Pengaruh Heat Moisture Treatment Pati Aren Dan Sagu Terhadap Sifat Kristalinitas Dan Kualitas Kerupuk

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT PATI AREN DAN SAGU
TERHADAP SIFAT KRISTALINITAS DAN KUALITAS KERUPUK

ANANDITYA NUGRAHA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Heat Moisture Treatment
Pati Aren dan Sagu Terhadap Sifat Kristalinitas dan Kualitas Kerupuk adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Desember 2013

Ananditya Nugraha

ABSTRAK
ANANDITYA NUGRAHA. Pengaruh Heat Moisture Treatment Pati Aren dan Sagu
Terhadap Sifat Kristalinitas dan Kualitas Kerupuk. Dibimbing oleh DEDE R.
ADAWIYAH.
Pati sagu (Metroxylon sago) dan pati aren (Arenga pinnata) dimodifikasi dengan
menggunakan metode HMT (Heat Moisture Treatment) pada suhu 120°C dengan kadar
air 20%. Perlakuan HMT tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara puncak
hasil analisis XRD yang didapat dari pati HMT dan pati alami. Perlakuan HMT
menyebabkan terjadinya peningkatan derajat kristalinitas dari 17,18% menjadi 30,83%
untuk pati sagu dan 16,90% menjadi 36,49% untuk pati aren. Pati sagu dan aren baik
alami dan HMT memiliki kristal tipe-A. Proses pengolahan kerupuk yang menggunakan
pati HMT sebagai bahan utama dibutuhkan jumlah air yang lebih banyak untuk
mendapatkan adonan yang kalis. Adonan kerupuk yang dihasilkan dari pati HMT
mudah patah/rapuh Kerupuk yang dihasilkan dari pati HMT memiliki tekstur yang lebih
keras dibandingkan dengan kerupuk yang dihasilkan dari pati alami. Kadar air kerupuk

HMT pada lama penggorengan 1 menit lebih rendah bila dibandingkan dengan kerupuk
alami, tetapi pada lama penggorengan 2-4 menit tidak ada perbedaan yang signifikan.
Perlakuan HMT tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada kadar lemak antara
kerupuk aren HMT dan kerupuk aren alami, tetapi antara kerupuk sagu HMT dan
kerupuk sagu alami terdapat perbedaan yang signifikan
Kata kunci : Pati sagu, pati aren, HMT, kerupuk, derajat kristalinitas

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT PATI AREN DAN SAGU
TERHADAP SIFAT KRISTALINITAS DAN KUALITAS KERUPUK

ANANDITYA NUGRAHA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRACT
ANANDITYA NUGRAHA. Effect of Heat Moisture Treatment Arenga and Sago
Starches on The Crystalinity Properties and Quality of Kerupuk. Supervised by DEDE
R. ADAWIYAH.
Sago (Metroxylon sago) and arenga (Arenga pinnata) starches were modified by
HMT (Heat Moisture Treatment) at temperature 120°C and moisture content 20%.
HMT did not cause any significant difference in crystal pattern of starches determined
from XRD analysis. Both starches (native and HMT) had crystal type-A. The significant
difference was found in relative crystalinity. HMT increased the relative crystalinity of
the starches. Relative crystalinity of HMT sago and HMT arenga were 30,83% and
36,49% respectively. While native starches were 17,18% and 16,90% respectively.
Kerupuk processing with HMT starch as the main ingridient needs more water to be
added in order to make the perfect dough. Dough made from HMT starches was more
fragile. Kerupuk made from HMT starches were having harder texture than that native
starches. Kerupuk made from HMT starches had lower moisture content at frying time 1
minute but there were no sginificant difference on frying time 2-4 minute. There were

also no significant difference on fat content between kerupuk made from HMT arenga
and native arenga, but there were significant difference between kerupuk made from
HMT sago and native sago.
Keywords : Sago, arenga, HMT, kerupuk, relative crystalinity

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunia-Nya dan atas
kuasa-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul
Pengaruh Heat Moisture Treatment Pati Aren dan Sagu Terhadap Sifat Kristalinitas dan
Kualitas Kerupuk dilaksanakan mulai November 2012 dan dilaksanakan di Institut
Pertanian Bogor, Indonesia.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :
1. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah selaku pembimbing dalam melaksanakan penelitian
ini.
2. Seluruh Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah
memberikan ilmu nya selama saya studi di sini.
3. Seluruh staf beserta laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
membantu melaksanakan penelitian ini.
4. Keluarga, yang telah memberikan semangat dan doa selama penelitian ini.
5. Teman-teman seperjuangan saya : Iqbal, Seno, Dani, Fahmi, Sobich, Ajie, Ayas,

Milla, Iren, Afi, Ardi, Lina, Stella, Iyan dan teman-teman ITP 46 lainya yang
telah memberikan saran serta semangat selama melaksanakan penelitian ini.
6. Teman-teman ITP 44, 45, serta 47 yang telah menjadi bagian hidup saya selama
saya melaksanakan studi.
7. Teman-teman saya yang berada di Thailand yang selama saya di sana telah
memberikan banyak saran dan masukan yang sangat bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

Ananditya Nugraha

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODOLOGI PENELITIAN

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan dan Alat

2

Metode Penelitian

2

Metode Analisis

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4


KESIMPULAN DAN SARAN

11

Kesimpulan

11

Saran

12

Daftar Pustaka

12

Lampiran

14


Riwayat Hidup

16

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil analisis XRD Pati maizena

4

Tabel 2. Hasil analisi XRD Pati sagu dan aren

5

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Profil kristal pati sagu alami dan modifikasi HMT

5

Gambar 2. Profil kristal pati aren alami dan modifikasi HMT


6

Gambar 3. Jumlah air yang ditambahkan selama proses
pengadonan pada basis 120 gram pati

8

Gambar 4. Kadar air kerupuk selama proses penggorengan

9

Gambar 5. Kadar lemak kerupuk selama proses penggorengan

10

Gambar 6. Karakteristik kekerasan kerupuk sagu dan aren selama penggorengan 11

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a. Kadar Air Selama Penggorengan


14

Lampiran 1b. Kadar Lemak Selama Penggorengan

15

Lampiran 2. Nilai Kekerasan Kerupuk Sagu dan Aren Selama Penggorengan

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pati merupakan salah satu sumber karbohidrat yang banyak digunakan di
dalam Industri pangan. Pati memiliki beberapa sifat fungsional yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pengolahan pangan, seperti agen penstabil, pengental,
pengisi, dan pembentuk gel (Fennema, 1996). Indonesia memiliki beraneka ragam
macam tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pati, diantaranya adalah
pati yang berasal dari sagu (Metroxylon sago) dan aren (Arenga pinnata).
Beberapa cara untuk meningkatkan sifat fungsional pati telah banyak
dilakukan, diantaranya adalah dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment).
Metode HMT merupakan metode modifikasi fisik dengan prinsip memanaskan
pati pada kondisi kadar air yang terbatas sehingga pati tidak mengalami
gelatinisasi serta pada kondisi suhu di atas suhu glass transition sehingga terjadi
perubahan pada struktur kristal dari pati (Hoover, 2010).Modifikasi HMT dapat
dilakukan dengan metode oven ataupun metode autoclaving. Perbedaan dari
kedua metode ini adalah terletak pada pemberian tekanan dan tingginya suhu
pemanasan. Pada metode oven pemanasan dapat dilakukan dengan suhu 100oC
sedangkan pada metode autoclaving pemanasan dapat dilakukan hingga mencapai
suhu 120oC karena dipengaruhi oleh pemberian tekanan tinggi dimana tekanan
berbanding lurus dengan suhu (Agustifa, 2013). Proses HMT yang dilakukan pada
penelitian ini adalah proses HMT dengan metode autoclaving pada suhu 120oC
Pati merupakan bahan pangan yang tersusun atas molekul kristal. Tiap pati
memiliki ciri khas sifat kristalinitas nya masing-masing. Perbedaan sifat
kristalinitas pati disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Miao et al.,(2009)
perbedaan sifat kristalinitas pati disebabkan oleh ukuran kristal, jumlah
amilopektin, dan panjang rantai bercabang. Perlakuan HMT dapat memengaruhi
sifat kristalinitas pati diantaranya adalah perubahan tipe kristal pada pati dan
perubahan nilai derajat kristalinitas.Penelitian terhadap perubahan sifat
fisikokimia pati yang telah diberi perlakuan HMT juga telah banyak dilakukan.
Adawiyah (2012) melaporkan bahwa pati sagu dan aren yang telah mengalami
proses modifikasi HMT terjadi perubahan pada sifat fisikokimianya seperti
peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu gelatinisasi, penurunan
swelling power, dan penurunan viskositas.
Terjadinya perubahan pada sifat fisikokimia pati, tipe kristal pati, dan
meningkatnya nilai derajat kristalinitas patidiperkirakan akan memengaruhi
pemanfaatan pati tersebut pada proses pengolahan pangan. Informasi mengenai
pemanfaatan pati HMT pada proses pengolahan pangan masih minim, sehingga
diperlukan lebih banyakstudi untuk mengetahui pengaruh modifikasi pati HMT
terhadap proses pengolahanproduk pangan dan menentukan pada aplikasi
apakahpati HMT paling sesuai digunakan. Pengaruh HMT terhadap atribut
kekerasan produk panganakan diamati pada penelitian ini.Salah satu produk
pangan yang memiliki kekerasan sebagai atribut sensori utama adalah kerupuk.
Kerupuk yang memiliki tekstur yang sangat keras kurang disukai oleh masyarakat
pada umumnya. Pengaruh pati HMT terhadap kekerasan dari produk kerupuk
akan diamati melalui penelitian ini. Laju penurunan kadar air dan penyerapan

1

minyak pada kerupuk juga diamati dalam penelitian ini untuk mengamati
pengaruh modifikasi HMT terhadap kedua faktor tersebut.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pengaruh HMT pada sifat kristalinitas pati aren dan sagu.
2. Mengamati pengaruh HMTterhadap kualitas produk kerupuk berbasis aren
dan sagu.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Mei 2013.
Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian ini antara lain Pilont
Plant SEAFAST, L2 Departemen ITP, dan Laboratorium BiokimiaPangan,
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan yaitu pati sagu yang diperoleh dari industri
kecilpengolahan pati, Bogor, Jawa Barat dan pati aren yang diperoleh dari
Sukabumi, Jawa Barat. Bahan untuk analisis berupa heksana untuk menganalisis
kadar lemak
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kompor,plastik
HDPE, deep fat fryer, texture analyzer.
Metode Penelitian
1. Pembuatan Pati HMT (Adawiyah 2012)
Proses memodifikasi pati yang dilakukan berdasarkan parameter optimum
yang telah diperoleh berdasarkan studi yang dilakuan oleh Adawiyah (2012) yaitu
dengan menggunakan metode autoclavingsuhu 120oC yang dimodifikasi. Proses
pembuatan pati HMT dapat dilihat pada gambar 1. Kadar air pati aren dan sagu
diukur terlebih dahulu untuk mengetahui berapa jumlah air yang harus
ditambahkan agar mencapai kadar air 20%. Lama proses Autoclaving berbeda
antara pati aren dan sagu. Pati aren selama 90 menit dan pati sagu selama 60
menit. Setelah proses autoclaving pati kemudian didiamkan selama 1 jam untuk
menurunkan suhu pati. Setelah didiamkan selama 1 jam, pati kemudian
dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 45°C selama semalam. Setelah
proses pengeringan, pati kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender
kering. Pati yang telah dihaluskan kemudian diayak dengan menggunakan
pengayak 60 mesh untuk mendapatkan butiran pati yang halus.
2. Pengolahan Kerupuk dan Analisis Kualitas Kerupuk (Nurhayati, 2008)
Proses pembuatan kerupuk yang digunakan pada penelitian ini adalah proses
pembuatan kerupuk yang berasal dari Jawa Timur, atau yang biasa disebut
Kerupuk “Dodolan”. Disebut kerupuk “Dodolan” karena adonan dibentuk seperti

2

bentuk dodol yakni slinder, dengan diameter 3,5 cm.Proses pengolahan kerupuk
dilakukan dengan cara “gelatinisasi sebagian” yaitu sebanyak ¼ bagian dari pati
(75 gram) dicampur dengan 120 gram air dan dimasak untuk menghasilkan pati
yang telah tergelatinisasi. Pati yang telah tergelatinisasi dicampur dengan sisa pati
(3/4 bahan) dan ditambahkan dengan air sedikit demi sedikit hingga terbentuk
adonan yang kalis. Adonan dibentuk menjadi sebuah “dodolan” dengan diameter
3,5 cm. Adonan yang telah dibentuk kemudian dikukus selama 2 jam. Setelah
adonan dikukus, adonan kemudian didiamkan semalam untuk mendapatkan
adonan yang keras. Setelah proses pendiaman selama semalam, adonan kemudian
dipotong-potong dengan menggunakan pisau dengan ukuran 0,25-0,5 cm. Adonan
kerupuk yang telah dipotong-potong kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 50°C selama 1 jam. Adonan kerupuk kemudian digoreng pada suhu 180°C
selama 1,2,3, dan 4 menit. Kerupuk yang telah digoreng kemudian dianalisis
kadar air, kadar lemak, dan nilai kekerasan nya.
Metode Analisis
1. Analisis Sifat Kristalinitas Pati
Analisis sifat kristalinitas pati diamati dengan menggunakan metode XRD
(X-Ray Diffraction) dengan menggunakan X-ray diffractometer (D-8 type, Bruker,
Rheinfelden, Germany) . Kondisi operasional dari alat dijalankan pada 30kV dan
30 mA, dengan scanning angle 2Ө yang di-set dari 10° sampai 45° pada scanning
rate 0.4°/min. Kristalinitias diukur dengan persen perbandingan antara peak
difraksi dengan total difraksi area. Sampel diletakkan pada tempat berbahan
alumunium dengan ukuran 25mm (dia) x 1mm (d).
2. Analisis Kekerasan Kerupuk (Texture Analyzer TA-XT21)
Pengujian kekerasan dilakukan menggunakan texture analyzer TA-XT21.
Aksesoris yang digunakan untuk mengukur kerenyahan dan kekerasan tekstur
berupa probe berbentuk silinder yang sesuai untuk produk snack yakni probe ¼
spherical silinder stainless steel. Sampel ditekan dengan probe hingga tertekan
dan memecah sampel. Nilai kekerasan (gf) dilihat dari puncak maksimum pada
kurva pertama yang tebentuk. Kondisi pengukuran dilakukan dengan kecepatan
probe sebelum dan selama kontak adalah 1 mm/detik dan 10 mm/detik setelah
kontak dengan sampel. Gaya yang dikenakan pada sampel sebesar 1 Newton
dengan jarak probe dengan sampel adalah 35 mm.
3. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Analisis kadar air dilakukan dengan cara sebagai beriku: cawan
alumunium kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan kering ditimbang.
Kemudian sebanyak 5 gram pati ditimbang dengan cepat ke dalam cawan kering,
dan dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, cawan berisi pati sagu beserta tutupnya
dikeringkan dalam oven suhu 100˚C selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi pati
dipindahkan ke dalam desikator, kemudian timbang kembali.

3

Keterangan :

a = Berat cawan dan sampel awal (gr)
b = Berat cawan dan sampel akhir (gr)
c = Berat sampel awal (gr)

4. Analisis Kadar Lemak Metode Sohxlet (AOAC 1995)
Analisis kadar lemak metode sohxlet menggunakan perangkat sohxlet
untuk analisis yang terdiri dari selongsong soxhlet dan electric heat mantle.
Lemak pada sampel akan diekstrak menggunakan Heksana. Proses ekstraksi
lemak pada sampel dilakukan selama 6 jam :

Keterangan :

(

)

a= Berat sampel sebelum sohxlet (gr)
b= Berat sampel setelah sohxlet (gr)

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaruh HMT Terhadap Sifat Kristalinitas Pati Sagu dan Aren
Sifat kristalinitas pati dianalisis dengan menggunakan alat XRD (X-Ray
Diffractometer). Tabel 1 merupakan hasil analisis XRD pada pati maizena yang
dilaporkan oleh Cheetham & Tao (1998).
Tabel 1. Hasil analisis XRD pati maizena

Sumber : Cheetham & Tao (1998)
Cheetham & Tao (1998) mengklasifikasikan tipe pati berdasarkan puncak
yang didapat dari hasil analisis XRD dan nilai derajat kristalinitas yang didapat.
Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa perbedaan utama antara pati tipe-A dan tipe-B
adalah pada tipe-A memiliki puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө 18° tetapi tidak
memiliki puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө 5° dan 22° sedangkan pada tipe-B
terdapat puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө 5° dan 22° tetapi tidak memiliki
puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө 18°.Terdapat tipe kristal lainya pada pati
yakni tipe-C, tipe-C merupakan tipe pati campuran antara pati tipe-A dan tipe-B.
Disebut sebagai tipe pati campuran karena memiliki puncak yang kuat pada sudut
sin 2Ө5° yang merupakan ciri khas dari pati tipe-B tetapi tidak memiliki puncak
yang kuat pada sudut sin 2Ө 22° yang merupakan ciri khas dari pati tipe-A.

4

Tabel 2. Hasil analisis XRD pati sagu dan aren
Puncak Difraksi pada sudut

23°

-

22°
-

Derajat
Kristalinitas
(%)

22.70

17,18

A

-

-

23.06

30,83

A

23.38

16,90

A

22.74

36,49

A

Sampel

15°

17°

18°

20°

Sagu Alami

15.3

17.4

18.1

Sagu HMT

15.08

17.06

18.06

Aren Alami

15.00

17.18

-

20.3

-

Aren HMT

15.27

-

17.94

20.57

-

Tipe
Kristal

Hasil analisis XRD pati sagu dan aren dapat dilihat pada gambar 1 dan 2
serta pada tabel 2. Dapat dilihat pada gambar 1 pati sagu alami memiliki 4 puncak
yang kuat pada sudut sin 2Ө 15.3°, 17.4°, 18.06°, dan 23.22°.Pada pati sagu HMT
(kadar air 7,84%) memiliki puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө 15.08°, 17.06,
18.1°, dan 22.7°. Pati aren alami (kadar air 7,94%) memiliki 4 puncak yang kuat
pada sudut sin 2Ө 15°, 17.18°, 20.3°, dan 23.38°. Kemudian dapat dilihat pada
gambar 2 pati aren HMT (kadar air 7,73 %) memiliki puncak yang kuat pada
sudut sin 2Ө 15.27°, 17.94°, 20.54° dan 22.74o. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada puncak-puncak yang didapat antara pati sagu alami dengan pati
sagu HMT.Pati aren alami tidak memiliki puncak yang kuat pada sudut 18°
sedangkan pati aren HMT memiliki puncak yang kuat pada sudut 18°.
Berdasarkan puncak yang didapat dari analisis XRD dan dibandingkan dengan
penelitian yang dilaporkan oleh Cheetham & Tao (1998) maka pati sagu dan aren
baik yang termodifikasi HMT maupun alami digolongkan pati tipe-A.
18,1°
17,06°

22,7°

Derajat Kristalinitas : 30,83 %

15,08°

Sagu
HMTHMT
17,4°
15,3°

18,06°

23,02°

Derajat Kristalinitas :17,18 %

Alami
Sagu
Native

0

10

20

30

40

50

60

Sin 2Ө

Gambar 1. Profil kristal pati sagu alami dan HMT

5

17,94°
20,57°
15,27°

22,74°

Derajat Kristalinitas : 36,49 %
Aren
HMT
HMT

17,18°
20,3°
23,38°

15,00°

Derajat Kristalinitas :16,90 %
Aren
Native
Alami

0

10

20

30

40

50

60

Sin 2Ө

Gambar 2. Profil kristal pati aren alami dan HMT
Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Pukkahuta & Varavinit
(2007). Pukkahuta & Varavinit (2007) melaporkan bahwa pati sagu alami
digolongkan pati tipe-C dengan ditemukan puncak yang kuat pada sudut sin 2Ө
5.5°,15°,17.9°,22.8°, dan 26.3°
Perubahan nilai derajat kristalinitas didapat pada pati yang telah
dimodifikasi HMT, pati HMT memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pati alami.Pati aren alami memiliki derajat kristalinitas
sebesar 16,9% dibandingkan dengan pati aren termodifikasi HMT yaitu sebesar
36,49%. Pati sagu alami memiliki derajat kristalinitas sebesar 17,18%
dibandingkan dengan pati sagu termodifikasi HMTyaitu sebesar
30,83%.Peningkatan nilai derajat kristalinitas yang terjadi ini kemungkinan
karena adanya proses HMT/proses panas yang mengakibatkan terjadinya
dehydration dan pergerakan dari rantai heliks pati. Proses panas yang
menyebabkan pergerakan rantai heliks pati ini akan mengubah susunan/tatanan
kristal pati sehingga ada kemungkinan bertambahnya zona kristalin dari pati dan
zona amorphous menjadi berkurang. Semakin meningkatnya zona kristalin dari
pati akan meningkatkan derajat kristalinitas dari pati (Vieira & Sarmento
2008).Peningkatan derajat kristalinitas pati HMT juga dilaporkan oleh Hoover &
Manuel (1996) pada pati jagung dan Viera & Sarmento (2008) pada pati ubi. Hasil
yang kontras didapatkan oleh Vermeylen et al. (2006) pada pati kentang,
Gunaratne & Hoover (2002 pada pati singkong dan yam, ketiga jenis pati tersebut
dilaporkan memiliki derajat kristalinitas yang menurun setelah dimodifikasi
dengan HMT.

6

2. Pengaruh HMT TerhadapProses Pengolahan KerupukSagu dan Aren
Pengamatan terhadap proses pengolahan kerupuk dengan bahan dasar pati
yang telah diberikan perlakuan HMT dilakukan selama proses pengolahan
kerupuk sagu dan aren. Terdapat beberapa perubahan yang terjadi selama proses
pengolahan kerupuk dengan menggunakan pati HMT. Pada proses gelatinisasi
sebagian (pemasakan ¼ pati dengan 120 gram air) pati alami hanya memerlukan
waktu 1 menit untuk menggelatinisasi pati. Sedangkan pada pati termodifikasi
HMTdiperlukan waktu selama 5 menit untuk menggelatinisasi pati.
Bertambahnya waktu untuk gelatinisasi ini kemungkinan karena terjadinya
perubahan sifat fisikokimia pati setelah proses HMT. Adawiyah (2012)
melaporkanadanya pergeseran puncak gelatinisasi ke suhu yang lebih tinggidan
pergeserankurva endotherm menjadi lebih tinggi baik pati aren dan sagu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012) pati modifikasi
HMT memiliki pasting temperature sebesar 72.10oC untuk pati aren HMT,
dibandingkan dengan pati aren alami sebesar 67.70oC. Pati sagu HMT memiliki
pasting temperature sebesar 73.30oC dibandingkan dengan pati sagu alami
sebesar 67.70oC. Dengan meningkatnya pasting temperature dari pati sagu dan
aren HMT,proses pengukusan akan menjadi lebih lama karena pasting
temperature yang ingin dicapai menjadi lebih tinggi dan dengan suhu pengukusan
yang sama membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kondisi yang
diinginkan.
Perubahan lain yang terjadi adalah pada proses pengadonan. Pati yang telah
digelatinisasi sebagian kemudian dicampur dengan sisa bahan (225 gram pati) dan
air hingga mendapatkan adonan yang kalis. Jumlah penambahan air yang harus
ditambahkan selama proses pengadonan dapat dilihat pada gambar 3. Pada pati
alami dibutuhkan air sebanyak 234 ml untuk Aren dan 220 ml untuk Sagu untuk
mencapai adonan yang kalis dan dapat dibentuk menjadi “dodolan”. Sedangkan
pada pati HMT, dibutuhkan penambahan air yang lebih banyak yakni sebesar 320
ml untuk sagu dan 400 ml untuk Aren untuk mencapai adonan yang kalis.
Perbedaan jumlah air yang ditambahkan ini dikarenakan pada pati HMTmemiliki
kemampuan swelling power yang berkurang. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Adawiyah (2012) pati HMT memiliki swelling power yang lebih rendah
dibandingkan dengan pati alami. Laporan lainya menyatakan bahwa pati HMT
memiliki swelling power yang lebih rendah karena meningkatnya interaksi antara
amilosa dan amilopektin, sehingga memperkuat ikatan intermolekular (Jacobs et
al, 1995). Berdasarkan hasil analisis sifat kristalinitas pati, pati sagu dan aren
HMT merupakan pati tipe-A. Struktur kristal pati tipe-A memiliki struktur yang
lebih padat dibandingkan dengan pati tipe-B. Struktur kristal tipe-A hanya dapat
menampung 6 molekul air, dibandingkan dengan pati tipe-B yang dapat
menampung 36 molekul air (Genkina et al., 2004).

7

Volume Air (ml)

450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

Alami
Native
HMT

Aren

Sagu
Jenis Pati

Gambar 3. Jumlah air yang ditambahkan selama proses pengadonan pada basis
120 gram pati
Kemampuan pati tipe-A yang hanya dapat menampung 6 molekul air ini
yang menyebabkan pati termodifikasi HMT memiliki swelling power yang
rendah. Kemudianberdasarkan hasil analisis XRD, nilai derajat kristalinitas dari
pati HMT memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding pati alami. Peningkatan nilai
derajat kristalinitas ini mengindikasikan bahwa daerah kristalin pada granula pati
meningkat dan daerah amorphous berkurang. Daerah kristalin memiliki susunan
kristal yang lebih teratur dan kompak. Karena memiliki susunan kristal yang lebih
teratur dan kompak, maka pati lebih sulit untuk menyerap air. Sehingga dengan
meningkatnya daerah kristalin pada pati kemampuan pati untuk menyerap air
menjadi lebih rendah (Fennema, 1996).
Adonan kerupuk yang dibuat dengan menggunakan pati HMT memiliki
adonan yangrapuh atau mudah patah sehingga diperlukan proses pengadonan yang
lebih lama dibandingkan menggunakan pati alami,hal ini kemungkinan terjadi
karena adanya perubahan daya kohesifitas dari pati. Hasil penelitian Adawiyah
(2012) menyatakan bahwa pati HMT memiliki nilai kohesifitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan pati alami. Pada pati arenHMT nilai kohesifitas sebesar
0.495, sedangkan pati alami memiliki nilai kohesifitas sebesar 0.849. Pati sagu
HMT memiliki nilai kohesifitas sebesar 0.243, sedangkan pati sagu alami sebesar
0.833. Kohesifitas adalah gaya tarik menarik antara molekul yang sama, sehingga
bila bahan memiliki daya kohesifitas yang rendah, kemampuan untuk tarikmenarik antar sesama molekul pun rendah. Hal ini yang menyebabkan adonan
kerupuk yang menggunakan pati termodifikasi HMT lebih mudah rapuh
dibandingkan dengan pati alami.
3. Kadar Air Kerupuk Selama Penggorengan
Analisis kadar air selama penggorengan dilakukan untuk mengamati
bagaimana penurunan kadar air terjadi selama proses penggorengan, penurunan
ini menunjukan bagaimana air yang terdapat dalam kerupuk keluar dan
memperkirakan tren penurunanya. Secara umum untuk semua jenis sampel yang
digoreng baik menggunakan pati HMT maupun alami, mengalami penurunan

8

kadar air dengan semakin lama nya proses penggorengan. Dapat dilihat pada
gambar 4, dibandingkan antara kerupuk HMT dengan kerupuk alami kadar air
awal dari kerupuk HMT memiliki kadar air yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan kerupuk alami, lalu pada penggorengan selama 1 menit, kerupuk alami
juga memiliki kadar air yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kerupukHMT
Kemudian untuk penggorengan selanjutnya, tidak terdapat perbedaan yang cukup
signifikan baik antara kerupukHMT dan kerupuk alami.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agustifa (2013) bahwa pati
HMT memiliki laju retogradasi yang lebih cepat dibandingkan pati alami. Laju
retogradasi yang menjadi lebih cepat ini yang kemungkinan menyebabkan kadar
air kerupuk HMT lebih rendah bila dibandingkan dengan kerupuk alami terutama
pada lama penggorengan 1 menit.

Kadar Air (% Dry Basis)

12
10
8
Sagu Native
Alami

6

Sagu HMT
4

Aren Native
Alami

2

Aren HMT

0
0

1

2

3

4

5

Lama Penggorengan (Menit)

Gambar 4. Kadar air kerupuk pada lama penggorengan 1 sampai dengan 4 menit
4.Kadar Lemak Kerupuk Selama Penggorengan
Analisis kadar lemak selama penggorengan dilakukan untuk mengamati sifat
penyerapan minyak dari kerupuk. Tidak ada perbedaan kadar lemak yang
signifikan pada kerupuk sebelum digoreng, baik pada kerupuk HMT maupun pada
kerupuk alami.Penggorengan kerupuk dilakukan pada lama penggorengan 1 menit
dan 4 menit dengan suhu 180°C.Dapat dilihat pada gambar 5 bahwa kerupuk sagu
alami memiliki penyerapan minyak yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kerupuk aren alami pada penggorengan 1 menit maupun 4 menit. Dapat dilihat
pula pada gambar 5 bahwa kerupuk sagu HMT memiliki penyerapan minyak yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk alami baik pada penggorengan 1 menit
maupun 4 menit. Sedangkan pada kerupuk aren alami memiliki penyerapan
minyak yang lebih tinggi pada penggorengan selama 1 menit, tetapi pada
penggorengan selama 4 menit kerupuk aren HMT memiliki penyerapan minyak
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk alami

9

Kadar Lemak (%Dry Basis)

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Sagu Native
Alami
Sagu HMT
Aren Native
Alami
Aren HMT
0

1

2

34

4

Lama Penggorengan (Menit

Gambar 5. Kadar lemak kerupuk pada lama penggorengan 1 dan 4 menit
Hasil ini berkorelasi dengan penelitianAdebowaleet al.,(2005). Pada
penelitian tersebut dilaporkan bahwa pati sorghum merah yang dimodifikasi
dengan proses HMT memiliki penyerapan minyak yang lebih rendah yakni 150
mg/g dibandingkan dengan pati alami yakni penyerapanya sebesar 160 mg/g.
Kemungkinan hal ini terjadi karena pati HMT yang memiliki derajat kristalinitas
yang lebih tinggi memiliki struktur kristal yang lebih kompak dan rapat. Struktur
kristal yang lebih kompak dan rapat ini menyebabkan kerupuk lebih sulit untuk
menyerap lemak.
5. Pengaruh HMT Terhadap Kekerasan Kerupuk Selama Penggorengan
Nilai kekerasan ditentukan dari puncak tertinggi yang dihasilkan dari
kurva hasil analisis dengan menggunakan texture analyzer. Gambar 6
memperlihatkan bahwa ada suatu kecenderungan dimana semakin lama kerupuk
digoreng, maka nilai kekerasan nya akan semakin menurun karena kerupuk telah
mengembang dan lebih mudah untuk dikonsumsi. Faktor yang memengaruhi
pengembangan dari kerupuk ini adalah proses pengukusan, di mana dalam proses
pengukusan ini akan terjadi proses gelatinisasi pati yang mengakibatkan
terbentuknya rongga-rongga yang berisi air pada kerupuk. Pada saat
penggorengan, keberadaan air dalam kerupuk dan perbedaan suhu yang tinggi
antara suhu kerupuk dengan suhu minyak menghasilkan tekanan yang akan
mengakibatkan air yang terdapat dalam rongga-rongga tersebut keluar sehingga
membuat kerupuk mengembang (puffing).
Kerupuk sagu HMT memiliki nilai kekerasan yang hampir sama
dibandingkan dengan kerupuk sagu alami pada lama penggorengan 1 menit.
Setelah digoreng selama 2-4 menit, kerupuk sagu HMT memiliki nilai kekerasan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk sagu alami. Kecenderungan yang
sama juga ditunjukkan pada kerupuk aren. Kerupuk aren HMT memiliki nilai
kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk aren alami pada lama
penggorengan 1-4 menit.

10

1,900
Nilai Kekerasan (gf)

1,700
1,500
1,300

Aren Native
Alami

1,100

Aren HMT

900

Sagu Native
Alami

700

Sagu HMT

500
1

2

3

4

Lama Penggorengan (Menit)

Gambar 6. Nilai kekerasan kerupuk pada lama penggorengan 1 sampai dengan 4
menit
Terdapat kecenderungan bahwa kerupuk HMT memiliki nilai kekerasan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk alami, Kemungkinan yang
menyebabkan hal ini terjadi adalah karena nilai swelling power dari pati HMT
menjadi lebih rendah. Swelling power yang rendah mengakibatkan keberadaan air
dalam sistem granula pati menjadi terbatas. Kemudian berdasarkan hasil analisis
XRD, nilai derajat kristalinitas pati mengalami peningkatan setelah pati
dimodifikasi dengan HMT. Peningkatan derajat kristalinitas ini disebabkan karena
daerah kristalin pada granula pati semakin bertambah dan daerah amorphous
berkurang. Semakin berkurangnya daerah amorphous dan bertambahanya daerah
kristalin maka kemampuan pati untuk menampung molekul air juga semakin
berkurang karena daerah kristalin memiliki struktur kristal yang lebih kompak dan
teratur sehingga pati sulit untuk menyerap air (Fennema, 1996).
Akibat menurunya swelling power serta terjadinya perubahan pada daerah
kristalin dan amorphous pada pati HMT maka keberadaan air pada sistem granula
pati menjadi terbatas. Keberadaan air sendiri diperlukan untuk proses
pengembangan kerupuk, pada pati HMT keberadaan air menjadi terbatas sehingga
proses pengembangan kerupuk tidak sempurna bila dibandingkan dengan kerupuk
alami. Pengembangan kerupuk HMT yang tidak sempurna ini menyebabkan
kerupuk memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada hasil analisis XRD Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
puncak pati HMT dengan puncak pati alami. Pati HMT dan pati alami
digolongkan pati tipe-A . Proses HMT pada pati sagu dan aren alami dapat
meningkatkan nilai derajat kristalinitas pati. Pada pati sagu, nilai derajat
kristalinitas pati HMT adalah sebesar 30,83% dan pati sagu alami memiliki
derajat kristalinitas sebesar 17,18%. Pati aren HMT memiliki nilai derajat

11

kristalinitas sebesar 36,49% dan pati aren alami memiliki derajat kristalinitas
sebesar 16,90%.
Kerupuk aren memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kerupuk sagu. Penyerapan minyak pada kerupuk sagu lebih tinggi
dibandingkan dengan kerupuk aren. Kerupuk sagu dan aren HMT memiliki
beberapa perubahan pada proses pengolahan, yakni membutuhkan waktu
pengadonan yang lebih lama dibandingkan dengan pati alami. Kualitas kerupuk
yang dihasilkan juga mengalami perubahan, diantaranya adalah adonan yang
rapuh karena daya kohesif yang berkurang, pelepasan air yang lebih cepat selama
penggorengan, dan penyerapan minyak pada kerupuk yang lebih rendah
dibandingkan dengan kerupuk alami.
Saran
Pengolahan kerupuk dengan memanfaatkan pati HMT sebagai bahan baku
utama tidak direkomendasikan, karena air yang dibutuhkan dalam proses
pengolahan menjadi lebih banyak dan kualitas kerupuk yang dihasilkan menjadi
lebih keras. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai pemanfaatan pati
termodifikasi HMT untuk proses pengolahan pangan lainya.

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah DR, Sasaki T, Kohyama K. 2013. Characterization of arenga starch in
comparison with sago starch. Journal Of Carbohydrates Polymers Volume
92 (2306-2313)
Adawiyah DR. 2012 Effect heat moisture treatment on physical properties and
textural quality of food products from arenga and sago starch. [Final
Report]. NFRI-NARO. Japan
Adebowale KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka O., Lawai OS. 2005. Effect of heat
moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red
sorghum starch. African Journal Of Biotechnology Vol. 4 (9), pp 928-933
Agustifa F. 2013. Pengaruh heat moisture treatment (HMT) terhadap laju
retogradasi pada gel pati sagu (Metroxylon sp.) dan pati aren (Arenga
pinnata). [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian
AOAC International. 1995. Official Method of Analysis 935.11
Billiaderis CG. 1991. The structure and interactions of starch with food
constituents.Canadian Journal of Physiology and Pharmacology, 69, 60–78
Cheetham NW, Tao L. 1998. Variation in crystalline type with amylose content in
maize starchgranules: an X-ray powder diffraction study. Journal Of
Carbohydrate Polymers 36 (1998) 277–284
Felicia. 2010. Penggunaan pati sagu termodifikasi dengan heat moisture treatment
(HMT) untuk meningkatkan kualitas tekstur bakso daging sapi. [skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian.
Fennema, O.R (ed). 1996.Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Genkina NK, Wasserman LA, Noda T, Tester RF, Yuryeva VP. 2004.Effects of
annealing on the polymorphic structure of starches from sweet
potatoes(Ayamurasaki and Sunnyred cultivars) grown at various soil
temperatures.Carbohydrate Research, 339, 1093–1098.

12

Gunaratne A, & Hoover R. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the
structureand physicochemical properties of tuber and root starches.
CarbohydratePolymers, 49, 425–437.
Hoover R. 2010. The impact of heat-moisture treatment on molecular structures
and properties of starches isolated from different botanical sources. Journal
Of Food Science and Nutrition 50(9) :835-47.
Hoover R, & Manuel H. 1996. Effect of heat-moisture treatment on the
structureand physicochemical properties of normal maize, waxy maize, dull
waxy maizeand amylomaize V starches. Journal of Cereal Science, 23, 153–
162.
Jacobs H, Eerlingen RC, Clauwaert W, & Delcour JA. 1995. Influence of
annealing on the pasting properties of starches from varying botanical
sources. Cereal Chemistry, 72, 480-487
Jane J, Chen YY, Lee LF, Mcpherson AE, Wong KS, Radosavljevic M., et al.
1999. Effects of amylopectin branch chain length and amylose content on
the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chemistry, 76,
629–637.
Jiranuntakul W, Puttanlek C, Rungsardthong V, Puncha-arnon S, Uttapap D,
2011. Microstructural and physicochemical properties of heat-moisture
treated waxyand normal starches. Journal Of Food Engineering 104 (2011)
246–258
Lawal OS, Lapasin R., Bellich B, Olayiwola TO, Cesaro A, Yoshimura M,et al.
2011. Rheology and functional properties of starches isolated fromfive
improved rice varieties from West Africa. Food Hydrocolloids, 25, 1785–
1792
Miao M, Zhang T, & Jiang B. 2009. Characterizations of kabuli and desi
chickpeastarches cultivated in China. Food Chemistry, 113, 1025–1032.
Miyazaki M, & Morita N. 2005. Effect of heat-moisture treated maize starch
onthe properties of dough and bread. Food Research International, 38, 369–
376.
Nurhayati A. 2008. Sifat kimia kerupuk goreng yang diberi penambahan tepung
daging sapi dan perubahan bilangan TBA selama penyimpanan. [skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Peternakan.
Pukkhuta C & Varavinit S. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by
Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch/Stärke59(2007)
624–631.
Vermeylen R, Goderis B, & DelcourJA. 2006. An X-ray study of
hydrothermallytreated potato starch. Carbohydrate Polymers, 64, 364–375.
Vieira FC & Sarmento SBS. 2008. Heat moisture treatment and enzymatic
digestibility of Peruvian carrot, sweet potato and ginger starches. Starch, 60,
223-232

13

14

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 2 Desember 1990
dan bertempat tinggal di Jakarta. Penulis merupakan
anak ke-2 dari 2 bersaudara memiliki Ayah bernama
Nano Wijayatno dan Ibu bernama Endah Wulandari.
Penulis berasal dari SMA negeri 78 Jakarta Barat dan
diterima di IPB dengan program studi Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam
kegiatan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Pangan (Himitepa) diantaranya adalah sebagai ketua panitia LCTIP ke-XIX, ketua
suksesi Himitepa 2010, serta sebagai kepala divisi Eksternal Himitepa 2011.
Selain aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, penulis juga merupakan Komandan
Tingkat (Komti) ITP angkatan 46. Penulis juga mengikuti program pertukaran
pelajar AIMS (Asean International Mobility Program) di Kasetsart University,
Thailand pada tahun 2013.

16