Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL
DI INDONESIA

ALEX OXTAVIANUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pembangunan
Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Alex Oxtavianus
NRP. H0162090081

RINGKASAN
ALEX OXTAVIANUS. Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan
Modal Sosial di Indonesia. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, HIMAWAN
HARIYOGA dan SLAMET SUTOMO.
Pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi
fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi
(United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de
Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan juga terus
mengalami perkembangan, salah satunya adalah keseimbangan dimensi
pembangunan dalam bentuk prisma keberlanjutan. Berdasarkan prisma
keberlanjutan, pembangunan harus memperhatikan keseimbangan antara dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan Pandangan ini pula yang menjadi
konsep dasar dalam penelitian ini.
Pembangunan di Indonesia masih belum menunjukkan keseimbangan antara
dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan masih

sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam
pembangunan dimensi yang lain. Selama periode 2006 hingga 2010 ekonomi
Indonesia tumbuh rata-rata 5,73 persen setiap tahunnya, namun lahan kritis pada
periode yang sama juga naik rata-rata sebesar 1,38 persen setiap tahun. Selama
tahun 2008 hingga 2012, tingkat kemiskinan turun dari 15,42 persen menjadi
11,96 persen, namun ketimpangan pendapatan yang diukur dengan gini rasio naik
dari 0,35 menjadi 0,41. Perbandingan antara indeks pembangunan manusia (IPM)
dengan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) juga menunjukkan gambaran
bahwa provinsi yang maju pada pembangunan manusia cenderung memiliki
lingkungan yang rusak.
Salah satu faktor penyebab ketidakseimbangan antar dimensi pembangunan
diduga karena belum komprehensifnya ukuran pembangunan berkelanjutan yang
digunakan. Akibatnya evaluasi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan juga
tidak berimbang antar dimensi pembangunan. Selain itu, menurunnya kualitas
lingkungan dan meningkatnya kesenjangan juga diduga karena lemahnya
perhatian terhadap modal sosial. Pemanfaatan modal sosial diduga akan mampu
mengurangi kerusakan lingkungan melalui kearifan lokal serta permasalahan
keadilan dengan norma saling membantu.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Menganalisis capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi,

sosial, lingkungan dan kelembagaan, (2) Mengembangkan indeks komposit
pembangunan berkelanjutan yang dibangun dari dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan, dan (3) Menganalisis hubungan antara
pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial di Indonesia.
Capaian pembangunan berkelanjutan diukur menggunakan indeks komposit
dengan menggunakan beberapa indikator yang mewakili dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Model konfirmatori faktor analisis ordo kedua
dipergunakan untuk menyeleksi indikator penyusun yang signifikan dari 32
indikator yang telah ditetapkan. Analisis ini menghasilkan sembilan indikator
yang signifikan mengukur pembangunan berkelanjutan. Indikator pada dimensi
ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto per kapita (PDRBC). Indikator

dimensi sosial terdiri dari angka harapan hidup (E0), persentase penduduk yang
berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT), rasio ketergantungan (DEPR) dan
total fertility rate (TFR). Dimensi lingkungan diwakili oleh indikator persentase
desa yang tidak mengalami pencemaran udara (UDARA) dan indeks kualitas
lingkungan hidup (IKLH). Indikator rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki
(RUPAH) serta rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki (RAPS)
merupakan dua indikator yang mewakili dimensi kelembagaan.
Pembangunan Indonesia menunjukkan kemajuan yang tinggi di bidang

ekonomi, kemajuan yang rendah di bidang sosial dan kelembagaan dan penurunan
pada bidang lingkungan. Oleh sebab itu, kenaikan indeks pembangunan
berkelanjutan Indonesia hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek, namun tidak dalam jangka panjang.
Hasil analisis hubungan antara pembangunan dengan modal sosial juga
tidak seluruhnya sejalan dengan hipotesis awal. Modal sosial hanya berhubungan
positif terhadap pembangunan sosial dan kelembagaan namun mengindikasikan
hubungan negatif pada pembangunan ekonomi dan lingkungan. Munculnya
indikasi pola hubungan negatif ini diduga disebabkan oleh: (1) Indikator modal
sosial belum mampu menangkap modal sosial secara utuh. Indikator modal sosial
yang dipergunakan dalam penelitian ini mengukur hubungan antar individu dalam
lingkup desa/kelurahan, sehingga belum mampu menangkap modal sosial yang
berperan dalam pembangunan ekonomi dan lingkungan.(2) Terjadinya degradasi
modal sosial sebagai akibat dari tidak digunakannya modal sosial dalam
pembangunan, atau bahkan akibat pengaruh negatif dari pembangunan. Kondisi
ini menjadikan daerah yang terbangun (maju) cenderung memiliki modal sosial
yang rendah, begitu pula sebaliknya (3) Walaupun tidak dapat di generalisasi,
ditemukannya indikasi karakteristik bonding social capital yang berdampak
negatif terhadap pembangunan.
Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta

rekomendasi kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah peningkatan
perhatian pemerintah dalam pembangunan lingkungan dan kelembagaan. Modal
sosial dapat dipergunakan dalam membantu peningkatan capaian pembangunan
lingkungan dan kelembagaan. Pengembangan modal sosial dapat dimulai dengan
mengidentifikasi dan mempertahankan modal sosial yang berkorelasi positif
dengan pembangunan lingkungan dan kelembagaan. Upaya untuk
mempertahankan modal sosial dapat dilakukan dengan mengangkat norma-norma
positif tersebut menjadi aturan formal yang mengikat anggota komunitas tersebut
Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, indeks komposit, modal sosial

SUMMARY
ALEX OXTAVIANUS. Sustainable Development and Its Relationship with
Social Capital in Indonesia. Supervised by AKHMAD FAUZI, HIMAWAN
HARIYOGA and SLAMET SUTOMO.
Sustainable development became a popular concept and the focus of the
international community since the Earth Summit (United Nations Conference on
Environmental Development, UNCED); it‟s held in Rio de Janeiro in 1992.
Sustainable development concept also continues to develop. One of which is the
balance of the development dimension in the form of a prism of sustainability.
Under the prism of sustainability, the development should pay attention to the

balance between the economic, social, environmental and institutional.
Development in Indonesia is not balance between the economic, social,
environmental and institutional. Development has dominant attention to the
economic and social dimensions, but weak in the other dimensions of
development. During the period 2006 to 2010, the Indonesian economy grew by
an average of 5.73% annually, but the critical land in the same period also rose by
an average of 1.38% per year. During 2008 to 2012, the poverty rate fell from
15.42% to 11.96%, but income inequality measured by the gini ratio rose from
0.35 to 0.41. Comparison between human development indexes (HDI) with the
environmental quality index (IKLH) also shows that the province forward in
human development is likely to have damaged the environment.
The emergence of an imbalance between the development dimension is
suspected because of the measurement of the development does not yet include
the overall dimensions of sustainable development. As a result, evaluation and
policy development as well do not reflect the overall dimensions of development.
In addition, environmental degradation and rising inequality is also suspected due
to lack of attention to social capital. Utilization of social capital is expected to
reduce damage of the environment through local wisdom and justice issues with
the norms of mutual help.
Related to these problems, this study has three main objectives that include

the following: (1) to analyze the achievements of development in Indonesia in
terms of the economic, social, and institutional environment, (2) to develop
sustainable development composite index constructed from the economic, social,
environmental and institutional, and (3) to analyze the relationship between
sustainable development with social capital in Indonesia
The achievement of sustainable development was measured using a
composite index by using some indicators that represent the economic, social,
environmental and institutional. Second order confirmatory factor analysis used to
select significant indicator from 32 indicators that have been set. This analysis
resulted in nine significant indicators measuring sustainable development.
Indicator on the economic dimension is the gross domestic regional product per
capita (PDRBC). Indicators of the social dimension consists of the life expectancy
(E0), the percentage of people who go to the hospital and doctors (BROBAT),
dependency ratio (DEPR) and total fertility rate (TFR). Environmental dimension
is represented by the percentage villages that do not have air pollution (AIR) and
the environmental quality index (IKLH). The ratio of women's wages to men

(RUPAH) and the ratio of woman‟s enrolment rates to men (RAPS) are two
indicators representing institutional dimensions.
Indonesian development shows great advancement in economy, low

progress in the social and institutional, and decline in environment. Therefore, the
increase in Indonesia's sustainable development index only indicates a more
sustainable development in the short term, but not in the long run.
The results of relationship analysis between development and social capital
are not entirely in line with the initial hypothesis. Social capital is positively
related only to the social and institutional development but indicate a negative
relationship to economic development and the environment. The negative
relationship pattern is thought to be caused by: (1) Social capital indicators have
not been able to capture social capital as a whole. Indicators of social capital used
in this study to measure the relationship between individuals within the rural /
urban, so not able to capture the role of social capital in economic development
and the environment. (2) Social capital degradation due to disuse of social capital
in development, or even under the influence negative development. The decline of
social capital led to the emergence of opportunistic behaviour such as corruption
and abuse of power. (3) Although it may not be generalized, there is indicated that
characteristics of bonding social capital have a negative impact on development.
The above findings became the basis in formulating suggestions and
recommendations. One suggestion was increased interest in the development of
government and institutional environment. Social capital can be used to help
improve environmental performance and institutional development. The

development of social capital can begin to identify and maintain positive social
capital is correlated with environmental and institutional development.
Keywords: sustainable development, composite index, social capital

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL
DI INDONESIA

ALEX OXTAVIANUS


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Setia Hadi, MS
ProfDr Ir Bambang Juanda, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Heru Margono, MSc
Dr Ir Edi Effendi Tedjakusuma, MA

Judul Penelitian
Nama
NRP

Program Studi

: Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan
Modal Sosial di Indonesia
: Alex Oxtavianus
: H 162090081
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc
Ketua

Dr Ir Himawan Hariyoga, MSc
Anggota

Dr Slamet Sutomo, SE MS
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian : 4 Juli 2014

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya
dengan Modal Sosial di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan, sebagai arahan
pembangunan, mensyaratkan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan Indonesia relatif baik pada dimensi
ekonomi dan sosial, namun lemah pada dimensi lingkungan dan kelembagaan.
Penggunaan dan pengembangan modal sosial dalam pembangunan diharapkan
mampu menjembatani kelemahan pembangunan lingkungan dan kelembagaan.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak,
terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Dr. Ir. Himawan
Hariyoga, M,Sc, dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS atas bimbingannya, sejak
pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan
dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) dan penguji pada sidang
tertutup; Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II
dan sidang tertutup; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku penguji pada ujian
preliminasi tahap II; Dr. Heru Margono, M.Sc dan Dr. Ir. Edi Effendi
Tedjakusuma, MA selaku penguji pada sidang terbuka.
2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan
BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan
sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini.
3. Rekan-rekan dari BPS yang telah berpartisipasi dalam penyediaan data dan
memberikan masukan berharga tentang metode dan arahan analisis.
4. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD), terutama angkatan 2009, atas kebersamaan
dan modal sosial yang kental.
5. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan
sampai selesainya disertasi ini.
6. Seluruh teman-teman yang tergabung di Community Development Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB atas
keakraban dan pencerahan tentang realita modal sosial.
7. Kedua orang tua asuh penulis (Nasroel Chas (alm) dan Yusnani Yanis Nasroel
Chas) yang modal sosial nya telah menjadi inspirasi disertasi ini.
8. Kedua orang tua penulis (Toto Asmito dan Sumaryeti)dan bapak/ibu mertua
(H. Bulkaini dan Sawinar (almh)) serta kakak/adik atas doa dan dukungannya
selama ini.
9. Last but not least. Terima kasih kepada istri tercinta Ira Wirma dan anak-anak
tersayang Yasinda Winona, Ginata Aminda dan Royyan Hidayat Rabbani atas
doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus sehingga memotivasi
penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini
jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini
bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2014
Alex Oxtavianus

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xvii
xviii
xviii
xix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan
Tujuan Penelitian
Batasan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
10
12
12
13

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan Berkelanjutan
Modal Sosial
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

15
15
19
25
32
33

3 METODE PENELITIAN
Data dan Pengambilan Sampel
Variabel Penelitian
Teknik Analisis

35
35
35
42

4 EVALUASI PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Perkembangan Pembangunan Ekonomi
Perkembangan Pembangunan Sosial
Perkembangan Pembangunan Lingkungan
Perkembangan Pembangunan Kelembagaan

53
53
54
60
65

5 PENGEMBANGAN INDEKS KOMPOSIT PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

67
67
73

6 HUBUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN MODAL
SOSIAL
82
Pengukuran Modal Sosial di Indonesia
82
Korelasi Pembangunan dengan Modal Sosial
93
Analisis Jalur Hubungan Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal
Sosial
104
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

107
107
108

DAFTAR PUSTAKA

111

LAMPIRAN

117

RIWAYAT HIDUP

153

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011
Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012
Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI)
Indonesia,2010-2012
Ringkasan Hasil Pengukuran Stok Modal Sosial 2009
Indikator Keterkaitan antar Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Variabel Modal Sosial dan Definisi Operasional
Metode Analisis
Beberapa ukuran goodness of fit test (GFT) dalam Model Persamaan
Struktural
Penentuan Penimbang Setiap Indikator dengan Metode Korelasi
Bobot dan nilai batas untuk normalisasi
Indeks komposit pembangunan berkelanjutan
Persentase Responden menurut Karakteristik Demografi dan Daerah
Tempat Tinggal
Rata-rata skor indikator modal sosial
Normalisasi rata-rata skor indikator modal sosial
Indeks Modal Sosial 2012
Indeks Modal Sosial 2012 Menurut Kategori Wilayah
Koefisien Korelasi Modal Sosial (SC) dengan Indeks Pembangunan
Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social
Capital

2
3
4
9
10
17
36
42
43
47
49
71
72
83
86
87
89
92
93
95

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004
dan 2012
Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)
Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik
Kerangka Pemikiran
Model Konfirmatori Faktor Analisis Ordo Kedua untuk penyusunan
Indeks Pembangunan Berkelanjutan
Analisis Empat Kuadran
Model Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan
PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012
Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012
Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, 2012
Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Lingkungan, 20072012
Emisi CO2 (ribu ton) dan CH4 (ton), 2007-2012

5
6
20
33
48
51
52
53
55
57
61
62
64

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Kelembagaan,
2007-2012
65
Hasil konfirmatori faktor analisis
68
Bobot Indikator dan Dimensi Pembangunan Berkelanjutan
71
Capaian pembangunan di Indonesia
73
Peta Capaian Pembangunan Berkelanjutan
74
Perubahan Indeks Pembangunan Selama Periode 2009-2012
76
Boxplot Indeks Pembangunan Tahun 2009 dan 2012
77
Capaian pembangunan berkelanjutan nasional
79
Besaran penimbang indikator yang komponen modal sosial
88
Boxplot Indeks Modal Sosial dan Komponennya 2012
91
Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks
Modal Sosial 2012
96
Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal
Sosial 2012
98
Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Lingkungan dengan Indeks
Modal Sosial 2012
100
Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Kelembagaan dengan Indeks
Modal Sosial 2012
103
Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial
dengan Pembangunan Berkelanjutan
105

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Output LISREL: Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan
119
Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan
124
Output LISREL : Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap
Pembangunan Berkelanjutan
149

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan membutuhkan berbagai input untuk menghasilkan output.
Salah satu input yang dibutuhkan adalah yang berasal dari sumberdaya alam.
Namun, pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan
kelestarian lingkungan seringkali menjadi tradeoff(Fauzi, 2004). Pembangunan
ekonomi berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri,
karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya
dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak
memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan
permasalahan pembangunan dikemudian hari.
Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang
tersedia, sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi
pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan
sumber daya alam tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang. Dalam perspektif ini, pendekatan pembangunan dituntut untuk
memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi. Konsep inilah yang
kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi dkk, 2009).
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan
menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT
Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di
Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus
mengalami perkembangan. Serageldin melihat pembangunan berkelanjutan dari
tiga dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan
ekologi/lingkungan (Rustiadi dkk, 2009). Pandangan ini menjadi konsep yang
paling sering dijadikan acuan dalam berbagai tulisan.
Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Hariyoga (2012) mengistilahkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia. Kondisi ini diperkuat
dengan indikator ekonomi yang lain, seperti rendahnya tingkat suku bunga Bank
Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini
diperkuat lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for
Economic Co-operation Development (OECD). OECD menilai Indonesia telah
memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat
pertumbuhan yang cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen (OECD, 2012).
Gambaran makro ekonomi Indonesia tampaknya tidak sejalan dengan
kualitas lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan
dimensi ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah
diuraikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun
waktu 2006 hingga 2010, di tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di
dunia, perekonomian Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen
setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, jumlah lahan
kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang

2
telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan
atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,
pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara
rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap
tahunnya. Peningkatan lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali
pulau Sumatera. Di daerah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan
kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap tahunnya.
Tabel 1PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010

Pulau

Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara,
Maluku & Papua

PDRB Harga Konstan (Triliun Rp)
Rata-rata
Pertumbuhan
2006
2010
per tahun

Lahan Kritis (000 Ha)
Rata-rata
Pertumbuhan
2006
2010
per tahun

389,07
1093,32
160,69
79,15

468,06
1385,13
190,34
106,89

4,73
6,09
4,32
7,80

25898,97
3663,70
27918,05
6218,21

24771,47
4317,00
28012,61
7610,81

-1,11
4,19
0,08
5,18

55,72

71,18

6,31

14107,95

17464,55

5,48

5,73

77806,88

82176,44

1,38

Indonesia
1777,95 2221,60
Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan

Kondisi ini dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak, seperti
pernah disebutkan oleh Fauzi (2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan
tekanan pada ekosistem bumi, yang mengakibatkan terjadinya progress trap atau
jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar
dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan. Jebakan ini pada akhirnya akan
menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut. Menyikapi hal ini beberapa
ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth)
dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan
lingkungan.
Paradoks pembangunan juga dapat dilihat dengan memperbandingkan
indikator pembangunan sosial ekonomi dengan indikator lingkungan. Terkait
dengan bahasan ini, terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam
mengukur kinerja pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH).
IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur
dimensi-dimensi pokok pencapaian kemampuan dasar penduduk: umur panjang
dan sehat, berpengetahuan dan memiliki keterampilan, serta aksesibilitas terhadap
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Berdasarkan
komponennya ini, maka IPM menjadi indikator yang umum dipergunakan untuk
mengukur capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun IPM masih luput
mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian
pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH).

3
Tabel 2Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH), 2009 - 2011
IPM
Provinsi

2009
IPM

(1)
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep, Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia

(2)
71,31
73,80
73,44
75,60
72,45
72,61
72,55
70,93
72,55
74,54
77,36
71,64
72,10
75,23
71,06
70,06
71,52
64,66
66,60
68,79
74,36
69,30
75,11
75,68
70,70
70,94
69,52
69,79
69,18
70,96
68,63
68,58
64,53
71,76

IKLH

2010

2011

Rank IPM Rank IPM Rank
(3)
17
8
9
3
13
10
12
21
11
6
1
15
14
4
18
23
16
32
31
28
7
26
5
2
22
20
25
24
27
19
29
30
33

(4)
71,70
74,19
73,78
76,07
72,74
72,95
72,92
71,42
72,86
75,07
77,60
72,29
72,49
75,77
71,62
70,48
72,28
65,20
67,26
69,15
74,64
69,92
75,56
76,09
71,14
71,62
70,00
70,28
69,64
71,42
69,03
69,15
64,94
72,27

(5)
17
8
9
3
13
10
11
21
12
6
1
15
14
4
18
23
16
32
31
28
7
26
5
2
22
19
25
24
27
20
30
29
33

(6)
72,16
74,65
74,28
76,53
73,30
73,42
73,40
71,94
73,37
75,78
77,97
72,73
72,94
76,32
72,18
70,95
72,84
66,23
67,75
69,66
75,06
70,44
76,22
76,54
71,62
72,14
70,55
70,82
70,11
71,87
69,47
69,65
65,36
72,77

(7)
18
8
9
3
13
10
11
20
12
6
1
16
14
4
17
23
15
32
31
28
7
26
5
2
22
19
25
24
27
21
30
29
33

2009

2010

1)

2)

IKLH Rank IKLH
(8)
(9)
72,47 12
62,48 19
87,04
2
51,65 25
75,04
9
69,30 14
79,58
4
73,64 11
52,15 24
51,65 25
41,73 30
49,69 27
55,40 22
53,52 23
59,01 21
50,86 26
85,50
3
73,69 10
66,61 18
71,92 13
45,70 29
48,25 28
68,63 15
88,21
1
68,51 16
67,62 17
60,53 20
67,62 17
78,80
6
78,80
5
75,30
8
75,30
7
59,79

Rank IKLH2) Rank

(10)
(11)
77,30 11
87,17
6
81,46
9
54,86 22
62,82 17
75,70 13
96,89
4
86,95
7
64,92 15
54,86 22
41,81 29
53,44 23
50,48 25
71,91 14
49,49 27
48,98 28
99,65
1
90,15
5
50,72 24
76,39 12
50,38 26
58,24 21
62,22 19
84,18
8
97,58
3
62,89 16
62,23 18
97,93
2
62,89 16
79,72 10
79,72 10
59,56 20
59,56 20
61,07

2011

(12)
(13)
66,74 16
72,21 12
77,00
9
56,23 24
64,92 18
77,50
8
96,77
3
86,57
4
64,99 17
56,23 24
41,31 30
50,90 27
49,82 28
68,89 14
54,49 25
48,98 29
85,30
5
84,30
7
59,01 23
74,27 10
63,98 19
60,29 21
70,75 13
84,59
6
98,53
2
62,64 20
52,79 26
98,89
1
67,85 15
73,09 11
73,09 11
68,51 22
68,51 22
60,25

Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup
Catatan :
1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat gabung
2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan
Dannish International Development Agency(DANIDA). IKLH mengadopsi
konsep indeks yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia
Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator
kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2011).
Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran
sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan
lingkungan. Mencermati Tabel 2, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara
peringkat IPM dengan peringkat IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM
baik, justru memiliki peringkat IKLH yang tidak baik, contohnya Provinsi DKI
Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai
IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi yang peringkat

4
Tabel 3Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012
Tingkat Kemiskinan
Provinsi
2011

*)

Gini Ratio
2012

*)

2008

2009

2010

2011

2012

2008

2009

2010

(1)
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep, Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

(2)
23,53
12,55
10,67
10,63
9,32
17,73
20,98
8,58
20,64
9,18
4,29
13,01
19,23
18,32
18,51
8,15
6,17
23,81
25,65
11,07
8,71
6,48
9,51
10,10
20,75
13,34
19,53
24,88
16,73
29,66
11,28
35,12
37,08

(3)
21,80
11,51
9,54
9,48
8,77
16,28
20,22
7,46
18,59
8,27
3,62
11,96
17,72
17,23
16,68
7,64
5,13
22,78
23,31
9,30
7,02
5,12
7,73
9,79
18,98
12,31
18,93
25,01
15,29
28,23
10,36
35,71
37,53

(4)
20,98
11,31
9,50
8,65
8,34
15,47
18,94
6,51
18,30
8,05
3,48
11,27
16,56
16,83
15,26
7,16
4,88
21,55
23,03
9,02
6,77
5,21
7,66
9,10
18,07
11,60
17,05
23,19
13,58
27,74
9,42
34,88
36,80

(5)
19,57
11,33
9,04
8,47
8,65
14,24
17,50
16,93
5,75
7,40
3,75
10,65
15,76
16,08
14,23
6,32
4,20
19,73
21,23
8,60
6,56
5,29
6,77
8,51
15,83
10,29
14,56
18,75
13,89
23,00
9,18
31,92
31,98

(6)
19,46
10,67
8,19
8,22
8,42
13,78
17,70
16,18
5,53
7,11
3,69
10,09
15,34
16,05
13,40
5,85
4,18
18,63
20,88
8,17
6,51
5,06
6,68
8,18
15,40
10,11
13,71
17,33
13,24
21,78
8,47
28,20
31,11

(7)
0,27
0,31
0,29
0,31
0,28
0,30
0,33
0,35
0,26
0,30
0,33
0,35
0,31
0,36
0,33
0,34
0,30
0,33
0,34
0,31
0,29
0,33
0,34
0,28
0,33
0,36
0,33
0,34
0,31
0,31
0,33
0,31
0,40

(8)
0,29
0,32
0,30
0,33
0,27
0,31
0,30
0,35
0,29
0,29
0,36
0,36
0,32
0,38
0,33
0,37
0,31
0,35
0,36
0,32
0,29
0,35
0,38
0,31
0,34
0,39
0,36
0,35
0,30
0,31
0,33
0,35
0,38

(9)
0,30
0,35
0,33
0,33
0,30
0,34
0,37
0,36
0,30
0,29
0,36
0,36
0,34
0,41
0,34
0,42
0,37
0,40
0,38
0,37
0,30
0,37
0,37
0,37
0,37
0,40
0,42
0,43
0,36
0,33
0,34
0,38
0,41

(10)
0,33
0,35
0,35
0,36
0,34
0,34
0,36
0,37
0,30
0,32
0,44
0,41
0,38
0,40
0,37
0,40
0,41
0,36
0,36
0,40
0,34
0,37
0,38
0,39
0,38
0,41
0,41
0,46
0,34
0,41
0,33
0,40
0,42

(11)
0,32
0,33
0,36
0,40
0,34
0,40
0,35
0,36
0,29
0,35
0,42
0,41
0,38
0,43
0,36
0,39
0,43
0,35
0,36
0,38
0,33
0,38
0,36
0,43
0,40
0,41
0,40
0,44
0,31
0,38
0,34
0,43
0,44

Indonesia

15,42

14,15

13,33

12,49

11,96

0,35

0,37

0,38

0,41

0,41

Sumber : BPS
Catatan : *) Kondisi pada bulan September

IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya
provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011
berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24.
Akhirnya akan sulit untuk menilai tingkat pembangunan wilayah yang
berkelanjutan kalau hanya menggunakan salah satu indeks saja, IPM atau IKLH
saja.
Dua indikator lain yang juga sering dipergunakan dalam mengukur
pembangunan wilayah adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat
kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan dan sangat sering digunakan sebagai alat ukur dimensi sosial. Gini
rasio mengukur kesenjangan pendapatan dan merupakan indikator yang
menggambarkan kemerataan. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42
persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat
kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walau

5
tingkat kemiskinan mengalami penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan
adanya peningkatan. Dengan kata lain, walau tingkat kemiskinan menurun, tetapi
disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan pendapatan yang sangat
lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial yang pada
akhirnya mengganggu keberlanjutan pembangunan.
Ketidakmerataan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sebaran
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada masing-masing daerah. Jika
memperhatikan kontribusi PDRB pada masing-masing pulau utama terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, tampak jika sumbangan terbesar dari
PDRB masih berasal dari pulau Jawa dan Bali. Kontribusi PDRB Jawa dan Bali
pada tahun 2004 adalah sebesar 61 persen. Kontribusi ini mengalami penurunan
menjadi 59 persen pada tahun 2012. Kontribusi PDRB pulau Sumatera menempati
urutan kedua, dengan nilai PDRB mencapai 22 persen pada tahun 2004 dan
meningkat menjadi 24 persen pada tahun 2012. Peningkatan kontribusi PDRB
juga terjadi di pulau Sulawesi. Kontribusi PDRB Sulawesi meningkat dari 4
persen pada tahun 2004 menjadi 5 persen pada tahun 2012. Sebaliknya, kontribusi
PDRB pulau Kalimantan justru mengalami penurunan, dari 10 persen pada tahun
2004 menjadi 9 persen pada tahun 2012. Sedangkan kontribusi PDRB Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua jumlahnya tidak mengalami perubahan dari tahun
2004 ke tahun 2012.
Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa ketidakmerataan
pembangunan juga terjadi pada pembangunan ekonomi antar wilayah.
Perekonomian sangat didominasi oleh pulau Jawa dan Bali. Walaupun kontribusi
kedua pulau ini cenderung mengalami penurunan, namun porsinya masih sangat
besar. Kontribusi beberapa pulau seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua,
cenderung stagnan. Bahkan kontribusi Kalimantan justru mengalami penurunan.
Ketidakmerataan pembangunan antar daerah ini diduga berdampak negatif
terhadap pembangunan, karena dapat memicu terjadinya konflik. Bahkan
beberapa konflik yang mengarah pada separatisme sering mengangkat isu
ketidakmerataan dan ketidakadilan sebagai alasannya.
2012

2004

Sumatera
24%

Sumatera
22%

Sulawesi
4%
Jawa dan
Bali
61%

Kalimantan
10%
Nusa
Tenggara,
Maluku,
Papua
3%

Jawa dan
Bali
59%

Sulawesi
5%
Kalimantan
9%
Nusa
Tenggara,
Maluku,
Papua
3%

Gambar 1Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004 dan
2012

6
Mencermati beberapa fakta empirik tentang pembangunan Indonesia di atas,
nampak bahwa pembangunan Indonesia masih belum mampu menjawab
permasalahan lingkungan, kemerataan dan keadilan.Pembangunan masih sangat
dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam
pembangunan di bidang yang lain. Dari sisi lingkungan, pembangunan
memunculkan lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas
lingkungan. Pembangunan juga memunculkan perbedaan yang semakin lebar
antara masyarakat golongan kaya dengan golongan miskin.
Dengan demikian, dimensi pembangunan yang mengukur pembangunan
dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan saja masih belum memadai. Dibutuhkan
satu dimensi lagi yang mampu menjawab persoalan kemerataan dan keadilan.
Pernyataan Spangenberg yang menambahkan dimensi kelembagaan sebagai salah
satu dimensi dalam pembangunan berkelanjutan, dipandang mampu menangkap
permasalahan pembangunan Indonesia. Menurut Spangenberg, kelembagaan yang
baik akan menghasilkan kemerataan dan keadilan dalam pembangunan. Dengan
ditambahkannya kelembagaan (institution), maka keempat dimensi tersebut;
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma
keberlanjutan, prism of sustainability (Spangenberg dan Bonniot, 1998).
Sebelumnya kelembagaan telah diakui sebagai salah satu elemen penting
dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi masih belum dianggap sebagai dimensi
tersendiri dalam pembangunan berkelanjutan. Keberadaannya sering dimasukkan
dan dijadikan satu dengan dimensi sosial. Namun Spangenberg (2007)
menyatakan bahwa penggabungan antara dimensi kelembagaan dengan dimensi
sosial ini akan memunculkan permasalahan yang kompleks dan sulit untuk
dideskripsikan. Penggabungan antara dimensi sosial dengan kelembagaan sama
halnya dengan menggabungkan pelaku dengan struktur, atau antara individu
dengan masyarakat. Karena perbedaan tersebut, maka sudah seharusnya antara
sosial dan kelembagaan dijadikan dua dimensi yang berbeda. Dimensi sosial
menitikberatkan pada aset dan kemampuan individu sebagai pelaku, seperti
kesehatan, ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Sedangkan dimensi
kelembagaan merupakan sistem yang mengatur hubungan antar individu. Seperti
dimensi yang lain, dimensi kelembagaan juga mempunyai tujuannya sendiri,
seperti keamanan sosial, kesempatan berpartisipasi, kesetaraan, pemerataan,

Sumber : Spangenberg dan Bonniot, 1998

Gambar 2Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)

7
keadilan dan kebebasan, yang juga mempunyai tujuan yang saling berkaitan
dengan dimensi yang lain (ekonomi, sosial dan lingkungan).
Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh
Spangenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari
capaian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat
kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya
berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak
lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian,
karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih
besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan
yang mengabaikan pembangunan kelembagaan sehingga memunculkan
kesenjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan
terjadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme.
Konflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di
masa yang akan datang.
Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih
terpantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif terhadap
ukuran kesenjangan dan kualitas lingkungan. Indikator pembangunan
berkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat
dimensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik
Bruto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian
tentang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ukuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas
oleh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih
melibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak
dimunculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada
dimensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi
sosial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil,
padahal permasalahan kesenjangan yang menjadi salah satu indikator
kelembagaan cukup menonjol di Indonesia.
Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan
sebagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia.
Kondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi
kelembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri
kelembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian
pembangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat
dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada
umumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.
Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi,
Spangenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal
pembangunan tersebut adalah man-made capital, human capital, natural
capitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan keempat modal tersebut
akan mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini,
perhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan
modal yang terakhir. Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi
permasalahan pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya. Modal sosial
diharapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan

8
adanya norma saling membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah
masalah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi
syarat utama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu
modal dalam pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan
perhatian yang seimbang dengan modal yang lain.
Rustiadi dkk (2009), Lawang (2005) dan Ridell, dalam Suharto (2007)
menuliskan tiga komponen modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma
(norms) dan jejaring (network). Kepercayaan (trust), dibutuhkan untuk
membangun kerjasama, menekan biaya transaksi dan menghemat penggunaan
sumberdaya, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Norma-norma (norms), terdiri
pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang
diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang, berupa aturan umum,
sanksi-sanksi, rules of the game, hak sosial untuk mengontrol tindakan seseorang
oleh orang lainnya, dibutuhkan untuk menekan perilaku oportunis. Jejaring
(networks), merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan
kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat
kerjasama.
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan
berbagai kebijakan untuk menyejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya.
Modal sosial juga dapat meningkatkan kesadaran individu terkait banyaknya
peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.
Inayah (2012) menuliskan besarnya peran modal sosial dalam pembangunan.
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai peran yang besar
sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal
sosial. Peran modal sosial tersebut antara lain kemampuannya untuk
menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong
perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif
untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan.
Modal sosial juga sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (1995) menunjukkan hasil-hasil
studi di berbagai negara yang memperlihatkan bahwa modal sosial yang kuat akan
merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa
percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh
antar sesama pelaku ekonomi.
Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat
tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang
dijalankan pelaku ekonomi. Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat
kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan
dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa
percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku,
agama, dan negara.
Dalam kasus Indonesia, perhatian terhadap penggunaan modal sosial dalam
pembangunan relatif rendah dibandingkan dengan modal pembangunan yang lain.
Modal sosial masih kurang diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan

9
pembangunan, sehingga tidak satu paragrafpun rencana pembangunan daerah
maupun nasional yang secara sungguh-sungguh memberikan tempat pada dimensi
modal sosial (Hasbullah, 2006). Beberapa kebijakan pemerintah bahkan dinilai
menggerus modal sosial yang ada di masyarakat. Contohnya adalah
penyeragaman tingkat pemerintahan terendah menjadi bentuk desa. Dengan
penyeragaman ini, struktur pemerintahan adat yang sudah melembaga di beberapa
daerah menjadi terabaikan. Tidak berfungsinya pemerintahan adat ini pada
akhirnya juga berdampak negatif terhadap norma-norma tradisional di masyarakat
yang pada akhirnya berpengaruh pada modal sosial. Cameron L dan Shah M
(2011) bahkan melihat kebijakan pemerintah yang bertujuan mengurangi
kemiskinan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), juga berpeluang menurunkan
modal sosial di Indonesia. Dengan model ekonometrik serta data hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006 dan Pendataan Potensi Desa
(Podes) tahun 2005 penelitian mereka memberi hasil yang cukup mengejutkan.
Penyaluran dana BLT yang tidak tepat sasaran, berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan kriminalitas dan penurunan modal sosial di dalam
komunitas..
Kondisi modal sosial di Indonesia saat ini seakan-akan sudah hilang dan
mengalami kematian. Semangat hidup bersama, gotong royong dan
pengelompokan sosial yang terbentuk secara sukarela dan memiliki energi
keswadayaan seakan tidak tampak lagi. Indonesia saat ini kecenderungannya
menuju masyarakat yang zero trust society. Keseluruhannya itu menggambarkan
keterpurukan dan kehancuran modal sosial di Indonesia (Hasbullah, 2006).
Salah satu indikator yang mencerminkan kondisi modal sosial di suatu
wilayah adalah tingkat korupsi. Modal sosial merupakan salah satu alat yang
keberadaannya mampu menekan perilaku free riderdan oportunis, seperti korupsi.
Sehingga tingginya angka korupsi akan mencerminkan modal sosial yang lemah.
Namun di sisi lain, Winarno (2008) menyebutkan bahwa korupsi juga akan
melemahkan modal sosial. Berkembangnya kasus-kasus korupsi akan
menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tingkat korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Hasil penghitungan
Corruption Perceptions Index (CPI) yang dilakukan oleh Transparancy
International menunjukkan peringkat Indonesia masih cukup rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain. Transparancy International menghitung
nilai CPI dengan memberikan skor antara 1 hingga 10. Skor 1 menunjukkan
Tabel 4Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia,20102012
Tahun

Skor CPI

Peringkat CPI

Peringkat terrendah

2010
2011
2012

2,8
3,0
2,9

110
100
118

178
182
174

Sumber : Transparancy International 2010, 2011 dan 2012

10
negara yang paling korup, sedangkan skor 10 menggambarkan negara yang paling
tidak korup. Nilai CPI Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 2,8, dan berada
pada peringkat 110 dari 178 negara. Pada tahun 2011, nilai CPI Indonesia
mengalami kenaikan menjadi 3,0, namun kembali turun menjadi 2,9 pada tahun
2012. Dari nilai CPI selama tahun 2010-2012 tersebut, terlihat bahwa skor
Indonesia masih belum mencapai sepertiga dari nilai maksimal.
Studi tentang pengukuran stok modal sosial di Indonesia pernah dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Studi ini menghasilkan stok
modal sosial pada tahun 2009 untuk 471 kabupaten/kota di Indonesia, dengan
nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Stok modal sosial dihitung dengan
menggunakan beberapa faktor modal sosial, yaitu sikap percaya terhadap aparat
dan kelompok, sikap percaya terhadap tetangga, toleransi beragama dan suku
bangsa, keeratan dalam kelompok, persahabatan, dan jejaring. Setiap faktor
kemudian dikelompokkan berdasarkan subdimensi modal sosial yang diwakilinya
yaitu: sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring, dan dilanjutkan dengan
penghitungan stok modal sosial. Nilai stok modal sosial tertinggi sebesar 68,5
terjadi di Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya nilai stok
modal sosial terendah sebesar 42,4 terjadi di Kabupaten Dogiyai di Provinsi
Papua. Nilai tengah (median) stok modal sosial yang dihasilkan sebesar 60,8 (BPS,
2010b)
Jika dilihat dari nilai tengah yang berada di kisaran 60 maka capaian stok
modal sosial di Indonesia masih belum mencapai dua pertiga dari nilai maksimum.
Jika dibandingkan dengan dua nilai