. Menentukan matriks dan
dengan
dan
, nilai
yang digunakan pada penelitian ini adalah
.
8. Membentuk biplot dari dua unsur pertama dari matriks dan
.
Algoritma untuk metode gerombol hirarki dengan prosedur aglomerasi
(Johnson dan Wichern 2007) adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dari pembentukan gerombol sebanyak n objek.
2. Gabungkan dua objek atau gerombol terdekat (yang mempunyai kemiripan)
ke dalam gerombol yang baru.
3. Lakukan perbaikan terhadap matrik jarak.
4. Ulangi langkah 2 dan 3 sampai semua objek berada dalam satu gerombol.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lansia Telantar di Indonesia
Jumlah lansia telantar di Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak
2.4 juta jiwa atau 13.17% dari jumlah total penduduk lansia di Indonesia.
Selainnya merupakan lansia tidak telantar sebanyak 61.24% dan lansia hampir
telantar sebanyak 25.59% (Lampiran 1). Populasi penduduk lansia telantar
tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Persentase lansia telantar seluruh
Provinsi di Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 1.
45
39.85

Persentase lansia telantar

40

36.55

35

32.65

30
25

Indonesia: 13.17

20
15
10

8.14

7.4

8.89

5
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

0

Provinsi

Gambar 1 Diagram batang persentase lansia telantar seluruh provinsi
di Indonesia tahun 2012
Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 persentase lansia
telantar seluruh provinsi di Indonesia memiliki angka yang bervariasi, dari angka
terendah sampai tertinggi. Provinsi yang memiliki persentase lansia telantar
terendah adalah Provinsi Bali sebesar 7.4%, diikuti oleh Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dan Provinsi Kalimantan Timur yaitu masing-masing sebesar
8.14% dan 8.89%. Sedangkan, provinsi yang memiliki persentase lansia telantar
tertinggi adalah Provinsi Papua sebesar 39.85%, diikuti oleh Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yaitu masing-masing sebesar 36.55%
dan 32.65%. Dari Gambar 1 juga terlihat bahwa persentase lansia telantar yang
tinggi sebagian besar terdapat di wilayah Indonesia bagian timur, sebaliknya

10
persentase lansia telantar yang rendah sebagian besar terdapat di wilayah
Indonesia bagian barat. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan penduduk
lansia belum merata di seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi lansia yang tinggal
di wilayah Indonesia bagian barat lebih baik daripada di bagian timur.
Pengkategorian lansia ke dalam kelompok lansia tidak telantar, hampir
telantar dan telantar didasarkan pada kesepakatan yang telah ditetapkan oleh
Kemensos RI dan BPS RI. Dalam kesepakatan ini ditetapkan 7 kriteria
ketelantaran lansia. Dari 7 kriteria ketelantaran lansia tidak seluruhnya ada pada
seorang lansia telantar. Lansia dikatakan telantar jika memenuhi lebih dari dua
kriteria ketelantaran lansia. Persentase lansia telantar yang memenuhi kriteria
ketelantaran lansia di Indonesia tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 2.
100
90

88.82

Persentase lansia telantar

80
70
60

55

54.45
47.09

46.25

50
40

33.79

30
20
10.56
10
0
X1

X2

X3

X4

X5

X6

X7

Kriteria ketelantaran lansia

Gambar 2 Diagram batang persentase lansia telantar yang memenuhi
kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
Dari 2.4 juta jiwa lansia telantar di Indonesia pada tahun 2012, sebanyak
88.82% tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1), terlihat bahwa peubah X1
ini merupakan kriteria yang paling banyak dialami oleh lansia telantar di
Indonesia. Selanjutnya berturut-turut kriteria yang banyak dialami oleh lansia
telantar di Indonesia adalah makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam
seminggu (X2) sebesar 55% dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4) sebesar
54.45%. Sedangkan kriteria yang paling sedikit dialami oleh lansia telantar di
Indonesia adalah bila sakit tidak diobati (X6). Persentase lansia telantar yang bila
sakit tidak diobati adalah sebesar 10.56% (Gambar 2).

11
Deskripsi tentang masing-masing peubah (kriteria ketelantaran lansia X1,
X2, X3, X4, X5, X6, dan X7) dapat diketahui dengan menggunakan diagram
kotak garis seperti yang terlihat pada Gambar 3.
110
100

95.92

Papua

Persentase lansia telantar

90
80

Q3 = 93.56
Q2 = 89.94
Q1 = 83.18
IQRange = 10.38
Whiskers : 72.96

74.71

Papua Barat

97.74

70
58.72

Q3 = 66.22

60
56.56

Q1 = 44.50
IQRange = 21.72

50

Whiskers : 16.78
92.05

40

Q3 = 61.96
Q2 = 54.29

Q3 = 60.64

Q2 = 59.19

DKI Jakarta

Q3 = 58.80

Q2 = 49.86
Q1 = 44.51
IQRange = 16.14

Q2 = 42.03
Q1 = 31,59
IQRange = 27.20

Whiskers : 38.02
74.73

Whiskers : 14.45
79.2

Maluku

Q1 = 40.20
IQRange = 21.77
Whiskers : 25.83

Q3 = 39.2
Q2 = 35.46
Q1 = 29.06
IQRange = 10.14
Whiskers : 19.24

76.16

30

47.38

20

15.68

Q3 = 13.48
Q2 = 8.93
Q1 = 5.38
IQRange = 8.1
Whiskers : 2.91

Papua
Papua Barat
Maluku
12.72

14.40

10
0

18.85

X1

X2

X3
X4
X5
Kriteria ketelantaran lansia

X6

X7

Gambar 3 Diagram kotak garis kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
Dari Gambar 3 diperoleh gambaran mengenai bentuk distribusi, ukuran
tendensi sentral (ukuran pemusatan) dan ukuran penyebaran (keragaman) data
kriteria ketelantaran lansia. Terlihat bahwa hampir semua peubah yang menjadi
indikator ketelantaran lansia memiliki sebaran data yang cenderung tidak simetris.
Peubah X1, X2 dan X4 memiliki pola sebaran negatif, distribusi data pada
peubah-peubah ini cenderung menjulur ke arah kiri atau dengan kata lain data
pada peubah-peubah ini relatif terkumpul pada nilai-nilai yang rendah. Sedangkan
peubah X3, X5, X6 dan X7 memiliki pola sebaran positif, distribusi data pada
peubah-peubah ini cenderung menjulur ke arah kanan atau dengan kata lain data
pada peubah-peubah ini relatif terkumpul pada nilai-nilai yang tinggi.
Keragaman data untuk setiap peubah dapat dilihat dari panjang/ tinggi kotak
pada diagram kotak garis. Dari Gambar 3 diketahui bahwa peubah X2, X3, X4
dan X5 memiliki ragam yang besar sedangkan peubah X1, X6 dan X7 memiliki
ragam yang kecil. Peubah dengan ragam terbesar adalah X3 dan peubah dengan
ragam terkecil adalah X6.
Hubungan antar peubah tidak dapat terlihat dari diagram kotak garis pada
Gambar 3, oleh karena itu deskripsi mengenai hubungan antar peubah dapat
ditunjukkan dengan menggunakan korelasi Pearson. Tabel 1 menunjukkan
besarnya koefisien korelasi antara masing-masing peubah.

12
Tabel 1 Matriks korelasi Pearson kriteria ketelantaran lansia
Peubah
X2
X3
X4
X5
X6
X7

X1
-0.512*
-0.098
0.225
-0.230
0.235
-0.135

X2

X3

X4

X5

X6

-0.258
-0.335
-0.111
-0.179
0.097

0.103
-0.099
-0.147
-0.325

-0.588*
0.133
-0.614*

-0.205
0.290

-0.243

*P-value < 0.05
Dari Tabel 1 terlihat bahwa pasangan peubah yang memiliki hubungan/
korelasi linier yang signifikan adalah X1 dengan X2; X4 dengan X5; dan X4
dengan X7 pada tingkat signifikansi 5%. Besarnya korelasi antara peubah-peubah
tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi, nilai koefisien korelasi antara
X1 dengan X2; X4 dengan X5; dan X4 dengan X7 berturut-turut adalah -0.512,
-0.588 dan -0.614. Dari nilai-nilai ini terlihat bahwa korelasi terbesar antara
peubah-peubah kriteria ketelantaran lansia adalah antara peubah X4 dengan X7
dengan arah korelasi negatif (berlawanan arah).

Analisis Biplot
Hasil analisis biplot provinsi terhadap kriteria ketelantaran lansia dapat
dilihat pada Gambar 4. Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh biplot
sebesar 63.4% yang terdiri dari 38.1% pada dimensi pertama dan 25.3% pada
dimensi kedua.
Keragaman peubah digambarkan oleh panjang vektor untuk masing-masing
peubah. Dari Gambar 5 terlihat bahwa peubah yang memiliki vektor yang panjang
yaitu X2, X3, X4 dan X5, ini berarti bahwa peubah-peubah ini mempunyai ragam
yang cukup besar. Sedangkan peubah yang mempunyai ragam yang relatif kecil
adalah peubah X1, X6 dan X7 yang ditunjukkan oleh vektor pendek. Hasil ini
sesuai dengan yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya dengan menggunakan
diagram kotak garis pada Gambar 3, kecuali peubah X4. Pada Gambar 4 terlihat
bahwa peubah X4 merupakan peubah dengan keragaman terbesar, tetapi hal ini
tidak ditunjukkan oleh Gambar 3. Hal ini dapat terjadi karena peubah X4 memiliki
beberapa nilai yang merupakan pencilan sehingga berpengaruh terhadap tampilan
biplot yang dihasilkan.
Besarnya keragaman untuk setiap peubah ditunjukkan oleh nilai-nilai
simpangan baku masing-masing peubah seperti yang terlihat pada Tabel 2. Dari
Tabel 2 terlihat bahwa peubah X3 merupakan peubah dengan keragaman terbesar,
hasil ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Sedangkan peubah
dengan keragaman terkecil adalah peubah X6, hasil ini sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh Gambar 3 dan Gambar 4. Sementara itu, untuk peubah-peubah
lainnya yaitu X1, X2, X5, dan X7 nilai simpangan bakunyanya seperti yang tersaji
pada Tabel 2 juga menunjukkan kesesuaian dengan hasil pada Gambar 3 dan
Gambar 4.

13

7
X3

6

X5

5
Papua

4

NTT

3
Maluku

2

Bali

Sumbar
Sulbar
Sumsel
SulutJambi

X7

1

Kalbar

PapuaBar

0

Kalteng

-1
Kaltim

Babel
Sultra

Bengkulu
Sulteng
X1
Lampung
Aceh

Sulsel Jabar
X6
GorontalRiau
DIY

Jatim
Jateng
Banten
Kalsel
Kepri

-2

Malut

DKI

-3
-4

NTB

Sumut

X4

X2

-5
-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

Dimension 1 (38.1%)

Gambar 4 Biplot kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
Keterangan Gambar 4:
X1: persentase lansia telantar tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD
X2: persentase lansia telantar makan makanan pokok kurang dari 14 kali
dalam seminggu
X3: persentase lansia telantar makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau
hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya
X4: persentase lansia telantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel
X5: persentase lansia telantar tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur
X6: persentase lansia telantar bila sakit tidak diobati
X7: persentase lansia telantar bekerja > 35 jam seminggu

Peubah
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7

Tabel 2 Simpangan baku peubah
Nilai minimum
Simpangan baku
Nilai maksimum
56.56
8.83
97.74
16.78
15.62
92.05
14.45
17.16
79.20
12.72
15.32
74.73
25.83
15.03
95.92
2.91
4.88
18.85
19.24
10.68
74.71

14
Hubungan antara peubah dapat dilihat dari besar sudut dan arah yang
terbentuk antara dua vektor peubah. Jika antara dua vektor peubah membentuk
sudut yang sempit atau sudut lancip dan memiliki arah yang sama maka kedua
peubah memiliki korelasi positif dengan nilai korelasi yang besar. Sedangkan jika
antara dua vektor peubah membentuk sudut yang lebar atau sudut tumpul dan
memiliki arah yang berlawanan maka kedua peubah memiliki korelasi negatif
dengan nilai korelasi yang besar. Hasil biplot dari Gambar 4 yang berkenaan
dengan hubungan atau korelasi antara peubah menunjukkan kesesuaian dengan
matriks korelasi Pearson pada Tabel 1. Berdasarkan nilai korelasi dari Tabel 1
terlihat bahwa pasangan peubah X1 dan X2, X4 dan X5, serta X4 dan X7
menunjukkan nilai yang signifikan dan berkorelasi negatif. Hal yang sama
ditunjukkan oleh hasil biplot pada Gambar 4, terlihat bahwa antara peubah X1 dan
X2, X4 dan X5, serta X4 dan X7 membentuk sudut yang lebar atau sudut tumpul
dan memiliki arah yang berlawanan yang berarti kedua peubah memiliki korelasi
negatif dengan nilai korelasi yang besar.
Kedekatan jarak antar objek (provinsi) dan posisi relatif provinsi-provinsi
terhadap peubah-peubah pada Gambar 4 menunjukkan kemiripan kriteria lansia
telantar yang ada di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu posisi objek terhadap
vektor peubah menunjukkan kecenderungan objek terhadap peubah. Jika objek
terletak searah dengan arah vektor peubah, maka objek terse