Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan Al-Quran

Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan
Al-Quran
MEMBACA AL-QURAN DALAM SATU SURAT PADA WAKTU SALAT TERBALIK
URUTANNYA, MEMBACA “SAYYIDINA” DALAM SHALAT PADA WAKTU
TAHIYYAT DAN MENJELASKAN HADIS DENGAN AYAT AL-QURAN
Pertanyaan Dari:
Nyak Mat, NBM 874.346,
Ketua PR Muhammadiyah Kauman Pisang Labuhan Haji tahun 1995-2005
Desa Ujung Batu Kec. Labuhan Haji Aceh
(disidangkan pada hari Jum‟at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya imam dalam salat jamaah membaca al-Quran dalam satu surat terbalik
urutannya? Dalam rakaat pertama membaca:
Pada rakaat kedua membaca:

sampai dengan
sampai dengan

2. Dalam rubrik khutbah Jum‟at yang dimuat SM banyak dijumpai bacaan salawat:
Bolehkah bacaan salawat seperti itu dibaca dalam salat ketika duduk tahiyat?
3. Dalam SM no 23 tahun 2009 khutbah yang disampaikan Kusun Dahari dituliskan hadis:


Hadis itu ditafsirkan dengan ayat al-Quran surat an-Nisa ayat 9 :

Pertanyaannya; Apakah boleh hadis Nabi diperjelas dengan ayat al-Quran seperti termuat
juga dalam khutbah Jum‟at SM no. 4 tahun 2010? Penulis pernah mendengat pendapat yang
mengatakan haram hal itu.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Kami telah merangkum pertanyaanpertanyaan saudara menjadi tiga hal. Adapun jawaban untuk pertanyaan saudara tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pada dasarnya sunnah Rasulullah saw dalam membaca surat al-Qur‟an ketika menjadi imam
sungguh sangat berbeda dengan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di tengah umat Islam.

Perbedaan tersebut terdapat dalam beberapa hal. Pertama, Rasulullah saw jarang sekali membaca
ayat-ayat al-Quran yang sangat pendek. Ketika salat subuh misalnya, beliau biasa membaca surat
Qaf pada rakaat pertama dan surat ar-Rum pada rakaat kedua. Beliau juga terkadang membaca
surat at-Takwir untuk rakaat pertama dan al-Zilzalah untuk rakaat kedua (HR Ahmad). Hanya
dalam kondisi perjalanan (safar) saja beliau membaca surat pendek seperti al-Falaq dan an-Nas.
Dalam salat zuhur demikian juga. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menerangkan
hal tersebut:


--

Artinya: “Dari Abu Said al-Khudriy, ia berkata: suatu ketika salat zuhur ditunaikan, lalu
seseorang pergi ke (perkampungan) Baqi‟ dan ia melaksanakan aktivitasnya (di sana), kemudian
ia berwudlu lalu mendatangi jamaah salat dan Rasulullah Saw. (yang menjadi imam) masih
berada pada rakaat pertama karena saking panjangnya apa yang beliau baca”. [HR. Muslim]
Perbedaan kedua adalah Rasulullah saw tidak pernah membaca surat secara sepotongsepotong. Dalam keterangan hadis-hadis ditemukan bahwa Rasulullah saw selalu membaca ayat
secara sempurna, baik diselesaikan dalam satu rakaat, ataupun dibagi ke dalam dua rakaat.
Dalam salat Maghrib misalnya, beliau membaca surat al-A‟raf dalam dua rakaat, atau ath-Thur
dan al-Mursalat atau membaca al-Mu‟awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) [Ibnu al-Qayyim,
Zadul Ma‟ad, vol. I, hal. 205, Sayyid Sabiq, vol. I, hal. 183].
Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut bukanlah suatu
kewajiban yang juga harus dilakukan oleh umatnya. Dalam kaedah ushul fikih disebutkan:

Artinya: “Perbuatan Nabi semata (yang tidak diiringi oleh indikasi lain) tidak menunjukkan
kewajiban.”
Yang diperintahkan dan menjadi kewajiban hanyalah membaca suratnya saja, bukan
panjangnya bacaan atau kesesuaian dengan contoh dari Nabi saw. Dalam al-Quran disebutkan:

Artinya: “…karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an.” [QS. al-Muzzammil

(73): 20]
Namun, bagi para imam yang ingin menegakkan sunnah Rasulullah saw serta dengan
mempertimbangkan kenyamanan jamaah dengan bacaan panjang, maka tentu mengikuti sunnah
Rasulullah saw adalah lebih utama. Berkenaan dengan membaca ayat tidak berdasarkan urutan
dalam rakaat pertama dan rakaat kedua, kami berpandangan hal tersebut tidaklah dilarang,
karena tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Namun kami berpandangan bahwa hal

tersebut adalah sesuatu yang mafdhul-tidak utama (kebalikan dari afdhal) karena tidak sesuai
dengan sunah Nabi saw. Dengan demikian kami berpandangan sebaiknya tidak dilakukan.
2.

Shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifiy (aturan dan tatacaranya harus mengikuti
praktek Rasulullah saw). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan
aktivitas apapun yang tidak dicontohkan Rasulullah saw dalam salat. Dalam sebuah hadis
Rasulullah saw telah bersabda:

Artinya: “Salatlah sebagaimana kamu sekalian melihat aku salat.” [HR. al-Bukhari]
Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah
memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata
“sayyidina”. Hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan bacaan salawat dalam salat antara lain

adalah sebagai berikut:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa‟id al-Khudriy, ia berkata: kami mengatakan pada
Rasulullah: Ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu (dalam salat), tapi bagaimana cara
kami membaca salawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah, Allahumma shalli
„ala Muhammadin abdika wa rasulika kama shallayta „ala Ibrahim wa barik „ala Muhammad wa
„ala ali Muhammad kama barakta „ala Ibrahim wa ali Ibrahim”. [HR al-Bukhari]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ka‟ab bin „Ujrah ia berkata: Kami berkata atau mereka berkata:
Wahai Rasulullah, engkau menyuruh kami bersalawat kepadamu dan membaca salam
kepadamu. Adapun (bacaan) salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara kami
bersalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah: “Allahuma shalli „ala
Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta „ala Ibrahim wa barik „ala Muhammad wa ali
Muhammad kama barakta „ala ali Ibrahim innaka hamidun majid”.” [HR Muslim]

Artinya: “Dari Ka‟ab bin Ujrah dari Nabi saw, bahwasanya ketika salat ia mengucapkan:
Allahumma shalli „ala Muhammad wa „ala ali Muhammad kama shallayta „ala Ibrahim wa ali
Ibrahim wa barik „ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta „ala Ibrahim wa ali Ibrahim
innaka hamidun majid”. [HR asy-Syafii di Kitab al-Umm]
Dengan demikian, menambahkan kata “sayyidina” dalam salat adalah perbuatan yang tidak

ada dasarnya sama sekali dan oleh karenanya tidak perlu dilakukan.
3. Al-Qur‟an dan Hadis adalah dua pusaka yang ditinggalkan untuk umat Islam selaku umat yang
hidup di akhir zaman. Sebagai sumber hukum, hadis terletak pada urutan ke dua setelah alQur‟an. Posisi hadis terhadap al-Qur‟an sendiri adalah sebagai mubayyin (menjelaskan) hal-hal
yang umum, muakkid (memperkuat) apa yang terdapat dalam al-Qur‟an dan mutsbit
(menetapkan) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya. Namun, keduanya tetaplah satu kesatuan
yang berfungsi sebagai huda (petunjuk) bagi kehidupan manusia. Dalam al-Qur‟an dijelaskan
bahwa ketaatan terhadap Allah berada dalam satu paket dengan ketaatan pada Rasulullah saw.
Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
[QS. an-Nisa' (4): 59]
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw juga bersabda:

Artinya: “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, selama-lamanya tidak akan
tersesat jika kamu sekalian senantiasa berpegang kepada keduanya; Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya.” [HR. Malik]
Dalam permasalahan yang saudara tanyakan, hadis tentang tiga peninggalan yang tidak

akan putus pahalanya memiliki kesamaan munasabah (konteks) dengan ayat al-Qur‟an surat alNisa ayat 9. Dalam khazanah keilmuan Islam, penjelasan dengan metode seperti itu disebut
dengan syarh bil-matsur (penjelasan dengan menggunakan nash) selain metode lainnya yang
disebut syarh bil-„aql (penjelasan dengan akal).

Para ulama juga banyak yang melakukan hal tersebut di dalam karya-karya mereka.
Saudara bisa mengeceknya misalnya ke kitab hadis Arbain Nawawiyah karya Imam an-Nawawi.
Hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut telah banyak di-syarah (dijelaskan) oleh para
ulama dan juga telah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Misalnya, pada hadis pertama
tentang niat, para ulama yang menjelaskan hadis ini biasanya menghubungkannya dengan ayat
al-Qur‟an surat al-Bayyinah ayat 5 dan beberapa ayat lainnya.
Berangkat dari keterangan tersebut, maka menjelaskan hadis dengan ayat al-Quran adalah
satu hal yang dibolehkan. Demikian jawaban kami. Semoga Allah selalu menganugerahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita.
Wallahu A‟lam. *M-Rf)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://www.fatwatarjih.com