Population Genetic Structure of Malalugis Fish (Decapterus macarellus) in The Waters Around The Island of Sulawesi Based on Mt DNA Marker

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Struktur Genetika Populasi
Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi
Berdasarkan Mt-DNA Marker adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Achmad Zamroni
NIM C551090151

i

ACHMAD ZAMRONI.
Population Genetic Structure of Malalugis Fish
(Decapterus macarellus) in The Waters Around The Island of Sulawesi Based on
Mt-DNA Marker.
Under direction of NEVIATY P. ZAMANI and ESTU
NUGROHO.

Studies on genetic diversity of Malalugis (Decapterus macarellus) has
been undertaken around Sulawesi to obtain population genetic structure of the
study area. The study was based on RFLP analysis of mitochondrial genome
DNA extracted from fish tissue (meat, fins). Fish samples collected from several
populations of small-scale fisheries captured in several locations around
Sulawesi. The results showed that the genetic diversity obtained by including low,
ie between 0 to 0.3698. Provided two major groups in the population structure
Malalugis fish in the waters around Sulawesi Island, namely: the first group is
represented by a population of Makassar Strait,Bone Bay, Flores Sea, Banda
Sea, Tolo Bay, Molucca Sea and Tomini Bay and the second group is
represented by the Celebes Sea population. The population of the Bone Bay,
Flores Sea, Banda Sea, Tolo Bay and Molucca Sea has a very close kinship, so
that probably originated from the same stock. In the population there Tomini Bay
locals, because there is little difference with adjacent populations (Maluku Sea
and Banda Sea).

Keywords: population genetic, Decapterus macarellus, mt-DNA, RFLP

iii


ACHMAD ZAMRONI! Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus
macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan Mt-DNA Marker.
Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan ESTU NUGROHO.
Ikan Malalugis merupakan ikan pelagis yang bersifat oseanik dan
tereksploitasi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur
genetika populasi ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di perairan sekitar
pulau Sulawesi yang meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, Teluk Tolo, Teluk Tomini, Laut Banda, dan Laut Maluku. Informasi yang
diperoleh berupa struktur populasi/unit stok
ikan Malalugis berdasarkan
perbedaan struktur genetika populasi. Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi,
Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku
dan Teluk Tomini. Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan Maret 2010 –
Oktober 2011. Analisis sampel dilaksanakan di laboratorium Genetika, Balai
Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta. Analisis untuk mendapatkan
data polimorfisme fragmen dan situs restriksi dilaksanakan dengan metode RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism) dengan menggunakan 6 jenis
enzim restriksi (restriction endonuclease). Dalam amplifikasi digunakan 2
macam ‘primer’, yaitu primer HN20 dan LN20; sedang enzim restriksi yang
dipakai 6 jenis, yaitu Mbo I, Alu I, Hind III, Taq I, Rsa I dan Xba I. Untuk analisis

data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak TFPGA (Tools For
Population Genetic Analyses).
Hasil penelitian menunjukkan dari enam enzim restriksi (Alu I, Hind III,
Mbo I, Rsa I, Taq I dan Xba I) yang digunakan untuk memotong sekuens mtDNA
ikan malalugis, semuanya dapat memberikan situs pemotongan. Tipe-tipe
haplotipe yang diperoleh dari hasil restriksi dapat teridentifikasi 6 jenis alel atau
composite haplotype, yaitu AAAAAA, AAAABA, AAAAAB, BAABAC, BABCAC
dan BAABCC. Tipe komposit haplotipe AAAAAA terdapat pada semua populasi,
hal ini mengindikasikan bahwa ikan malalugis yang mempunyai tipe komposit
haplotipe AAAAAA bersifat lebih adaptif. Nilai keragaman haplotipe (haplotype
diversity) ikan malalugis yang diperoleh berkisar antara 0 – 0,3698, dengan nilai
terendah (0) pada populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dan
Laut Maluku. Nilai tertinggi keragaman haplotipe ikan Malalugis pada penelitian
ini terdapat pada populasi Laut Sulawesi, yaitu sebesar 0,3698. Tingginya nilai
keragaman haplotipe diduga disebabkan oleh adanya pengaruh dari populasi
yang berasal dari Samudera Pasifik. Berdasarkan analisis berpasangan Fst
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan genetika yang cukup signifikan antara
populasi Laut Sulawesi dengan ketujuh populasi lainnya. Jarak genetika terdekat
adalah antara Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dengan Laut
Maluku (0,0000). Hal ini mengindikasikan bahwa kelima populasi tersebut

berasal dari asal atau stok populasi yang sama.
Berdasarkan dendrogram hubungan kekerabatan dari kedelapan populasi
ikan malalugis dapat dipisahkan menjadi dua group populasi yang berasal dari
dua garis keturunan mtDNA, yaitu "#$%& &'#()*) (clade 1) terdiri dari populasi
Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku
dan Teluk Tomini; sedangkan "#$%& +' ,%) (clade 2) terdiri dari populasi Laut
Sulawesi. Diduga populasi group pertama berasal atau terpengaruh dari
populasi Samudera Hindia, sedangkan populasi group kedua berasal atau
terpengaruh dari populasi Samudera Pasifik. Dalam populasi group pertama

v

terbagi menjadi dua sub populasi, yaitu sub populasi Selat Makassar dengan sub
populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan
Teluk Tomini. Populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut
Maluku dan Teluk Tomini berasal dari satu unit stok (mempunyai stok yang
sama). Hal ini terjadi karena kelima populasi tersebut diduga merupakan jalur
migrasi dari ikan Malalugis. Teluk Tomini sedikit berbeda dengan lima populasi
lainnya (Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dan Laut Maluku),
sedikit perbedaan tersebut diduga di perairan Teluk Tomini terdapat populasi

ikan malalugis yang bersifat lokal.
Kata kunci: genetika populasi, Decapterus macarellus, mt-DNA, RFLP

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

vii

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan


ix

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA.

Judul Penelitian

: Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus
macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan
Mt-DNA Marker

Nama

: Achmad Zamroni

NRP

: C551090151


Program Studi

: Ilmu Kelautan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 13 Januari 2012

Tanggal Lulus:
xi

xii

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Al-Khaliq Azza wa Jalla
yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan hasil penelitian yang berjudul “ (#%+(%#
$&%/)0. +)%/)1'0.

)/)/%".0

'#,)0)#+)-


,.
(

'#).#)-

'-'(.+)

'+.()#

%/)%

)#+'#”. Penulisan hasil penelitian ini sebagai

salah satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Kelautan, Program Magister Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Ibu
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak
Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas
bimbingan, motivasi, diskusi dan arahannya serta ilmu pengetahuan yang telah

banyak diberikan kepada kami. Tidak lupa kepada Bapak Drs. Suwarso, M.Si.
dan teman-teman peneliti BRPL dari Kelti Pelagis Kecil atas bantuannya dalam
pengumpulan data/sampel. Serta kepada Istri dan anak tercinta, atas dorongan
semangat, kesabaran serta doa yang tulus.
Penulisan hasil penelitian ini telah kami upayakan dengan sebaik
mungkin, akan tetapi kemungkinan masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kami mengharap masukan dan saran yang membangun demi kesempurnaan
serta tambahan pengetahuan bagi kami. Atas semua masukan dan sarannya
kami ucapkan banyak terimakasih.

Bogor, Januari 2012

Achmad Zamroni

xiii

xiv

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 1 September 1979 sebagai
putra pertama dari pasangan H. Imam Hanafi dan Hj. Siti Maisyaroh. Penulis

lulus dari SMU Negeri 1 Sooko, Mojokerto pada tahun 1998. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Teknologi Sepuluh November, lulus pada tahun 2003. Pada tahun
2009 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Sekolah
Pascasarjana IPB dengan memilih mayor Ilmu Kelautan. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia.
Pada tahun 2003 penulis pernah bekerja menjadi Laboran pada SMP
Negeri 19 Surabaya.

Kemudian pada tahun yang sama sampai dengan

sekarang, penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Perikanan Laut,
Muara Baru, Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis
adalah penelitian mengenai perikanan laut pelagis kecil. Penulis pernah terlibat
dalam kegiatan penelitian perikanan kerjasama dengan

2'

$%(2')0(

.02'#.'0 '3'/$&*'-( '-('# (SEAFDEC) pada tahun 2004 – 2005.

xv

0.)-

xvi

HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... ii
ABSTRACT .................................................................................................. iii
RINGKASAN ................................................................................................ v
HALAMAN HAK CIPTA ................................................................................ vii
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ix
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... xi
PRAKATA .................................................................................................... xiii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ xv
DAFTAR ISI ................................................................................................. xvii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xxiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1.

Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2.

Perumusan Masalah ................................................................... 4

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5

1.4.

Hipotesis ..................................................................................... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7
2.1.

Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) ..................................... 7

2.2.

Pulau Sulawesi ........................................................................... 9

2.3.

Struktur Genetika Populasi ......................................................... 13

2.4.

Populasi Dalam Arti Genetika ..................................................... 15

2.5.

Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg ..................................... 19

2.6.

DNA mitochondria (mtDNA) ........................................................ 22

2.7.

Analisis DNA ............................................................................... 24

2.8.

Polymerase Chain Reaction (PCR) ............................................. 25

2.9.

Enzim Restriksi ........................................................................... 27

3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 29
3.1.

Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 29

3.2.

Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... 30

3.3.

Pengambilan Sampel .................................................................. 31

xvii

xviii

3.4.

Analisis Sampel .......................................................................... 31

3.5.

Interpretasi dan Analisis Data ..................................................... 34

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 35
4.1.

Keragaman Haplotipe Ikan Malalugis .......................................... 35

4.2.

Analisis Berpasangan Fst ........................................................... 39

4.3.

Jarak Genetika ............................................................................ 40

4.4.

Struktur Genetika Populasi dan Hubungan Kekerabatan
(Filogenetik) ................................................................................ 42

5. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 51
6. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53
7. LAMPIRAN ............................................................................................. 57

xviii

1. Pembentukan zigot pada kawin acak ........................................................ 20
2. Frekuensi haplotipe ikan malalugis (D. macarellus) hasil
restriksi dengan menggunakan enzim Alu I, Hind III, Mbo I,
Rsa I, Taq I dan Xba I ............................................................................... 36
3. Keragaman genetik (diversitas haplotype, h) sekuen mtDNA
D-loop dari tujuh populasi ikan layang biru (D. macarellus)
hasil restriksi oleh enzim restriksi Alu I, Hind III, Mbo I
(Nde II), Rsa I, Taq I dan Xba I .................................................................. 38
4. Hasil analisis antar populais ikan malalugis berdasarkan
metode jarak berpasangan (Fst) ............................................................... 40
5. Jarak genetika Nei antar populasi ikan malalugis ...................................... 41

xix

xx

xx

1. Kerangka pemikiran penelitian genetika populasi
ikan malalugis ........................................................................................... 5
2. Ikan malalugis ........................................................................................... 8
3. Bentuk maxilla dan supramaxilla A) ikan malalugis;
B) ikan layang deles (FAO) ....................................................................... 9
4. Peta Wilayah Wallacea ............................................................................. 10
5. Thermohaline Circulation .......................................................................... 12
6. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di
kawasan Segara Anakan, Cilacap ............................................................. 17
7. Peta lokasi penelitian dan lokasi sampling ................................................ 29
8. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtDNA D-loop
ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Mbo I
dan Rsa I ................................................................................................. 35
9. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) dari
8 populasi ikan malalugis .......................................................................... 43
10. Pola arus air permukaan laut pada musim barat,
a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) ................................................. 44
11. Pola arus air permukaan laut pada musim timur,
a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) ................................................. 44
12. Kesuburan perairan laut rata-rata musiman tahun
2004 – 2006 ............................................................................................... 47
13. Pola arus permukaan laut di Teluk Tomini pada saat
musim timur .............................................................................................. 48
14. Struktur genetika populasi ikan malalugis di perairan sekitar
Pulau Sulawesi .......................................................................................... 49
15. Pola arus diperairan sekitar Sulawesi dan Maluku .................................... 50

xxi

xxii

xxii

1. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtDNA D-loop
ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Alu I dan Hind III .................... 56
2. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtDNA D-loop
ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Mbo I dan Rsa I ..................... 57
3. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtDNA D-loop
ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Taq I dan Xba I ...................... 58
4. Hasil penghitungan keragaman genetika dengan TFPGA ......................... 59
5. Hasil penghitungan Analisis Berpasangan Fst .......................................... 70
6. Hasil penghitungan Jarak Genetika dengan TFPGA ................................. 79

xxiii

xxiv

xxiv

1

!
! !

)()#

'/)+)-"

Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus
macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di
perairan Indonesia.

Habitatnya terutama di perairan laut dalam (oseanik),

membentuk gerombolan (schooling) yang besar di lapisan permukaan dan dalam
siklus hidupnya memiliki kebiasaan sebagai ikan peruaya (migrasi).

Daerah

penyebarannya meliputi perairan Samudera Hindia (lepas pantai barat Sumatra
Utara, perairan Mentawai dan selatan Jawa) (Hariati, 2005), juga di perairan
Indonesia bagian timur (Suwarso, et al., 2000). Pola distribusi dan sifat migrasi
dari ikan layang biru tersebut diduga terdapat penstrukturan genetika dari
populasi ikan. Borsa (2003) menerangkan bahwa kemampuan persebaran yang
luas dari suatu organisme tidak berarti terjadi homogenitas secara geografis.
Menurut Suwarso et al. (1998) ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan bersifat exportable (untuk ikan umpan pada perikanan Tuna long-line)
serta dikonsumsi secara lokal.

Eksploitasi terhadap ikan layang biru telah

berlangsung sejak lama, baik oleh perikanan industri (legal maupun illegal)
maupun oleh perikanan yang bersifat skala kecil.

Peningkatan eksploitasi

diperkirakan terus berlangsung di berbagai perairan akibat permintaan pasar
yang semakin tinggi, sehingga di beberapa wilayah terlihat tendensi penurunan
hasil tangkapan dan ukuran ikan.

Tekanan terhadap lingkungan berupa

eksploitasi yang semakin meningkat menyebabkan terjadi penurunan kelimpahan
stok dan rata-rata ukuran ikan; seleksi genetika yang merugikan terhadap
fekunditas yang potensial; mengurangi rata-rata ukuran memijah; mengubah
rasio jenis kelamin dan keseimbangan interspesifik; serta hilangnya diversitas
genetika (Wilson & Clarke, 1996).

1

2

Pulau Sulawesi berada di Indonesia bagian tengah yang dibatasi oleh
beberapa perairan yaitu Laut Sulawesi (utara), Selat Makassar (barat), Laut
Flores (selatan), Laut Banda dan Maluku (timur). Perairan tersebut termasuk
dalam kawasan Segitiga Karang/Coral Triangle yang mempunyai biodiversitas
spesies laut yang sangat tinggi (Allen, 2000). Kawasan Segitiga Karang juga
merupakan nursery ground dan rute migrasi bagi ikan dan mamalia laut. Arus
Lintas Indonesia (Arlindo) atau disebut juga dengan Indonesian Through Flow
oleh para ahli oseanografi merupakan arus massa air antar samudera yang
melewati Indonesia. Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera
Hindia melalui perairan di sekitar pulau Sulawesi. Menurut Hasanudin (1998),
Arlindo secara dominan masuk dari Laut Sulawesi sebelah selatan Mindanao,
kemudian menuju ke Selat Makassar. Ujung dari jalur ini kemudian bercabang
menjadi dua, sebagian langsung menuju Samudera Hindia melalui Selat
Lombok, dan sebagian lagi berbelok ke timur melewati Laut Flores menuju Laut
Banda, kemudian menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Laut Timor.
Hasanudin (1998) menerangkan lebih lanjut bahwa jalur lain (kedua) dari Arlindo
adalah masuk dari Laut Maluku kemudian menuju Laut Seram dan mengalir ke
laut Banda melalui selat Manipa.

Pada saat terjadi fenomena El-Nino,

pergerakan sebagian dari massa air tadi berbalik arah dari wilayah perairan
Indonesia menuju Samudra Pasifik.

Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau

Sulawesi diduga di masa lampau, pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan
manapun (Hall 2001). Berbeda halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan
Kalimantan yang pernah bersatu dengan daratan Asia (Sundaland), serta Papua
yang pernah bersatu dengan daratan Australia (Sahulland) sebelum kala
Pleistosen (Pleistocene) berakhir (Shekelle dan Leksono, 2004).
Gaylord dan Gaines (2000) menjelaskan bahwa arus laut dapat
mempengaruhi distribusi populasi, perubahan atau perbedaan karakteristik air

3

yang dapat mempengaruhi fisiologi organisme untuk selanjutnya mempengaruhi
struktur genetikanya. Rute pertukaran gen antara organisme tropis di Samudera
Hindia dengan Samudera Pasifik terus berlangsung hingga saat ini. Pertukaran
tersebut secara garis besar melalui perantara Arlindo (Gordon dan Fine, 1996).
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa dalam skala geografis variasi kondisi
lingkungan diduga dapat menimbulkan variabilitas genetika pada ikan laut
(Saunders et. al., 1986; Renno et. al., 1990; Effenberger dan Suchentrunk,
1999). Borsa (2003) menjelaskan bahwa perubahan tinggi muka laut pada kala
Pleistosen mempengaruhi struktur genetika.
Analisis struktur populasi untuk spesies laut dapat dilakukan dengan
beberapa metode seperti: morfometrik, rata-rata pertumbuhan, komposisi umur,
analisis fenotip dan genetika.

Setiap metode mempunyai kelebihan dan

kekurangan, namun secara umum analisis terhadap gen memiliki tingkat akurasi
yang tinggi.

Menurut Utter et al. (1987) marka genetika telah disepakati

merupakan alat yang “berharga” dalam mempelajari struktur populasi, terutama
pada ikan laut serta dapat dikombinasikan dengan data fenotip dan ekologi
(Nesbo et. al., 2000).

Marka molekular genetika seperti allozymes, DNA

mitokondria (mtDNA), dan microsatellite secara umum digunakan untuk
mendeteksi diversitas genetika.

Penelitian sebelumnya mengenai struktur

populasi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dengan metode RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism) mtDNA menunjukkan bahwa
populasi Laut Banda berbeda dengan populasi dari Laut Flores, Selat Makassar,
Laut Jawa dan Selat Malaka (Suwarso et. al., 2009).

Struktur populasi ikan

layang biasa (Decapterus russelli) berbeda dengan D. macrosoma, pada D.
ruselli menujukkan bahwa populasi dari Laut Jawa dan Laut Flores berbeda
dengan populasi Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda dan perairan barat
Fak-fak (Suwarso et. al., 2009).

4

Informasi mengenai struktur populasi ikan layang biru berbasis genetika
di perairan sekitar pulau Sulawesi belum tersedia. Struktur genetika populasi
sebagai unit biologi sangat penting dipahami untuk menentukan keputusan
manajemen perikanan yang tepat.
berdasarkan

karakter

polimorfisme

Struktur genetika populasi dipelajari
yang

terdapat

dalam

genom

DNA

mitochondria (mtDNA) melalui pemotongan (restriksi) sekuen teramplifikasi
dengan menggunakan ezim restriksi. Dalam penelitian ini akan dipelajari variasi
genetika populasi ikan malalugis (D. macarellus) di perairan sekitar pulau
Sulawesi yang selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai landasan
yang kuat dalam pengelolaan stok ikan.

! !

'#%*%0)-

)0)/)2

Nilai ekonomis yang tinggi pada ikan malalugis menyebabkan eksploitasi
ikan tersebut meningkat. Peningkatan eksploitasi dapat berpengaruh terhadap
kelimpahan stok, rata-rata ukuran ikan dan struktur genetika. Disamping itu
biodiversitas yang tinggi serta kondisi oseanografi berupa pola arus laut dan
variasi tinggi muka air laut di kawasan perairan di pulau Sulawesi dapat
mempengaruhi struktur genetika populasi dari suatu organisme.
Oleh sebab itu informasi mengenai struktur genetika populasi ikan
malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi dan pengaruhnya oleh kondisi
oseanografi, sejarah geologi serta eksploitasi yang tinggi perlu dipahami.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara ringkas dapat disusun kerangka
pemikiran dari penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 1.

5

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian genetika populasi ikan malalugis.

!4!

%5%)- ,)-

)-6))( '-'/.(.)-

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur genetika
populasi ikan malalugis (Decapterus macarellus) di perairan sekitar pulau
Sulawesi yang meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores,
Teluk Tolo, Teluk Tomini, Laut Banda, dan Laut Maluku. Informasi yang
diperoleh berupa struktur populasi/unit stok
perbedaan struktur genetika populasi.

ikan malalugis berdasarkan

6

!7!

.&$('0.0
Berdasarkan sifat biologi ikan malalugis dan kondisi geografis serta

oseanografi perairan di sekitar pulau Sulawesi, penelitian dilakukan dengan
landasan hipotesis sebagai berikut:
a) Struktur populasi ikan malalugis di Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut
Maluku dan Teluk Tomini cenderung mempunyai persamaan.
b) Struktur populasi ikan malalugis di Teluk Tolo, Laut Banda, Teluk Bone dan
Laut Flores cenderung berbeda dengan keempat populasi yang lain, karena
pengaruh dari Laut Arafura.
c) Struktur populasi ikan malalugis di Laut Banda dan Laut Flores mempunyai
kekerabatan yang dekat.

7

!
! ! +)-

)/)/%".0

Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu:
layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (D. macrosoma), layang ekor
merah (D. kurroides dan D. tabl) dan malalugis/layang biru (D. macarellus).
Spesies ikan malalugis umumnya tertangkap di perairan laut dalam (deep water
species) dengan kadar garam paling rendah 34 per mil (Hariati, 2005). Secara
morfologis ikan malalugis hampir sama dengan ikan layang lain, sedikit
perbedaan dengan spesies layang lain adalah pada warna yang lebih biru
(gelap) (Gambar 2). Klasifikasi ikan malalugis adalah sebagai berikut:
$*).-8 Eukaryota - Whittaker & Margulis,1978 - eukaryotes
.-",$*8 Animalia - C. Linnaeus, 1758 - animals
%9+.-",$*8 Bilateria - (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983
#)-:28 Deuterostomia - Grobben, 1908
-6#)+.-",$*8 Chordonia - (Haeckel, 1874) Cavalier-Smith, 1998
2;/%*8 Chordata - Bateson, 1885 - Chordates
%9&2;/%*8 Vertebrata - Cuvier, 1812 - Vertebrates
-6#)&2;/%*8 Gnathostomata - auct. - Jawed Vertebrates
%&'#:/)008 Osteichthyes - Huxley, 1880 - Bony Fishes
/)008 Actinopterygii - Huxley, 1880 - Ray-Finned Fishes
%9:/)008 Actinopterygii - Ray-Finned Fishes
-6#):/)008 Actinopteri

7

8

$2$#(8 Clupeocephala
%&'#$#,'#8 Acanthopterygii
#,'#8 Perciformes
%9$#,'#8 Percoidei
)*./;8 Carangidae - Jacks and pompanos
'-%08 Decapterus - Berry, 1968
&':.6.: -)*'8 macarellus - (Cuvier, 1833)
:.'-(.6.: -)*'8 - Decapterus macarellus (Cuvier, 1833)
Jenis ikan layang tersebut tertangkap di perairan dengan kedalaman di
atas 100 m, antara lain di perairan Selat Malaka bagian utara, Samudera Hindia,
Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Laut Banda. Ikan malalugis dan layang deles
yang berukuran relatif besar (± 25 cm) sukar dibedakan, karena keduanya
mempunyai bentuk dan penampang badan yang hampir sama. Salah satu ciri
yang membedakan adalah ikan malalugis tidak bergigi sedangkan layang deles
mempunyai gigi-gigi kecil pada rahang bawah (Tarp dan Kailola, 1985). Menurut
FAO untuk membedakan antara malalugis dan layang deles bisa dilihat dari
bentuk maxilla dan supramaxilla (Gambar 3).

Gambar 2. Ikan malalugis.

9

Gambar 3. Bentuk maxilla dan supramaxilla A) ikan malalugis; B) ikan layang
deles (FAO).
Analisis contoh isi lambung ikan malalugis di perairan Teluk Tomini
diperoleh hasil bahwa makanan ikan malalugis didominasi oleh jenis-jenis
fitoplankton terutama Diatomae dan Dinoflagellata serta zooplankton dari kelas
Crustacea, Mollusca dan Copepoda (Hariati, 2005).

Sesuai dengan sifat

hidupnya yang merupakan jenis ikan pelagis, ikan malalugis utamanya
tertangkap dengan pukat cincin. Umumnya di setiap daerah penangkapan, ikan
malalugis

tertangkap

sepanjang

tahun

dengan

beberapa

puncak

hasil

tangkapan. Hasil tangkapan tertinggi di perairan Banda Aceh terjadi pada bulan
Maret – Mei dan bulan Oktober, sedangkan di perairan ZEE Selat Malaka terjadi
pada bulan Juni – Oktober. Perairan Barat Sumatera puncak hasil tangkapa ikan
malalugis terjadi pada Maret dan bulan September. Penangkapan ikan pelagis
dengan pukat cincin di perairan Teluk Tomini berlangsung sepanjang tahun dan
pada bulan Desember – Februari produksi sangat menurun.

Pada perairan

Parigi dan sekitarnya musim penangkapan berlangsung antara bulan Mei –
Oktober, sedangkan di perairan Poso antara bulan Maret – September (Hariati,
2005).
! !

%/)% %/)1'0.
2

Sulawesi memiliki luas 187 882 km dan merupakan pulau terbesar dan
terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Daerah biogeografi Wallacea meliputi
Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain yang berada di antara garis Wallace di

10

sebelah Barat dan garis Lydekker di sebelah Timur (Gambar 4). Ditinjau dari
sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karena diduga, di masa
lampau, pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall 2001).
Berbeda halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang pernah
bersatu dengan daratan Asia (Sundaland), serta Papua yang pernah bersatu
dengan daratan Australia (Sahulland) sebelum kala Pleistosen (Pleistocene)
berakhir.

Gambar 4. Peta Wilayah Wallacea. Wallacea merupakan daerah peralihan
antara daratan Sunda (Asia) dan daratan Sahul (Australia). (putih =
daratan, abu-abu tua = daratan sebelum kala Pleistosen berakhir,
abu-abu muda = lautan dalam) ( Whitten et al. 2002)
Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan
terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai
tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas yang paling tinggi adalah
dari taksa vertebrata. Mamalia misalnya, dari 127 jenis hewan menyusui yang

11

terdapat di Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik. Sebagai perbandingan,
pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di Sundaland,
hanya mempunyai 18% mamallia endemik (Whitten et al. 2002).
Menurut Myers et al. (2000) daerah Wallacea termasuk dalam 25
“hotspot” paling penting untuk konservasi. Daerah ini mempunyai 529 spesies
vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia). Spesies-spesies tersebut
mengalami ancaman yang serius, sebab hanya 15% habitat alami yang masih
tersisa. Dari habitat alami yang masih tersisa tersebut, 39,2% di antaranya
terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut
hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi, jika tersebar
sesuai dengan distribusi biodiversitas tersebut. Oleh sebab itu upaya konservasi
di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif.
Profesor John A. Katili, ahli geologi Indonesia yang merumuskan
geomorfologi Pulau Sulawesi bahwa terjadinya Sulawesi akibat tabrakan dua
pulau (Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi bagian Barat) antara 19 sampai 13
juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara lempeng benua yang
merupakan fundasi Sulawesi Timur bersama Pulau-Pulau Banggai dan Sula,
yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng Australia, dengan
Sulawesi Barat yang selempeng dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa dan
Sumatra, Sulawesi menjadi salah satu wilayah geologis paling rumit di dunia.
Perairan di sekitar Pulau Sulawesi juga mempunyai keunikan tersendiri,
karena perairan tersebut dilalui oleh Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Arlindo
merupakan aliran air hangat antar samudera yang merupakan bagian dari
Thermohaline circulation atau The Great Ocean Conveyor Belt atau The Global
Conveyor Belt (Gambar 5).

Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju

Samudera Hindia melalui perairan-perairan di sekitar Sulawesi. Dari hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa ada 3 pintu

12

masuk utama massa air dari Samudera Pasifik ke perairan Indonesia. Yang
pertama dan yang dominan adalah Selat Makassar. Massa air yang berasal dari
Pasifik Utara memasuki laut Sulawesi lewat sebelah selatan Mindanao, untuk
kemudian masuk ke jantung Perairan Indonesia lewat Selat Makassar. Di ujung
Selat Makassar, jalur ini bercabang menjadi dua, sebagian langsung menuju
Samudera Hindia melalui Selat Lombok, dan yang sebagian lagi berbelok ke
timur melewati Laut Flores menuju Laut Banda. Pintu kedua adalah melalui Laut
Maluku. Dari Laut Maluku massa air dari Pasifik Utara memasuki Laut Seram
dengan melewati Selat Lifamatola yang terletak antara Pulau Lifamatola dan
Pulau Obi. Kemudian dari Laut Seram mengalir melalui Selat Manipa ke Laut
Banda. Sedangkan pintu ketiga adalah melalui Laut Halmahera. Massa air dari
Pasifik Selatan masuk ke Laut Halmahera menuju ke Laut Seram dan Cekungan
Aru. Disini terjadi percampuran dengan massa air yang datang dari Laut Banda.

Gambar 5. Thermohaline Circulation.

13

!4!

(#%+(%#

'-'(.+) $&%/)0.

Genetika (dari

bahasa

Yunani

γέννω

atau

genno

yang

berarti

“melahirkan”) merupakan ilmu dari cabang biologi yang mempelajari berbagai
aspek yang menyangkut pewarisan sifat dan variasi sifat ada organisme maupun
suborganisme (Griffiths et al., 2000). Genetika populasi menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk melakukan salah satu dari dua hal: menggambarkan
struktur genetik populasi atau berteori pada tekanan evolusi yang bekerja pada
populasi (Gillespie, 1998). Windelspecht (2007) menerangkan bahwa seorang
ahli genetika populasi mempelajari bagaimana frekuensi dari perubahan alel
dalam suatu populasi dari waktu ke waktu, biasanya dalam menanggapi atau
merespon suatu tekanan yang selektif. Dalam hal ini, ahli genetika populasi
umumnya kurang tertarik dalam mempelajari mekanisme molekuler regulasi gen,
melainkan menggunakan matematika dan statistik untuk menggambarkan
perubahan populasi.
Struktur populasi, sekelompok individu atau sub kelompok dari suatu
spesies yang memiliki kesamaan struktur atau pola genetika (genetic pool),
dapat dipelajari berdasarkan frekuensi genetika dari setiap gen yang terlibat
dalam ekspresi fenotipik. Pada tingkat molekuler (DNA) ikan laut menunjukkan
variabilitas genetik walaupun dalam derajat yang lebih rendah disbanding ikan air
tawar baik pada level supraspesifik maupun taksa kelompok individu (populasi
dan sub-populasi) dimana pada tingkat protein (studi allozyme) tidak terlihat.
Menurut Graves et al. in Saunders et al. (1986), terdapat variabilitas genetika
yang disebabkan oleh aliran gen (gene flow) inter-oseanik serta menimbulkan
diferensiasi genetika.
Berdasarkan sifat polimorfisme DNA mitochondria, variabilitas genetika
populasi ditunjukkan oleh dua ukuran divergensi, yaitu divergensi di dalam

14

populasi (variabilitas intrapopulasi) dan variabilitas antar populasi (divergensi
interpopulasi). Variabilitas intrapopulasi dinyatakan dengan parameter diversitas
haplotipe atau diversitas nucleon (h), banyaknya neukleomorf (unit polimorfisme
pada nucleon yang terdapat dalam bentuk pola situs restriksi), jumlah rata-rata
perbedaan situs restriksi, jumlah segregasi situs restriksi atau jumlah situs
restriksi polimorfis dalam sejumlah sampel nukleon. Nukleon merupakan suatu
segmen DNA, identik dengan gen dalam DNA ini (nuclear DNA), yang dicirikan
oleh peta situs restriksi, atau jumlah dan ukuran fragmen DNA.

Divergensi

interpopulasi dipelajari berdasarkan parameter jarak genetika (δ) dan analisis
terhadap perbedaan situs restriksi (Nei dan Tajima, 1981).

Nei dan Tajima

(1981) menambahkan bahwa variabilitas genetika nucleon berhubungan dengan
laju mutasi per-nukleon dimana perubahan situs restriksi terjadi secara
evolusioner dan disebabkan oleh substitusi, insersi (insertion) atau penghapusan
(deletion) nukleotida. Jenis dan jumlah enzim restriksi yang sama digunakan
dalam analisis sampel untuk membandingkan nilai parameter diantara nukleon
atau organisme yang berbeda.
Variasi mtDNA intra dan interspesifik berdasarkan dari analisis enzim
restriksi telah banyak dilaporkan, antara lain pada manusia digunakan untuk
mencirikan

populasi

lokal,

membedakan

cirri

individu,

variasi

etnik,

pengelompokan etnik dan menduga hubungan evolusioner dari kelompokkelompok etnik tersebut, serta menentukan bentuk-bentuk morf mtDNA khusus
untuk kemudian mengelompokkannya ke dalam grup menurut skala geografis
(Bermingham, 1990). Studi variabilitas mtDNA pada Teleostei dan Invertebrata
dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain Bermingham dan Avise (1986),
Saunders et al. (1986), Ferris dan Berg (1987), Effenberger dan Suchentrunk
(1999).

15

!7!

$&%/)0. )/)* #(.

'-'(.+)

Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih
dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut
juga &$&%/)0.

'-,'/.)-. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu

spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat
yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga
masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam /%-"+)-" "', yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua
individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh
apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masingmasing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat
tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase
genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat
mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal
dengan istilah 6#'+%'-0. "'-$(.&'. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan
sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi!
Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah
proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke
dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa,
dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA =
0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan
genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal
ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan
sekedar

kumpulan

individu,

melainkan

kumpulan

individu

yang

dapat

16

melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke
generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar
dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan
rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara
gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan
demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat
di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan
tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada
dinyatakan sebagai 6#'+%'-0. "'-, atau disebut juga 6#'+%'-0. )/'/, yaitu
proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh
perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat
dihitung sebagai berikut.
AA

Aa

aa

Total

Banyaknya individu

30

50

20

100

Banyaknya alel A

60

50

-

110

Banyaknya alel a

-

50

40

90

200

Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam
populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga,
karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang
mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada
individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan
banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan
cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50
+ 40 = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang
frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).

17

Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai
alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.

Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas
dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pitapita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein
(Gambar 6). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang berbedabeda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan
dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA.
Jarak
migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL

11 12 13 14 15
LL CL LL LL CL

Gambar 6. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara
Anakan, Cilacap.
Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian
kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga
komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang
muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap
komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin
besar ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu

18

yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih
pendek daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan
gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap
kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat
memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat
mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang
berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang
berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun
genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim
tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang
diekspresikannya dikenal sebagai )/$