3
memberi tugas pembantuan kepada Desa
Kabupaten dapat memberi tugas pembantuan kepada Desa, sedangkan Kota
tidak dapat memberi tugas pembantuan kepada Desa mengingat wilayah Desa tidak
ada dalam Kota. Hal ini sesuai dengan pasal 126 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa Desa-Desa yang ada dalam wilayah Kotamadya, Kotamadya
administrasi,
dan Kota
Administrasi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 pada
saat mulai berlakunya undang-undang ini ditetapkan sebagai kelurahan.
Secara konstitusional, asas tugas pembantuan merupakan salah satu asas
dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah pasal 18 a UUD 1945 Amandemen.
Sedangkan menurut pasal 1 butir 9 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud
dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah danatau
Desa, dari Pemerintah Propinsi kepada KabupatenKota danatau Desa, serta dari
Pemerintah KabupatenKota kepada Desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2. Proses
Perumusan Kebijakan
tentang Penyelenggaraan
Asas Tugas Pembantuan
Proses perumusan
kebijakan penyelenggaraan asas tugas pembantuan dari
Pemerintah Kabupaten Bandung kepada sebagian desa-desa di wilayah Kabupaten
Bandung terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan
Pemerintah Desa
yang akan
mendapat tugas pembantuan. Proses ini diagendakan terlebih dahulu dikarenakan
untuk menghindari
penolakan tugas
pembantuan oleh Pemerintah Desa. Setelah ada kesepakatan dengan Desa kemudian
dikoordinasikan oleh
Tim Kabupaten
Bandung. Selanjutnya disampaikan kepada Sekretaris Daerah untuk dilaporkan kepada
Bupati sebagai rencana pemberian tugas pembantuan kepada Desa berupa draft
keputusan Bupati tentang penyelenggaraan tugas pembantuan atau dijadikan sebuah
kebijakan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Irfan Islamy 1984:92 yang
menyebutkan
bahwa perumusan
suatu kebijakan adalah kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Kegiatan
yang dimaksud meliputi: mengidentifikasi alternatif, mendefinisikan dan merumuskan
alternatif, menilai masing-masing alternatif yang tersedia dan memilih alternatif yang
paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebelum pembuat kebijakan merumuskan
kebijakan
terlebih dahulu
melakukan identifikasi masalah.
3. Cara-cara Merumuskan Kebijakan
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
Perumusan kebijakan
banyak dilakukan di berbagai macam organisasi.
Perumusan kebijakan merupakan salah satu fungsi
utama administrator.
Proses perumusan kebijakan bukanlah pekerjaan
yang mudah
dan sederhana.
Setiap administrator
dituntut untuk
memiliki kemampuankeahlian, tanggung jawab dan
kemauan, sehingga dapat membuat suatu kebijakan dengan segala resikonya, baik
yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Oleh karenanya
dalam merumuskan
suatu kebijakan
perlu memahami
faktor-faktor yang
mempengaruhi perumusan kebijakan. Nigro dan
Nigro dalam
Islamy, 1984:23
mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi
perumusan kebijakan
meliputi: a adanya pengaruh tekanan luar; b
adanya pengaruh
kebiasaan lama
konservatisme; c adanya pengaruh sifat- sifat pribadi; d adanya pengaruh dari
kelompok luar; e adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Disamping adanya
faktor-faktor tersebut, Gerald E. Caiden dalam Islamy,
1984:27 menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya membuat suatu
kebijakan, yaitu
sulitnya memperoleh
informasi yang cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan,
adanya berbagai
macam kepentingan
yang berbeda,
dampak kebijakan sulit dikenali, umpan balik
bersifat sporadis,
proses perumusan
kebijakan tidak dimengerti dengan benar dan sebagainya.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam merumuskan suatu kebijakan perlu
dilakukan cara-cara untuk meningkatkan perumusan
suatu kebijakan.
Menurut Yehezkel Dror dalam Islamy, 1984:31
bahwa untuk
meningkatkan cara-cara
pembuatan kebijakan diperlukan adanya revolusi ilmiah dalam bentuk ilmu-ilmu
kebijakan yang baru dengan paradigma yang baru. Ilmu kebijakan yang baru ini harus
memuat teknik-teknik yang membantu
4
proses pembuatan kebijakan. Sesuai dengan mandat Dror tersebut, maka ilmu-ilmu
kebijakan menurut Nigro dan Nigro dalam Islamy, 1984:31 seharusnya:
1.
berhubungan terutama dengan sistem- sistem
pembinaan masyarakat,
khususnya sistem perumusan kebijakan publik;
2. memusatkan perhatiannya pada sistem-
sistem pembuatan kebijakan publik; 3.
bersifat interdisipliner,
dengan memfusikan ilmu-ilmu perilaku dan
manajemen; 4.
menggabungkan penelitian murni dan terapan, dimana dunia nyata adalah
merupakan laboratoriumnya
yang utama;
5. memanfaatkan
pengetahuan dan
pengalaman para pembuat kebijakan dan melibatkan mereka sebagai partner
dalam membangun
ilmu-ilmu kebijakan.
6. berhati-hati
dalam membuktikan
kebenaran dan keberhasilan data dan mempertahankan standar ilmiah.
4. Proses Perumusan Kebijakan