The Type and Primary Abnormality Level of Bulls Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia

JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER
PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI
BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN
DI INDONESIA

MUHAMMAD RIYADHI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Jenis dan Tingkat
Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan Dibeberapa Balai
Inseminasi Buatan di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Muhammad Riyadhi
B352080021


ABSTRACT
MUHAMMAD RIYADHI. The Type and Primary Abnormality Level of Bulls
Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia. Under supervision
of BAMBANG PURWANTARA and R. IIS ARIFIANTINI
Sperm abnormalities have long been associated with male infertility and
sterility in most species studied. Therefore, it is very important to evaluate the
level of sperm abnormalities in semen. The objective of this study was to
investigate the type and sperm abnormality level (primary abnormality) of bull’s
semen at several artificial inseminations centre (AIC) in Indonesia. A total of
164 bulls from 13 AI centers and AI laboratory were used in this study, comprised
of 70 Simmental, 30 Limousine, 12 Brahman, 22 Bali, 3 Brahman-Angus cross, 2
Angus, 1 Ongole, 1 Ongole cross (PO), 1 Simmental-Brahman cross and 22
Friesian Holstein (FH) bulls, respectively. An ejaculate from each bull were
smeared and stained with carbolfluchsin-eosin (well known as Williams staining
method). The type of morphological abnormalities were recorded from 500 cells
on each sample. There were found 13 types of primary sperm abnormalities such
as: pearshaped, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour,
underdeveloped, round head, variable size (macro and microcephalus), double
head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, and diadem. The level of

primary sperm abnormalities affected by age in Simmental and Limousine bulls.
The sperm abnormalities in bulls ≥9 years old was significantly higher (p0.05), jumlah
abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10
ekor), dengan jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine,
FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12,
2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Dari 13 jenis abnormalitas primer spermatozoa,
bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p0.05) dengan sapi Bali dan
Friesian Holstein.
Berdasarkan pengelompokkan B.taurus (Simmental, Limousine, Angus
dan FH) dan B.indicus hanya berasal dari Brahman. Tanpa membedakan umur,
abnormalitas primer spermatozoa sapi B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan
dengan B.indicus (3.13%).

Berdasarkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa antar BIB,
menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi BIB H (8.57%),
sedangkan terendah pada BIB A (1.58±%). Tingkat abnormalitas primer
spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M.
Terdapat korelasi negatif (r=-0,95, p 24 bulan);
morfologi spermatozoa (≥ 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (≥
30% motilitas individu).

Fisiologi Semen
Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara
cairan seluler dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang
berasal dari saluran reproduksi jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa
dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan selanjutnya mengalami proses
penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis, sedangkan plasma
seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung bahanbahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen
kimia dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1.
Morfologi Spermatozoa
Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala
berbentuk datar dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi
pergerakan sel, dimana diantara kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang
disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar 1). Komponen utama kepala adalah
nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60% bagian anterior kepala diliputi
akrosom; bagian belakang kepala diliputi oleh tudung nuklear (Salisbury et al.
1978) (Gambar 2). Hubungan antara anterior dan posterior disebut cincin nuklear.

Tabel 1 Karakteristik dan komponen kimia semen beberapa hewan ternak
Sapi
5-8

800-2000

Domba
0.8-1.2
2000-3000

Hewan ternak
Babi
150-200
200-300

Kuda
60-100
150-300

Ayam
0.2-0.5
3000-7000

5-15


1.6-3.6

30-60

5-15

0.06-3.5

40-75
65-95
6.8
6.4-7.8
460-600
10-140
620-806
25-46
100-500

60-80

80-95
5.0
5.9-7.3
250
26-170
110-260
7-14
1100-2100

50-80
70-90
3.7
7.3-7.8
9
6-18
173
380-630
110-240

40-75

60-90
1.0
7.2-7.8
2
20-60
8-53
20-47
40-100

60-80
85-90
1.8-2.8
7.2-7.6
4
0-10
16-20
0-40

0
225±13

155±6
40±2
8±0.3
174-320

0
178±11
89±4
6±2
6±0.8
86

17
587
197
6
5-14
260-430

40-110

257
103
26
9
448

0-2
352
61
10
14
147

Komponen
Volume (ml)
Konsentrasi spermatozoa
(106/ml)
Spermatozoa/ejakulat
(109)
Motilitas (%)

Morfologi normal (%)
Protein (g/100 ml)
pH
Fruktosa
Sorbitol
Asam sitrat
Inositol
Glyceryl phosphoryl
choline (GPC)
Ergitionin
Sodium
Potassium
Kalsium
Magnesium
Chlorida

(Sumber; Hafez & Hafez 2000)
*Nilai rataan komponen kimia (mg/100ml±S.E)

Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian

anterior adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor,
dan bagian yang sangat tipis merupakan bagian ujung.

Bagian utama ekor,

merupakan pusat metabolisme, dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa
dengan suatu segmen yang sangat pendek yang disebut ekor.
Kepala

Akrosom
Leher

Bagian tengah

Annulus
Bagian utama

Bagian ujung

Gambar 1 Struktur sel spermatozoa sapi. Potongan melintang dari bagian tengah, utama
dan ujung memperlihatkan serat-serat axonema yang dilapisi oleh mitokondria
pada bagian tengah, pembungkus berserabut pada bagian utama dan serabut
aksonema pada bagian ujung

(Sumber; Barth & Oko 1989)

Rigi apikal
akrosom

Akrosom
Nukleus

Selubung postacrosomal

Membran sel

Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi
(Sumber; Saacke & Almquist 1964)

Kepala Spermatozoa
Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat,
dengan nukleus terdiri atas kromatin yang kompak. Kromatin yang sangat padat
mengandung deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom. Jumlah kromosom yang
terdapat pada spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel
somatik pada spesies yang sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang
terjadi selama pembentukan spermatozoa (Ball & Peters 2004).
Membran Plasma
Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang
mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa
dan merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat
keluar-masuknya cairan seluler (Garner & Hafez 2000). Bagian utama membran
spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun ganda (Gambar 3). Menurut
Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung 31.1%
lipoprotein.
Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan
keutuhan membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi
spermatozoa dengan sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan
membran pada bagian tengah spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP
terhenti sehingga spermatozoa tidak bisa bergerak. Sementara Flesch dan Gadella

(2000) menyatakan membran plasma akan mengalami modifikasi sehingga
menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang disebut dengan
kapasitasi untuk proses fertilisasi.

Gambar 3 Membran plasma spermatozoa
(Sumber; Amann & Graham 1993 dalam Morel 1999)

Akrosom
Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi
spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang
melapisi nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung
unsur-unsur enzim yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai
enzim hidrolisis lain yang berperan dalam proses fertilisasi.

Pada akrosom

terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang merupakan bagian akrosom
yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang anterior dari
daerah

setelah

akrosom

(post

acrosomal

region),

yang

menginisiasi

penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi (Garner & Hafez 2000).
Ekor Sperma
Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama
(principal), dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor
terdiri atas aksonema. Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang
mikrotubulus secara radial mengelilingi dua pusat filamen. Di dalam bagian

tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian luar dibungkus oleh
sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan sembilan
pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut
tebal ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan
sumber energi yang diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva &
Gadella 2006)
Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai
mendekati ujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang
berhubungan dengan serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece),
merupakan bagian posterior dari pembungkus berserabut, yang terdiri hanya
bagian aksonema yang dibungkus oleh membran plasma (Ball & Peters 2004).
Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan pada saat
spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma. Pada beberapa
spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher
sering disebut proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus
disebut distal droplet (Garner & Hafez 2000).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa
Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh
terhadap peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa
merupakan kelainan struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, genetik atau kombinasi dari
keduanya (Chenoweth 2005).
Faktor Lingkungan
Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan sekitar.

Miller et al. (1982) menemukan adanya peningkatan

abnormalitas spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak
seimbangan hormonal dan stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan
kurangnya pakan dan keadaan iklim yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh
terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa tersebut. Sedangkan Dada et al.
(2001) juga menemukan adanya peningkatan abnormalitas spermatozoa thick

coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan short
thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi.
Faktor Genetik
Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa
bersifat genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete
acrosome), kepala (abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated)
sperm defect, round head, rolled-head, nuclear crest, dan giant head syndrome),
kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet, dan corkscrew midpiece defect) dan
kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump defect, dan primary
ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)).
Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi
Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan
dalam menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebut
diantaranya adalah; 1) Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya
digambarkan dengan pengukuran lingkar skrotum atau melalui pengukuran
volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2) Viabilitas spermatozoa yang
diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada kasus semen beku
umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase
spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana
parameter ini secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk
mengetahui bagaimana batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa,
Barth dan Oko (1989), menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh
William pada tahun 1920 dan Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala
spermatozoa dari pejantan-pejantan yang mempunyai fertilitas yang baik benarbenar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas
>17% tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang
diijinkan bagi abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya
jenis abnormalitas yang ada.
Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi
oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal dan internal. Adanya pengaruh faktor
eksternal

terhadap

peningkatan

abnormalitas

spermatozoa

harus

dapat

dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian
yang dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi
semen dengan teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas
spermatozoa sebesar 31.86%. Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi
fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan analisis semen di laboratorium. Hal ini
dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan kualitas spermatozoa yang akan
digunakan dalam program breeding.
Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pembentukkan
spermatozoa dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi).
Abnormalitas

spermatozoa

dapat

dihasilkan

oleh

kegagalan

proses

spermatogenesis atau spermiogenesis yang disebabkan faktor genetik, penyakit
dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai.

Selain itu juga dapat disebabkan

karena penanganan semen yang tidak benar.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas
spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis
abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan pada satu individu akan
berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti pada
abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan
struktur, dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui
melalui pengamatan secara morfologi (Salisbury et al. 1978).
Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan
Friesian1)
2.5

Hereford2)
3.3

SRB/SLB3)
6.1±2.8

Friesian3)
5.34±1.3

Detached head

2.5

5.7

1.6±2.2

-

-

-

Coiled tail

1.6

1.9

-

-

-

-

Nuclear pouches

-

-

0.1±0.5

-

-

-

Abnormalitas akrosom

-

-

0.8±0.9

-

-

30

2.7

2.9

1.4±1.6

-

-

-

Abnormalitas midpiece

-

-

1.1±0.9

-

-

-

Loose head

-

-

-

-

-

-

5.7

5.2

-

-

-

-

-

-

1.2±1.7

11.35±2.2

9.38±1.9

1

14.9

19.1

12.3

16.40±2.7

13.45±2.8

35

Jenis abnormalitas (%)
Abnormalitas kepala

Proximal droplet

Abnormalitas minor
Abnormalitas ekor
Total Abnormalitas (%)

Sahiwal3)
4.3±1.4

Sim4)
4

Sumber ; 1) Willmington (1981) di dalam Ball dan Peters (2004), 2) Söderquist et al. (1996), 3. Sarder
(2004), 4. Bart (1986), SRB = Swedish Red and White, SLB = Swedish Holstein, Sim = Simmental

Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti
maupun laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa
terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan
spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas.
Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat
spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi.
Pengelompokkan kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap
fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas,
sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada fertilitas.
Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke
dalam tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala
spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah
ekor) dan tersier (kerusakan pada ekor). McPeake dan Pennington (2009),
mengelompokkan abnormalitas dalam dua katagori, yaitu primer (yang meliputi
abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas midpiece dan tightly
coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang
membengkok).
Di Amerika dan Eropah kajian morfologi (abnormalitas) spermatozoa
telah banyak dilaporkan (Barth & Oko 1989; Ax et al. 2000). Pada pejantan sapi
potong dan perah ( Soderquist et al. 1996; Sarder 2004; Rocha et al. 2006; AlMakhzoomi et al. 2007; Freneau et al. 2009),

kuda (Morrell et al. 2008),

rodensia (dasyprocta leprorina) (Mollineau et al. 2008), ruminansia kecil
(capricornis sumatraensis) (Suwanpugdee et al. 2009), anjing (Freshman, 2002),
dan sterlet (golongan ikan) (Psenicka et al. 2009). Pada beberapa ternak,
morfologi

spermatozoa

yang

abnormal

telah

banyak

dilaporkan

akan

mempengaruhi fertilitas (Jasko et al. 1990; Chenoweth 2005).
Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan untuk
membuahi oosit. Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor
pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal
dalam semen, akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan
morfologi abnormal spermatozoa. Beberapa kelainan abnormalitas spermatozoa

dapat ditemukan dalam satu ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda
antar peneliti dan laboratorium, demikian juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat
abnormalitas.
Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam
melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang
mungkin teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less,
amorphous, double head, dan immature sperm (Ax et al. 2000), selain itu jenis
abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati seperti underdeveloped, knobbed
acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the base, narrow,
abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation (Salisbury et al.
1978).

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Sebanyak 164 sampel semen dari pejantan sapi potong dan perah diperoleh
dari 13 BIB ditambah 1 laboratorium IB yang ada di Indonesia (Lampiran 1).
Evaluasi terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi
Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan,
pewarnaan, dan pengamatan sampel serta koleksi data di lapangan dimulai pada
bulan Juli sampai Desember 2009.
Metode
Pengambilan Sampel Semen
Pengambilan sampel dilakukan di masing-masing BIB/D untuk kemudian
dilakukan pewarnaan. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan protokol yang
diberikan (Lampiran 2), yaitu satu tetes semen diletakkan diatas gelas objek
pertama, selanjutnya empat tetes NaCl fisiologis diteteskan diatas gelas objek dan
dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk. Dengan menggunakan
gelas objek kedua, sudut-sudut objek gelas tersebut ditempelkan pada campuran
semen-NaCl dan ditempatkan pada permukaan objek gelas ketiga dan dibuat
preparat ulas (smear) tipis. Preparat ulas yang telah terbentuk selanjutnya
dikering-udarakan, diberi kode pejantan dan ditempatkan pada kotak objek gelas.
Pewarnaan Sampel
Sampel diberi pewarnaan dengan metode Williams menggunakan
carbolfluchsin-eosin yang dikembangkan pada tahun 1920 dan dimodifikasi oleh
Lagerlof pada tahun 1934 (Kavak et al. 2004). Sebelum melakukan pewarnaan
terlebih dahulu disiapkan larutan stok Williams dan pembuatan pewarna Williams
(Lampiran 3). Selanjutnya setelah itu dilakukan pewarnaan Williams (Lampiran
4), dengan cara sebagai berikut : preparat sampel ulas semen yang berasal dari
BIB/BIBD difiksasi menggunakan bunsen selama ± 1 menit. Selanjutnya sample
dicuci dengan alkohol absolut selama 4 menit, dan dikering udarakan. Setelah itu
preparat dimasukkan ke dalam larutan chloramin 0.5% selama 2 menit sampai

mukus (lendir) hilang dan ulasan terlihat jernih. Berikutnya preparat dicuci
dengan distilled water, alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan Williams selama
8-10 menit. Tahap akhir preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.
Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa sebanyak 500 sel diamati menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 400x dan 1000x (Olympus CH20) dan untuk dokumentasi
digunakan mikroskop perbesaran 1000x (Nikon Eclipse E600) dilengkapi dengan
peralatan GrabeeXplus + USB 2.0 AV Grabber.

Semua jenis abnormalitas

spermatozoa yang ditemukan diklasifikasikan dan didokumentasikan. Klasifikasi
jenis morfologi abnormalitas kepala dilakukan berdasarkan Al-Makhzoomi et al.
(2008). Tingkat abnormalitas spermatozoa dikelompokkan menjadi 0-3%, >3-6%
(rendah), >6-9% (sedang) dan >9% (tinggi).
Analisis Korelasi Abnormalitas Spermatozoa dan Fertilitas
Data fertilitas diperoleh langsung di lapangan berdasarkan pencatatan hasil
IB pertama (persentase sapi betina bunting dari IB pertama) selama 2-3 tahun dari
pejantan-pejantan yang terlibat dalam penelitian. Ada delapan ekor pejantan yang
dapat ditelusuri recording IB dengan 186 ekor betina. Dari delapan ekor pejantan
tersebut dikelompokkan sesuai dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa,
sebagai berikut ; 0-3%, >3-6%, >6-9%, dan >9%. Hasil IB pertama tersebut
selanjutnya dihitung nilai conception rate, yakni jumlah betina yang bunting dari
hasil IB pertama dibagi jumlah pelayanan (IB) dikali 100%.
Analisis Statistik
Data disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku.

Data

abnormalitas diolah menggunakan sidik ragam dengan software Minitab versi
14.0. Untuk melihat korelasi antara tingkat abnormalitas dan conception rate
dipergunakan analisis korelasi ( Iriawan & Astuti 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel semen sapi yang diuji dalam penelitian ini berasal dari 13
(76.47%) BIB ditambah satu laboratorium IB dari total 17 BIB/BIBD yang ada
di Indonesia, dengan jumlah total sapi jantan 164 ekor. Sapi-sapi tersebut terdiri
atas jenis Simmental, Limousine, Brahman, Bali, Brangus, Angus, Ongole,
Peranakan Ongole (PO), peranakan Simmental Brahman (Simbrah) dan Friesian
Holstein atau FH (Tabel 3). Dari jumlah tersebut jenis Simmental merupakan sapi
yang paling banyak (42.68%) sedangkan PO, Ongole dan Simbrah jenis yang
paling sedikit masing-masing hanya satu ekor (0.61%).
Tabel 3 Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB
Bangsa Sapi

Jumlah (ekor)

(%)

Simmental

70

42,68

Limousine

30

18,29

Bali

22

13,42

FH

22

13,42

Brahman

12

7,32

Brangus

3

1,83

Angus

2

1,22

Simbrah

1

0,61

PO

1

0,61

Ongole

1

0,61

Jumlah

164

100%

Abnormalitas Primer Spermatozoa
Abnomalitas primer merupakan kelainan yang bersifat serius dikarenakan
terjadi pada proses spermatogenesis dan beberapa kelainan dapat diturunkan
(Chenoweth 2005), sehingga apabila ditemukan dalam jumlah tinggi pada semen,
maka pejantan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai sumber bibit.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 13 jenis kelainan spermatozoa primer
yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour,
undeveloped, round head, variable size (macrocephalus/microcephalus), double
head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, dan diadem (Gambar 4).

Bentuk kepala pearshape atau pyriform dalam Barth et al. (1992) disebut
juga narrow at the base. Akan tetapi berdasarkan derajat penyempitan pada
bagian post acrosome regional, bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan
yang berbentuk seperti buah pear di mana daerah akrosom (anterior) tampak
penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit
memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior.
a

b

c

d

e

f

g

h

i

Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams)
a) Bentuk sperma normal, b) Pearshape, c) Narrow at the base,
d) Abnormal contour, e) Undeveloped f) Round head, g) Abaxial,
h) Microsephalus dengan KA defect, i) Detached head

Pada penelitian ini tanpa melihat bangsa sapi terdapat 2.02% dan 0.34%
abnormalitas pearshape dan narrow at the base. Penelitian yang dilakukan oleh
Sarder (2004) terhadap enam kelompok bangsa sapi menemukan tingkat
abnormalitas pearshape lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu hanya 0.79%,
sebaliknya jumlah kelainan narrow at the base justru lebih tinggi yaitu 1.71%.
Al-Makhzoomi et al. (2007) melaporkan tingkat abnormalitas pearshape dan
narrow at the base