Pengujian Aktivitas Hepatoprotektor Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack )

(1)

PENGUJIAN AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR

AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.)

RUQIAH GANDA PUTRI PANJAITAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengujian Aktivitas Hepatoprotektor Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) adalah karya saya beserta komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

Ruqiah Ganda Putri Panjaitan NRP G361030051


(3)

RINGKASAN

RUQIAH GANDA PUTRI PANJAITAN. Pengujian Aktivitas Hepatoprotektor Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Dibimbing oleh WASMEN MANALU, EKOWATI HANDHARYANI, dan CHAIRUL.

Hati merupakan organ tubuh yang berkaitan erat dengan metabolisme nutrisi dan xenobiotik sehingga hati menjadi rentan terhadap kerusakan. Dari berbagai penelitian dilaporkan beragam faktor yang dapat mengakibatkan kerusakan hati, antara lain jamur, senyawa kimia, dan obat-obatan. Kerusakan hati sudah tentu dapat memengaruhi fungsi hati, namun sampai saat ini obat komplementer dan alternatif untuk gangguan fungsi hati masih terus memerlukan pengujian guna memperoleh hasil yang lebih memuaskan ditinjau dari segi manfaat pengobatan maupun kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya.

Hepatoprotektor adalah senyawa yang berkhasiat melindungi sel sekaligus memperbaiki jaringan hati yang rusak akibat pengaruh zat toksik. Beragam tumbuhan yang telah dilaporkan memiliki potensi sebagai hepatoprotektor, salah satunya adalah Silybum marianum, dengan senyawa aktifnya silymarin. Aktivitas hepatoprotektor antara lain dapat ditandai dari penurunan kembali kadar enzim ALT, AST, ALP, gamma glutamil transpeptidase ( -GT), bilirubin, dan lipid total, serta peningkatan kembali kadar protein total, dan didukung oleh gambaran histopatologi hati.

Akar pasak bumi secara tradisional lebih dikenal sebagai aprodisiaka, namun tidak tertutup kemungkinan tumbuhan ini juga memiliki potensi lainnya. Dari beberapa studi fitokimia dilaporkan bahwa akar pasak bumi mengandung beragam quassinoid (eurikomanon, eurikomanol, eurikomanol 2-O -glikopiranosid, eurikomalakton, laurikolakton A dan B), triterpenoid tipe triskulla, triterpenoid tipe skualen (eurilen, 14-deasetil eurilene dan longilen peroksid), taurilen, biphenylneolignan, canthin-6-one, dan alkaloid -karbolin. Untuk itu dirasakan perlu dilakukan penelitian guna menggali potensi lain dari akar pasak bumi, salah satunya sebagai hepatoprotektor. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari daya hepatotoksik CCl4 dan memilih dosis pemberian CCl4 yang

tepat untuk penelitian tahap berikutnya, menguji pengaruh pemberian ekstrak metanol akar pasak bumi dan fraksi-fraksinya (n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol-air) pada fungsi hati, menguji daya hepatoprotektor ragam sediaan akar pasak bumi serta memilih satu sediaan dengan daya proteksi yang paling mendekati pembanding positif (silymarin), menentukan LD50, ED50, dan toksisitas

subkronis dosis terapi sediaan terpilih, sekaligus mempelajari mekanisme kerja hepatoprotektor (preventive dan curative) sediaan terpilih yang diberikan sesuai dosis terapi.

Pengujian daya hepatotoksik CCl4 menggunakan hewan coba tikus jantan

strain Sprague Dawley umur 2-3 bulan (200-300 g). Perlakuan dibedakan pada dosis pemberian CCl4, yaitu 0,1; 1,0; dan 10,0 ml/kg BB, secara intraperitoneal,

satu kali selama percobaan. Pengamatan dilakukan selama 24 jam setelah pemberian CCl4. Kadar enzim ALT dan AST dalam serum menunjukkan bahwa


(4)

pemberian CCl4 0,1 ml/kg BB mengakibatkan degenerasi dan nekrosis secara

multifokal. Hal ini digambarkan dengan sedikit peningkatan kadar enzim ALT dibandingkan kontrol. Pemberian CCl4 1,0 ml /kg BB mengakibatkan steatosis

yang luas, dan digambarkan dengan peningkatan kadar enzim ALT dalam serum sampai dua kali lebih tinggi dibanding kontrol. Sebaliknya, kadar enzim AST pada kelompok yang diberi CCl4 1,0 ml/kg BB terlihat mengalami penurunan

dibanding kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena waktu paruhnya yang pendek sehingga kadar AST pada kelompok ini terlihat lebih rendah dibanding kontrol. Pemberian CCl4 10,0 ml/kg BB sangat merusak sel hati, yang ditandai

dengan sangat rendahnya kadar enzim ALT dan AST dalam serum. Kerusakan yang relatif kecil pada sel hati akan meningkatkan kadar enzim ALT dan AST di dalam darah. Namun, pada tingkat kerusakan yang luas dan parah, ketersediaan enzim ALT dan AST di dalam sel hati sudah sangat rendah akibat kemampuan sel hati dalam mensintesis enzim-enzim tersebut sudah berkurang atau hilang sama sekali. Dari percobaan yang dilakukan terlihat bahwa dengan pemberian CCl4 0,1

ml/kg BB, kadar enzim ALP di dalam darah hewan coba meningkat dibanding kontrol, namun perubahan kadar enzim ini tidak terlalu besar dan secara statistik juga dinyatakan tidak berbeda (p>0,05). Artinya, pemberian CCl4 tidak

memengaruhi aliran empedu ekstrabiliar dan intrabiliar. Pemberian CCl4 1,0 ml/kg

BB mengakibatkan peningkatan kadar enzim ALP hampir dua kali lipat dibanding kontrol, bahkan dengan pemberian 10,0 ml /kg BB kemampuan hati dalam mensintesis enzim ini sudah sangat terganggu akibat terjadinya kerusakan sel hati yang luas dan berat. Peningkatan kadar enzim ALP disebabkan oleh terjadinya kolestasis serta obstruksi intrabiliar maupun ekstrabiliar. Pemberian CCl4 0,1

ml/kg BB mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin total dibanding kontrol. Peningkatan ini diduga terjadi karena terganggunya permeabilitas sel-sel hati atau sel-sel duktuli. Sebaliknya, pada pemberian CCl4 1,0 ml/kg BB dan 10,0 ml/kg

BB terjadi penurunan bilirubin total secara drastis. Kejadian ini dapat dipahami karena dengan pemberian CCl4 1,0 dan 10,0 ml/kg BB mengakibatkan kerusakan

sel-sel hati yang luas dan berat sehingga mengganggu fungsi hati dalam metabolisme bilirubin. Kadar protein total secara keseluruhan juga menurun dibanding kontrol, walaupun secara statistik dinyatakan tidak berbeda (p>0,05). Gambaran patologi anatomi menunjukkan bahwa dengan pemberian 10,0 ml/kg BB CCl4 terlihat adanya nekrosis milier pada permukaan hati, dan gambaran

histopatologi pada kelompok yang mendapatkan CCl4 1,0 dan 10,0 ml/kg BB

menunjukkan terjadinya steatosis. Dari hasil percobaan, ini dosis CCl4 yang

dipilih untuk pengujian tahap selanjutnya adalah dosis 0,1 ml/kg BB, karena kerusakan yang ditimbulkannya relatif lebih ringan dibanding dengan dosis 1,0 dan 10,0 ml/kg BB.

Metode kerja yang digunakan untuk menguji pengaruh ragam sediaan akar pasak bumi pada fungsi hati mengacu pada prosedur Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica yang dimodifikasi. Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan, yang dibagi menjadi tujuh kelompok, dan tiap kelompok terdiri atas tiga ekor. Kelompok pertama (kontrol negatif) diberi air suling 2 ml/kg BB, kelompok kedua (kontrol positif) diberi silymarin 25 mg/kg BB, dan kelompok ketiga sampai dengan ketujuh berturut-turut diberi sediaan ekstrak metanol dan


(5)

fraksi turunannya (n-heksan,kloroform, etil asetat, dan metanol-air sebanyak 500 mg/kg BB. Air suling, silymarin, ekstrak metanol, dan fraksi-fraksi turunan ekstrak metanol akar pasak bumi diberikan per oral dengan menggunakan sonde lambung. Hewan coba diberi sediaan uji selama tujuh hari berturut-turut, dan pada hari kedelapan dilakukan pengambilan sampel darah diikuti dengan pengambilan organ hati. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa dengan pemberian sediaan akar pasak bumi terjadi perubahan kadar enzim ALT dan AST dibanding dengan silymarin, kecuali pada kelompok yang diberi sediaan fraksi metanol-air. Hasil pengukuran kadar enzim ALT dan AST yang paling mendekati silymarin adalah fraksi metanol-air. Namun, secara statistik keseluruhan kadar enzim ALT dan AST dari hasil percobaan ini tidak berbeda nyata (p>0,05). Secara statistik kadar protein total juga dinyatakan tidak berbeda (p>0,05), walaupun pada kelompok yang mendapat sediaan n-heksan mengalami peningkatan. Rataan kadar enzim ALP pada keseluruhan kelompok percobaan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan silymarin, sebaliknya pada kelompok yang diberi sediaan fraksi n-heksan. Hasil pengukuran kadar enzim ALP yang paling mendekati silymarin adalah kelompok yang diberi sediaan fraksi kloroform. Namun, secara statistik kisaran rataan kadar enzim ALP tersebut masih dinyatakan seragam (p>0,05). Artinya, pemberian sediaan akar pasak bumi tidak memengaruhi aliran empedu intrabiliar dan ekstrabiliar. Bila dikaitkan dengan hasil pengukuran kadar bilirubin juga tidak mencerminkan terjadinya penyumbatan aliran empedu. Rataan hasil pengukuran bilirubin total menunjukkan bahwa dengan pemberian sediaan akar pasak bumi kadar bilirubin total relatif lebih tinggi dibanding silymarin, kecuali pada kelompok yang diberi fraksi n-heksan. Peningkatan kadar bilirubin total juga terlihat pada kelompok air suling. Kelompok dengan rataan kadar bilirubin total yang paling mendekati silymarin adalah kelompok yang diberi sediaan fraksi metanol-air. Rataan kadar bilirubin total dari percobaan ini secara statistik dinyatakan seragam (p>0,05). Rataan kadar bilirubin direk pada kelompok air suling, silymarin, ekstrak metanol, dan fraksi kloroform relatif seragam. Sebaliknya, pada kelompok yang diberi fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol-air terjadi penurunan. Walaupun demikian, rataan kadar bilirubin direk dari percobaan ini secara statistik dinyatakan seragam (p>0,05). Artinya, pemberian sediaan akar pasak bumi tidak memengaruhi metabolisme bilirubin (pengambilan, konjugasi, dan ekskresi). Bilirubin indirek adalah bilirubin yang belum mengalami konjugasi dihati. Terkait dengan hasil percobaan ini diketahui bahwa rataan kadar bilirubin indirek dari semua kelompok percobaan kecuali silymarin dan fraksi kloroform lebih tinggi dibanding bilirubin direk, namun secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05). Untuk mendukung hasil pengukuran biokimiawi darah maka dilakukan pengamatan histopatologi pada organ hati. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa secara keseluruhan gambaran sel-sel hati tidak mengalami perubahan.

Langkah awal dalam memperoleh sediaan terpilih adalah melakukan pengujian aktivitas hepatoprotektor ekstrak metanol dan beragam fraksi turunan ekstrak metanol akar pasak bumi pada dosis tunggal 500 mg/kg BB. Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan. Metode kerja yang digunakan sama seperti pada percobaan pengaruh pemberian sediaan akar pasak bumi pada organ hati,


(6)

tetapi pada hari kedelapan diberi CCl4 0,1 ml/kg BB, dan hari kesembilan

dilakukan pengambilan sampel darah yang diikuti dengan pengambilan organ hati. Aktivitas hepatoprotektor tertinggi dinilai dari kadar enzim ALT, AST, dan histopatologi hati yang paling mendekati silymarin. Dalam percobaan ini ingin diuji kemampuan berbagai sediaan akar pasak bumi dalam melindungi sel-sel hati dari CCl4, dan ternyata sediaan akar pasak bumi dosis 500 mg/kg BB secara

keseluruhan belum memberikan daya perlindungan seperti halnya silymarin (p>0,05). Hasil pengukuran kadar enzim ALT dan AST, serta histopatologi hati menunjukkan bahwa sediaan yang memberikan hasil paling mendekati silymarin adalah kelompok fraksi metanol-air. Kisaran kadar enzim ALT dan AST pada kelompok fraksi metanol-air masing-masing 79,10-651,80 U/L dan 209,20-369,80 U/L.

Sediaan yang menunjukkan aktivitas hepatoprotektor terbaik diteruskan dengan penentuan LD50 dan ED50. Hewan coba yang digunakan adalah mencit

jantan strain DDY umur 2-3 bulan dengan bobot badan 25-35 g. Nilai LD50

ditentukan dari jumlah hewan percobaan yang mati selama 24 jam. Pengujian dihentikan jika jumlah hewan yang mati dari tiap kelompok ada yang sesuai dengan tabel. Nilai ED50 ditentukan dari jumlah yang memberikan respons

mendekati hasil pengukuran silymarin pada saat dilakukan pengujian aktivitas hepatoprotektor. Pengujian dihentikan jika jumlah hewan dari tiap kelompok ada yang sesuai dengan tabel biometrik. Parameter yang diukur adalah kadar enzim ALT serta pengamatan histopatologi hati. Selain itu, juga ditentukan dosis terapeutik untuk pengujian toksisitas subkronis yang dilakukan selama tiga bulan. Hewan coba yang digunakan dalam pengujian toksisitas subkronis adalah tikus jantan strain Sprague Dawley. Sediaan terpilih adalah fraksi metanol-air akar pasak bumi. Hasil pengujian LD50 menunjukkan bahwa kisaran dosis yang

menyebabkan kematian pada tikus mulai dari 13,00 g/kg BB sampai dengan 92,34 g/kg BB, setara dengan 371,44 mg/20 g BB hingga 2638,37 mg/20 g BB pada mencit. Dosis yang menyebabkan kematian 50% dari jumlah hewan coba adalah sebesar 34,65 g/kg BB tikus atau setara dengan 989,95 mg/20 g BB mencit. Suatu sediaan yang jika diujikan pada tikus dosisnya lebih dari 15 g/kg BB tidak menimbulkan kematian maka sediaan tersebut dinyatakan praktis tidak toksik. Demikian halnya dengan fraksi metanol-air, sediaan ini dinyatakan praktis tidak toksik karena median dosis letal lebih besar dari 15 g/kg BB. Hasil pengujian ED50 hepatoprotektor menunjukkan bahwa kisaran dosis efektif hepatoprotektor

fraksi metanol-air pada mencit mulai dari 5,6 mg/20 g BB sampai dengan 89,60 mg/20 g BB, atau setara dengan 196 mg/kg BB hingga 3136,00 mg/kg BB tikus. Median dosis efektif pada mencit adalah sebesar 22,40 mg/20 g BB atau 784,00 mg/kg BB tikus. Selanjutnya dosis terapi yang digunakan adalah 1000 mg/kg BB. Dibandingkan dengan air suling, pemberian fraksi metanol-air dosis 1000 mg/kg BB selama rentang waktu tiga bulan tidak mengganggu fungsi hati, yang ditandai dengan kadar enzim ALT (bulan ke 0 dan 3 masing-masing 123,39 dan 100,90 U/L) dan AST (bulan ke 0 dan 3 masing-masing 384,05 dan 299,52 U/L) yang masih dalam kisaran normal, serta gambaran histopatologi sel hati yang tidak memperlihatkan adanya perubahan. Hasil pemeriksaan urin dan gambaran histopatologi ginjal juga tidak menunjukkan terjadinya gangguan pada ginjal.


(7)

Penentuan aktivitas hepatoprotektor fraksi metanol-air akar pasak bumi dilakukan dari dua arah yang berbeda, yakni menguji kemampuan melindungi (preventive) dan kemampuan memulihkan (curative) sel-sel hati dari kerusakan yang ditimbulkan CCl4. Dalam menguji daya preventive sel-sel hati, CCl4 dosis

0,1 ml/kg BB diberikan setelah tujuh hari berturut-turut sebelumnya hewan coba diberi fraksi metanol-air dosis 1000 mg/kg BB. Untuk menguji daya curative sel-sel hati, CCl4 dosis 0,1 ml/kg BB diberikan 24 jam sebelum pemberian fraksi

metanol-air dosis 1000 mg/kg BB, selanjutnya fraksi metanol-air dosis 1000 mg/kg BB diberikan selama tujuh hari berturut-turut. Secara keseluruhan hasil percobaan ini menunjukkan bahwa fraksi metanol-air dosis 1000 mg/kg BB memiliki daya perlindungan terhadap CCl4. Hasil-hasil penelitian terdahulu

menyebutkan bahwa aktivitas hepatoprotektor suatu zat atau senyawa terhadap CCl4 dinilai dari kemampuannya dalam menghambat peroksidasi lipid, menekan

aktivitas enzim ALT dan AST, serta meningkatkan aktivitas antioksidan enzim dan antioksidan nonenzim. Diduga bahwa di dalam fraksi metanol-air juga terkandung senyawa yang mampu melindungi sel hati dari serangan CCl4. Karbon

tetraklorida merupakan senyawa yang dalam proses biotransformasinya akan menghasilkan senyawa yang bersifat reaktif. Dari literatur disebutkan bahwa eliminasi senyawa-senyawa yang bersifat reaktif dari dalam tubuh dilakukan oleh glutation (GSH) dengan membentuk turunan asam merkapturat dan GSSG (glutation disulfid). Diduga bahwa kemampuan fraksi metanol-air melindungi hati dari serangan CCl4 berkaitan dengan kemampuannya mempertahankan kadar

GSH, glutation reduktase (GR), dan glutation S-transferase (GST), serta meregenerasi atau mensintesis GSH melalui jalur de novo. Fraksi metanol-air juga diduga mampu mempertahankan kadar enzim antioksidan (SOD, GPx, dan katalase) yang berperan menetralkan radikal bebas. Di sisi lain, kemampuan fraksi metanol-air dalam melindungi hati juga tidak terlepas dari kemampuan zat atau senyawa dalam fraksi metanol-air untuk menghambat terjadinya peroksidasi lipid yang diakibatkan oleh metabolit CCl4 dengan cara menghambat ekspresi dan

aktivitas sitoktom P450. Mekanisme preventive sel-sel hati diduga lebih didukung

oleh kemampuan fraksi metanol-air akar pasak bumi dalam menghambat ekspresi dan aktivitas sitokrom P450. Namun demikan, peran fraksi metanol-air dalam

proses detoksifikasi tetap dibutuhkan. Sebaliknya, mekanisme curative sel-sel hati diduga lebih didukung oleh peran fraksi metanol-air akar pasak bumi dalam proses detoksifikasi dan regenerasi. Namun, peran fraksi metanol-air dalam menghambat sitokrom P450 tetap dibutuhkan.

Kata kunci: Eurycoma longfolia Jack., hepatoprotektor, LD50, ED50, toksisitas


(8)

ABSTRACT

RUQIAH GANDA PUTRI PANJAITAN. Hepatoprotector Activity of the Roots of Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Under the direction of WASMEN MANALU, EKOWATI HANDHARYANI, and CHAIRUL.

The hepatoprotector activity of pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) roots was evaluated in carbon tetrachloride (CCl4)-induced rats. Hepatotoxic effects of CCl4

was tested followed by administration of methanol extract and its derived fractions (n-hexane, chloroform, ethyl acetate, and methanol-water) on liver functions, and the selection of the extract or fraction which have similar activity to silymarin as a commercial hepatoprotector. Liver functions were monitored by measuring serum alanine transaminase (ALT), aspartate transaminase (AST), alkaline phospatase (ALP), total bilirubin, and total protein concentrations. The median lethal dose (LD50), median effective dose (ED50), and subchronic toxicity

of selected fraction were also evaluated. The study was continued by application of therapeutic dose. The results of experiment demonstrated that treatment of CCl4

increased ALT, AST, ALP, total bilirubin, and decreased total protein. Histopathologically, administration of CCl4 by 0.1 ml/kg body weight caused

multifocal degeneration. The livers treated with methanol extract and its derived fractions showed no significant difference in liver functions. In addition, administration of methanol-water fraction by 500 mg/kg body weight had similar activity as compared to silymarin. Median lethal dose (LD50) and median effective

dose (ED50) of methanol-water fraction in rats were respectively 34.65 g/kg body

weight and 784.00 mg/kg body weight. Alanine and aspartate transaminase enzymes, urine evaluation, and histopathological studies confirmed the hepatic cells and renal was still normal after three months administration of methanol-water fraction of pasak bumi roots at dose 1000 mg/kg body weight of male rat. The therapeutic dose administration of methanol-water fraction (1000 mg/kg body weight) prior to CCl4-induced resulted in suppression of ALT (91.78±9.63 U/L)

and AST (249.50±20.5 U/L), and the CCl4-induced prior to therapeutic dose

administration of methanol-water fraction (1000 mg/kg body weight) resulted in suppression of ALT (136.97±46.19 U/L) and AST (322.80±112.89 U/L) as well. Histopathological and ultrastructure studies confirmed that methanol-water fraction protected hepatic cells. It is concluded that methanol-water fraction of pasak bumi roots has a hepatoprotector activity

Key words: Eurycoma longifolia Jack., hepatoprotector, LD50, ED50, subchronic


(9)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

PENGUJIAN AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR

AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.)

RUQIAH GANDA PUTRI PANJAITAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(11)

Penguji Luar Ujian Tertutup : Dr. Drh. Yulvian Sani

Penguji Luar Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Drh. Maria Bintang, MS 2. Dra. Tri Budhi Murdiati, M.Sc., Ph.D.


(12)

Judul Disertasi : Pengujian Aktivitas Hepatoprotektor

Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) Nama : Ruqiah Ganda Putri Panjaitan

NRP : G 361030051

Program Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D. Ketua

Dr. Drh. Ekowati Handharyani, M.Si. Dr. H. Chairul, Apt.,M.Chem., APU

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 9 Januari 2008 Tanggal Lulus:

Dekan Sekolah Pascasarjana


(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah hepatoprotektor, dengan judul Pengujian Aktivitas Hepatoprotektor Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD, Dr. Drh. Ekowati Handharyani, M.S., dan Dr. Chairul Apt.M.Chem.,APU selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penelitian ini dapat terlaksana atas pendanaan dari BPPS, Hibah Bersaing XIV, dan DAMANDIRI. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada buyah dan mama, ayah dan mama mertua, suami dan anak terkasih, kakak-kakak dan adik-adik, rekan-rekan, serta semua pihak yang telah membantu hingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Semoga hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kisaran, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1974, anak ke dua dari pasangan H. Syaibun Hasan Panjaitan dan Hj. Siti Nurbaya Ali. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, lulus tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Biologi, Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari DUE Project, dan selesai pada tahun 2000. Di tahun 2003 penulis kembali diterima pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional (BPPS-Diknas).

Selama mengikuti program pendidikan doktor, penulis telah menyajikan karya ilmiah yang berjudul “The Effects of Administration Methanol Extract and Derived Fractions of Methanol Extracts of Eurycoma Longifolia Jack. Roots on Liver and Renal Function” pada ASOMPS XII, “Hepatoprotector Activity of the Pasak Bumi Root (Eurycoma longifolia Jack.)” pada Joint Symposium IOCD-POKJANAS TOI, “Daya Perlindungan Fraksi Metanol-Air Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) dari Kerusakan yang Ditimbulkan CCl4” pada

Seminar Nasional Tumbuhan Obat XXXII, dan sebuah artikel berjudul “Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus” yang telah diterbitkan pada tahun 2007 di Makara Seri Kesehatan 11:11-16.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 5

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Morfologi dan Anatomi Hati... 6

Fungsi Hati ... 8

Pemeriksaan Biokimia Hati ... 10

Manfaat Pasak Bumi dan Komponen Aktifnya ... 16

Kajian Aktivitas Hepatoprotektor dari Beragam Jenis Tumbuhan ... 18

Gangguan Fungsi Hati Akibat Pemberian Karbon Tetraklorida ... 21

Abstrak ... 21

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 23

Hasil dan Pembahasan ... 24

Simpulan ... 29

Pengaruh Pemberian Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) pada Fungsi Hati ... 30

Abstrak ... 30

Pendahuluan ... 31

Bahan dan Metode ... 32

Hasil dan Pembahasan ... 35

Simpulan ... 40

Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Metanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) dan Fraksi-Fraksi Turunannya... 41

Abstrak ... 41

Pendahuluan ... 42

Bahan dan Metode ... 43

Hasil dan Pembahasan ... 46


(16)

Penentuan Median Dosis Letal (LD50) Oral, Median Dosis

Efektif (ED50) Hepatoprotektor, dan Uji Toksisitas Subkronis

Fraksi Metanol-Air Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) pada Hati ... 52

Abstrak ... 52

Pendahuluan ... 53

Bahan dan Metode ... 54

Hasil dan Pembahasan ... 57

Simpulan ... 60

Daya Perlindungan Fraksi Metanol-Air Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) dari Kerusakan yang Ditimbulkan CCl4 ... 61

Abstrak ... 61

Pendahuluan ... 61

Bahan dan Metode ... 63

Hasil dan Pembahasan ... 65

Simpulan ... 68

Aktivitas Hepatoprotektor Fraksi Metanol-Air Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) pada Hati yang Diinduksi CCl4 ... 69

Abstrak ... 69

Pendahuluan ... 69

Bahan dan Metode ... 71

Hasil dan Pembahasan ... 74

Simpulan ... 79

PEMBAHASAN UMUM ... 80

SIMPULAN UMUM ... 84

SARAN ... 85


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rataan kadar enzim ALT, AST, ALP, bilirubin total, dan protein

total dalam serum tikus jantan strain Sprague Dawley, 24 jam

setelah pemberian CCl4. ... 25

2 Rataan kadar enzim ALT, AST, protein total, ALP, bilirubin total, bilirubin direk, dan bilirubin indirek dalam serum tikus jantan

strain Sprague Dawley ... 36 3 Skoring lesio organ hati ... 45 4 Rataan kadar enzim ALT dan AST dalam serum tikus jantan

strain Sprague Dawley yang diberi air suling, silymarin (kontrol positif), ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi kloroform, fraksi

etil asetat, dan fraksi metanol-air ... 47 5 Rataan kadar enzim ALT dan AST dalam serum tikus jantan

strain Sprague Dawley yang diberi air suling 2 ml/kg BB (kontrol negatif), silymarin 25 mg/kg BB (kontrol positif), dan fraksi

metanol-air 1000 mg/kg BB mendahului CCl4 0,1 ml/kg BB ... 66

6 Rataan kadar enzim ALT dan AST dalam serum tikus jantan strain Sprague Dawley yang diberi CCl4 mendahului air suling 2

ml/kg BB (kontrol negatif), silymarin 25 mg/kg BB (kontrol


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longfolia Jack.) ... 17

2. Makroanatomi hati tikus yang diinduksi 0 ml CCl4 (kontrol, A),

0,1 ml CCl4/kg BB (B), 1,0 ml CCl4/kg BB (C), dan 10 ml

CCl4/kg BB (D). ... 27

3. Gambaran histopatologi hati tikus yang diinduksi 0 ml CCl4

(kontrol, A), 0,1 ml CCl4/kg BB (B), 1,0 ml CCl4/kg BB (C), dan

10 ml CCl4/kg BB (D). ... 28

4. Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok silymarin (25 mg/kg BB) (A), ekstrak metanol (B), fraksi n-heksan (C), fraksi kloroform (D), fraksi etil asetat (E), dan fraksi metanol-air (F) masing-masing dosis 500 mg/kg BB yang ditantang dengan CCl4

dosis 0,1 ml/kg BB. ... 48 5. Kurva nilai dosis efektif (ED) dan dosis letal (LD) pada tikus ... 58 6. Grafik rataan kadar enzim ALT dan AST sebelum dan sesudah

pengujian toksisitas subkronis pada kelompok air suling 2 ml/kg

BB dan fraksi metanol-air 1000 mg/kg BB ... 58 7. Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok air suling 2

ml/kg BB (A) dan fraksi metanol-air 1000 mg/kg BB (B) pada

pengujian toksisitas subkronis.. ... 59 8. Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok air suling 2

ml/kg BB(A), silymarin 25 mg/kg BB (B), fraksi metanol-air 1000 mg/kg BB (C) yang ditantang dengan CCl4 dosis 0,1 ml/kg

BB. ... 67 9. Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok yang diberi

CCl4 0,1 ml.kg BB selanjutnya air suling 2 ml/kg BB (A),

silymarin 25 mg/kg BB (B) fraksi metanol-air 1000 mg/kg BB

(C) ... 76 10. Ultrastruktur hati pada kelompok fraksi metanol-air dosis 1000

mg/kg BB (A), silymarin 25 mg/kg BB (B), dan air suling 2 ml/kg BB (C) yang sebelumnya telah diinduksi dengan CCl4 0,1 ml/kg


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hati merupakan organ tubuh yang berkaitan erat dengan metabolisme nutrisi dan xenobiotik sehingga sering terpapar beragam senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Xenobiotik yang masuk tersebut tidak dibutuhkan tubuh, malah bersifat toksik bagi tubuh sehingga hati menjadi rentan terhadap kerusakan. Berbagai penelitian telah melaporkan beragam faktor yang dapat mengakibatkan kerusakan hati, antara lain mikroba fumonisin B1, senyawa kimia, dan obat-obatan. Fumonisin B1 (FB1), yakni mycotoxin yang diproduksi oleh Fusarium

verticillioides, umumnya ditemukan pada jagung dan makanan berbahan dasar jagung. Fumonisin B1 dapat mengakibatkan terjadinya leukoencephalomalacia

pada kuda, edema pada babi serta kerusakan pada paru-paru, ginjal, dan hati pada berbagai jenis hewan (He Quanren et al., 2004). Senyawa kimia yang mengakibatkan kerusakan hati, di antaranya 2,3,7,8 tetrakhlorodibenzo-p-dioksin (TCDD) dan karbon tetraklorida (CCl4) (Susanti et al.,2002; Venukumar dan

Latha, 2002)). Menurut Susanti et al. (2002) pemberian TCDD sebanyak 5 μg/kg BB pada hari pertama, selanjutnya 1 μg/kg BB pada hari ke dua sampai dengan hari ke 60, mengakibatkan perubahan di sekitar vena sentralis, yakni peningkatan infiltrasi lemak ke dalam hepatosit, serta gangguan pada pompa natrium yang meningkatkan masuknya kalsium dan air ke dalam sel dan keluarnya kalium dari sel. Venukumar dan Latha (2002) menyatakan bahwa CCl4 merupakan penyebab

kerusakan hati sebagaimana yang ditimbulkan virus hepatitis akut, yang ditandai dengan nekrosis serta steatosis pada bagian sentral lobus. Efek ini yang menyebabkan CCl4 lazim dipakai sebagai hepatotoksik di dalam percobaan. Sifat

hepatotoksik CCl4 terjadi karena hasil biotransformasinya di hati oleh sitokrom

P450 reduktase dengan kofaktor NADPH membentuk radikal bebas triklorometil (CCl3*) dan triklorometil peroksil (CCl3O2*) yang berikatan dengan membran

hepatosit dan organel sel. Ikatan ini menyebabkan terbentuknya peroksidasi lipid serta ketidakseimbangan kalsium yang akhirnya mengakibatkan terjadinya


(20)

kematian sel. Obat-obatan seperti isoniasid, rifampisin, dan pirazinamid (Pari dan Kumar, 2002), serta parasetamol (Lindgren et al. 1997) juga dapat menyebabkan kerusakan hati. Menurut Lindgren et al. (1997) mengkonsumsi parasetamol dosis tinggi dapat mengakibatkan kolestasis (penghambatan aliran empedu) serta granulomatosa hepatitis.

Kerusakan hati sudah tentu dapat mempengaruhi fungsi hati. Namun, sampai saat ini obat komplementer dan alternatif untuk gangguan fungsi hati masih terus memerlukan pengujian guna memperoleh hasil yang lebih memuaskan ditinjau dari segi manfaat pengobatan maupun kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya. Hingga saat ini juga masih dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan komponen bahan aktif yang mampu berperan sebagai hepatoprotektor.

Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel sekaligus memperbaiki jaringan hati yang rusak akibat pengaruh zat toksik. Beragam jenis tumbuhan obat telah diteliti khasiat hepatoprotektornya, antara lain

Silybum marianum (Scott Luper, 1998), Rosmarius officinalis (Sotelo-Felix et al., 2002), Curculigo orchioides (Venukumar dan Latha, 2002), Ginkgo biloba

(Shenoy et al., 2001), Emblica officinalis dan Chyavanaprash (Jose dan Kuttan, 2000), Lawsonia alba (Ahmed et al., 2000), daun Cassia fistula (Bhakta et al., 1999), Daucus carota L (Bishayee et al., 1995), Picrorhiza kurrooa (Tripathi et al., 1991), serta Ricinus communis (Natu et al., 1977). Secara keseluruhan, tumbuhan ini bersifat sebagai hepatoprotektor terhadap kerusakan hati yang ditimbulkan CCl4. Efek ini diidentifikasi terutama dari penurunan kembali kadar

enzim aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), alkalin fosfatase (ALP), gamma glutamil transpeptidase ( -GT), bilirubin, lipid total, dan peningkatan kembali kadar protein total, serta didukung oleh gambaran histopatologi hati. Efek perlindungan terhadap hati juga dapat dilihat dari kemampuan Andrographis paniculata dalam menghambat pertumbuhan tumor hati yang disebabkan oleh heksakloro sikloheksana (BHC), yang ditandai oleh penurunan kadar enzim AST, ALT, ALP, serta peningkatan kembali kadar protein (Trivedi dan Rawal, 1998). Tumbuhan lain yang memiliki daya hepatoprotektor


(21)

adalah Arcangelisia flava (L.) Merr. Dilaporkan bahwa saponin yang terkandung dalam tumbuhan ini mampu meregenerasi sel-sel hati yang telah dirusak oleh parasetamol (Batubara, 2003).

Tumbuhan yang telah diketahui benar berperan sebagai hepatoprotektor adalah Silybum marianum. Tumbuhan ini dilaporkan mampu melindungi hati dari berbagai jenis racun, parasetamol, alkohol, CCl4, D-galaktosamin, radiasi,

penyempitan/penyumbatan pembuluh darah yang disusul dengan nekrosis dan pengelupasan sel-sel hati (ishemic injury), serta virus hepatitis. Mekanisme kerja silymarin sebagai hepatoprotektor berkaitan dengan perannya sebagai antioksidan, antiperoksidasi lipid, serta meningkatkan daya detoksifikasi. Selain itu, Silybum marianum juga berperan dalam meningkatkan sintesis protein sel-sel hati, mengurangi aktivitas bahan-bahan yang menyebabkan tumor, memelihara keberadaan sel mast (sejenis sel pada jaringan ikat yang banyak mengandung basofil, kemungkinan juga terkait dengan pembentukan histamin dan heparin), memodulasi kekebalan tubuh, antiradang, dan antifibrosis (Scott Luper, 1998).

Beberapa zat aktif yang telah diisolasi dari tumbuhan dan terbukti berpotensi sebagai hepatoprotektor antara lain kurkumin dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan kunyit (Curcuma domestica), filantin dari herba meniran (Phyllanthus spp.), silymarin dari biji widuran (Silybum marianum), aukobosida dari herba daun sendok (Plantago mayor), minyak atsiri dari bawang putih (Allium sativum), gingerol dari rimpang jahe (Zingiber officinalis), wedelolakton dari herba urang aring (Eclipta alba), serta andrografolid dari herba sambiloto (Andrographispaniculata) (Dalimartha, 2000). Dilihat dari strukturnya, senyawa yang bersifat hepatoprotektor di antaranya meliputi senyawa golongan fenilpropanoid, kumarin, lignan, minyak atsiri, terpenoid (monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen, dan karotenoid), glikosida (glikosida iridoid dan saponin), flavonoid, asam organik lipid, serta senyawa nitrogen (alkaloid dan xantin) (Sidik, 1988).

Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack., famili Simaroubaceae), adalah salah satu tumbuhan asli Indonesia. Namun, tumbuhan ini juga tersebar di hutan-hutan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Birma (Siregar et al., 2003;


(22)

Minorsky, 2004). Secara turun-temurun akar tumbuhan ini dipercaya berkhasiat dalam meningkatkan gairah seksual kaum pria. Selain itu, secara empiris akar pasak bumi juga dimanfaatkan sebagai tonikum bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, serta dalam pengobatan berbagai penyakit, di antaranya pembengkakan kelenjar (glandular swelling), demam, dan disentri (Hadad dan Taryono, 1998; Padua et al., 1999). Hasil pengujian secara ilmiah menunjukkan bahwa akar tumbuhan ini juga berkhasiat dalam pengobatan disfungsi seks (Ang dan Lee, 2002; Ang dan Lee, 2003; Ang et al. 2003), antimalaria (Ang et al., 1995; Satayavivad et al., 1998; Chan et al., 2004; Kuo et al., 2004), dan sitotoksik (Kuo et al., 2004). Hasil studi fitokimia menggambarkan bahwa akar pasak bumi mengandung beragam senyawa termasuk di dalamnya golongan quassinoid (Chan

et al., 1989; Chan et al., 1992; Ang et al., 2000; Ang et al., 2002; Bedir et al., 2003; Chan dan Choo, 2002; Chan et al., 2004; Kuo et al., 2004), canthin-6-one alkaloid, -carboline alkaloid (Chan et al., 2004; Kuo et al., 2004), tirucallane-type triterpen (Kuo et al., 2004), squalene derivatif (Morita et al., 1993; Kuo et al., 2004), squalene-type triterpene (Itokawa et al., 1991; Kuo et al., 2004) dan biphenylneolignan (Kuo et al., 2004). Terkait dengan beragam aktivitas pengobatan serta beragam senyawa yang dikandungnya maka perlu dilakukan penelitian guna menggali potensi-potensi lain di antaranya pengujian aktivitas hepatoprotektor.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kerusakan hati yang diakibatkan oleh CCl4 dan memilih dosis

CCl4 untuk pengujian aktivitas hepatoprotektor.

2. Mempelajari pengaruh pemberian sediaan akar pasak bumi terhadap fungsi hati.

3. Mempelajari daya kerja hepatoprotektor ekstrak metanol akar pasak bumi dan fraksi-fraksi turunannya (fraksi n-heksan, fraksi kloroform, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol air), sekaligus memilih satu sediaan yang memiliki daya hepatoprotektor paling mendekati silymarin.


(23)

4. Menentukan median dosis letal (LD50), median dosis efektif (ED50)

hepatoprotektor sediaan terpilih.

5. Mempelajari toksisitas subkronis sediaan terpilih dengan dosis terapeutik pada organ hati.

6. Mempelajari daya perlindungan dan pemulihan sediaan terpilih dengan dosis terapeutik dari pengaruh CCl4.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dari penelitian ini adalah:

1. Akar pasak bumi mampu mengurangi bahkan berpotensi mencegah terjadinya kerusakan sel hati yang ditimbulkan CCl4.

2. Akar pasak bumi bersifat relatif aman sehubungan dengan pemanfaatannya sebagai obat.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memperkaya khasanah informasi secara ilmiah mengenai manfaat, daya kerja dengan dosis efektif pasak bumi sebagai hepatoprotektor, serta toksisitas dalam penggunaannya.

2. Memberikan nilai tambah terhadap potensi tumbuhan obat asli Indonesia. 3. Lebih lanjut akar pasak bumi dapat dijadikan sebagai alternatif


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar tubuh terbesar dengan berat sekitar 2,5% berat badan orang dewasa, atau berkisar dari 1.400 sampai 1.600 g. Hati sebagian besar terletak di perut bagian kanan atas di belakang iga. Ukuran hati yang normal sebesar telapak tangan individu itu sendiri (Noer, 1987; Cotran et al., 1999).

Hati terdiri atas dua bagian besar, lobus kanan dan lobus kiri yang dipisahkan oleh ligamentum falsiformis pada bagian anterior, pada bagian inferior oleh lekukan tempat ligamentum teres, dan lekukan untuk ligamentum venosum di bagian posterior. Hati mendapat suplai darah dari vena porta dan arteri hepatika. Vena porta membawa darah vena dari usus, limpa, dan pankreas. Ciri darah yang berasal dari vena porta antara lain mengandung lebih banyak nutrien dan sisa bakteri dari saluran pencernaan, mengandung lebih banyak oksigen karena aliran darah di daerah splanknikus ini lebih banyak dan tekanannya juga lebih tinggi untuk mengatasi tekanan pada sinusoid hati. Darah dari vena porta dan arteri hepatika disalurkan ke vena sentralis, masuk ke vena hepatika kemudian ke dalam vena kava kaudalis (Noer, 1987; Cotran et al., 1999).

Sel hati merupakan 60% bagian hati. Diameter sel hati kira-kira 30 μm, berbentuk poligonal. Nukleusnya satu, tetapi ditemui juga nukleus ganda yang membagi diri dengan cara mitosis. Inti sel hati mengandung deoksiribonukleo-poliploidi protein. Inti sel dengan deoksiribonukleo-poliploidi yang bertambah dianggap merupakan keadaan prakanker. Diperkirakan usia sel hati 150 hari. Sel-sel hati mempunyai daya regenerasi yang sangat tinggi. Hati normal yang dilobektomi sebanyak 70% akan meningkatkan proliferasi sel-sel hati sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali (Ressang, 1984). Kerusakan hati yang mengakibatkan hanya 10-20% jaringan hati yang masih berfungsi sudah cukup untuk mempertahankan hidup individu. Sel hati memiliki tiga permukaan, satu menghadap ke sinusoid dan rongga Disse, satu menghadap ke kanalikulus empedu, satu lagi menghadap ke sel hati yang bersebelahan. Sel hati tidak


(25)

memiliki membran basal. Dalam tiap miligram jaringan hati ditemukan kira-kira 202.000 sel yang terdiri atas 171.000 sel parenkim hati dan 31.000 sel-sel lain termasuk sel Kupffer (Noer, 1987).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian yang paling bertanggung jawab atas peran hati dalam metabolisme. Hepatosit terletak di antara sinusoid yang terdiri atas darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi dinding endotel hati dan merupakan bagian penting dalam kekebalan tubuh. Setiap sel hati merupakan pabrik kecil yang berfungsi sebagai kelenjar endokrin maupun eksokrin secara penuh, walaupun secara fungsional unit hati terkecil ialah lobulus (Cotran et al., 1999). Setiap lobulus yang berbentuk heksagonal mempunyai vena sentral. Sudut-sudut pertemuan antara lobuli disebut segitiga Kiernan, yang mengandung arteri, vena, dan saluran empedu. Ruangan di antara balok-balok sel adalah sinusoid (kapiler hati), suatu sel yang berdinding endotel yang intinya dalam keadaan tertentu bisa berubah menjadi makrofag (sel Kupffer).

Inti sel hati memiliki lapisan ganda dengan pori-pori untuk saling berhubungan dengan hialoplasma di sekitarnya. Mitokondria hati mengandung banyak enzim untuk siklus asam sitrat dan oksidasi β-asam lemak. Selain itu, mitokondria juga merupakan tempat pembentukan heme dan fosforilasi oksidatif. Retikulum endoplasmik yang dikelilingi ribosom berfungsi membentuk protein khusus terutama albumin, faktor pembeku darah, dan enzim-enzim di antaranya glukosa-6-fosfatase, pembentukan trigliserida, lipoprotein, serta glikogenesis. Retikulum endoplasmik yang tidak bergranul merupakan tempat terjadinya proses konjugasi bilirubin dan detoksifikasi xenobiotik, pembentukan steroid termasuk kolesterol dan asam empedu primer yang berkonjugasi dengan glisin dan taurin. Jumlah retikulum endoplasmik tidak bergranul ini akan bertambah setelah pemberian induktor enzim, seperti fenobarbital. Lisosom terletak dekat kanalikulus dan mengandung banyak enzim hidrolisis yang dapat merusak sel. Peran lisosom adalah menghancurkan organel yang berumur pendek. Feritin, lipofusin, pigmen empedu, dan tembaga disimpan di lisosom. Lisosom yang letaknya dekat dengan kanalikulus empedu dinamakan dengan mikrobodi. Apparatus golgi terdiri atas vesikel dan partikel, posisinya dekat dengan


(26)

kanalikulus, yakni tempat menyiapkan benda-benda yang akan diekskresikan ke dalam empedu. Lisosom, mikrobodi, dan apparatus golgi berperan memecah benda-benda yang diambil sel hati, selanjutnya diekskresi, disekresi, atau disimpan untuk proses metabolik di dalam hialoplasma. Apparatus golgi, lisosom, dan kanalikulus terlibat dalam peristiwa kolestasis. Hialoplasma yang berada di antara semua organel sel hati mengandung butir-butir glikogen, lipid, dan fibrin-fibrin halus. Mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan sitoskeleton penunjang yang mengatur bentuk gerakan sel juga mungkin mengatur gerakan dari granul-granul sekret (Noer, 1987).

Fungsi Hati

Hati berperan dalam memelihara keseimbangan metabolik di dalam tubuh, seperti metabolisme protein, karbohidrat, lipid, vitamin, sintesis protein serum, sekresi empedu, serta detoksifikasi (Cotran et al., 1999).

Uraian fungsi hati menurut Cotran, et al. (1999), Cunningham (2002), Stockham dan Scott (2002) adalah sebagai berikut:

1. Mensekresikan empedu. Empedu terdiri atas garam-garam empedu (taurokolat dan glikokolat natrium), pigmen empedu (bilirubin dan biliverdin), lemak, kolesterol, lesitin, dan garam-garam mineral (kalsium karbonat dan kalsium fosfat). Bila terjadi kerusakan hati maka banyak ditemukan bilirubin dalam urin. Retensi pigmen empedu juga mengakibatkan terjadinya hiperbilirubinemia dengan gejala-gejala ikterus. Garam-garam empedu (asam-asam kolat) dibentuk di dalam hati dari kolesterol. Penyumbatan jalan empedu mengakibatkan garam-garam empedu menjadi tertimbun di dalam darah. Peran garam-garam empedu antara lain mengaktifkan kerja enzim-enzim pankreas (lipase dan amilase), memudahkan emulsi lemak di dalam usus, memudahkan penyerapan lemak dan vitamin yang larut di dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dari usus, menekan pertumbuhan kuman-kuman di dalam usus, serta sebagai alat ekskresi kolesterol, besi, tembaga, kalsium, dan beberapa jenis obat.


(27)

2. Metabolisme karbohidrat. Glikogen dibentuk dan disimpan di dalam hati. Bila karbohidrat yang dari usus berlebihan maka hati akan mengubahnya menjadi lemak kemudian disimpan dalam depot-depot lemak. Selain itu hati juga berperan dalam memobilisasi glukosa serta pembentukan glukosa dari fruktosa, galaktosa, dan bagian nonnitrogen asam-asam amino.

3. Metabolisme lipid. Hepatosit berperan dalam membentuk asam-asam empedu dari kolesterol. Di dalam usus, garam-garam empedu ikut berperan dalam mengemulsi lemak. Emulsi yang terbentuk kemudian dihidrolisis selanjutnya diubah bentuknya menjadi asam-asam lemak dan gliserol sehingga dapat diserap oleh usus. Perubahan asam-asam lemak dan gliserol menjadi lemak-lemak yang khas untuk tubuh hewan terjadi pada mukosa usus. Gangguan pada produksi empedu mengakibatkan gagalnya pengemulsian lemak yang menyebabkan meningkatnya lemak feses (steatorrhea). Hati juga berperan dalam pengambilan lemak netral dari darah, usus, dan depot-depot lemak secara kontinu. Lipid netral yang diambil kemudian diubah menjadi lemak jaringan (terutama fosfolipid) dengan adanya kolin dan metionin. Ketidaktersediaan kolin dan metionin akan menyebabkan penumpukan lemak netral di dalam sel-sel hati. Peran hati lainnya adalah mendenaturasi lipid sebelum oksidasi asam lemak serta pada pembentukan benda-benda keton. 4. Metabolisme protein. Hepatosit berperan dalam sintesis protein plasma,

termasuk albumin dan globulin. Umumnya sintesis terjadi secara denovo dari asam-asam amino esensial dan nonesensial. Selain itu hati juga berperan dalam penguraian asam-asam amino. Pemisahan NH2 oleh enzim oksidase

akan menyisakan amonia dan asam keton. Dari penguraian ini terbentuk ureum yang akan dikeluarkan melalui ginjal. Ampas-ampas nonnitrogen pada penguraian asam-asam amino diubah menjadi glukosa dan benda-benda keton. Dalam hati tidak ada penimbunan protein seperti halnya lemak dan glikogen, namun hati dapat dengan cepat mensintesis protein baru (albumin, fibrinogen, protrombin, globulin, dan ester kolin) terutama setelah perdarahan. Protein-protein plasma maupun jaringan juga disintesis dari asam-asam amino. Bila


(28)

fungsi hati terganggu, kadar bahan-bahan nitrogen di dalam plasma juga berubah.

5. Metabolisme besi dan pembentukan sel darah merah. Hati berperan menghancurkan eritrosit kemudian menyimpan besi dari pemisahan tersebut untuk dipergunakan lagi dalam pembentukan eritrosit baru.

6. Detoksifikasi. Hati berperan dalam degradasi maupun modifikasi komponen endogenus dan eksogenus. Xenobiotik yang masuk ke dalam tubuh, baik itu yang masuk melalui jalur parenteral, oral, maupun jalur lainnya akan mengalami oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi di hati sehingga bersifat lebih larut dalam air.

7. Sistem fagositosis. Sel Kupffer berperan dalam menghancurkan endotoksin maupun eksotoksin.

Pemeriksaan Biokimia Hati

Pemeriksaan biokimia hati diharapkan dapat mendeteksi adanya kelainan pada hati, perkiraan penyebab penyakit hati, tingkat keparahan, perjalanan penyakit, serta menilai hasil pengobatan yang telah diberikan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, diperlukan kombinasi beberapa uji fungsi hati yang dikerjakan secara bersamaan. Penilaian hasil uji fungsi hati tentu saja harus melihat pemeriksaan lain seperti USG, histopatologi, dan keadaan fisik penderita. Menurut Cotran et al. (1999), secara umum ada empat aspek penanda penyakit hati, yakni dilihat dari gambaran umum hati yang mengalami kerusakan, pengaruh penyakit hati terhadap pembentukan empedu, gangguan pada fungsi hati, serta terjadinya sirosis hati. Kondisi umum hati yang rusak ditandai dengan akumulasi berbagai substansi di dalam sel-sel hepatosit, misalnya penumpukan lemak di dalam sel hati (steatosis), nekrosis, dan apoptosis sel hepatosit, inflamasi sel-sel hati yang ditandai dengan keberadaan leukosit pada pembuluh portal, bahkan ke sel-sel hati, serta regenerasi sel-sel hati yang rusak. Keempat ciri kerusakan hati ini terjadi secara reversible, berbeda dari fibrosis yang juga merupakan ciri kerusakan hati akibat terjadinya peradangan. Fibrosis ini bersifat irreversible,


(29)

akibat terjadinya fibrosis maka pada permukaan hati akan terbentuk nodul-nodul yang dikenal dengan sirosis hati. Peranan hati dalam pembentukan empedu berfungsi untuk membantu penyerapan lemak dalam saluran pencernaan sekaligus mengeliminir bilirubin dan hasil detoksifikasi. Dengan demikian, gangguan pada pembentukan empedu mengakibatkan terjadinya retensi pigmen bilirubin yang menimbulkan warna kuning pada kulit dan bola mata yang dikenal dengan istilah

jaundice atau ikterus. Keadaan lain yang juga mengikuti terjadinya ikterus adalah kolestasis, yakni keadaan yang timbul akibat disfungsi sel-sel hati maupun penyumbatan saluran empedu.

Beberapa uji biokimiawi yang dapat dilakukan untuk menganalisis fungsi hati antara lain transaminase (aminotransferase), ALP, -GT, laktat dehidrogenase (LDH), leusin amino peptidase (LAP), bilirubin serum, asam empedu, albumin dan globulin serum, tes flokulasi (thymol turbidity test), tes pembekuan (tes protrombin) serta alfa feto protein (AFP).

1. Serum transaminase

Ada dua enzim transaminase yang bermakna secara klinis, glutamat piruvat transaminase (GPT) atau ALT yang memindahkan gugus amino dari alanin ke asam α-ketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat, serta glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) atau AST yang mengkatalisis pemindahan gugus amino dari asam aspartat ke asam α-ketoglutarat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat.

Pada manusia, nilai normal kadar enzim ALT berkisar antara 5 dan 25 U/L, sedangkan AST antara 5 dan 35 U/L (Baron, 1992). Alanin transaminase merupakan enzim sitosol dan terlibat dalam glukoneogenesis, meningkatnya kadar enzim ALT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka. Kerusakan hepatosit diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian sel. Waktu paruh enzim ini pada anjing berkisar antara 2 dan 3 hari. Tingginya kadar enzim ALT dalam sitoplasma hepatosit berbeda-beda pada tiap spesies (Stockham dan Scott, 2002).

Aspartat transaminase juga terlibat dalam glukoneogenesis, dan terdapat di dalam sitosol serta mitokondria sel hati, otot rangka, otot jantung, dan eritrosit.


(30)

Waktu paruh enzim ini berbeda pada tiap spesies, pada anjing terjadi kurang dari satu hari. Peningkatan kadar enzim AST terjadi akibat kerusakan hati yang parah yang disertai nekrosis sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel. Kerusakan mitokondria disebabkan oleh toksisitas zat kimia yang mengakibatkan hilangnya pengaturan ion, terjadinya depolarisasi potensial, membran sel membengkak, dan penghambatan oksidasi fosforilatif. Kadar enzim aspartat transaminase dikatakan juga sebagai indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati (Stockham dan Scott, 2002). Percobaan Venukumar dan Latha (2002) dengan hewan coba tikus strain Sprague Dawley menunjukkan bahwa pemberian CCl4

sebesar 1 ml/kg BB mengakibatkan peningkatan rataan kadar enzim AST (33,61±1,34 IU/L) dan ALT (61,91±3,68 IU/L) dalam serum dibanding parafin cair atau kontrol (AST 21,24±0,58 IU/L; ALT 24,62±1,34 IU/L). Sejalan dengan itu, hasil penelitian Tripathi et al. (1991) menunjukkan bahwa rataan kadar enzim AST dan ALT tikus strain Sprague Dawley yang diperlakukan dengan etanol 40% kemudian diberi 0,1 ml/kg BB CCl4 meningkat menjadi 147,55±17,10 U/L dan

96,13 U/L±22,62 bila dibanding dengan kadar AST dan ALT kontrol, masing-masing 95,24±12,10 U/L dan 53,99±9,77 U/L.

2. Alkalin fosfatase (ALP)

Alkalin fosfatase merupakan sekelompok enzim yang berperan mempercepat hidrolisis fosfat organik dengan melepaskan fosfat anorganik. Enzim ini terdapat dalam banyak jaringan, terutama berasal dari hati, tulang, mukosa usus, dan plasenta. Aktivitas enzim ini lebih tinggi pada laki-laki juga pada anak-anak karena pertumbuhan tulangnya aktif. Alkalin fosfatase meningkat bila terjadi kolestasis. Pada keadaan obstruksi intrabiliar maupun ekstrabiliar, kadar enzim ini meningkat 3-10 kali dari nilai normal sebelum timbul ikterus dengan transaminase yang sedikit meningkat. Kadar enzim alkalin fosfatase di atas 180 U/L (biasanya diikuti dengan peningkatan bilirubin plasma) menunjukkan kemungkinan terjadinya sirosis biliaris primer. Peningkatan yang mencapai 150 U/L khas pada hepatitis virus. Kadar enzim ALP normal pada orang dewasa adalah 20-95 U/L (Baron, 1992). Rataan kadar enzim alkalin


(31)

diberi CCl4 meningkat menjadi 128,11±5,24 IU/L (Venukumar dan Latha 2002).

Sama halnya dengan yang diperoleh Tripathi et al. (1991), induksi alkohol-CCl4

menyebabkan kerusakan hati yang ditandai dengan peningkatan rataan kadar enzim ALP dari 81,92±10,98 U/L menjadi 257,19±38,38 U/L.

3. -Glutamil transpeptidase ( -GT)

Enzim ini terutama terdapat dalam hati, pankreas, dan ginjal. Pada penderita penyakit hati, penyakit saluran empedu, dan penyakit pankreas, serta pecandu alkohol, dan orang-orang yang mengkonsumsi obat barbiturat dan fenitoin, kadar enzim -GT akan meningkat. Nilai normal kadar enzim -GT pada laki-laki berkisar antara 10 dan 50 U/L, sedangkan pada wanita antara 7 dan 30 U/L. Umumnya peningkatan enzim GGT bersamaan dengan peningkatan enzim ALT dan AST. Analisis enzim -GT berguna dalam mendeteksi enzim mikrosom yang diinduksi oleh obat-obatan, terutama pada pecandu alkohol (Baron, 1992). Rataan kadar enzim -GT pada tikus yang telah diberi CCl4 menjadi 24,63±0,16

IU/L sementara pada kontrol hanya 2,92±0,41 IU/L (Venukumar dan Latha, 2002).

4. Laktat dehidrogenase (LDH)

Pengukuran kadar enzim LDH kurang sensitif untuk mendiagnosis kerusakan hati. Namun, tetap dipakai berkaitan dengan penyebaran kanker yang telah menyerang hati. Rataan kadar enzim LDH pada tikus yang mendapat air suling sebesar 179,54±4,73 IU/L, sedangkan pada tikus yang mendapatkan CCl4

meningkat menjadi 296,63±7,98 IU/L (Shanmugasundaram dan Venkataraman, 2006). Kadar enzim LDH pada manusia berkisar antara 240-480 U/L (Bihl et al., 2006).

5. Leusin amino peptidase (LAP)

Enzim ini terutama terdapat di hati dan sistem empedu walaupun ditemukan juga pada hampir seluruh jaringan tubuh manusia. Pada masa kehamilan, kadar enzim ini meningkat dan mencapai puncaknya pada saat menjelang melahirkan. Peningkatan kadar enzim LAP spesifik untuk kelainan hati, dan nilai normalnya pada manusia berkisar antara 50 dan 220 U/ml (Dalimartha, 2000).


(32)

6. Bilirubin serum

Bilirubin sebagian besar berasal dari sel eritosit tua yang dihancurkan di limpa serta berasal dari sumber-sumber lain seperti mioglobin dan sitokrom. Dari penghancuran eritrosit terurai hemoglobin yang melalui beberapa proses diubah menjadi bilirubin indirek (bilirubin bebas, bilirubin unconjugated) yang larut dalam lemak, tetapi sukar larut dalam air. Bilirubin indirek akan bergabung dengan albumin dan melalui aliran darah akan sampai di hati. Di dalam hati, melalui tiga tahap proses metabolisme, yakni pengambilan, konjugasi, dan ekskresi, bilirubin indirek akan diubah menjadi bilirubin direk (bilirubin

conjugated) yang larut dalam air dan dapat diekskresikan dalam urin. Bilirubin direk akan dialirkan masuk ke dalam kantong empedu. Pada saat makan, cairan empedu akan dikeluarkan oleh kantong empedu dan masuk ke usus halus. Di dalam usus halus, bilirubin direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen dan sterkobilin. Sterkobilin inilah yang menyebabkan tinja berwarna cokelat. Sekitar 10-20% urobilinogen akan diserap kembali dan melalui aliran darah masuk kembali ke hati (siklus enterohepatik) dan sebagian kecil dikeluarkan melalui urin. Sementara dari penelitian Tripathi et al. (1991) dilaporkan bahwa rataan kadar bilirubin pada hewan coba yang diinduksi alkohol-CCl4 sebesar 0,625±0,02

mg/dl, nilai ini meningkat bila dibandingkan kontrol yang hanya 0,238±0,03 mg/dl.

Beberapa faktor dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin. Kenaikan kadar bilirubin indirek terjadi bila produksi meningkat, pengambilan yang berkurang, atau terjadi gangguan konjugasi di hati. Kenaikan kadar bilirubin direk terjadi karena obstruksi saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik sehingga bilirubin direk masuk ke dalam peredaran darah dengan cara regurgitasi. Kenaikan juga dapat terjadi akibat kerusakan sel-sel parenkim hati sehingga bilirubin masuk ke peredaran darah dengan cara penetrasi. Kenaikan kadar kedua jenis bilirubin terjadi akibat kebocoran bilirubin dari sel-sel hati atau sel duktuli sehingga bilirubin bisa masuk ke dalam aliran darah dan dapat memasuki semua cairan tubuh seperti cairan otak, cairan asites, atau mewarnai kulit, sclera, dan lain-lain (Baron, 1992).


(33)

7. Asam empedu

Asam empedu hanya dibuat dalam jaringan hati, per 24 jam hati mensintesis sekitar 1,3 mmol (0,5 g) asam empedu dari kolesterol. Di dalam hati, asam empedu dikonjugasi dengan asam amino glisin dan taurin, membentuk garam empedu primer, yakni garam asam kolat dan asam kenodeoksikolat yang kemudian akan disalurkan ke usus. Sisanya dari usus akan diserap di ileum dan masuk kembali ke hati melalui vena porta. Garam empedu primer yang tidak terserap akan dikonjugasikan di dalam usus besar membentuk asam empedu sekunder, yakni asam deoksikolat dan litokolat (Baron, 1992). Nilai normal asam empedu pada saat berpuasa berkisar antara 3,5 dan 8,3 μm/L. Kadar garam empedu dalam darah dapat meningkat akibat penyakit pada parenkim hati, yang mengakibatkan kemampuan hati untuk membersihkan garam empedu dari dalam darah menurun, dan bendungan/penyumbatan saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik, yang menyebabkan aliran empedu ke usus terhambat sehingga kadar garam empedu darah meningkat.

8. Albumin dan globulin serum

Hati merupakan sumber utama protein serum. Sel-sel parenkim hati melakukan sintesis albumin, fibrinogen, faktor-faktor koagulasi, plasminogen, transferin, seruloplasmin, hepatoglobulin, dan beta globulin. Sebaliknya gamma globulin disintesis dalam sel-sel limfosit dan sistem retikuloendotelial yang terdapat di dalam maupun di luar sel hati.

Pada penyakit hati terjadi penurunan kadar albumin dan kenaikan kadar globulin. Kadar total protein pada individu yang positif HCV (penderita hepatitis C) berkisar antara 5,3-10,1 g/dl, sedangkan kisaran kadar albumin dan -globulin masing-masing 2,1-4,6 g/dl dan 0,4-6,0 g/dl (Arase et al., 2003)

9. Tes flokulasi (thymol turbidity test)

Flokulasi (pengendapan) bergantung pada keseimbangan faktor yang mendorong atau menghambat flokulasi. Faktor pendorong flokulasi adalah alfa, beta, dan gamma globulin, sedangkan yang menghambat flokulasi adalah albumin dan mukoprotein. Terjadinya kerusakan parenkim hati akan meningkatkan faktor pendorong flokulasi (Baron, 1992).


(34)

10.Waktu protrombin (protrombine time)

Waktu protrombin merupakan tes pembekuan. Hati berperan dalam pembentukan faktor pembekuan II, VII, IX, dan X kecuali VIII. Waktu protrombin pada individu penderita hepatitis alkoholik sebesar 13,3-32 detik (Mathurin et al., 2003).

11.Alfa feto protein (AFP)

Alfa feto protein merupakan penanda tumor untuk kanker hati dan dipakai dalam pemeriksaan hepatoma. Nilai AFP di atas 500-1000 ng/ml menunjukkan diagnostik kanker hati primer. Nilai normal AFP kurang dari 15 ng/ml (Dalimartha, 2000).

Manfaat Pasak Bumi dan Komponen Aktifnya

Pasak bumi merupakan pohon kecil dengan ketinggian mencapai 20 m. Daun pasak bumi berukuran 2,5-14,2 x 0,7-4,5 cm, jumlah anak daun 11-35, bentuk daun lanset dengan tepi rata. Bunga berwarna merah, berbentuk malai, dan berbulu. Buah berwarna hijau ketika muda, serta menjadi kuning kemerahan dan hitam pada saat tua. Pasak bumi termasuk tumbuhan berumah satu tetapi juga berumah dua (Hadad dan Taryono, 1998; Padua et al., 1999). Pasak bumi adalah salah satu jenis tumbuhan obat yang banyak ditemukan di hutan-hutan Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Birma (Siregar etal., 2003; Minorsky, 2004). Di Indonesia pasak bumi mempunyai beragam nama daerah antara lain pasak bumi (Kalimantan), widara putih (Jawa), mempoleh (Bangka), beseng (Sumatra), di Malaysia dikenal dengan sebutan tongkat ali, bedara merah, dan bedara putih, sedangkan di Thailand dikenal dengan plaa-lai-pueak, hae pan chan, plaalai phuenk, dan phiak (Hadad dan Taryono, 1998; Padua et al., 1999).


(35)

Klasifikasi pasak bumi menurut Cronquist (1981): Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida Sub class : Rosidae

Ordo : Sapindales

Famili : Simaroubaceae

Genus : Eurycoma

Spesies : Eurycoma longifolia Jack.

Gambar 1. Tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longfolia Jack.)

Hasil studi fitokimia menggambarkan bahwa akar pasak bumi mengandung beragam senyawa termasuk di dalamnya golongan quassinoid (Chan

et al., 1989; Chan et al., 1992; Ang et al., 2000; Ang et al., 2002; Bedir et al., 2003; Chan dan Choo, 2002; Chan et al., 2004; Kuo et al., 2004), canthin-6-one alkaloid, -carboline alkaloid (Chan et al., 2004; Kuo et al., 2004), tirucallane-type triterpen (Kuo et al., 2004), squalene derivatif (Morita et al., 1993; Kuo et al., 2004), squalene-type triterpene (Itokawa et al., 1991; Kuo et al., 2004) dan biphenylneolignan (Kuo et al., 2004).

Kegunaan tumbuhan ini dalam pengobatan meliputi semua bagian tumbuhan. Akar pasak bumi biasa digunakan sebagai obat kuat, penurun panas,


(36)

antimalaria, dan disentri. Kulit dan batangnya digunakan untuk mengobati demam, sariawan, sakit tulang, cacing perut, serta sebagai tonik setelah melahirkan. Daunnya digunakan untuk mengobati penyakit gatal, sedangkan bunga dan buahnya bermanfaat dalam mengobati obat sakit kepala, sakit perut, dan nyeri tulang (Hadad dan Taryono, 1998). Di samping itu, masyarakat juga menggunakan akar, kulit akar, atau batang pasak bumi dalam mengobati diare, demam, pembengkakan kelenjar, dropsy, perdarahan, batuk kronis, hipertensi, nyeri tulang, aprodisiaka, sekaligus sebagai tonik (Padua et al., 1999). Menurut Satayavivad et al. (1998), oleh masyarakat Thailand secara tradisional pasak bumi dimanfaatkan sebagai febrifuge dan antimalaria. Namun, hingga saat ini masyarakat lebih mengenal pasak bumi sebagai aprodisiaka (Padua et al., 1999) dan khasiat ini telah dibuktikan dari pengujian laboratorium dengan menggunakan tikus jantan sebagai hewan percobaan. Pemberian fraksi kloroform, metanol, butanol, dan air dengan dosis 500 mg/kg BB selama 10 hari berturut-turut dapat meningkatkan gairah seksual (Ang dan Lee, 2003). Pemberian fraksi kloroform, metanol, butanol, dan air dengan dosis 500 mg/kg BB akar pasak bumi selama 12 minggu dapat meningkatkan kualitas seksual dan mengurangi keragu-raguan pada tikus jantan middle-aged untuk melakuan aktivitas seksual (Ang etal., 2003), dan pada pemberian sediaan pada dosis 800 mg/kg BB mampu meningkatkan libido tikus jantan (Ang dan Lee, 2002).

Sejauh ini efek samping yang ditimbulkan oleh konsumsi pasak bumi adalah sulit tidur. Namun, dosis yang tepat hingga efek ini terjadi belum diketahui. Konsumsi pasak bumi dalam jumlah besar dapat mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan gelisah (http://www.physicianformulas.com, 7 Oktober 2004).

Kajian Aktivitas Hepatoprotektor dari Beragam Jenis Tumbuhan

Karbon tetraklorida merupakan hepatotoksik yang paling sering digunakan dalam pengujian aktivitas hepatoprotektor. Daya hepatotoksik CCl4 disebabkan

oleh proses biotransformasinya yang menghasilkan senyawa-senyawa reaktif, yakni CCl* dan CCl O *. Tumbuh-tumbuhan yang mampu mengatasi kerusakan


(37)

sel hati akibat serangan CCl3* dan CCl3O2* antara lain Rubia cordifolia Linn. (Rao

et al., 2006), Strychnos potatorum Linn. (Sanmugapriya dan Venkataraman, 2006), Abutilon indicum (Porchezhian dan Ansari, 2005), Morus bombycis (Jin et al., 2005), Bupleurum kaoi Liu (Wang et al., 2004). Dikatakan pula bahwa, selain memiliki aktivitas hepatoprotektor, tumbuh-tumbuhan ini juga memiliki aktivitas antioksidan.

Dalam pengujian aktivitas hepatoprotektor dan aktivitas antioksidan, daya perlindungan suatu senyawa terhadap serangan CCl3* dan CCl3O2* diperlihatkan

dengan kemampuan senyawa tersebut menekan peningkatan kadar enzim-enzim hati, yang berarti mengurangi jumlah sel-sel hati yang mengalami kerusakan. Kerusakan yang diakibatkan oleh CCl3* dan CCl3O2* diawali dengan terjadinya

peroksidasi lipid membran dan berakhir dengan kematian sel. Dengan demikian, kemampuan mengatasi kerusakan sel hati berarti kemampuan menghambat terjadinya peroksidasi lipid membran. Triklorometil dan triklorometil peroksil adalah senyawa-senyawa yang reaktif, yang dalam proses pembentukkannya membutuhkan sitokrom P450. Salah satu cara untuk mengatasi kerusakan sel hati akibat CCl3* dan CCl3O2* adalah dengan menghambat aktivitas sitokrom P450

dan sitokrom b5, sehingga jumlah CCl3* dan CCl3O2* berkurang dan akhirnya

kerusakan hati dapat dihindari (Jeong, 1999; Wang et al., 2004).

Aktivitas hepatoprotektor juga berkaitan dengan kemampuan senyawa-senyawa golongan triterpenoid dalam memelihara kestabilan membran atau didukung oleh aktivitas antioksidan senyawa-senyawa golongan triterpenoid dengan perannya sebagai scavenger. Dalam perannya sebagai antioksidan, SOD (superoksida dismutase) mengubah radikal superoksida menjadi H2O2, selanjutnya

GPx (glutation peroksidase) dan katalase mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2.

Menurut Wang et al. (2004) karbon tetraklorida mengakibatkan peningkatan aktivitas GPx, SOD, dan katalase sebagai upaya mengatasi keadaan stres oksidatif.

Upaya lain dalam memproteksi sel-sel hati adalah dengan mengeliminasi CCl3* dan CCl3O2* dengan cara mengkonjugasikannya dengan glutation (GSH)


(38)

bahwa dalam keadaan stres oksidatif GSH akan dikonversikan menjadi glutation disulfid (GSSG), keadaan ini yang pada akhirnya juga merupakan penyebab terjadinya peroksidasi lipid membran. Namun, GSSG dapat kembali direduksi menjadi GSH dengan bantuan glutation reduktase (GR). Dengan demikian, untuk menghambat terjadinya peroksidasi lipid maka perlu dipertahankan kadar GSH, GR, dan GST (Rao et al., 2006; Sanmugapriya dan Venkataraman, 2006).


(39)

GANGGUAN FUNGSI HATI

AKIBAT PEMBERIAN KARBON TETRAKLORIDA Induction of Liver Disfunction by Carbon Tetrachloride

Abstrak

Karbon tetraklorida (CCl4) lazim dipakai sebagai penginduksi kerusakan hati

sehingga sering digunakan dalam pengujian aktivitas hepatoprotektor suatu zat. Karbon tetrakloridadosis tunggal 0,1; 1,0; dan 10 ml/kg bobot badan diberikan secara intraperitoneal pada tikus jantan, dan diamati kerusakan yang terjadi pada hati. Kerusakan hati ditandai dengan peningkatan kadar enzim alanin transaminase (ALT), aspartat transaminase (AST), alkalin fosfatase (ALP), bilirubin total, dan protein total dalam serum. Lebih lanjut juga dilakukan pengamatan terhadap gambaran histopatologi hati. Dibandingkan dengan kontrol, pemberian CCl4 dosis 0,1 dan 1,0 ml/kg bobot badan mengakibatkan peningkatan

ALT dan penurunan AST, dan pada dosis 10 ml/kg bobot badan kadar kedua enzim tersebut sudah sangat turun (p<0,05). Kadar ALP, bilirubin total, dan protein total semua kelompok tidak berbeda (p>0,05). Kelompok tikus yang mendapatkan 1,0 dan 10 ml CCl4/kg bobot badan menunjukkan terjadinya

steatosis pada sel-sel hati. Karbon tetraklorida menimbulkan kerusakan sebanding dengan dosis yang diinduksikan.

Abstract

Carbon tetrachloride (CCl4) that induces liver damage is widely used in

hepatoprotector experiments. Carbon tetrachloride at a single dose 0,1; 1,0; and 10 ml/kg body weight was administered intraperitoneally in male rats to investigate liver damage. Liver damage was monitored by increased alanine transaminase (ALT), aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), total bilirubin, and serum total protein. Futhermore, liver tissues were subjected to histopathological studies. Compared with control, induction of 0,1 and 1,0 ml CCl4/kg body weight increased ALT and decreased AST, and at dose 10 ml/kg

body weight both ALT and AST decreased to a greater extent (p<0.05). Alkaline phosphatase, total bilirubin, and total protein were not different in all treatments (p>0.05). Histopathological studies confirmed the presence of steatosis in hepatic cells at single dose of 1,0 and 10 ml CCl4/kg body weight. Administration of

single dose of CCl4 could induce liver damage that dependent on the dosage of


(40)

PENDAHULUAN

Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan xenobiotik yang lazim digunakan

untuk menginduksi peroksidasi lipid dan keracunan. Dalam retikulum endoplasmik hati, CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP 2E1)

menjadi triklormetil (CCl3*) (Jeon, 2003; Lin et al., 1998). Triklorometil dengan

oksigen akan membentuk triklorometil peroksil (CCl3O2*) yang dapat menyerang

lipid membran retikulum endoplasmik dengan kecepatan yang melebihi radikal bebas triklorometil. Selanjutnya, triklorometil peroksil menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis Ca2+, dan akhirnya menyebabkan kematian sel (Shanmugasundaram dan Venkataraman, 2006).

Penyusun utama membran sel adalah lipid, protein, dan karbohidrat. Lipid yang menyusun membran adalah fosfolipid. Fosfolipid merupakan molekul yang bersifat amfipatik, artinya memiliki daerah hidrofilik dan hidrofobik. Keberadaan dua lapis fosfolipid mengakibatkan membran memiliki permeabilitas selektif, tetapi protein juga ikut menentukan sebagian besar fungsi spesifik membran. Membran plasma dan membran organel memiliki ragam protein yang spesifik. Molekul lipid dan molekul protein pada membran tidak terikat secara kovalen, melainkan melalui interaksi nonkovalen yang kooperatif (Delgado dan Remers, 1991; Campbell et al., 2002).

Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai panjang tak jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas (Svingen et al., 1979). Menurut Jeon et al. (2003) jumlah PUFAs dalam fosfolipid membran retikulum endoplasmik akan berkurang sebanding dengan jumlah CCl4 yang diinduksikan.

Pemberian CCl4 dosis tinggi dapat merusak membran retikulum endoplasmik,

menyebabkan akumulasi lipid, mengurangi sintesis protein, menyebabkan gangguan proses oksidasi, menurunkan bobot badan, menyebabkan pembengkakan hati, dan pada pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular serta degenerasi lemak di sel hati.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kerusakan sel hati serta gangguan fungsi hati yang terjadi akibat pemberian CCl4 pada berbagai tingkatan


(41)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan Penelitian

Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan strain Sprague Dawley umur 2,5-3 bulan dengan bobot badan berkisar antara 200-250 g sebanyak 12 ekor, yang berasal dari Laboratorium Nonruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan IPB. Sebelum percobaan dimulai, semua hewan coba diaklimatisasi selama kurang lebih tujuh hari untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Selama masa aklimatisasi, hewan coba diberi makan dengan pakan standar dan minum ad libitum.

Sediaan CCl4 diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,

Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi. Sediaan diberikan tunggal pada hewan percobaan.

Penentuan Daya Hepatotoksik CCl4

Hewan coba dibagi ke dalam empat kelompok, tiap kelompok terdiri atas tiga ekor. Kelompok pertama merupakan kontrol (tanpa CCl4), kelompok

selanjutnya dibedakan pada dosis pemberian CCl4 berturut-turut 0,1; 1,0; dan 10

ml/kg BB dan masing-masing dosis hanya diberikan satu kali selama percobaan. Pemberian CCl4 dilakukan dengan penyuntikan secara intraperitoneal.

Pengamatan dilakukan sampai dengan 24 jam setelah penyuntikan. Evaluasi Biokimiawi

Setelah 24 jam pengamatan, dilakukan pengambilan sampel darah dari jantung. Untuk mendapatkan serum darah, sampel darah yang diperoleh kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10-15 menit. Kemudian serum dipisahkan ke dalam tabung ependorf. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap kadar enzim ALT, AST, ALP, dan bilirubin total dengan menggunakan kit, serta pengukuran protein total dengan menggunakan metode Biuret.


(42)

Histopatologi

Hewan dikorbankan dengan cara dislokasi cervical, kemudian dilakukan nekropsi untuk mengambil organ. Organ hati yang diambil kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya difiksasi dengan menggunakan buffer neutral formalin 10%. Jaringan yang telah difiksasi kemudian didehidrasi dengan alkohol mulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95% dilanjutkan dengan alkohol 100% yang diulang tiga kali masing-masing selama 2 jam. Setelah dehidrasi dilanjutkan dengan penjernihan dengan menggunakan xilol sebanyak tiga kali masing-masing selama 2 jam, yang dilanjutkan dengan infiltrasi parafin. Jaringan kemudian ditanam dalam media parafin. Setelah itu dilakukan penyayatan dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) (Kiernan, 1990). Hasil pewarnaan histopatologi diamati di bawah mikroskop cahaya.

Analisis Data

Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Secara menyeluruh perolehan data kadar ALT, AST, ALP, bilirubin total, dan protein total dianalisis statistik dengan menggunakan program SPSS 11,5 for Windows dan dilanjutkan dengan uji Tukey jika berbeda nyata (p<0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran kadar enzim ALT dan AST dalam serum menunjukkan bahwa dosis 0,1 ml CCl4/kg BB mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar

enzim ALT dibandingkan kontrol (Tabel 1). Pemberian 1 ml CCl4/kg BB

mengakibatkan peningkatan kadar enzim ALT dalam serum sampai dua kali lebih tinggi dibanding kontrol, sebaliknya kadar enzim AST terlihat mengalami penurunan dibanding kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena waktu paruhnya yang pendek sehingga kadar enzim AST pada kelompok ini terlihat lebih rendah dibanding kontrol. Pemberian CCl4 10 ml/kg BB bahkan terlihat sangat merusak

sel hati, hal ini ditandai dengan penurunan kadar enzim ALT dan AST yang sangat drastis. Kisaran kadar enzim ALT dan AST pada kelompok kontrol; 0,1;


(43)

1,0; dan 10 ml CCl4/kg BB masing-masing 120,00-146,60 U/L dan 288,20-385,90

U/L; 155,20-169,70 U/L dan 283,40-344,90 U/L; 67,65-685,90 U/L dan 129,20-461-90 U/L; serta 0,75-3,76 U/L dan 0 U/L. Alanin transaminase merupakan enzim sitosol dan terlibat dalam glukoneogenesis. Peningkatan kadar enzim ALT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka. Aspartat transaminase juga merupakan enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis. Enzim ini terdapat di dalam sitosol serta mitokondria sel hati, otot rangka, otot jantung, dan eritrosit. Peningkatan kadar enzim AST di dalam darah disebabkan oleh kerusakan hati yang parah dan disertai nekrosis sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel (Stockham dan Scott, 2002).

Tabel 1 Rataan kadar enzim ALT, AST, ALP, bilirubin total, dan protein total dalam serum tikus jantan strain Sprague Dawley. Pengambilan sampel darah dilakukan 24 jam setelah pemberian CCl4 (n=3)

Parameter

Dosis CCl4 (ml/kg BB)

0 (Kontrol) 0,1 1,0 10,0

ALT (U/L) 134,57 ± 13,48a 161,70 ± 7,37a 308,50 ± 331,25a 2,67 ± 1,67b

AST (U/L) 330,87 ± 50,01a 330,67 ± 42,00a 260,83 ± 176,88a 0 ± 0b

ALP (U/L) 651,33 ± 76,17a 770,00 ± 103,20a 1066,67 ± 270,14a 854,00 ± 276,93a Bilirubin Total (mg/dl) 1,87 ± 2,36a 6,33 ± 6,16a 0,98 ± 0,95a 0,89 ± 0,40a Protein Total (mg/ml) 122,25 ± 4,11a 100,47 ± 19,11a 113,52 ± 8,92a 116,95 ± 8,41a Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata pada uji Tukey dengan taraf 5%

Kerusakan yang relatif kecil pada sel hati akan meningkatkan kadar enzim ALT dan AST di dalam darah. Namun, pada tingkat kerusakan yang luas dan parah, ketersediaan enzim ALT dan AST di dalam sel hati sudah sangat rendah akibat kemampuan sel hati mensintesis enzim tersebut sudah berkurang atau hilang sama sekali. Karbon tetraklorida adalah xenobiotik yang bersifat sangat toksik terhadap sel hati (Lin et al., 1998; Jeon et al., 2003; Shanmugasundaram dan Venkataraman, 2006). Hasil biotransformasi CCl4 di dalam sel hati akan


(1)

Bedir E, Abou-Gazar H, Ngwendson JN, Khan IA. 2003. Eurycomaoside: a new quassinoid-type glycoside from the roots of Eurycoma longifolia. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 5(11):1301-1303

Bihl F et al. 2006. Macrophage activating syndrome is associated with lobular hepatitis and severe bile duct injury with cholestasis. Journal of Hepatology 44(6):1208-1212

Bhakta T et al. 1999. Evaluation of hepatoprotective activity of Cassia fistula leaf extract. Abstract. Journal of Ethnopharmacology 66(3):277-282

Bishayee A, Sarkar A, Chatterjee M. 1995. Hepatoprotective activity of carrot (Daucus carota L.) against carbon tetrachloride intoxication in mouse liver. Abstract. Journal of Ethnopharmacology 47(2):69-74

Bozzola JJ, Russell LD. 1998. Electron Microscopy. Principles and Techniques for Biologist. 2nd edition. Jones and Bartlett Publisher. Massachusetts, USA

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2000. Biologi. Ed ke-5 Jilid I. Lestari et al. penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology Fifth Edition. hlm. 141-155

Chitturi S, Farrell GC. 2001. Etiopathogenesis of nonalcoholic steatohepatitis. Abstract. Seminar Liver Diseases 21(1):27-41

Chan KL, Lee S, Sam TW, Han BH. 1989. A quassinoid glycoside from the roots of Eurycoma longifolia. Abstract. Phytochemistry 28(10):2857-2859

Chan KL, Iitaka Y, Noguchi H, Sugiyama H, Saito I, Sankawa U. 1992. 6α -Hydroxyeurycomalactone, a quassinoid from Eurycoma longifolia. Abstract. Phytochemistry 31(12):4295-4298

Chan KL, Choo CY. 2002. The toxicity of some quassinoids from Eurycoma longifolia. Abstract. Planta Medica 68(7):662-664

Chan KL, Choo CY, Abdullah NR, Ismail Z. 2004. Antiplasmodial studies of Eurycoma longifolia Jack. using the lactate dehydrogenase assay of Plasmodium falciparum. Journal of Ethnopharmacology 92:223-227 Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Disease. 8th

ed. W.B. Saunders Co Philadelphia. hlm. 846-852

Cronquist A. 1981. An integrated system of classification of flowereing plants.New York: Colombia University Press


(2)

Cunningham JG. 2002. Textbook of veterinary physiology. 3rd edition. W.B. Saunders Co Philadelphia

Dalimartha S. 2000. Ramuan tradisional untuk pengobatan hepatitis. Jakarta.: Penebar Swadaya

Day L, Shikuma C, Gerschenson M. 2004. Mithochondrial injury in the pathogenesis of antiretroviral-induced hepatic steatosis and lactic acidemia. Mithochondrion 4:95-109

Delgado JN, Remers WA, editor. 1991. Textbook of Organic Medical and Pharmaceutical Chemistry. Ed ke-9. Philadelphia: J.B.Lippincott Co. hlm. 2-10

Falck-Ytter Y et al. 2001. Clinical features and natural history of nonalcoholic steatosis syndromes. Abstract. Seminar Liver Diseases 21(1):17-26

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 17. M Djauhari Widjajakusumah, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. hlm. 405-426

http://www.physicianformulas.com, 7 Oktober 2004.

Hadad EA M, Taryono. 1998. Pasak Bumi Eurycoma longifolia Jack. Di dalam: Supriadi. Tumbuhan obat, khasiat dan penggunaannya. Jakarta: Pustaka Indonesia. hlm. 91-92

Harish R, Shivanandappa T. 2006. Antioxidant activity and hepatoprotective potential of Phyllanthus niruri. Food Chemistry 950:180-185

He Quanren, Kim J, Sharma RP. 2004. Silymarin protects against liver damage in Balb/c mice exposed to Fumonisin B1 despite increasing Accumulation of

Free Sphingoid Bases. Abstract. Toxicological Sciences 80:335-342

Itokawa H, Kishi E, Morita H, Takeya K, Iitaka Y. 1991. Eurylene, a new squalene-type triterpene from Eurycoma longifolia. Abstract. Tetrahedron Letters 32(15):1803-1804

Jeon TI, Hwang SG, Park NG, Shin SI, Choi SD, Park DK. 2003. Antioxidative effect of chitosan on chronic carbon tetrachloride induced hepatic injury in rat. Toxicology 187:67-73

Jeong HG. 1999. Inhibition of cytochrome P450 2E1 expression by oleanolic acid: hepatoprotection effects againts carbon tetrachloride-induced hepatic injury. Toxicology Letters 105:215-222


(3)

Jin YS, Sa JH, Shim TH, Rhee HI, Wang MH. 2005. Hepatoprotective and antioxidant effects of Morus bombycis Koidzumi on CCl4-induced liver

damage. Biochemical and Biophysical Research Communications 329:991-995

Jose JK, Kuttan R. 2000. Hepatoprotective activity of Emblica officinalis and Chyavanaprash.. Abstract. Journal of Ethnopharmacology. 72(1-2):135-140

Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica. 1993. Pedoman Pengujian dan Pengembangan Fitofarmaka, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica. Jakarta. hlm. 69-71

Kiernan, JA. 1990. Histological & Histochemical Methods. Theory and Practice. 2nd edition. Pergamon Press. Canada. hlm. 90-97

Kuo PC, Damu AG, Lee KH, Wu TS. 2004.Cytotoxic and antimalarial constituents from the roots of Eurycoma longifolia. Bioorganic and Medicinal Chemistry12:537-544

Lee JI et al. 2003. Apoptosis of hepatic stellate cells in carbon tetrachloride induce acute liver injury of the rat: analysis of isolate hepatic stellate cells. Journal of Hepatology 39:960-966

Lin CC, Yen MH, Lo TS, Lin JM. 1998. Evaluation of hepatoprotective and antioxidant activity of Boehmeria nivea var. nivea and B. nivea var. tenacissima. Journal of Ethnopharmacology 60:9-17

Lin CC, Huang PC. 2000. Antioxidant and hepatoprotective effects of Acanthopanax senticosus. Phytotheraphy Research 14 : 489-494

Lindgren A, Aldenborg F, Norkrans, Olaison L, Olsson R. 1997. Paracetamol-induced cholestatic and granulomatous liver injuries. Journal of Internal Medicine 241:435-439

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. Ed ke empat. Nugroho E, penerjemah; Jakarta: UI Pr; Terjemahan dari: Basic Toxicology: Fundamentals, Target Organs, and Risk Assesment. hlm. 85-105

Mathurin et al. 2003. Early change in bilirubin levels is an important prognostic factor in severe alcoholic hepatitis treated with prednisolone. Hepatology 38(16):1363-1369


(4)

Mitra SK, Venkataranganna MV, Sundaram R, Dopumadhavan. 1998. Protective effect of HD-03, a herbal formulation, against various hepatic agents in rats. Abstract. Journal of Ethnopharmacology 63(3):181-186

Morita H, Kishi E, Takeya K, Itokawa H, Iitaka Y. 1993. Squalene derivatives from Eurycoma longifolia. Phytochemistry 34(3):765-771

Natu MV, Agarwal S, Agarwal SL, Agarwal S. 1977. Protective effect of Ricinus communis leaves in experimental liver injury. Indian Journal of Pharmacology 9(4):265-268

Neuschwander-Tetri BA, Caldwell SH. 2003. Nonalcoholic steatohepatitis: summary of an AASLD single topic conference. Hepatology 37(5):1202-1219

Noer HMS. 1987. Fisiologi dan pemeriksaan biokimiawi hati. Ilmu penyakit dalam. Jilid I Ed ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI. hlm. 541-546

Padua LS de, Bunyapraphatsara N, RHMJ Lemmens,editor. 1999. Medicinal dan poisonous plants 1. Plant resources of South-East Asia 12 (1). Bogor Indonesia. 46,274-275

Pari L, Kumar NA. 2002. Hepatoprotective activity of Moringa oleifera on antitubercular drug-induced liver damage. Journal of medicinal food. Abstract. 5(3):171-177

Pessayre D, Berson A, Fromenty B, Mansouri A. 2001. Mitochondria in steatohepatitis. Abstract. Seminar Liver Diseases 21(1):57-69

Porchezhian E, Ansari SH. 2005. Hepatoprotective activity of Abutillon indicum on experimental liver damage in rats. Phytomedicine 12:62-64

Rao GMM, Rao CV, Pushpangadan P, Shirwaikar A. 2006. Hepatoprotective effects of rubiadin, a major constituent of Rubia cordifolia Linn. Journal of Ethnopharmacology 103: 484-490

Ressang AA. 1984. Buku pelajaran patologi khusus veteriner. Ed ke-2. Bali: NV Percetakan Bali. hlm. 45-82

Roesma J, Susalit E. 1990. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Saluran Kemih. Di dalam: Soeparman. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm. 199-204


(5)

Sanmugapriya E, Venkataraman S. 2006. Studies on hepatoprotective and antioxidant actions of Strychnos potatorum Linn. seeds on CCl4-induced

acute hepatic injury in experimental rats. Journal of Ethnopharmacology 105(1-2):154-160

Satayavivad J, Soonthornchareonnon N, Somanaban A, Thebtaranonth Y. 1998. Toxicological and antimalarial activity of eurycomalactone and Eurycoma longifolia extract in mice. Thai Journal of Phytopharmacy 5(2):1-20 Scott Luper ND. 1998. A review of plant used in the treatment of liver disease:

Part 1. Alternative medicine review 3(6):410-421

Shanmugasundaram P, Venkataraman S. 2006. Hepatoprotective and antioxidant effects of Hygrophila auriculata (K. Schum) Heine Acanthaceae root extract. Journal of Ethnopharmacology 104:124-128

Shenoy KA, Somayaji SN, Bairy KL. 2001. Hepatoprotective effects of Ginkgo biloba against carbon tetrachloride induced hepatic injury in rats. Indian Journal of Pharmacology. 33:260-266

Sidik. 1988. Tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor. Di dalam: Sidik, Hadi S, editor. Hepatitis, penanggulangan, dan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai hepatoprotektor. Prosiding Simposium dan Diskusi Panel: 22 Oktober 1988, Bandung. Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD Bandung. hlm. 23-46

Siregar LAM, Chan-Lai-Keng, Boey Peng-Lim. 2003. Selection of cell source and the effect of pH and MS macronutrients on biomass production in cell cultures of tongkat ali (Eurycoma longifolia Jack). Journal of Plant Biotechnology (2):131-135

Sotelo-Felix JI, Martinez-Fong D, Muriel P, Santillan RL, Castillo D, Yahuaca P. 2002. Evaluation of the effectiveness of Rosmarinus officinalis (Lamiaceae) in the alleviation of carbon tetrachloride-induced acute hepatotoxicity in the rat. Abstract. Journal of Ethnopharmacology. 81(2):145-154

Stockham SL, Scott MA. 2002. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-1. Iowa state Pr. Blackwell Publishing Co. hlm. 433-486

Susanti R, Nuryanto, Salasia SIO. 2002. Intoksikasi 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin: II. Efek terhadap histopatologis hati, ginjal dan paru tikus putih (Rattus norvegicus). Biota. 7(1):29-36


(6)

Svingen BA, Buege JA, O’Neal FO, Aus SD. 1979. The mechanism of NADPH-dependent lipid peroxidation. The Journal of Biological Chemistry 254(13):5892-5899

Teselkin YO et al. 2000. Dihydroquercetin as a means of antioxidative defence in rats with tetrachloromethane hepatitis. Phytotheraphy Research 14:160-162

Thomas C. 1984. Sandritter’s Color Atlas and Textbook of Histopathology. Goetz WR penerjemah dan editor. 7th edition. Year Book Medical Publisher Inc. Chicago. hlm. 153-184

Tripathi SC, Patnaik GK, Dhawan BN. 1991. Hepatoprotective activity of picroliv against alcohol-carbon tetrachloride induced damage in rat. Indian Journal of Pharmacology 23:143-148

Trivedi N, UM.Rawal. 1998. Effect of aqueous extract of Andrographis paniculata on liver tumor. Indian Journal of Pharmacology 30:318-322. Venukumar MR, MS Latha. 2002. Hepatoprotective effect of the methanol extract

of Curligo orchioides in CCl4 treated male rats. Indian Journal of

Pharmacology 34:269-275

Wang Be-Jen, Liu Chu-Ting, Tseng Chin-Yin, Wu Chien-Ping, Yu Zer-Ran. 2004. Hepatoprotective and antioxidant effects of Bupleurum kaoi Liu (Chao et Chuang) extract and its fractions fractionated using supercritical CO2 on CCl4-indiced liver damage. Food and Chemical Toxicology

42:609-617

Weil CS. 1952. Tables for convenient calculation of median-effective dose (LD50

or ED50) and instructions in their use. Biometrics 8:249-263.