Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga

i

KONSERVASI PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) DITINJAU
DARI ASPEK KELEMBAGAAN TATA NIAGA

SITI MASITOH KARTIKAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Konservasi Pasak
Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Siti Masitoh Kartikawati
NIM E361090021

RINGKASAN
SITI MASITOH KARTIKAWATI. Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia
Jack.) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga. Dibimbing oleh ERVIZAL
A.M ZUHUD, AGUS HIKMAT dan HARIADI KARTODIHARDJO.
Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan Barat yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah
dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992).
Pemenuhan pasak bumi selama ini masih bergantung pada hasil pemungutan dari
hutan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji preferensi habitat pasak bumi
dan melakukan estimasi stok pasak bumi yang bisa dipungut agar produktivitas
pasak bumi tetap lestari, (2) mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi
perilaku para aktor dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung AmbawangPemancingan (HLGAP), (3) menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil
hutan bukan kayu (HHBK), (4) menganalisis kinerja kelembagaan tataniaga

pasak bumi yang ada. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kubu Raya dan Kota
Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder
dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam. Analisis data
menggunakan kerangka analisis pengembangan institusi (institutional analysis
and development framework) (Ostrom 2005).
Penelitian terdiri atas empat bagian yang mengkaji konservasi pasak bumi
mulai dari kondisi preferensi habitat dan kondisi stok pasak bumi di hutan yang
layak tebang dalam satuan kg/ha; karakteristik pengelolaan HLGAP; analisis
kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan arena aksi kelembagaan tata
niaga pasak bumi. Kerangka berpikir mengikuti kerangka Analisis Pengembangan
Institusi (Institution Analysis Development, IAD) melalui penelusuran faktor
eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku
(rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada kegiatan tata niaga
pasak bumi
Penelitian pertama bertujuan mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok
pasak bumi sehingga diharapkan bisa untuk menghitung stok pemanenan pasak
bumi secara lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi stok akar yang
dapat dipanen sebesar 0,33 kg/ha. Hal ini disebabkan komposisi struktur tinggi
batang didominasi pada rentang 1-3 meter. Kondisi demikian menunjukkan bahwa
di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan pada tingkat semai dan

pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya stok pasak bumi yang baik
untuk dipanen. Hasil analisis komponen utama keberadaan jumlah individu pasak
bumi dicirikan oleh kelembaban udara. Hal tersebut sesuai dengan sifat pasak
bumi yang toleran terhadap cahaya pada tingkat semai. Hal itu ditunjukkan
dengan banyaknya dijumpai individu pasak bumi yang tumbuh di sekitar pohon
induknya dan berasosiasi dengan pohon yang bertajuk lebar
Penelitian kedua bertujuan mengkaji mengkaji kondisi eksisting yang
mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan HLGAP. Kajian ini
dilakukan untuk mengetahui perilaku para aktor terkait dengan pengelolaan
sumberdaya hutan khususnya pasak bumi. Kajian dilakukan dengan pendekatan
kelembagaan bahwa institusi mampu mengendalikan karakteristik inheren
sumberdaya hutan. Hasil penelitian menunjukkan situasi di lapangan bahwa

pengelolaan HLGAP sebagai state property tidak ada aturan formal pada tingkat
operasional sehingga penegakan hukum atas hak properti lemah. Kondisi ini
menyebabkan HLGAP dalam kondisi open acces yang memicu munculnya
perilaku free rider untuk tidak melakukan investasi terhadap kelestarian pasak
bumi yang berakibat terjadinya kelangkaan. Situasi ini menggambarkan
pemanfaatan HLGAP menimbulkan biaya ekslusi tinggi untuk penegakan hak dan
kelestarian hutan.

Penelitian ketiga bertujuan untuk menganalisis isi peraturan perundangundangan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu. Analisis dilakukan secara
deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang
telah ditetapkan, yaitu : pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hasil
hutan bukan kayu, pelibatan masyarakat, dan wewenang pemerintah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan HHBK saat ini belum terkoordinasi
dengan baik. Pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan HHBK belum
bekerjasama secara sinergi dan belum memberikan hasil yang optimal untuk
pengelolaan sumber daya hasil hutan bukan kayu. Konsep Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) merupakan satu di antara upaya mengatasi permasalahan kehutanan
Indonesia. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat
provinsi, kabupaten/kotan serta pada unit pengelolaan.
Penelitian pada bagian keempat bertujuan untuk mengkaji kinerja tata niaga
pasak bumi serta memahami karakteristik kelembagaan tata niaga dengan perilaku
pemungut dan pedagang. Penelitian dilakukan dengan pendekatan ekonomi
kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik alami
pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar Gunung
Ambawang dan kondisi fisik alam serta pengelolaan state property yang tidak
efektif telah melahirkan interaksi saling ketergantungan komunitas tata niaga
pasak bumi. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak
lain melahirkan bentuk kelembagaan tataniaga pasak bumi dengan sistem patron

klien. Berdasarkan hasil analisis kinerja, tata niaga pasak bumi tidak efisien
dimana margin share yang diperoleh tiap pelaku pemasaran tidak merata untuk
tiap tingkat pemasaran di mana pengumpul memperoleh keuntungan yang paling
kecil, namun memiliki nilai pengembalian investasi (return of investment) paling
besar. Artinya, dari aspek kelestarian kondisi ini mengancam keberadaan pasak
bumi di alam karena akan memacu pemungut untuk mengumpulkan pasak bumi
sebanyak-banyaknya.
Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan menghasilkan
implikasi kebijakan perlu adanya stimulus kerelaan pasak bumi sebagai aset yang
bernilai ekonomis yang didukung dengan prasyarat teknis/inovasi, kelembagaan,
kebijakan dan sumber daya manusia. Prasyarat teknis perlu upaya pengembangan
budidaya; prasyarat kelembagaan mendorong perubahan kelembagaan dengan
pembangunan KPH dan devolusi hutan desa; prasyarat kebijakan mendorong
terciptanya regulasi pemerintah satu pintu yang mampu mengkoordinasikan
berbagai lembaga terkait dengan pengelolaan HHBK; dan prasyarat sumberdaya
manusia : peningkatan kapasitas masyarakt lokal dalam melakukan pengelolaan
kawasan HLGAP.
Kata kunci : Pasak bumi, konservasi, kelembagaan, tata niaga

SUMMARY

SITI MASITOH KARTIKAWATI. Conservation of Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia Jack.) : a review on institutional aspect of trade system. Supervised by
ERVIZAL A.M ZUHUD, AGUS HIKMAT and HARIADI KARTODIHARDJO.
Pasak bumi is one of the indigenous forest products in West Kalimantan that
has economical value with the increasing market demand from year to year. Pasak
bumi can be considered as a medicinal plant with all the part of the plant can be
used (root, stem, root bark and leaves). Condition of pasak bumi's population is
now classified as a rare plant with eroded status. The demand for the plants is still
fulfilled by harvesting directly from the forest, instead from the cultivation one.
The purpose of this study was, (1) to assess the habitat preferences of the pasak
bumi and to estimate it stock so that it can be harvested in order to maintain
sustainable productivity, (2) to assess situations that affect the behavior of the
actors in the management HLGAP, (3) to analyze the content of regulatory policy
related to NTFPs, (4) to analyze the performance of existing trading system of
pasak bumi. The research was conducted in Kubu Raya District and the
Municipality of Pontianak, West Kalimantan. The collection of primary and
secondary data was done by observation and in-depth interviews. Analysis of the
data was using the analytical framework of institutional development (institutional
analysis and development framework) (Ostrom, 2005).
The study consisted of four sections that examined the conservation of

pasak bumi started from habitat preference conditions and conditions of the pasak
bumi's stock in the forest ready to be harvested in units of kg / ha; HLGAP
management characteristics; policy analysis of non-timber forest product
harvesting; and area of institutional action of pasak bumi's trade system. The
analysis follows the framework analysis of Institutional Development (Institution
Analysis Development, IAD) searches through exogenous factors (physical
conditions / materials, community attributes and rules in use), which influenced
the action's situation and actors in the marketing activities of the pasak bumi.
The first study was aimed to examine the habitat preferences and stock
estimation of pasak bumi per hectare that could be expected to be able to calculate
stock of pasak bumi for sustainable harvesting. The results showed that the
potential stock of root that can be harvested relatively low that was equal to 0.33
kg / ha. This was due to the composition of structural height of stems
predominantly in the range of 1-3 meters. These conditions indicated that in the
area of observation, the plots are more common in seedlings and saplings phase,
and therefore contributes to the amount of stock of pasak bumi ready to be
harvested. A habitat preference of the pasak bumi was characterized by humidity.
This is in accordance with the nature of the pasak bumi which is intolerant to light
for seedlings. This was indicated by the number of individuals of the pasak bumi
found growing around the mother tree which is associated with wide leaves.

The second study was aimed to assess situations that affect the behavior of
the actors in the management HLGAP. The study was conducted with institutional
approaches which show the institution is able to control the inherent
characteristics of natural resources. The results show the situation on the field

showed that the management of HLGAP as state property doesn't have formal
rules at the operational level so that HLGAP always in open access conditions.
These conditions lead to the occurrence of behavior and weak law enforcement of
property right which encourages free riders not to invest for the preservation of
the pasak bumi and push the shortage. This situation illustrates the use of HLGAP
caused high exclusion costs for enforcement of rights and the preservation of
endangered forests.
The third study was aimed to analyze the content of regulatory policy
related to NTFPs. Descriptive analyzes were performed using analysis of
substances based on predefined indicators, namely: the use of non-timber forest
products, management of non-timber forest products, community involvement,
and government authority. The results showed that the management of NTFPs is
currently not well coordinated. Parties related to the management of NTFPs do not
currently work in synergy and not provide optimum results for resource
management of non-timber forest products. The concept of Forest Management

Unit (FMU)(KPH) is one of the efforts to solve the problems of Indonesian
forestry. Establishment of forest management areas was done at the provincial,
district as well as the management unit.
Research on the fourth section was aimed to assess the performance of the
marketing of pasak bumi and understand the characteristics of the behavior of
institutional trading system with collectors and traders' behavior. The study was
conducted with institutional economic approach which views the behavior as part
of the structure-conduct-performance (Structure-Conduct-Performance). The
results showed that the natural characteristics of the pasak bumi's exploitation,
attribute of communities around the Ambawang mountains and the natural
physical conditions and the ineffective management of state property lead to the
occurrence of interdependence interaction of trade system of pasak bumi's
community. The existence of parties who are in a better position than the others,
both in terms of economic or information's control shaped the pasak bumi's
trading system into patron-client system. Based on the results of performance
analysis, trading systems of pasak bumi are not efficient where the margin share
taken by each marketing actors was uneven for each level marketing in which
collector has the smallest gain, but has the greatest ROI. Meaning, from the
sustainability aspect, this condition threatens the existence of the pasak bumi in
forest because it will spur collectors to collect the pasak bumi as many as possible

since the costs incurred by collectors is small, because the pasak bumi was
harvested directly from the forest, not from cultivation one.
Based on the research that has been done gave policy implications in need
for stimulus policy implications willingness to pasak bumi as economically
valuable asset with the necessary innovation; institutional, policy, and human
resources. Tecnhnical prerequisites necessary aquaculture development effort;
institutional prerequisites with development of FMU(KPH) and devolution of
forest village; prerequisitespolicy encourage the establishment of one-door
government regulation that is able to coordinate the various agencies associated
with the management of NTFPs; human resources prerequisitescapacity building
local communities in managing HLGAP region.
Keywords : Eurycoma longifolia Jack, conservation, institution, trade system

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONSERVASI PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) DITINJAU
DARI ASPEK KELEMBAGAAN TATA NIAGA

SITI MASITOH KARTIKAWATI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup :

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
Guru besar dalam bidang Manajemen Kawasan
Hutan Konservasi/Kepala Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Didik Widyatmoko, M.Sc
Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Bogor-LIPI

Penguji pada Ujian Terbuka :

Dr. Ir. Bejo Santosa , MSi
Staf Ahli Bidang Revitalisasi Industri
Kehutanan Kementerian Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F.Trop
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB

Judul Tesis : Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari
Aspek Kelembagaan Tata Niaga
Nama
: Siti Masitoh Kartikawati
NIM
: E361090021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud, MS
Ketua

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
Anggota

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas
Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
18 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ialah konservasi pasak bumi, dengan judul Konservasi Pasak Bumi
(Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud,
MS, Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop dan Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo,
MS selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, arahan,
dan bimbingan dalam penulisan disertasi ini. Penghargaan penulis sampaikan juga
kepada seluruh dosen dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika,
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan
IPB. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas
Kehutanan Universitas Tanjungpura yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula
penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS dan Dr Ir Didik
Widyatmoko, MSc selaku dosen penguji dalam ujian tertutup; Dr Ir Bejo Santosa,
MSi dan Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop selaku dosen penguji pada ujian
terbuka yang telah memberikan saran masukan bagi penyempurnaan tulisan ini.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ibu tercinta atas
segala doa, motivasi dan kasih sayang yang tiada henti serta almarhum Bapak
yang selalu menjadi inspirasi, energi dan motivasi penulis dalam menjalani hidup.
Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada bapak dan ibu tercinta Drs H.
Abdul Rasyid Mukhtar (alm) dan Dra Hj Siti Badarul Chajati. Terimakasih
penulis ucapkan juga kepada suami tercinta Harry Herwindo SP atas ridhanya
yang memprioritaskan penulis untuk tetap fokus kuliah dan merawat alm. Bapak
ketika masih sakit hingga akhir hayat beliau. Serta seluruh keluarga, terutama
kakak tertua penulis Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi dan Ir Dusanto
Kristihono, MSi yang selama ini banyak mendorong, memotivasi dan
mendampingi penulis, serta kakak-kakak dan adik atas doa, motivasi dan
perhatiannya selama ini yang luar biasa tanpa henti terus mengiringi. Semoga kita
bisa terus beriringan saling memotivasi maju bersama sesuai amanah alm. bapak
dan ibu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakakku Iis Siti Aisyah, ST
MT Phd dan Dr Eva Achmad,Shut MSc yang membantu dalam terjemahan bahasa
Inggris; Dr Ir Wiwik Ekyastuti, MSi yang menemani penelusuran tata niaga pasak
bumi ke Malaysia; Dr Erwidodo, MSc sebagai salah satu reviewer jurnal yang
banyak memberi masukan dan penyempurnaan dalam salah satu bab disertasi
yang penulis publikasikan pada Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; Ir Suyamto; Heriyanto SHut;
Riyo Suseno dan Wahyu Erwanto, yang telah memberikan bantuan dan dukungan
dilapangan selama proses penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Siti Masitoh Kartikawati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitain
Kebaruan
Kerangka Pikir

1
1
3
6
6
7
11

2 TINJAUAN KARAKTERISTIK PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia Jack)
Bioekologi Pasak Bumi.
Biologi Reproduksi Pasak Bumi
Manfaat Pasak Bumi Secara Tradsional
Kandungan Kimia Pasak Bumi
Kajian Farmakologis Pasak Bumi
Pasokan dan Permintaan Pasak Bumi Sebagai Bahan Baku Tumbuhan
Obat
Upaya Konservasi Pasak Bumi

15
15
18
19
20
20
25
29

3 PREFERENSI HABITAT DAN ESTIMASI STOK PASAK BUMI
Latar Belakang
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

31
31
32
36
47

4 KARAKTERISTIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN
LINDUNG GUNUNG AMBAWANG-PEMANCINGAN
Latar Belakang
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

48
48
52
53
61

5 ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN HASIL HUTAN
BUKAN KAYU
Latar Belakang
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

62
62
63
63
70

6 ARENA AKSI KELEMBAGAAN TATA NIAGA PASAK BUMI
Latar Belakang
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

71
71
73
74
82

7 PEMBAHASAN UMUM
Pengaturan Produksi
Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Pasak Bumi
Regulasi Pengelolaan Pasak Bumi
Pola Interaksi Kelembagaan Tata Niaga Pasak Bumi
Pembangunan KPH dan Devolusi Pengenlolaan Kawasan HLGAP

83
83
84
86
89
91

8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI

95

DAFTAR PUSTAKA

97

LAMPIRAN

105

RIWAYAT HIDUP

124

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Volume serapan pasak bumi pada industri obat tradisional
Volume simplisia pasak bumi pada industri obat tradisional
Harga pasak bumi pada pasar e-commerce
Harga ekspor pasak bumi pada pasar e-commerce UD Sumatera Pasak
Bumi (http://www.tongkatali.org/order-retail-tongkatali.htm)
Tujuan penelitian, variabel yang akan dikur, pengumpulan data dan
teknik analisis
Rataan kondisi iklim mikro habitat pasak bumi pada strata ketinggian
dan waktu pengamatan pagi, siang, sore
Kondisi iklim mikro rataan harian habitat pasak bumi pada lokasi
penelitian yang berbeda
Asosiasi pasak bumi pada lokasi penelitian yang berbeda
Sifat kimia tanah di HLGAP
Pedoman pengharkatan hasil analisa tanah
Sifat fisik tanah di HLGAP
Pola sebaran pasak bumi di kawasan HLGAP
Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban
pemilik
Hak-hak yang terikat berdasar posisi kelompok masyarakat
Tujuan penelitian dan variabel yang diukur
Tutupan lahan di kawasan HLGAP dii dalam wilayah kecamatan Teluk
Pakedai dan Kecamatan Kubu
Teknik pengumpulan data menurut tujuan penelitian
Hak dan kewajiban para pelaku dalam pola patron klien
Sebaran margin tata niaga pada setiap tingkatan lembaga tata niaga
pasak bumi
Rekapitulasi margin tata niaga pada setiap tingkatan lembaga tata niaga
pasak bumi

26
26
28
28
33
37
37
39
39
40
40
44
51
51
49
55
74
75
79
81

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka analisis konservasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)
ditinjau dari kelembagaan tata niaga (Modifikasi dari Ostrom 2005)
2 Profil pasak bumi
3 Akar pasak bumi
4 Simplisia pasak bumi dalam bentuk potongan dan cacah
5 Cawan dari akar pasak bumi dan jamu ramuan pasak bumi
6 akar pasak bumi
7 Distribusi populasi pasak bumi berdasar ketinggian tempat
8 Analisis komponen utama jumlah individu pasak bumi dan parameter
habitat pasak bumi.
9 Populasi pasak bumi yang ditemukan sepanjang jalur penelitian
10 Struktur kelas pertumbuhan populasi pasak bumi
11 Struktur kelas diameter populasi pasak bumi
12 Struktur kelas tinggi populasi pasak bumi
13 Sebaran pasak bumi secara berkelompok dan tumbuh dekat dengan
induknya
14 Grafik persamaan eksponensial pendugaan berat akar pasak bumi
dengan variabel bebas tinggi batang
15 Peta lokasi
16 Proses mencabut akar pasak bumi dengan menggunakan prinsip tuas
17 Perilaku dan hubungan ketergantungan dalam kelembagaan patron klien
tata niaga pasak bumi
18 Pola tata niaga pasak bumi pada kelembagaan patron klien
19 Pola tata niaga pasak bumi pada kelembagaan tidak terikat modal

12
15
15
27
27
27
36
38
41
42
43
43
45
45
53
56
76
77
77

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3
4
5

Peta lokasi penelitian
Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan
pemanfaatan HHBK
Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan
pengelolaan HHBK
Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan HHBK
Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan
wewenang pemerintah dalam pengelolaan HHBK

105
106

110
114
117

DAFTAR SINGKATAN

HLGAP
HHBK
CPR
KPH
KPHP
KPHL
KPHK
ROI
PCA
BPOM
CITES
IOT
IEBA
UKOT
UMOT

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan
Hasil Hutan Bukan Kayu
common pool resources
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
Return on Investment
Principal Component Analysis
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Convention on International trade in Endangered Species
Industri Obat Tradisional
Industri Ekstrak Bahan Alam
Usaha Kecil Obat Tradisional
Usaha Mikro Obat Tradisional

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Istilah konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha
pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam
sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan
untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan
datang. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, pengertian konservasi sumber daya
alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Konservasi merupakan manajemen penggunaan biosfer oleh manusia
sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (World Conservation
Strategy 1980). Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai
aspek positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan,
restorasi, dan penguatan lingkungan alam. Tujuan utama konservasi menurut
World Conservation Strategy ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang
esensial dan sistem pendukung kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan
genetis , dan (c) menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara
berkelanjutan.
Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) merupakan salah satu sumber daya
alam hayati berupa hasil hutan bukan kayu. Pasak bumi adalah salah satu jenis
tumbuhan obat yang banyak ditemukan di hutan-hutan Indonesia, Malaysia,
Thailand, Filipina, Vietnam, dan Birma (Siregar et al. 2003; Minosky
2004). Menurut Heyne (1987), tumbuhan pasak bumi banyak ditemukan di bagian
barat kepulauan Nusantara kecuali Pulau Jawa. Tumbuhan
ini berupa terna
dengan ketinggian mencapai 10 m yang merupakan anggota Simarubaceae
(Rifai 1975). Pasak bumi di Malaysia dikenal dengan sebutan tongkat ali, bedara
merah, atau bedara putih, sedangkan di Thailand dikenal dengan nama plaalai-pueak, hae pan chan, plaalai phuenk atau phiak. Pasak bumi di Indonesia
mempunyai beragam nama daerah, antara lain pasak bumi (Kalimantan),
widara putih (Jawa), bidara laut, mempoleh (Bangka), penawar pahit (Melayu),
dan beseng (Sumatra) (Padua et al. 1999).
Pasak bumi merupakan tumbuhan obat yang seluruh bagian tanaman dapat
dimanfaatkan (akar, batang, kulit akar dan daun). Hampir semua bagian tumbuhan
dimanfaatkan sebagai obat. Kulit atau kayu akar pasak bumi digunakan untuk
mengobati demam, sariawan, cacing perut, tonikum pascapartum dan osteoporosis.
Daunnya digunakan untuk mengobati penyakit gatal. Bunga dan buahnya
digunakan untuk obat disentri. Sedangkan akar pasak bumi dapat digunakan
antara lain sebagai: tonikum pascapartum, anti mikroba, anti hipertensi, anti
inflamasi, antipiretik, anti tumor, mengobati sakit perut, ulkus, malaria, disentri

2
dan yang paling dikenal adalah sebagai afrodisiak (Nainggolan & Simanjutak
2005). Secara tradisional pemakaian pasak bumi sebagai obat afrodisiak sudah
dilakukan turun temurun oleh masyarakat di Indonesia. Menurut Sangat et al.
(2000), ada sekitar 7 etnis yang biasa menggunakan pasak bumi untuk pengobatan,
yaitu etnis suku Talang Mamak (Riau), suku Melayu (Riau), suku Anak Dalam
(Jambi), suku Sakai (Riau), suku Daya Ngaju (Kalimantan Tengah), suku Dayak
Tanjung (Kalimantan Timur), suku Kutai (Kalimantan Timur) dan suku Punan
Lisum. Pemanfaatan pasak bumi oleh suku Dayak Meratus secara eksklusivitas
merupakan jenis tumbuhan obat yang paling disukai karena adanya khasiat dan
keyakinan bahwa akar pasak bumi merupakan obat kuat, khususnya sebagai obat
pembangkit nafsu sex (Kartikawati 2003). Pasak bumi digunakan juga untuk
mengobati demam dan tapal untuk sakit kepala, luka, borok, bisul, ketombe dan
sipilis (Padua et al. 1999).
Beberapa kajian farmakologis sudah banyak dilakukan sebelumnya. Pasak
bumi terkenal sebagai salah satu tumbuhan obat afrodisiak karena mengandung
metabolit sekunder berupa bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk mengatasi
disfungsi seksual atau untuk meningkatkan libido (Ang et al. 2003, 2004;
Nainggolan & Simanjutak 2005; Asiah 2007; Rahardjo 2010; Pratomo 2012).
Pasak bumi juga terbukti memiliki senyawa anti kanker. Ekstrak metanol, nbutanol, kloroform, dan air dari akar pasak bumi sudah diuji efek sitotoksisitasnya
dengan MTT menggunakan sel KB, DU-145, RD, MCF-7, CaOV-3, dan MDBK.
Semua ekstrak kecuali ekstrak air mempunyai efek sitotoksik terhadap semua sel
kanker (Nurhanan et al. 2005). Hal ini diperkuat dengan hasil kajian zat bioaktif
F16 yang diekstraks dari akar pasak bumi dapat menghambat proliferasi MCF-7
sel kanker payudara manusia dengan menginduksi apoptosis (Tee et al. 2007).
Penelitian senyawa anti kanker pada pasak bumi juga dilaporkan oleh Nurani
(2011), ekstrak etanol akar pasak bumi dapat berperan sebagai kemopreventif sel
kanker payudara melalui mekanisme pemacuan apoptosis dan penghambatan
proliferasi. Pasak bumi juga sebagai sumber potensial senyawa antibakteri.
Ekstrak alkohol dan aseton dari daun dan batang pasak bumi mengandung agen
antibakteri (Farouk & Benafri 2007). Selain beberapa penelitian ekstrak akar
pasak bumi juga menunjukkan aktivitas antimalaria. Ekstrak pasak bumi terbukti
mampu pula untuk pengobatan osteoporosis laki-laki (Effendi et al. 2012),
sitotoksik (Kuo et al. 2003, 2004), anti leukemia, antimalaria, dan disentri (Chan
et al. 2005).
Manfaat yang beragam tersebut menyebabkan permintaan pasak bumi
sebagai bahan baku obat tinggi, sehingga mendorong eksploitasi di hutan alam.
Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan
langka dengan status terkikis (Rifai 1992). Namun, selama ini kebutuhan pasak
bumi hanya mengandalkan dari pemungutan pasak bumi liar dari hutan dengan
cara mencabut akarnya. Pemanenan dengan cara destruktif seperti mencabut pada
bagian akar merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk kelestarian
tumbuhan (Kala et al. 2004; Farooquee et al. 2004; Ghimire et al. 2005).
Berdasar kriteria biofisik dan lingkungan, data potensi, populasi dan
persebaran pasak bumi belum banyak diteliti. Baru sedikit penelitian tentang
kondisi biofisik dan lingkungan pasak bumi, diantaranya adalah kajian ekologi
pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan pemanfaatan oleh masyarakat di
sekitar Hutan Bukit Lawang (Ginting 2010); kajian ekologi dan potensi pasak

3
bumi (Eurycoma longifolia Jack) di kelompok hutan Sungai Manna-Sungai Nasal,
Bengkulu (Heriyanto et al. 2006); studi habitat dan sebaran pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack) di hutan Pikul Desa Sahan Kecamatan Seluas,
Kabupaten Bengkayang (Lesmana 2005); kajian ekologis pasak bumi (Eurycoma
longifolia Jack) di areal HPH PT. Siak Raya Timber Riau (Julisasi 1992); studi
potensi tumbullan obat akar Kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr), pasak bumi
(Eurycoma longifolia Jack), seluang belum (Luvunga eleutherandra Dalz) dan
gingseng kalimantan (Psycotria valetonii Hochr) di Areal Kerja HPN PT.
Manimbun Djaja (Djajanti Group) Kalimantan Tengah (Nuryamin 2000); Studi
potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan kemungkinan
pemanfaatannya di areal kerja HPH PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat
(Supriyadi 1998); data botani tumbuhan pasak bumi (Rifai 1975). Publikasi
penelitian tentang pasak bumi banyak meneliti tentang aspek kandungan bioaktif
pasak bumi
Kelembagaan tata niaga yang ada saat ini belum efektif untuk mengontrol
produksi pasak bumi. Pasak bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang
bernilai ekonomis dan langka saat ini masih belum mendapat perhatian dari
pemerintah, baik untuk status konservasi maupun regulasi perdagangannya.
Malaysia merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor pasak bumi dari
Indonesia karena pada tahun 2001 Malaysia menetapkan status pasak bumi
sebagai tumbuhan yang dilindungi (Lee et al. 2001). Malaysia banyak
menghasilkan diversifikasi produk pasak bumi sebagai suplemen makanan yang
diekspor ke berbagai negara sebagai salah satu produk unggulan Malaysia dan
sudah dipatenkan di Amerika Serikat dengan nama tongkat ali (Rahardjo 2010).
Kajian mengenai status konservasi pasak bumi ditinjau dari aspek kelembagaan
ekonomi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu fokus kajian ini adalah
bagaimana kondisi ekologi dapat digunakan untuk menentukan potensi pasak
bumi dalam satuan kg/ha sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan jumlah
pasak bumi yang bisa dipanen perhektar dan kebijakan pemerintah yang
mendorong kelembagaan tata niaga pasak bumi yang adil dan keberlanjutan.

Perumusan Masalah
Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan yang
mempunyai nilai ekonomis dengan tingkat permintaan pasar yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian data pasokan dan serapan pasak
bumi tidak terdokumentasikan secara baik. Berdasarkan penelitian Kemala et al.
(2003), serapan pasak bumi untuk Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) di Jawa,
Bali, dan Nusa Tenggara Barat rata-rata untuk simplisia sebesar 2.154 kg/tahun
dan untuk terna sebesar 15.078 kg/tahun. Sedangkan serapan untuk Industri Obat
Tradisional (IOT) di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat rata-rata untuk
simplisia sebesar 34 ton/tahun dan untuk terna sebesar 241 ton/tahun.
Tingginya permintaan menyebabkan eksploitasi pasak bumi di hutan
meningkat, karena selama ini pemungutan masih mengandalkan dari hutan alam.
Hal ini menyebabkan munculnya kontradiksi antara kepentingan pemanfaatan

4
secara ekonomi, kepentingan kelestarian pasak bumi, dan kepentingan masyarakat
sekitar dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka merupakan masalah yang harus
segera dicarikan jalan keluarnya, sebelum keberadaan pasak bumi yang statusnya
langka tersebut terlanjur punah. Menjadi penting saat ini untuk dapat
menentukan kebijakan dalam pengelolaan kelestarian pasak bumi baik secara
ekologi maupun kelestarian secara ekonomi sehingga tujuan konservasi pasak
bumi dapat tercapai mengingat adanya masalah ekologi, ekonomi dan sosial
dalam pemanfaatannya.
Permasalahan dari aspek sosial ekonomi, berdasar hasil penelitian
Purwandari (2001), harga pasak bumi pada tahun 1999 di pasar dalam negeri
sebesar Rp. 1.650/kg. Berdasarkan data perusahaan UD Sumatera Pasak Bumi
yang merupakan eksportir pasak bumi berkedudukan di Deli Serdang, harga
ekspor produk berupa cacahan akar (chipped root) pada tahun 2013 mencapai
249.16 USD/kg. Sedangkan produk berupa ekstrak 1 : 200 harganya 3242.85
USD/kg dan ekstrak 1 : 50 harganya 1625 USD/kg. Harga tersebut meningkat
dibandingkan pada tahun 2012, yaitu untuk ekstrak 1:50 sebesar 375 USD/kg dan
untuk ekstrak 1:200 sebesar 900 USD/kg (www.tongkatali.org 2013).
Permasalahan pada sisi ekologi adalah kelangkaan pasak bumi terjadi
karena beberapa faktor, yaitu faktor biologi reproduksi, tipe benih, gangguan
habita pasak bumi serta pemanfaatan pada bagian akar. Secara biologi reproduksi
pasak bumi terdiri dari 2 tipe tumbuhan yaitu dioceous dan monoceous. Jenis
dioceous tergolong unik karena terdiri dari pohon jantan dan pohon betina. Pohon
jantan dapat menghasilkan buah namun gugur pada saat muda. Selain itu memiliki
bunga yang dapat tumbuh namun putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu
menghasilkan benih dan memiliki benang sari namun steril. Oleh karena itu
proses penyerbukannya kemungkinan dibantu oleh serangga dan penyerbukan
silang (Padua 1999). Menurut Hussein et al. (2005), selama ini perbanyakan pasak
bumi hanya mengandalkan biji dari alam. Padahal sebagai tumbuhan yang
memiliki tipe benih rekalsitran, presentase kecambahnya cenderung rendah dan
memerlukan waktu yang cukup lama akibat embrio zigotik yang belum matang
pada saat pemencaran.
Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum
berkembang saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi
perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Copeland dan
McDonald (1995) mengemukakan bahwa benih rekalsitran mempunyai masa
hidup yang singkat dan sukar untuk disimpan karena kadar airnya yang tinggi
menyebabkan benih mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami
kemunduran bahkan kematian.
Habitat pasak bumi pada hutan hujan dataran rendah di Sumatera dan
Kalimantan dengan karakteristik tanah bersifat agak asam dengan tekstur tanah
liat berpasir dan bersifat silisikola (Rifai 1975). Menurut data World Bank,
kerusakan hutan Indonesia akibat pembalakan berlebihan mencapai 57% dan 15%
nya merupakan hutan yang berada di dataran rendah. Kelangkaan pasak bumi juga
terjadi karena bagian yang di manfaatkan adalah bagian akar. Pemungutan dengan
cara destruktif mencabut pada bagian akar merupakan faktor krusial yang harus
diperhatikan untuk kelestarian tumbuhan (Kala et al. 2004; Farooquee et al. 2004;
Ghimire et al. 2005). Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan
sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992).

5
Selain kondisi lingkungan dan ekologi, kelangkaan dapat juga terjadi karena
adanya ketidak jelasan hak kepemilikan (property right) (Deacon 1999;
Mendelsohn 1994; Barbier & Burgess 2001; Ferreira 2004). Karakteristik pasak
bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang terdapat pada HLGAP
merupakan sumberdaya bersama (common pool resources) 1 yang dikuasai oleh
negara. Pemungutan pasak bumi di kawasan HLGAP yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat sekitar kawasan untuk di jual di duga merupakan salah
satu faktor yang ikut mendorong terjadinya kelangkaan pasak bumi. Menurut
Tjitradjaja (2008), pada sumber daya milik bersama yang bebas akses melekat
situasi ketiadaan jaminan kepastian. Ferreira (2004) menyatakan bahwa bahwa
batasan yang tidak lengkap tentang hak atas properti (property right) berdampak
buruk terhadap hutan yang berkontribusi pada deforestasi. Ketika hutan dalam
kondisi open access, para pihak atau free rider 2 bertindak tanpa
mempertimbangkan eksternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas
aktivitasnya, dan tindakan ini akan menyebabkan ekstraksi atas sumber daya
melebihi kapasitas optimalnya. Kepemilikan atas sesuatu menjadi penting
manakala sesuatu tersebut bersifat langka. Kepastian kepemilikan atas sesuatu
yang langka sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses transaksi dalam
ekonomi pasar, sehingga semakin tinggi kepastian tersebut, biaya transaksinya
semakin rendah.
Zuhud (2007) menyatakan bahwa perilaku konservasi berkaitan erat dengan
stimulus-sikap. Prasyarat terwujudnya konservasi di kehidupan dunia nyata adalah
terciptanya sikap masyarakat dan sikap pengelola yang didorong kuat oleh tristimulus amar konservasi, yaitu stimulus alamiah (stimulus yang berkaitan dengan
kelangkaan, karakteristik populasi dan regenerasi, fungsi ekologis), stimulus manfaat
(nilai ekonomi dan manfaat sebagai tumbuhan obat) dan stimulus religius (nilai-nilai
spritual, etika, budaya yang mendorong terjadinya kerelaan berkorban untuk
konservasi). Fenomena permintaan pasak bumi yang tinggi tetapi tidak mendorong
kegiatan aksi budidaya oleh masyarakat sehingga yang terjadi pasak bumi
semakin langka. Kondisi ini juga tidak membuat harga jual pasak bumi menjadi
tinggi di pasar dalam negeri. Situasi ini merupakan kondisi terjadinya kegagalan
pasar dimana mekanisme pasar tidak mampu mengendalikan permintaan untuk
menyeimbangkannya dengan penawaran yang terbatas. Harga tidak dapat
dijadikan instrumen pembatas sehingga pasar mengalami kegagalan. Kegagalan
pasar ini di duga karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti
yang diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Perilaku free rider yang
melakukan pemungutan pasak bumi di kawasan HLGAP tanpa
1

Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah yang cukup populer
dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu
sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari
satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan
overuse (Ostrom, 1990). Ostrom (1990) menjelaskan dua karakteristik utama CPRs, yaitu: (1)
memiliki sifat substractibility atau rivalness didalam pemanfaatannya, dalam arti setiap
konsumsi seseorang atau pemanenan atas sumber daya pasak bumi akan mengurangi
kemampuan atau jatah orang lain didalam memanfaatkan sumber daya pasak bumi tersebut; (2)
adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumber daya pasak
bumi untuk pihak-pihak lain yang menjadi pemanfaat (beneficiaries).
2
Free rider adalah mereka yang ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi
tertentu, sementara sebenarnya ada pihak lain yang berkontribusi untuk mengadakan barang
publik tersebut.

6
mempertimbangkan eksternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas
aktivitasnya merupakan wujud tidak terjadi stimulus religi berupa kerelaan
berkorban untuk aksi konservasi pasak bumi. Perilaku free riders tidak
memperlakukan pasak bumi sebagai aset dengan melindungi dan melestarikan
karena hal tersebut dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalkan
keuntungannya.
Berdasarkan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak
bumi di hutan alam perhektar
2. Bagaimana kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam
pengelolaan HLGAP,
3. Bagaimana isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu
(HHBK),
4. Bagaimana kinerja kelembagaan tata niaga pasak bumi yang ada

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis status
ekologi dan perdagangan pasak bumi yang berkelanjutan. Tujuan khusus
penelitian ini adalah :
1. Mengkaji preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak
bumi di hutan alam perhektar
2. Mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam
pengelolaan Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan (HLGAP),
3. Menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu
(HHBK),
4. Menganalisis kinerja kelembagaan tata niaga pasak bumi yang ada

Manfaat Penelitian

1.

2.

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut :
Manfaat hasil penelitian ini terhadap ilmu pengetahuan adalah memberikan
kajian baru mengenai kelembagaan tata niaga hasil hutan bukan kayu
khususnya pasak bumi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi namun
keberadaannya di alam mulai langka.
Manfaat hasil penelitian terhadap sosial budaya adalah memperkaya khasanah
sosial budaya masyarakat di Indonesia dengan mengetahui bentuk interaksi
sosial antar pelaku, jaringan dan norma-norma yang ada pada kelembagaan
tata niaga pasak bumi yang selama ini belum diketahui dan terdokumentasi
dengan baik.

7
Kebaruan (Novelty)

Nilai kebaruan dilihat dari tiga hal yaitu fokus, ilmiah dan terdepan di
bidangnya (Ekawati 2011). Pertama, fokus penelitian ini mengenai konservasi
pasak bumi. Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan
berbagai jurnal penelitian belum ada penelitian mengenai konservasi pasak bumi
yang dianalisis terintegrasi dari dari aspek ekologi, kebijakan dan kelembagaan
tata niaga. Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah dengan mengikuti kerangka analisis pengembangan institusi atau
institutional analysis and development framework (IAD) (Ostrom 2005).
Review hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain
dilakukan untuk mengkaji nilai kebaruan dari penelitian ini dengan melihat pada
aspek kajian manfaat pasak bumi, ekologi pasak bumi dan kelembagaan tata niaga
adalah :
a. Kajian etnobotani pasak bumi berdasarkan etnis
Sangat et al. (2000) dan Kartikawati (2004) meneliti pemanfaatan pasak bumi
berdasar etnis di Indonesia. Sangat et al. (2000) menyatakan ada sekitar 7
etnis yang biasa menggunakan pasak bumi untuk pengobatan, yaitu etnis suku
Talang Mamak (Riau), suku Melayu (Riau), suku Anak Dalam (Jambi), suku
Sakai (Riau), suku Daya Ngaju (Kalimantan Tengah), suku Dayak Tanjung
(Kalimantan Timur), suku Kutai (Kalimantan Timur) dan suku Punan Lisum.
Pasak bumi juga dimanfaatkan oleh suku Dayak Meratus (Kalimantan
Selatan) (Kartikawati 2004).
b. Kajian etnobotani pasak bumi berdasarkan jenis penyakit
Kartikawati (2004) melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) IPB dengan judul
Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat Dayak Meratus di
Kawasan Hutan Pegunungan Meratus. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan pasak bumi oleh Dayak Meratus secara eksklusivitas merupakan
jenis tumbuhan obat yang paling disukai karena adanya khasiat dan
keyakinan bahwa akar pasak bumi merupakan obat kuat, khususnya sebagai
obat pembangkit nafsu sex. Padua et al. (1999) melalui lembaga Plant
Resources of Southeast Asia (PROSEA) melakukan inventarisasi dan
dokumentasi semua sumberdaya nabati termasuk salah satunya pasak bumi.
Dari hasil inventarisasi pemanfaatan pasak bumi digunakan untuk mengobati
demam, tapal untuk sakit kepala, luka, borok, bisul, ketombe dan sipilis.
c. Kajian farmakologis pasak bumi sebagai afrodisiak (meningkatkan seksual)
1. Ang et al. (2003), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam
jurnal Phytomedicine dengan judul Effects of Eurycoma longifolia Jack
on sexual qualities in middle aged male rats.
2. Ang et al. (2004), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam
jurnal Basic Clin Physiol Pharmacol dengan judul Sexual arousal in
sexually sluggish old male rats after oral administration of Eurycoma
longifolia Jack.
3. Nainggolan dan Simanjuntak (2005), melakukan penelitian yang
dipublikasikan dalam majalah Cermin Dunia Kedokteran dengan judul

8

d.

e.

f.

Pengaruh ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)
terhadap perilaku seksual mencit putih.
4. Asiah et al. (2007), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam
Journal of Tropical Forest Science.dengan judul Determination of
bioactive peptide (4.3kDa) as an aphrodisiac marker in six Malaysia
plants.
5. Pratomo (2012), melakukan penelitian untuk menyelesaikan disertasi
pada program studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana IPB
dengan judul Kinerja pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dalam
peningkatan kualitas reproduksi tikus (Rattus norvegicus) jantan.
Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti kanker
1. Tee et al. (2007), melakukan penelitian yang berjudul A fraction from
Eurycoma longifolia jack extract, induces apoptosis via a caspase-9independent manner in MCF-7 cells, dipublikasikan di jurnal Anticancer
Res.
2. Nurani (2011), melakukan penelitian untuk menyelesaikan disertasi di
Universitas Gadjah Mada dengan judul Anti kanker senyawa aktif akar
pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) kajian in vitro pada sel T47D dan
in vivo pada kanker payudara pada tikus SD yang diinduksi DMBA.
3. Salamah et al. (2010), melakukan penelitian dengan judul Efek
antiangiogenik ekstrak metanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia
Jack) pada membran korio alantois (CAM) embrio ayam yang terinduksi
bFGf yang dipublikasikan di Majalah Obat Tradisional.
Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti bakteri
1. Farouk dan Benafri (2007), melakukan penelitian dengan judul
Antibacterial activity of Eurycoma longifolia Jack. A Malaysian
medicinal plant yang dipublikasikan dalam jurnal Saudi Med J.
2. Ridzuan et al. (2005), melakukan penelitian dengan judul effect of
Eurycoma longifolia extract on the Glutathione level in Plasmodium
falciparum infected erythrocytes in vitro yang dipublikasikan dalam
jurnal Tropical Biomedicine.
Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti malaria dan anti
leukemia
1. Ridzuan et al. (2007), melakukan penelitian dengan judul Eurycoma
longifolia extract-artemisinin combination: parasetemia suppression of
Plasmodium yoelii-infected mice yang dipublikasikan dalam jurnal
Tropical Biomedicine.
2. Al-Salahi et al. (2013), melakukan penelitian yang berjudul in vitro
anti-proliferatif and apoptotic activities of Eurycoma longifolia Jack
(Simaroubaceae) on HL-60 cell line, yang dipublikasikan dalam
Tropical Journal Pharmaceutical Research.
3. Yusuf et al. (2013), melakukan penelitian yang berjudul A new quassinoid
of four isolated compounds from extract Eurycoma longifolia Jack, roots
and their in-vitro antimarial activity yang dipublikasikan dalam
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biodimedical
Sciences.

9
g.

h.

i.

j.

Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti osteoporosis
Effendi et al. (2012), melakukan review artikel yang berjudul Eurycoma
longifolia : medicinal plant in the prevention and treatment of male
osteoporosis due to androgen deficiency yang dipublikasikan dalam
Hindawi Publishing Corporation : Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine.
Kajian farmakologis pasak bumi untuk fertilitas
1. Siburian dan Marlinza (2009), melakukan penelitian dengan judul Efek
pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) pada
tahap prakopulasi terhadap fertilitas mencit (Mus musculus L) betina,
yang dipublikasikan dalam jurnal Biospecies.
2. Abdulghani et al. (2012), melakukan penelitian dengan judul the
ameliorative effects of Eurycoma longifolia Jack om testosteroninduced reproductive disorders in female rats, yang dipublikasikan
dalam jurnal Reproductive Biology.
Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti inflamasi
Van Anh TT et al. (2014), melakukan penelitian yang berjudul NF-kB
inhibitor from Eurycoma longifolia, yang dipublikasikan dalam Journal of
Natural Products.
Penelitian yang terkait dengan kondisi ekologi pasak bumi sebagai berikut :
1. Ginting (2010), melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis pada
Program Studi Magister Ilmu Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Penget