Reorientasi Dakwah Islam
Reorientasi Dakwah Islam
*Oleh Ibnu Djarir
(Sumber: http://pdm1912.wordpress.com/2010/10/13/reorientasi-dakwah-islam/ )
PIMPINAN Pusat (PP) Muhammadiyah akan menyelenggarakan Rapat Kerja NasionaI
(Rakernas) Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) pada 20-22 Februari 2009, di Gedung
LPMP Srondol Semarang. Dalam perhelatan nasional itu diharapkan hadir sekitar 275 orang
utusan MTDK dari seluruh provinsi di Indonesia dan utusan MTDK kabupaten/kota se-Jawa
Tengah.
Persyarikatan Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi Islam modernis terbesar di dunia,
memiliki empat karakteristik: sebagai gerakan Islam, tajdid, dakwah, dan sosial keagamaan.
Empat karakteristik tersebut telah menjadi pegangan sejak organisasi itu didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan pada 1912, dan akan selalu dipegang teguh oleh segenap pimpinan dan anggota.
Keempat karakteristik itulah yang menjadi salah satu faktor penopang kekuatan organisasi
sehingga tetap eksis dalam usia hampir satu abad.
Gerakan dakwah, dengan berbagai permasalahan, akan menjadi pokok bahasan dalam rakernas
tersebut. Istilah gerakan memberi pengertian Muhammadiyah adalah organisasi yang dinamis
dan transformatif. Adapun istilah dakwah, yang lebih populer disebut dengan tablig, bisa
dipahami sebagai segenap upaya untuk mengajak manusia, baik individu maupun kelompok,
mengimani dan mengamalkan ajaran Islam.
Kegiatan dakwah mendinamisasi denyut nadi organisasi Muhammadiyah, sehingga di kalangan
mubalig Muhammadiyah ada semboyan ”Tak ada hari tanpa dakwah”. Semua kegiatan
senantiasa bernapaskan dakwah, amar makruf nahi munkar, yaitu menyuruh manusia agar
berbuat kebaikan (khair) dan mencegah mereka dari kejahatan (munkar).
Dari waktu ke waktu para pakar dan praktisi dakwah selalu mengadakan evaluasi atas hasil kerja
organisasi dalam bidang dakwah dan perkembangan dakwah Islam. Dari hasil evaluasi tersebut
mereka melakukan reorientasi dakwah dan mengadakan pembaharuan (inovasi) metodologi.
Evaluasi dan Inovasi
Pada awal berdiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan melihat pelaksanaan dakwah waktu itu
sangat sederhana, yaitu hanya menitikberatkan pada dakwah bil lisan, berupa pidato, khotbah,
dan ceramah. Ini boleh dianggap sebagai mode dakwah pertama.
Adapun khotbah bentuk lain berupa zending dan misi melaksanakan penyiaran agama melalui
berbagai cara seperti: preaching (khotbah di gereja-gereja), teaching (mendirikan sekolahsekolah), dan healing (mendirikan rumah-rumah sakit).
Karena itu KH Ahmad Dahlan tidak mau ketinggalan dari umat beragama lain, sehingga
Muhammadiyah, di samping mendirikan masjid-masjid, juga membangun sekolah-sekolah,
rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan untuk anak-anak yatim dan lansia. Model dakwah
yang kedua ini tetap dilaksanakan dan dikembangkan hingga saat ini dan untuk masa-masa
selanjutnya.
Evaluasi dan inovasi berjalan terus. Fakta di lapangan menunjukkan pelaksanaan dakwah Islam
kurang menjangkau lapisan penduduk di akar rumput. Efeknya dalam peningkatan kesejahteraan
serta pembinaan moral masyarakat tidak menunjukkan hasil signifkan. Karena itu dalam
Muktamar ke-38 di Makassar 1971 dirumuskan model Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ).
GJDJ sebagai model dakwah ketiga merupakan kegiatan community development yang dimulai
dari kelompok kecil yang dinamis dan kreatif dengan tujuan keterwujudan keluarga dan
masyarakat sejahtera lahir dan batin.
Keberadaan GJDP tidak harus menggunakan nama Muhammadiyah. Struktur GJDJ terdiri atas 38 orang penggerak yang merupakan inti jamaah (kelompok).
Jamaah terdiri atas sejumlah keluarga dalam satu RT, RW, atau kelurahan/desa. Adapun
pelaksanaan dakwah jamaah (kolektif) yang merupakan tanggung jawab bersama berada di
bawah koordinasi pimpinan ranting persyarikatan. Target GJDJ tidak hanya membangun
masyarakat dalam bidang keagamaan, melainkan juga ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan,
budaya, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, program ini belum bisa terlaksana dengan baik, meluas, dan merata,
karena kekurangan tenaga-tenaga penggerak dinamis, kreatif, dan memiliki dasar-dasar
pengetahuan yang diperlukan untuk pembinaan masyarakat.
Reorientasi Baru
Para pimpinan menyadari meski Muhammadiyah merupakan ormas Islam terbesar kedua setelah
NU, namun kebanyakan warganya adalah penduduk di kota-kota dan tidak banyak yang berada
di desa desa atau kelurahan. Karena itu dalam muktamar ke-45 di Malang, salah satu
keputusannya ialah pemberdayaan dan pengembangan ranting di seluruh Indonesia.
Mengapa Muhammadiyah kurang begitu berhasil menyebar di kalangan penduduk pedesaan?
Mungkin karena kebanyakan mubalig Muhammadiyah kurang bisa memberikan apresiasi yang
wajar terhadap budaya dan adat istiadat lokal.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah di satu sisi ingin berpegang pada pemurnian (purifikasi
dan reformasi) ajaran Islam dalam bidang akidah dan ibadah mahdlah sesuai dengan Alquran dan
sunah. Di sisi lain melakukan pembaharuan dan pengembangan (modernisasi) dalam urusan
muamalah dunyawiah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemajuan
zaman.
Sebagai konsekuensi dari pemurnian ajaran Islam, maka warga Muhammadiyah menjauhkan diri
dari takhayul, bidah, churafat (TBC), dan syirik. Pemahaman yang rigid tentang pemurnian
tersebut menyebabkan timbul kecenderungan di kalangan pimpinan dan mubalig
Muhammadiyah untuk tidak mudah mengakomodasi unsur-unsur budaya dan adat istiadat lokal.
Mereka berpendapat jika tidak hati-hati dalam berintegrasi dengan budaya dan adat istiadat lokal,
dikhawatirkan timbul sinkretisme dalam pengamalan ajaran Islam atau bercampur baur dengan
syirk, takhayul, bidah, dan churafat.
Dalam rangka memperlancar integrasi Muhammadiyah ke dalam masyarakat dan mengatasi
kendala dakwah, maka dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar 2003 disepakati
model dakwah baru yang disebut dakwah kultural.
Model dakwah keempat ini berlandas utama Alquran dan sunah serta tajdid, dan dilaksanakan
dengan memberikan apresiasi terhadap budaya dan adat istiadat lokal yang sekaligus dapat
merupakan media dakwah, tidak konfrontatif, melainkan akomodatif, reformatif, dan lemah
lembut, dengan tujuan untuk mengangkat harkat kehidupan masyarakat sesuai dengan misi Islam
rahmatan lil ‘alamin.
Setelah dakwah kultural disahkan sebagai program nasional Muhammadiyah, maka evaluasi,
revaluasi, inovasi, dan reorientasi dakwah tetap harus dilaksanakan. Mengapa? Sebab keadaan
masyarakat selalu berubah, pendidikan masyarakat makin meningkat, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat.
Jika selama ini pelaksanaan dakwah oleh para mubalig kebanyakan hanya sebagai tugas
sambilan, kini kita memerlukan para mubalig profesional yang memahami dan memiliki
kepribadian Muhammadiyah, siap bekerja full timer, memiliki keahlian berdakwah melalui
media massa.
Adapun ciri-ciri kepribadian Muhammadiyah menurut Dr Haidar Nashir, MSi (Ketua PP
Muhammadiyah): 1) beragama Islam secara otentik (murni) sesuai Alquran dan sunah, 2)
memiliki semangat tajdid dan ijtihad 3) membangun masyarakat melalui jalur budaya, bukan
jalur politik, 4) enunjukkan uswah hasanah dan melaksanakan amal islami berlandaskan iman
dan ilmu, 5) bersikap moderat, dan 6) berjuang dengan sistem organisasi. (35)
*Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah
*Oleh Ibnu Djarir
(Sumber: http://pdm1912.wordpress.com/2010/10/13/reorientasi-dakwah-islam/ )
PIMPINAN Pusat (PP) Muhammadiyah akan menyelenggarakan Rapat Kerja NasionaI
(Rakernas) Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) pada 20-22 Februari 2009, di Gedung
LPMP Srondol Semarang. Dalam perhelatan nasional itu diharapkan hadir sekitar 275 orang
utusan MTDK dari seluruh provinsi di Indonesia dan utusan MTDK kabupaten/kota se-Jawa
Tengah.
Persyarikatan Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi Islam modernis terbesar di dunia,
memiliki empat karakteristik: sebagai gerakan Islam, tajdid, dakwah, dan sosial keagamaan.
Empat karakteristik tersebut telah menjadi pegangan sejak organisasi itu didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan pada 1912, dan akan selalu dipegang teguh oleh segenap pimpinan dan anggota.
Keempat karakteristik itulah yang menjadi salah satu faktor penopang kekuatan organisasi
sehingga tetap eksis dalam usia hampir satu abad.
Gerakan dakwah, dengan berbagai permasalahan, akan menjadi pokok bahasan dalam rakernas
tersebut. Istilah gerakan memberi pengertian Muhammadiyah adalah organisasi yang dinamis
dan transformatif. Adapun istilah dakwah, yang lebih populer disebut dengan tablig, bisa
dipahami sebagai segenap upaya untuk mengajak manusia, baik individu maupun kelompok,
mengimani dan mengamalkan ajaran Islam.
Kegiatan dakwah mendinamisasi denyut nadi organisasi Muhammadiyah, sehingga di kalangan
mubalig Muhammadiyah ada semboyan ”Tak ada hari tanpa dakwah”. Semua kegiatan
senantiasa bernapaskan dakwah, amar makruf nahi munkar, yaitu menyuruh manusia agar
berbuat kebaikan (khair) dan mencegah mereka dari kejahatan (munkar).
Dari waktu ke waktu para pakar dan praktisi dakwah selalu mengadakan evaluasi atas hasil kerja
organisasi dalam bidang dakwah dan perkembangan dakwah Islam. Dari hasil evaluasi tersebut
mereka melakukan reorientasi dakwah dan mengadakan pembaharuan (inovasi) metodologi.
Evaluasi dan Inovasi
Pada awal berdiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan melihat pelaksanaan dakwah waktu itu
sangat sederhana, yaitu hanya menitikberatkan pada dakwah bil lisan, berupa pidato, khotbah,
dan ceramah. Ini boleh dianggap sebagai mode dakwah pertama.
Adapun khotbah bentuk lain berupa zending dan misi melaksanakan penyiaran agama melalui
berbagai cara seperti: preaching (khotbah di gereja-gereja), teaching (mendirikan sekolahsekolah), dan healing (mendirikan rumah-rumah sakit).
Karena itu KH Ahmad Dahlan tidak mau ketinggalan dari umat beragama lain, sehingga
Muhammadiyah, di samping mendirikan masjid-masjid, juga membangun sekolah-sekolah,
rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan untuk anak-anak yatim dan lansia. Model dakwah
yang kedua ini tetap dilaksanakan dan dikembangkan hingga saat ini dan untuk masa-masa
selanjutnya.
Evaluasi dan inovasi berjalan terus. Fakta di lapangan menunjukkan pelaksanaan dakwah Islam
kurang menjangkau lapisan penduduk di akar rumput. Efeknya dalam peningkatan kesejahteraan
serta pembinaan moral masyarakat tidak menunjukkan hasil signifkan. Karena itu dalam
Muktamar ke-38 di Makassar 1971 dirumuskan model Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ).
GJDJ sebagai model dakwah ketiga merupakan kegiatan community development yang dimulai
dari kelompok kecil yang dinamis dan kreatif dengan tujuan keterwujudan keluarga dan
masyarakat sejahtera lahir dan batin.
Keberadaan GJDP tidak harus menggunakan nama Muhammadiyah. Struktur GJDJ terdiri atas 38 orang penggerak yang merupakan inti jamaah (kelompok).
Jamaah terdiri atas sejumlah keluarga dalam satu RT, RW, atau kelurahan/desa. Adapun
pelaksanaan dakwah jamaah (kolektif) yang merupakan tanggung jawab bersama berada di
bawah koordinasi pimpinan ranting persyarikatan. Target GJDJ tidak hanya membangun
masyarakat dalam bidang keagamaan, melainkan juga ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan,
budaya, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, program ini belum bisa terlaksana dengan baik, meluas, dan merata,
karena kekurangan tenaga-tenaga penggerak dinamis, kreatif, dan memiliki dasar-dasar
pengetahuan yang diperlukan untuk pembinaan masyarakat.
Reorientasi Baru
Para pimpinan menyadari meski Muhammadiyah merupakan ormas Islam terbesar kedua setelah
NU, namun kebanyakan warganya adalah penduduk di kota-kota dan tidak banyak yang berada
di desa desa atau kelurahan. Karena itu dalam muktamar ke-45 di Malang, salah satu
keputusannya ialah pemberdayaan dan pengembangan ranting di seluruh Indonesia.
Mengapa Muhammadiyah kurang begitu berhasil menyebar di kalangan penduduk pedesaan?
Mungkin karena kebanyakan mubalig Muhammadiyah kurang bisa memberikan apresiasi yang
wajar terhadap budaya dan adat istiadat lokal.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah di satu sisi ingin berpegang pada pemurnian (purifikasi
dan reformasi) ajaran Islam dalam bidang akidah dan ibadah mahdlah sesuai dengan Alquran dan
sunah. Di sisi lain melakukan pembaharuan dan pengembangan (modernisasi) dalam urusan
muamalah dunyawiah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemajuan
zaman.
Sebagai konsekuensi dari pemurnian ajaran Islam, maka warga Muhammadiyah menjauhkan diri
dari takhayul, bidah, churafat (TBC), dan syirik. Pemahaman yang rigid tentang pemurnian
tersebut menyebabkan timbul kecenderungan di kalangan pimpinan dan mubalig
Muhammadiyah untuk tidak mudah mengakomodasi unsur-unsur budaya dan adat istiadat lokal.
Mereka berpendapat jika tidak hati-hati dalam berintegrasi dengan budaya dan adat istiadat lokal,
dikhawatirkan timbul sinkretisme dalam pengamalan ajaran Islam atau bercampur baur dengan
syirk, takhayul, bidah, dan churafat.
Dalam rangka memperlancar integrasi Muhammadiyah ke dalam masyarakat dan mengatasi
kendala dakwah, maka dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar 2003 disepakati
model dakwah baru yang disebut dakwah kultural.
Model dakwah keempat ini berlandas utama Alquran dan sunah serta tajdid, dan dilaksanakan
dengan memberikan apresiasi terhadap budaya dan adat istiadat lokal yang sekaligus dapat
merupakan media dakwah, tidak konfrontatif, melainkan akomodatif, reformatif, dan lemah
lembut, dengan tujuan untuk mengangkat harkat kehidupan masyarakat sesuai dengan misi Islam
rahmatan lil ‘alamin.
Setelah dakwah kultural disahkan sebagai program nasional Muhammadiyah, maka evaluasi,
revaluasi, inovasi, dan reorientasi dakwah tetap harus dilaksanakan. Mengapa? Sebab keadaan
masyarakat selalu berubah, pendidikan masyarakat makin meningkat, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat.
Jika selama ini pelaksanaan dakwah oleh para mubalig kebanyakan hanya sebagai tugas
sambilan, kini kita memerlukan para mubalig profesional yang memahami dan memiliki
kepribadian Muhammadiyah, siap bekerja full timer, memiliki keahlian berdakwah melalui
media massa.
Adapun ciri-ciri kepribadian Muhammadiyah menurut Dr Haidar Nashir, MSi (Ketua PP
Muhammadiyah): 1) beragama Islam secara otentik (murni) sesuai Alquran dan sunah, 2)
memiliki semangat tajdid dan ijtihad 3) membangun masyarakat melalui jalur budaya, bukan
jalur politik, 4) enunjukkan uswah hasanah dan melaksanakan amal islami berlandaskan iman
dan ilmu, 5) bersikap moderat, dan 6) berjuang dengan sistem organisasi. (35)
*Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah